Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 187179 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ardian Khairiah
"Penelitian tentang pengetahuan lokal pemanfaatan tumbuhan obat dan nilai ekonominya dilakukan pada etnis Minangkabau di Kecamatan IX Koto Sungai Lasi, Solok, Sumatra Barat dari Februari-Juni 2016. Penelitian bertujuan mendokumentasikan pengetahuan lokal, mengkaji keanekaragaman tumbuhan obat, dan menghitung nilai ekonomi tumbuhan obat yang diperjualbelikan. Data dikumpulkan dengan pendekatan etnobotani melalui wawancara terbuka, semi terstruktur, observasi partisipatif dan survei pasar. Wawancara di masyarakat dilakukan pada 9 informan kunci, 255 responden umum, dan semua pedagang tumbuhan obat di Pasar Solok. Data dianalisis secara kualitatif dengan statistika deskripti dan kuantitatif dengan menghitung nilai kultural Index of Cultural Significance, ICS , nilai kepentingan lokal Local User rsquo;s Value Index, LUVI dan nilai ekonomi tumbuhan obat. Sebanyak 213 spesies tumbuhan 174 genus; 68 famili memiliki 73 khasiat obat. Famili dengan jumlah spesies terbanyak dimanfaatkan adalah Poaceae dan Leguminosae 18 spesies . Nilai ICS tertinggi dimiliki karambia Cocos nucifera L . Dari nilai LUVI, didapat 10 penyakit dengan frekuensi serangan tertinggi di masyarakat. Ditemukan 38 spesies tumbuhan obat 31 genus; 24 famili diperjualbelikan di Pasar Solok, yang didominasi oleh famili Zingiberaceae 7 spesies . Nilai ekonomi tertinggi tumbuhan obat di Pasar Solok ditemukan pada bawang putiah Allium sativum L. sebesar Rp 11.999.970,00. Status konservasi tumbuhan obat yang diperjualbelikan: 34 spesies berstatus belum dievaluasi, 2 spesies terancam, 1 spesies beresiko rendah dan 1 spesies rentan.

A research on the utilization of local knowledge of medicinal plants and its economic value by Minangkabau ethnic in Kecamatan IX Koto Sungai Lasi, Solok, West Sumatra was conducted in Februari June 2016. The study aims to document local knowledges, examines the diversity of medicinal plants, and calculate its economic value. Data were collected using ethnobotanical approach through open ended, semi structured interview partisipatory observation and market survey. The sample consisted of 9 key informants and 225 respondents, and all the trader of medicinal plants in Solok Market. Data were analyzed qualitatively using descriptive statistics and quantitavely by calculate the Index of Cultural Significance ICS , Local User rsquo s Value Index LUVI and the economic value of medicinal plants. A total 213 medicinal plants species 174 genera 68 families were reported to against 73 diseases. Poaceae and Leguminosae 18 species are the dominant families that used. The highest ICS owned by Karambia Cocos nucifera L . Based on LUVI analysis, there were 10 diseases with highest attack frequency in community. Based on market survey, around 38 species of medicinal plants 31 genera 24 families were traded. Zingiberaceae family were the dominant commodity 7 species . The highest economic value found in bawang putiah Allium sativum L. around Rp 11.999.970,00. Refers to Red List IUCN version 2016, medicinal plants conservation status that being traded were 34 species have not yet been assessed, 2 threatened, 1 at least concern and 1 vulnerable.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
T47550
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Marina
"Telah dilakukan penelitian tentang etnomedisin tumbuhan obat sub-etnis Batak Sumatera Utara dan perspektif konservasinya, pada bulan Mei-Desember 2012. Penelitian ini bertujuan mengungkapkan keanekaragaman spesies-spesies tumbuhan obat yang diperdagangkan maupun yang dimanfatkan oleh etnis Batak, sebagai data awal untuk rencana konservasinya. Penelitian dilakukan di pasar Kabanjahe dan Berastagi mewakili tempat transaksi perdagangan tumbuhan obat di Sumatera Utara; lima desa (Kaban Tua, Surung Mersada, Simalungun, Peadundung, dan Tanjung Julu) untuk mewakili masyarakat lokal kelima subetnis Batak (Karo, Phakpak, Simalungun, Toba, dan Angkola-Mandailing). Penelitian dilakukan dengan pendekatan etnobotani melalui survei pasar, survei masyarakat desa, dan analisis vegetasi. Survei dilakukan dengan wawancara bebas mendalam, semi terstruktur, observasi parsipatif. Metode pebble distribution method (PDM) dilakukan untuk mengetahui local user?s value index (LUVI) penyakit dan tumbuhan obat. Sebanyak 9 responden diwawancara pada survei pasar, sedangkan pada survei masyarakat mewawancara 201 responden (41 orang informan kunci dan 160 orang responden umum). Responden umum setiap sub-etnis berjumlah 32 orang dan dikelompokkan berdasarkan umur yaitu kelompok umur 30--50 tahun dan kelompok umur >50 tahun dengan perbandingan 1:1.
Analisis vegetasi dilakukan dengan pendekatan ekologi, pada agrofores karet (Hevea brasiliensis) atau hutan adat seluas 5 ha (1 ha setiap daerah induk sub-etnis Batak). Transek dibuat berbentuk sampling bersarang (nested sampling) dengan ukuran 20 m x 100 m sebanyak 5 buah, yang penempatannya berdasarkan purposive sampling. Data dianalisis secara kualitatif dan kuatitatif.
Analisis kualitatif dilakukan dengan menggunakan statistika deskriptif meliputi jenis-jenis tumbuhan obat, manfaat, organ yang dimanfaatkan, dan sumber perolehan. Analisis kuantitatif untuk survei masyarakat dilakukan dengan menghitung nilai indek keanekaragaman, use value (UVs), index cultural of significance (ICS), sedangkan untuk analisis vegetasi dihitung nilai kepentingan (NK) tumbuhan obat. Uji anova (α 5%) digunakan untuk menghitung rata-rata jumlah spesies tumbuhan obat yang diketahui pada setiap kelompok umur pada setiap sub-etnis Batak. Sebanyak 349 spesies yang berasal dari 212 genus dan 94 famili tumbuhan obat dan 20 macam ramuan tradisional diperjual-belikan di pasar tradisional Kabanjahe dan Berastagi. Sebanyak 176 spesies tumbuhan obat yang dijual di pasar Kabanjahe dan Berastagi dimanfaatkan untuk tujuan preventif, sedangkan sebanyak 255 spesies dimanfaatkan untuk tujuan kuratif.
Hasil wawancara kelima masyarakat desa ditemukan 414 spesies yang berasal dari 241 genus dan 99 famili dimanfaatkan sebagi obat. Di antara kelima sub-etnis Batak maka, sub-etnis Batak Simalungun memnafaatkan spesies tumbuhan obat paling banyak (239 spesies), kemudian diikuti oleh Angkola-Mandailing (165 spesies), Karo (152 spesies), Toba (148 spesies), dan Phakpak (130 spesies). Daun merupakan organ tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan sebagai obat, baik oleh masyarakat lokal maupun yang dijual pedagang. Sebagain besar tumbuhan obat yang diperdagangkan maupun yang dimanfaatkan masyarakat lokal merupakan tumbuhan liar. Nilai UVs, ICS, dan LUVI spesies tumbuhan obat relatif berbeda anatar kelima sub-etnis, dan nilai tersebut sangat ditentukan oleh jumlah manfaat dan ke limpahannya di lingkungan sekitar. Tumbuhan obat yang manfaatnya banyak memiliki nilai UVs, ICS, dan LUVI lebih besar dibandingkan yang manfaatnya sedikit dan sebaliknya. Berdasarkan uji anova (alpha 5%) terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah tumbuhan obat yang diketahui berdasarkan kelompok umur dan kategori responden. Informan kunci memiliki pengetahuan pemanfaatan tumbuhan obat lebih banyak dibandingkan dengan responden umum. Berdasarkan nilai kepentingan lokal (LUVI) penyakit demam dan sakit perut merupakan penyakit yang memiliki LUVI paling tinggi pada setiap sub-etnis Batak.
Hasil analisis vegetasi yang dilakukan pada hutan adat maupun agrofores ditemukan sebanyak 117 spesies hanya mewakili 28% dari keseluruhan jumlah spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan kelima masyarakat lokal sub-etnis Batak. Tumbuhan obat dominan (NK tertinggi) berhabitus pohon, semak/belta, dan semai/herba bervariasi antar agrofores dan sangat ditentukan tipe, umur, pola manajemen, luas, frekuensi penyiangan dan sadapan. Tumbuhan obat yang diperjual-belikan di pasar Kabanjahe dan Berastagi maupun hasil wawancara masyarakat lokal kelima daerah induk sub-etnis Batak memiliki indeks keanekaragaman Shannon-Wiener tinggi (> 3), namun tumbuhan obat yang ditrmukan dari analisis vegetasi memiliki indeks keanekaragaman rendah. Berdasarkan red list IUCN version 2012, tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh sub-etnis Batak memiliki status konservasi antara lain: sebanyak 17 spesies terancam, 7 spesies rentan, 6 spesies kritis, 16 spesies genting, dan 8 spesies masuk ke dalam apendiks II IUCN.

Research is conducted on ethnomedicine of medicinal plants by sub-ethnic Batak in North Sumatra and conservation perspective, at May-December 2012. This research aims to obtained diversity of species medicinal plants traded and used by ethnic Batak, as data base the initial step for conservation plan of medicinal plants. Samples for this research were taken from Kabanjahe and Berastagi traditional markets as the representation of trading places, while Kaban Tua village, Surung Mersada village, Simbou Baru village, Peadundung village, and Tanjung Julu village representing the source of the obtained medicinal plants. Collecting data for this research was carried out by ethnobotany approach (market surveys, surveys local communities, and vegetation analysis). The interviews were conducted through free in-depth interviews, semi-structured, and participative observation. The local user's value index (LUVI) of the medicinal plants was done by the pebble distribution method (PDM). This approach was primarily carrying surveys and interviews of nine (9) traders of the medicinal plants in Kabanjahe and Berastagi traditional markets; and 201 local communities with 41 key informants and160 general respondents with two age goups, first group with 30--50 years old and second group above 50 years old with ratio 1:1.
Vegetation analysis conducted in the agroforest rubber (Hevea brasiliensis) or indegenous forest from area of 5 ha (1 ha each sub-ethnic) by ecological approach. The transect sampling was used in the form of nested sampling with a size of 20 m x 100 m of 5 pieces for each center regions of the sub-ethnic Batak. Data were analyzed using qualitative and quantitative method. Qualitative analysis is done by grouping plants based upon usage category, organs harvested, and resource.
Quantitative analysis by calculating index diversity, index of cultural significance (ICS), use value (UVs), LUVI, and statistical analysis; while vegetation analysis calculated importance value (IV). Our finding scored 349 species (212 genera, 94 families) of medicinal plants and 20 kinds concoctions traded in the traditional markets Kabanjahe and Berastagi. The medicinal plants for preventive purposes have been used 176 species, while as many as 255 species used for curative purposes.
Out of 5 villages were selected as the location of the research, the results showed that as many as 414 species (99 families) of medicinal plants have been used by those 5 sub-ethnic Batak. Among all of those, sub-ethnic Batak Simalungun was the highest using medicinal plants (239 species), then followed by Angkola-Mandailing (165 species), Karo (152 species), Toba (148 species), and Phakpak (130 species). Leaves are organ of the most used medicinal plants as medicine, by local communities and the traders medicinal plants. The majority of medicinal plants traded and local communities utilized are wild plants. The value of UVs, ICS, and LUVI of medicinal plants are different at the fifth sub-ethnic, and the value determined by the amount uses and abudance in the neighborhood. Medicinal plants many uses have value UVs, ICS, and LUVI greater than medicinal plants uses few and vice versa. Based on anova (alpha 0.05), it is found a significant different about medicinal plants which is known by the yonger, older, and key informants. The number of medicinal plants species known by the youger is smaller in compare to the older, and key informants. Based on the LUVI, fever and abdominal pain are diseases that has the highest LUVI on each sub-ethnic Batak.
The results of the analysis vegetation found as many as 117 species represent only 28% of the total number of medicinal plants by five sub-ethnic Batak. The medicinal plants dominant (highest IV) trees, shrubs/belta, and seedling/herb varies between agroforest, and which determined by type, age, pattern management, broad, weeding frequency, and leads agroforest. Medicinal plants traded in Kabanjahe and Berastagi traditional markets; and local communities used in five sub-ethnic Batak has the Shannon-Wiener diversity index is high (> 3), but medicinal plants drugs find at vegetation analysis has a low diversity index. Based on the LUVI, which are fever and abdominal pain are diseases that has the highest LUVI on each sub-ethnic Batak. Based on the IUCN red list of version 2012, the medicinal plants have been used by the sub-ethnic Batak have conservation status, among others: 17 species threat, 7 species vulnerable, 6 species critically, 16 species endagered, and 8 species into the appendix II IUCN.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
D1906
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ivan Madya Rizkiano
"Penelitian ini membahas bagaimana penerapan nilai-nilai budaya Minangkabau terhadap kebudayaan material berupa masjid dan surau. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan budaya Minangkabau terhadap masjid dan surau yang diteliti, yaitu pada Surau Atok Ijuak, Surau Syekh Burhanuddin, Masjid Tuo Kayu Jao dan Masjid Asasi. Metode yang dilakukan pada penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian arkeologi dari Sharer dan Ashmore yaitu formulasi, implementasi, pengumpulan data, pengolahan data, analisis, interpretasi dan publikasi. Penerapan nilai-nilai budaya Minangkabau dapat terlihat dari bangunannya mulai dari bagian kaki, badan, hingga atap serta pada ragam hiasnya. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa pembangunan masjid dan surau yang ada di wilayah Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Solok dan Kota Padang Panjang, Sumatera Barat, mempunyai nilai-nilai budaya Minangkabau yang diterapkan sesuai dengan kata-kata adatnya.

This study discusses how the application of Minangkabau cultural values to material culture in the form of mosque and surau. This study aims to determine the linkage of Minangkabau culture to the mosques and suraus studied, namely Surau Atok Ijuak, Surau Syekh Burhanuddin, Tuo Kayu Jao Mosque and Asasi Mosque. The method used in this study are from Sharer and Ashmore, formulation, implementation, data gathering, data processing, analysis, interpretation and publication. Implementation of Minangkabau cultural values can be seen from the building starting from the lower, body, to the roof and on the variety of ornaments. Based on the results of the analysis can be seen that the construction of mosques and suraus that exist in the region of Padang Pariaman, Solok and Padang Panjang, West Sumatra, has Minangkabau cultural values that are applied in accordance with the tradition words.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wika Mardhiyah
"Pengembangan manfaat tumbuhan obat dimulai dengan mengumpulkan informasi dari pengetahuan lokal yang dimiliki berbagai etnis. Salah satu etnis yang unik di Indonesia adalah etnis Minangkabau yang berasal dari Nagari Tuo Pariangan karena memiliki sistem matrilineal. Berdasarkan survey pendahuluan diketahui bahwa sebagian besar tumbuhan obat di Nagari Tuo Pariangan dibudidayakan di pekarangan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengetahuan tradisional masyarakat mengenai tumbuhan obat dan potensi pekarangan sebagai kawasan konservasi. Penelitian dilaksanakan selama sembilan bulan pada bulan Januari sampai September 2019. Pengambilan data etnobotani dilakukan dengan wawancara semiterstruktur pada 7 orang informan kunci dan 46 orang responden umum. Pengambilan data etnoekologi pekarangan dilakukan dengan analisis vegetasi pada 30 buah rumah. Data etnobotani diolah dengan menghitung Use Value (UV), Index of Cultural Significance (ICS), dan Relative Frequency of Citation (RFC). Data etnoekologi diolah dengan menghitung Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman (H), Indeks Kemerataan (e), dan Kekayaan Spesies (DMg). Analisis data dilakukan secara statistika deskriptif. Masyarakat memanfaatkan 139 spesies tumbuhan obat yang tergolong ke dalam 110 genus dan 59 famili. Tumbuhan obat digunakan untuk mengobati 73 jenis penyakit yang dikelompokkan menjadi 10 kategori. Curcuma longa, Kalanchoe laciniata, Zingiber officinale, dan Orthosiphon aristatus merupakan tumbuhan obat dengan UV, ICS, dan RFC yang tinggi. Sebagian besar tumbuhan obat menurut masyarakat memiliki UV, ICS, dan RFC yang termasuk ke dalam kategori rendah sehingga perlu dikonservasi. Masyarakat menanam 197 sepesies tanaman di pekarangan, termasuk ke dalam 148 genus dan 67 famili. Jumlah spesies tanaman terbanyak ditemukan di pekarangan Jorong Pariangan (117 spesies), sementara persentase tanaman obat tertinggi ditemukan di pekarangan Jorong Guguak (65,6%). Indeks keanekaragaman, kemerataan, dan kekayaan spesies tanaman obat di pekarangan yang tergolong tinggi membuktikan bahwa masyarakat Nagari Tuo Pariangan menanam cukup banyak spesies tanaman obat. Pekarangan dapat dimanfaatkan sebagai kawasan konservasi tanaman obat.

Development of the benefits of medicinal plants begins with gathering information from local knowledge held by various ethnic groups. One of the unique ethnic groups in Indonesia is the Minangkabau ethnic originating from Nagari Tuo Pariangan because it has matrilineal system. Based on preliminary surveys it is known that most of the medicinal plants in Nagari Tuo Pariangan are cultivated in the yard. The purpose of this study is to examine the traditional knowledge of community about medicinal plants and the potential of yard as a conservation area. The research was conducted for nine months from January to September 2019. The collection of ethnobotanical data was carried out by semistructured interviews with 7 key informants and 46 general respondents. Ethnoecological data was collected by analyzing vegetation in 30 houses. Ethnobotanical data was processed by calculating the Use Value (UV), Index of Cultural Significance (ICS), and Relative Frequency of Citation (RFC), while ethnoecological data is processed by calculating the Importance Value Index (INP), Diversity Index (H), Evenness Index (e), and Species Richness (DMg). Data analysis was performed by descriptive statistics. The community utilizes 139 species of medicinal plants belonging to 110 genera and 59 families. Medicinal plants are used to treat 73 types of diseases which are grouped into 10 categories. Curcuma longa, Kalanchoe laciniata, Zingiber officinale, and Orthosiphon aristatus are medicinal plants with high UV, ICS, and RFC. Most of the medicinal plants according to the community have UV, ICS, and RFC which are included in the low category, so it needs to be conserved. The community planted 197 species in the yard, including 148 genera and 67 families. The highest number of plant species was found in Jorong Pariangan (117 species), while the highest percentage of medicinal plants was found in Jorong Guguak (65.6%). Index of diversity, evenness, and richness of medicinal plants in the yard which are classified as high prove that Nagari Tuo Pariangan community plant quite a number of medicinal plants. The yard can be used as conservation area for medicinal plants.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
T54887
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghivo Pratama
"Penelitian ini mencoba untuk melihat pembangunan desa pada bidang pertanian melalui peran pemerintah lokal (wali nagari) dan modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat. Penelitian ini mengunakan pendekatan kuantitatif dengan jumlah sampel 90 anggota kelompok tani sebagai responden. Hasil peran pemerintah desa yang cenderung rendah menyebabkan pembangunan desa yang buruk. Sedangkan, modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat tidak berhubungan.

This thesis purposes are to measure the influences of local govemace (wali nagari) and social capital roles toward rural development. This research use quantitative approach with 90 members of fanner groups as the respondent. The role of local governance toward rural development is tending to low. In the other hand, there is no influence between social capital and rural development.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S60891
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hiria
"ABSTRAK
Mengelola hutan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi juga masyarakat. Kelompok Tani Selaras Alam menjaga kelestarian hutan dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan agroforestri kopi. Namun lokasi kegiatan agroforestri kopi belum diketahui peruntukan lahannya secara legal dan adanya perbedaan tingkat partisipasi dalam kegiatan agroforestri kopi. Tujuan dari riset ini adalah untuk mengetahui kesesuain lahan, evaluasi kegiatan agroforestri, analisa tingkat partisipasi dan menentukan strategi pelestarian hutan. Hasil dari riset ini kegiatan agroforestri di APL, tanaman kopi dan pendamping berkontribusi untuk aspek ekologi akan tetapi belum dalam aspek ekonomi, tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi dan didapatkan strategi berkelanjutan untuk pelestarian hutan. kesimpulan dari riset ini kegiatan agroforestri kopi tidak menyalahi aturan pemerintah, adanya manfaat kegiatan agroforestri untuk aspek ekologi namun belum memberikan kontribusi optimal untuk aspek ekonomi, tingkat partisipasi masyarakat tinggi, dan dirumuskan strategi berkelanjutan dalam pelestarian hutan melalui kegiatan agroforestri kopi.

ABSTRACT
Managing forests is not only the responsibility of the government but also the people. Selaras Alam Farmers Group preserves forest conservation by involving community participation through coffee agroforestry. However, the location of coffee agroforestry has not been known for legally allocated land and there is a difference level of participation through coffee agroforestry. The purpose of this research is to know the suitability of the land, the evaluation of agroforestry, the analysis of the participation level and determine the strategy of forest conservation. The results of this research are agroforestry in APL, coffee crops and shade plants contribute to ecological aspects but not yet in economic aspects, high levels of community participation and sustainable strategies for forest conservation. The conclusions of this research are coffee agroforestry in accordance with government regulations, the existence of agroforestry benefits for ecological aspects but not yet provide optimal contribution to economic aspect, high level of community participation, and formulated a sustainable strategy in forest conservation through coffee agroforestry."
2017
T49546
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maya Fadhillah
"ABSTRAK
Penelitian dilakukan untuk mengetahui keragaman jenis mamalia di areal bernilai konservasi tinggi (NKT) di perkebunan sawit Sumatra.  Penelitian juga dilakukan untuk mengetahui menajemen areal NKT dalam menunjang keberadaan mamalia di dalamnya.  Penelitian variasi mamalia di area NKT dilakukan melalui analisis data sekunder dari hasil pemasangan kamera perangkap yang telah dipasang selama kurun waktu 2016-2018.  Hasil yang diperoleh selanjutnya dianalisis untuk mengetahui nilai keragaman dan kerapatannya.  Sementara itu, penelitian manajemen areal NKT dilakukan dengan metode wawancara.  Data yang diperoleh selanjutnya dijabarkan secara deskriptif.  Diketahui, manajemen areal NKT meliputi proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya.  Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 26 spesies mamalia dari 6 ordo yaitu Artiodactyla (6 spesies), Carnivora (11 spesies), Perissodactyla (1 spesies), Primata (5 spesies), Rodentia (7 spesies), dan Scandentia (1 spesies).  Secara umum, tingkat keanekaragaman jenis mamalia di kawasan konservasi tersebut berada dalam kategori sedang.  Terdapat beberapa mamalia yang mendominasi antara lain Macaca nemestrina, Sus scrofa, Sus barbatus, dan Muntiacus muntjak

ABSTRACT
The aim of this study is to know the diversity of mammals in the area of High Conservation Value (HCV) and to know the manajement of HCV area in oil palm of Sumatra.  The study of variety of mammalian species carried out through the analysis of secondary data from the results of the installation of camera traps that has a fitted over a period of 2016-2018. Of the results obtained next analyzed in order to its diversity and density.  Meanwhile, the study of HCV area management carried out through the interview. The data obtained next elaborated to a sort of descriptive set. It is known that the HCV management covering the planning, organizing, coordinating, and controlling process. Based on this study results, there are 26 species of mammals of the order of Artiodactyla (6), Carnivora (11), Perissodactyl (1), Primate (5), Rodentia (7), and Scandentia (1). The level of species diversity in HCV area is in medium category.  Based on index value evenness, there are several dominated mammalian species such as Macaca nemestrina, Sus scrofa, Sus barbatus, and Muntiacus muntjak."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitti Nursetiawati
"Perubahan lingkungan menimbulkan tantangan baru yang harus ditanggapi oleh penduduk setempat dalam menyesuaikan diri secara aktif. Hubungan Manusia dan Alam (Man and Biosfer) merupakan hubungan timbal balik yang saling berinteraksi. Kehidupan manusia dalam sistem adat berinteraksi dengan perubahan lingkungan hidupnya, berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan alamnya melalui kemampuan adaptasi sosial (Social Adaptation). Dalam konteks sistem adat Minang, keberhasilan manusia berinteraksi dengan alamnya ditentukan oleh kemampuan dan strategi adaptasi masyarakat Mlnang itu sendiri dalam proses Homeostasisnya untuk mencapai Equilibrium.
Kesimbangan lingkungan di ranah Minang merupakan hasil adaptasi interaksi yang harmonis antara lingkungan (fisik, social, ekonomi) dengan sistem budaya Minangkabau yang dipengaruhi oleh dinamika perubahan aspek kompetensi pengetahuan dan penerapan system matrilinial geneologis teritorial bertingkat yang mengandung prinsip Habluminailah, Habluminanas, Ukhuwah Persaudaraan, dan Mufakat.
Dinamika budaya Minang dalam masyarakat Minangkabau berperan dalam menjaga keseimbangan lingkungannya. Sistem kekerabatan matrilinial, yang sesuai dengan konsep adatnya adalah : keturunan ditarik dari garis Ibu, Struktur masyarakat intinya terletak pada Kaum (extended family), adanya pemimpin adat mulai dari tingkat (paruik, kampung, koto sampai nagari) sebagai pengelola lingkungan hidup milik komunal, sedangkan kepemilikan harto pusakonya oleh kaum perempuan. Seluruh penerapan adatnya dapat dilihat dalam pemerintahan adatnya, dalam kehidupan sosialnya, badunsanak, mencari nafkah dalam bingkai syarak mangato adat mamakai (hidup seimbang, Ingat Sang Pencipta, Cari nafkah atas usaha sendiri, tawakal).
Kondisi ambigu dalam masa perubahan pada masyarakat transisi dari tradisional ke modem, menjadi ljlik rawan terjadinya perubahan sosial ke arah dikotomi, disorieniasi dan disintegrasi yang dapat menumbuhkan konflik, perubahan gaya hidup yang bersifat hedonis, materialislis bahkan ke arah sekularis, telah menjadi kekhawatiran tersendiri di kalangan masyarakat ranah Minang yang bercita-cita ke arah Masyarakat Madaniah, terkait dengan segmentasi penerapan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabuilah, menyebabkan ketidak seimbangan sosial.
Rumusan Masalah: Dapatkah Pranata adat dengan dinamika budaya Minangkabau berperan mengatur keseimbangan lingkungan dalam masyarakat yang beranjak ke EMO (Economic Market Oriented), yang menyebabkan degradasi Iahan pertanian dan sosial, ketidaksejahteraan masyarakat, khususnya petani?
Hasil penghitungan menggunakan pendekatan metode Analytical Heirarchy Process (AHP) dengan faktor Inconsistensy Ratio < 0,1 menunjukan bahwa peringkat berpengaruh dari variabel bebas pada masalah ketidakseimbangan lingkungan Iahan pertanian terhadap gangguan penerapan adat berasal dari variabel Lingkungan sosial (19%), variabei Adat basandi syarak, syarak basandi kilabullah (18.1%), diikuti oleh variabel moratilas (15,6O %), variabel intenaksi sosial ?Syarak Mangato Adat mamakai (11,5 %), variabel lingkungan ekonomi (9,5 %), variabel struktur sosiai (8%), variabel supra struktur (5,4 %), variabel kekerabatan (8 %), variabel lingkungan (4.8 %), variabel infra struktur (3%).
Pertanyaan Penelitian dalam menciptakan keseimbangan lingkungan untuk pembangunan berkelanjutan di CKL adalah : 1. Apakah pergeseran kebijakan pengelolaan pertanian dan lingkungan yang menyebabkan degradasi kualitas lahan dan produksi perbanian di Nagari Ganduang Kota Laweh (CKL) disebabkan oleh modernisasi yang berorientasi pada EMO?, 2. Apakah modernitas yang berorientasi pada EMO melemahkan peran pranata adat Minang sistem matrilinial dalam keseimbangan lingkungannya?, 3. Apakah revitalisasi peran pranata adat dalam sistem matrilinial melalui pemberdayaan masyarakat dapat menjaga keseimbangan lingkungan? Solusi lingkungan apa yang menjadi konsep baru dalam penelitian ini ?
Tujuan Penelitian yang dirancang adalah Untuk mengungkap terjadinya pemudaran peran pranata adat dalam sistem matrilinial akibat modernisasi yang berdampak terhadap keseimbangan lingkungan: 1. Menemukenali pengaruh modernitas yang berorientasi pada EMO terhadap pergseran kebijakan pengelolaan lingkungan pertanian, degradasi kualitas Iahan dan produksi pertanian di Nagari Canduang Koto Laweh (CKL). 2. Untuk mengetahui pengaruh modernitas yang berorientasi pada EMO terhadap melemahnya peran pranata adat dalam sistem matrilinial dalam keseimbangan lingkungan (fisik, sosial, ekonomi). 3. Untuk mengetahui apakah revitalisasi peran pranata adat dalam sistem matriliniai melaiui pemberdayaan masyarakat dapat menjaga keseimbangan lingkungan (fisik, sosial, ekonomi). 4. Menghasilkan Konsep Baru Adaptasi Manusia Dinamis (Dynamic Soda/ Adaplahbn) melalui Achievement Individu with the multiple skill Competenies Approach untuk keseimbangan lingkungan CKL melaksanakan keberlanjutan pembangunan yang dapat diprediksi secara eksponensial (non Iinier). Jenis penelitian yang digunakan adalah mengeksplorasi dan mengembangkan teori/konsep yang sudah ada. Metode penelitian yang digunakan adalah gabungan metode kualitatif untuk ranah deskriptif makna, dan metode kuantitatif (untuk ranah fakta). Hipotesis kerja: ?Peran Dinamika Sistem Budaya Minangkabau Pada Keseimbangan Lingkungan Tercermin Dari Adaptasi Nilai-nilai Budaya Yang Dimilikinya.
Penulis mengembangkan Konsep Adaptasi sosial (social Adaptation yang diambil dari Teori Adaptasi, Psikologi Lingkungan Paul Bell, Teori Intensl Psiko Sosial Izjer Baizjen bagi terbentuknya kompetensi multiple skill untuk Individual Achievement (yang dituntut sebesar 66.7% sesuai AHP untuk kontribusi Adat (masyarakat dan pemangku adat), dan 33.3% sesuai AHP untuk kontribusi Lingkungannya. Teori Ekologi (odum), Teori kebudayaan (Kuntjoroningrat, Meilalatoa), Teori Struktur sosial dan Kinship Murdock, Teori Ekologi Manusia, Teori Deep Ecology. Teori Sistem Ekoiogi (Odum), Teori Pembahan Sosial. Dengan menggunakan pendekatan 5 prinsip ekologi, yang berfokus pada bio-fisik, sosial (mutu modal manusia dalam masyarakat sistem mairilineal) dan kesejahteraan masyarakat, merupakan gabungan ekologi dan dinamika masyarakat matrilineal dengan menekankan peran individual achievement agar mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan, pada struktur dan fungsi lahan pertanian dalam rangka memperbaiki degradasi Iahan pertanian untuk dikembalikan ke kondisi tanpa polusi. Evolusi Adaptif Interaktif ASOIPAKDE Pemberdayaan Masyarakat diangkat untuk menghasilkan nilai kelentingan adat. Teori eksponensial (non Iinier) digunakan untuk memperoleh keseimbangan lingkungan dinamis dalam masyarakat yang dinamis untuk mengakomodir faktor tangible dan intangible.
Perbaikan lingkungan berupa bioremediasi lahan dengan pertanian organik melibatkan partisipasi masyarakat untuk mengurangi polusi, meningkatkan kesuburan tanah, hasil panen, dan kesejahteraan. Merupakan jenis penelitian eksplorasi teori/konsep yang sudah ada dengan cara pre-scriptif. Metode penelitian yang dipilih adalah gabungan antara metode kualitatif (gejala, kecenderungan, makna) dan kuantitatif (fakta). Instrumen penelitian AHP (Anayses hierachy Process) digunakan untuk membantu pengambilan keputusan/kebijakan dan Analisis Aspirasi Masyarakat. Setelah dilakukan uji coba demplot Quasi Experiment Action Research ternyata hipotesis terbukti benar. Daya dukung pada non intervensi pemberdayaan sebesar NKL=53,01. Daya dukung dengan intervensi pemberdayaan sebesar NKL 70,1. Signifikansi Uji beda Z non parametrik U Man Whitney sebesar 0,016. Validasi Cross Tabulasi Data dengan Statistik Regresi Multivariate SPSS 12 Dari Variabel Budaya Minang Sistem Matrilineal (X) dan Variabel Keseimbangan lingkungan (Y) berada pada tingkat probalilitas sebesar 0.03 < 0.05. Dari uji ANOVA, didapat F hitung sebesar 4.318 berada pada nilai R=0.684 dengan nilai R2 sebesar 0.486 atau 48 %.
Pendekatan contextualisasi progressive pemberdayaan masyarakat diuji cobakan pada demplot, untuk diamati selama 24 bulan dengan responden yang berbeda. dengan menggunakan checklist kerjasama multi fihak dibantu oleh 3 juri yang memiliki kualitas yang sama dalam hal pengetahuan lingkungan hidup, pemberdayaan masyarakat, masalah adat, pengalaman politik, pengalaman usaha, bersifat lndipenden. Hasil pengamatan dari ketiga juri dihitung dengan statistic W Concordance sebesar 29,68> 27,59 (X hltung > X table), maka konsistensi juri dapat diterima. Hasil pencapaian pemberdayaan (daya terima masyarakat) diperoleh dari angket masyarakat non intervensi pemberdayaan, yaitu sebesar 53,01 dengan nilai r kelenturan adat sebesar 0.20 NKL yang dapat dicapai pada masyarakat yang diintervensi sebesar 70,1 berbentuk dari Adaptasi Keseimbangan Lingkungan Fisik = 20, Adaptasi Keseimbangan Lingkungan Sosial = 30, Adaptasi Keseimbangan lingkungan Ekonomi = 20,1. Terdapat perbedaan yang signifikan sebasar 0.046 sebagai uji beda Z dari U Mann Whitney SPSS 12. Terbukti bahwa intervensi pemberdayaan memiliki manfaat sebagai revitalisasi adat. NKL dan koelisien yang ada di setiap factor budaya pembentuk keseimbangan lingkungan dan nilai kelenlingan r untuk dihitung proyeksinya dalam rumus persamaan matematik exponensial (non Iinier) sebagai prediksi intervensi tahun 2005-2015, guna menghitung satuan rupiah yang dibutuhkan dalam rangka pembiayan pembangunan, termasuk pembiayaan untuk mengkompensasi degradasi lingkungan fisik (insentif pertanian), sosial dan fungsi-fungsi ekonomi lingkungan sebagai public goal.
Pembuktian : Disertasi ini membuktikan adanya proses dan perubahan lingkungan sebagai model adaptasl dinamika Budaya Minangkabau Pada Keseimbangan lingkungan Tercermin dari nilai-nilai Budaya Yang berkelenturan adat untuk meningkatkan daya dukung lingkungan melalui lntervensi pemberdayaan masyarakat yang dapat diukur. Hal ini diekspresikan dengan persamaan matematik eksponensial berupa rumus baru penulis yaitu rumus keseimbangan lingkungan dinamis.
Penelitian ini menghasilkan 9 asumsi yang dapat dijadikan pertimbangan untuk menyusun perencanaan daya dukung pengelolaan lingkungan konteks pembangunan berkelanjulan yaitu: 1. Kebijakan yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan terletak pada kesalahan teori clasarnya berupa perubahan pengelolaan lingkungan pertanian dari polikultur ke monokultur. 2. Suku Minang mempertahankan kemurnian garis ibu (matrilineal), terkait dengan kepemilkan lahan komunal, kepemimpinan oleh laki-laki di garis Ibu, kesinambungan ekonomi melalui harto pusako, kesinambungan kekerabatan yang menerapkan paruik dan keluarga inti. 3. Keseimbangan lingkungan untuk mengatasi keterbatasan daya dukung Iahan pertanian, Iedakan populasi dan over exploitation adalah Merantau 4. Pranata adat melemah dalam perannya mengatur lingkungan dinamis, 5. Intervensi pemberdayaan sebagai sarana transformasi sosial budaya dan ekonomi kerakyatan dapat menciptakan keseimbangan lingkungan secara signifikan sebesar 0,046 (<0,05). 6. Keterbaruan Ilmu Lingkungan, khususnya ekologi manusia adalah strategi adaptasi menghadapi modernitas berupa Proses Adaptasi Sosial Interaktif. Dilegkail dengan 7. kelenturan adat restlence ?r? dengan 10 komponen pemberdayaan sesuai kehutuhan modernitas (adat berbuhul sintak) untuk pengembangan kapasitas dalam proses coping adaptasi dan homeostasis. Dihitung dengan B. Model eksponensial Rumus Keseimbangan lingkungan Dinamis dapat mengukur dan memprediksi daya dukung lingkungan untuk pembangunan berkelanjutan di Nagari Candung Koto Laweh atau wilayah lain. Persamaan matematik eksponensial dapat mewakili seluruh atribut variable Dinamika Budaya (X) dan Keseimbangan Lingkungan (Y), konstanta kelenturan adatnya (r=0.2O). 9. Mendukung revitalisasi kearifan ekologis yang mengandung nilai-nilai agama Islam dan Etika Moral budaya Minang ?Adat Basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah" dan ?Alam Takambang Jadi Guru" sebagai modal social yang mengacu pada Spirit profelik,cita-cita etik AI-Qur'an.
Saran: 1. Diperlukan perangkat instrumen dan kelembagaan untuk memperkuat dibangunnya kebijakan pertanian agro ekologi partisipatif melalui model pembanguan berbasis masyarakat, berupa demplot. 2. Diperlukan manajemen perbanian untuk mempertahankan keseimbangan lingkungan dengan memperhatikan faktor :a. Kelayakan lingkungan (environmental sustainable), b. Keuntungan ekonomis (Economically provilable), c. Dapat diterima oleh masyarakat (Socially acceptable) d. Teknologi yang dapat dikelola (Technologically/Manageable)."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
D1891
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>