Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 210324 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Iman Nul Islam
"ABSTRAK
Tujuan dalam penelitian ini akan menerangkan salah satu permasalahan apakah pengadilan negeri dapat memeriksa dan mengadili tuntutan ingkar. Yaitu suatu hak yang diberikan oleh Undang-undang bagi para pihak yang berkepentingan apabila terdapat dugaan arbiter dalam melaksanakan tugasnya tidak bebas dan akan berpihak seperti yang dimaksud dalam pasal 22 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa UU Arbitrase . Di dalam pasal 25 UU Arbitrase pengadilan negeri melalui Ketua Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksanya, namun di sisi lain ada pasal-pasal lain yang seolah-olah bertabrakan dengan Pasal 25 UU Arbitrase seperti pasal 34 UU Arbitrase yang menyebutkan harus menggunakan acara yang di pilih yang seakan-akan menyatakan pengadilan tidak melibatkan terlalu jauh di dalam proses arbitrase sebab Arbitrase memiliki asas lex arbitri yang sedari awal sudah menundukkan diri dengan suatu ketentuan yang telah disepakati bersama. Kata kunci: Arbitrase, Penyelesaian Sengekta di Luar Pengadilan, Tuntutan Ingkar. PT. CTPI VS PT Berkah Karya Bersama.

ABSTRACT
The purpose of this research is to explain one of the problems whether the district court can examine and rule the request for recusal which is the right granted by the Law to the parties if there is an allegation to the arbitrator in carrying out his her duties independently or will be biased as contemplated in Article 22 Law No. 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution Arbitration Law . In Article 25 of Arbitration Law, the district court through the Chairman of a District Court has an authority to examine the request for recusal, but on the other hand there are other articles that seems overlapping with Article 25 of Arbitration Law such as Article 34 of Arbitration Law which states shall be done according to the chosen procedures as if the district court is not very much involved in arbitration proceedings since the arbitration has a principle called Lex Arbitri which from the outset has subject to a provision that has beed agreed. Keywords Arbitration, Alternative Dispute Resolution, Request for Recusal, PT. CTPI VS PT Berkah Karya Bersama."
2016
T47535
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Petronella Maytea Lantio
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana aspek hukum dari keputusan dan pelaksanaan arbitrase di Indonesia dengan maksud untuk mempelajari penegakan arbitrase, upaya hukum terhadap putusan arbitrase serta kendala dalam pelaksanaan putusan arbitrase di Indonesia. Pasal 60 UU No. 30/1999 (UU Arbitrase dan APS) menyatakan bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak, artinya putusan tersebut tidak dapat diajukan banding, kasasi dan peninjauan kembali. Akan tetapi, berdasarkan Pasal 70 putusan arbitrase dapat dibatalkan. Selain itu, pelaksanaan putusan arbitase masih menghadapi kendala di dalam praktek. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya akan efektif jika para pihak yang terlibat sengketa adalah para pihak yang bona fide, pihak yang menang berusaha supaya putusan arbitrase didaftarkan pada pengadilan negeri agar memiliki kekuatan hukum, dan pihak yang kalah tetap menghormati dan tidak menghalanghalangi eksekusi. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Penelitian yang bersifat deskriptif dimaksudkan untuk menggambarkan serta menguraikan semua data yang diperoleh, terkait dengan permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan, yaitu dengan menganalisis putusan pengadilan serta membuat catatan dari buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen dan hal-hal lain yang relevan dengan masalah yang diteliti. Selanjutnya data yang diperoleh diolah dan dianalisis lebih lanjut untuk menjawab permasalahan yang diteliti.

ABSTRACT
This study aimed to find out how the legal aspects of the decision and enforcement of arbitration in Indonesia with a view to study the enforcement of arbitration, the legal effort against the decision of arbitration as well as constraints in the execution of arbitration decision in Indonesia. Article 60 of Law No. 30/1999 (Arbitration and ADR Law) states that arbitral award is final and legally binding the parties, which means that the award could not be corrected by an appeal, cassation and review. However, in accordance with the Article 70 of the arbitration law the arbitral award can be annulled. Furthermore, the decision of arbitration is very hard to be implemented. It is due to the settlement of disputes through arbitration that will only be effective if the parties involved in the dispute are bona fide parties. The winning party tried to keep the decision of the Arbitration filed in state court in order to have legal force, and the losing party still respects and does not hinder the execution. This research includes the study of normative and descriptive legal. The research which is descriptive of this study are intended to illustrate and describe all the data obtained, related to the problem being investigated. In this research, data collection techniques used are literature studies, namely by analyzing court decisions and make notes of books of literature, legislation, documents and other matters relevant to the issues being investigated."
2016
T46529
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dioputra Ilham
"Party Autonomy Principles ensure that arbitration remains flexible in its nature and by ensuring an integral part of the proceedings namely the parties ability to tailor the procedure of their arbitration to their needs. This autonomy also includes the basic right of parties to be able to freely appoint, constitute, challenge and remove arbitrators commonly referred to as Rules Governing Arbitrators. BANI, the oldest arbitral institution in Indonesia, however, is known for having policy and implementation in its governing regulations which undermine party autonomy. This research discusses firstly, the differences of party autonomy in regulations governing BANI Arbitration Centre (hereinafter shall be called BANI) proceedings in comparison to Singapore International Arbitration (SIAC) proceedings in both arbitration law and rules. Secondly, this research discusses the necessity in the reform of regulations governing BANI proceedings. By conducting a juridical normative legal research, applying a comparative approach, it can be concluded that institutional arbitration at BANI still hinders party autonomy by having increased thresholds of qualifications for arbitrators and challenge requirements as well as inability to be able to nominate a presiding arbitrator, making the usage of BANI unpopular in the region as opposed to SIAC. Secondly, regulations governing BANI proceedings must be reformed for reasons of flexibility, certainty and efficiency. The suggestion would be to reform in terms of arbitration law, for Indonesia to adopt with modifications provisions in regard to the appointment, selection and challenge of arbitrators in the UNCITRAL Model Law.

Prinsip party autonomy, kemampuan para pihak untuk menyesuaikan prosedur arbitrase mereka dengan kebutuhan dan maksud mereka dan mencakup hak dasar para pihak untuk dapat secara bebas menunjuk membentuk majelis mengajukan keberatan terhadap; dan memecat arbiter, dalam arbitrase memastikan bahwa proses arbitrase tetap fleksibel namun BANI, sebagai institusi arbitrase tertua di Indonesia, terkenal mempunyai pengaturan dan implementasi yang merendahkan party autonomy. Penelitian ini membahas perbedaan yang berkaitan dengan party autonomy dalam peraturan perundang-undangan dan arbitration rules yang mengatur proses beracara di BANI dibandingkan dengan SIAC. Penelitian ini juga membahas keperluan reformasi peraturan yang mengatur proses beracara di BANI. Penelitian dengan metode yuridis normatif yang menggunakan pendekatan komparatif ini menyimpulkan bahwa arbitrase institusional di BANI berbeda dengan SIAC, yang mana arbitrase institusional di BANI masih menghalangi party autonomy dalam hal ambang kualifikasi untuk arbiter, persyaratan keberatan terhadap arbiter dan ketidakmampuan untuk dapat menunjuk atau bahkan menominasikan seorang arbiter ketiga dalam suatu sidang membuat penggunaan BANI sangat tidak populer di wilayah Asia dibandingkan dengan SIAC. Peraturan yang mengatur proses beracara di BANI harus direformasi untuk meningkatkan fleksibilitas, kepastian hukum dan efisiensi dalam prosedur beracara BANI. Saran dalam penelitian ini adalah untuk merevisi UU No. 30 Tahun 1999 dan peraturan beracara di BANI dengan mengadopsi UNCITRAL Model Law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukma Sanali
"Tesis ini merupakan laporan penelitian tentang penanganan sengketa perbankan bidang perkreditan (selanjutnya disebut sengketa perbankan) oleh bank di pengadilan, bertujuan untuk menjawab pertanyaan akademis, bagaimana jika arbitrase dijadikan alternatif untuk menyelesaikan sengketa perbankan di Indonesia.
Penelitian ini adalah penelitian normatif dan empiris yang dimulai dengan meneliti data sekunder yang berupa literatur-literatur dan peraturan perundang-undangan serta yurisprudensi yang berkaitan. Selanjutnya, penelitian lapangan dilakukan di Kantor Pusat Bank BNI untuk memperoleh data bagaimana penyelesaian sengketa perbankan di Bank BNI oleh pengadilan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam penanganan sengketa perbankan yang diproses melalui pengadilan sering dihadapkan pada berbagai permasalahan yang erat kaitannya dengan bentuk penyelesaian sengketa, lamanya penyelesaian sengketa, adanya tuntutan hak yang tidak berdasarkan hukum serta sikap a priori pengadilan terhadap bank. Adanya permasalahan tersebut dapat menghambat bank dalam upaya menyelesaikan kredit macet karena dalam usahanya bank sebagian besar menggunakan dana yang berasal dari masyarakat. Untuk itu, perlu dicari alternatif bentuk penyelesaian sengketa yang lebih sesuai dengan ciri dan sifat usaha perbankan. Hal itu sesuai dengan pendapat bahwa untuk penyelesaian suatu sengketa seharusnya dipilih bentuk penyelesaian yang paling tepat.
Atas dasar hal tersebut, di antara bentuk penyelesaian sengketa yang ada, arbitrase akan lebih tepat menjadi alternatif untuk menyelesaikan sengketa perbankan di Indonesia karena arbitrase memberikan kebebasan, pilihan, otonomi, dan kerahasiaan. Di samping itu, putusan yang dikeluarkan oleh arbitrase bersifat final and binding sehingga kesemuanya itu lebih sesuai dengan ciri dan sifat usaha perbankan. Demikian pula arbitrase akan sangat penting dalam menghadapi internasionalisasi perbankan.
Untuk memberdayakan arbitrase dalam penyelesaian sengketa perbankan di Indonesia, para manajemen bank perlu merubah kebijaksanaan (hukum) penyelesaian sengketa perbankan yang timbul antara bank dengan nasabah debiturnya. Perubahan tersebut adalah mengenai kemungkinan memilih penyelesaian sengketa di samping melalui pengadilan, juga melalui arbitrase. Selain itu dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Arbitrase yang saat ini sudah disiapkan hendaknya pengaturan menyangkut perbankan memperoleh perhatian."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silitonga, Andri Malkiyano
"Perkembangan litigasi perubahan iklim dalam beberapa dekade terakhir memungkinkan individu dan kelompok mengajukan gugatan langsung terkait isu dan kebijakan perubahan iklim. Meskipun pengadilan berperan penting, penggunaan penyelesaian di luar pengadilan masih minim. Padahal, isu perubahan iklim bersifat luas, kompleks, dan melibatkan banyak pihak di luar batas yurisdiksi negara. Tulisan ini mengeksplorasi potensi mekanisme arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan untuk menangani sengketa yang berkaitan dengan perubahan iklim. Hasil yang ditemukan adalah sengketa perubahan iklim yang diajukan melalui arbitrase memiliki perbedaan karakteristik dibandingkan dengan forum pengadilan. Sengketa yang diajukan setidaknya merupakan isu peripheral, di mana perubahan iklim merupakan motivasi suatu gugatan meskipun bukan merupakan suatu bahasan secara utuh. Sengketa dapat diselesaikan dengan adanya mutual consent antara pihak, di mana sengketa yang timbul antara lain timbul dari perubahan komitmen pemerintah mengenai kebijakan perubahan iklim serta kegagalan pemerintah dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Di Indonesia, arbitrase dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa perubahan iklim dengan cara mengadakan arbitrase secara Ad hoc maupun institusional. Berkaca dari komitmen Indonesia terkait perubahan iklim, arbitrase memiliki potensi besar untuk menyelesaikan sengketa perubahan iklim yang timbul di masa depan.

The development of climate change litigation in recent decades has allowed individuals and groups to directly file lawsuits related to the issues and policies of climate change. Despite the crucial role of the courts, the use of non-litigation dispute resolution is still minimum. However, the issue of climate change is broad, complex, and involves many parties beyond the jurisdiction of a single country. This article explores the potential of arbitration mechanisms as a dispute resolution forum outside the court system to address disputes related to climate change. The findings indicate that climate change disputes submitted through arbitration exhibit different characteristics compared to court forums. These disputes are typically peripheral issues, where climate change serves as the motivation for a lawsuit rather than the main focus. Disputes can be resolved through mutual consent, with issues arising from changes in government commitments to climate change policies and the government's failure to address the impacts of climate change. In Indonesia, arbitration can be used to settle climate change disputes through ad hoc or institutional arbitration. Reflecting on Indonesia's commitment to climate change, arbitration has significant potential to resolve future climate change disputes."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novita Milanda
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S22986
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Hastutiningsih
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
S22995
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Derek Gunawan Joedaatmadja
"Sengketa yang timbul dari hubungan kontraktual tidak dapat dihindari, sehingga sangat penting untuk para pihak memiliki metode penyelesaian sengketa. Salah satu metode yang umum digunakan saat ini adalah arbitrase. Banyak perjanjian arbitrase internasional saat ini yang menggunakan mekanisme berjenjang dimana para pihak sepakat untuk melakukan metode penyelesaian sengketa alternatif terlebih dahulu. Sehubungan dengan hal tersebut, menjadi penting untuk memahami apakah klausul penyelesaian sengketa berjenjang merupakan perjanjian arbitrase yang sah dan mengikat. Umumnya, dalam menentukan keabsahan klausul penyelesaian sengketa berjenjang, uji ‘tribunal versus claim’ akan digunakan untuk menyimpulkan apakah masalah dengan klausul tersebut berkaitan dengan yurisdiksi majelis arbitrase atau keabsahan klaim. Jika masalahnya terkait dengan yurisdiksi majelis arbitrase, masalah yang mendasarinya adalah bahwa para pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Di sisi lain, jika masalahnya adalah mengenai keabsahan klaim, para pihak dianggap setuju untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, namun klaim tidak dapat diterima karena alasan-alasan seperti ketidaktepatan waktu atau prematur. Pengadilan Singapura dan Hong Kong SAR telah memutuskan klausul penyelesaian sengketa berjenjang melalui proses penangguhan arbitrase. Baik Pengadilan Singapura dan Pengadilan SAR Hong Kong telah memutuskan bahwa klausul penyelesaian sengketa berjenjang dapat diterima. Namun, Pengadilan Singapura memandang bahwa kegagalan untuk memenuhi serangkaian prasyarat membuat majelis arbitrase tidak memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut. Di sisi lain, Pengadilan SAR Hong Kong memandang bahwa sejauh para pihak setuju untuk melaksanakan arbitrase, majelis arbitrase akan memiliki yurisdiksi dan dapat menggunakan yurisdiksi tersebut untuk memerintahkan para pihak untuk melakukan kegiatan apapun untuk memenuhi prasyarat tersebut. Ketentuan hukum Indonesia tidak secara khusus mengatur mengenai klausul penyelesaian sengketa berjenjang, namun klausul-klausul tersebut telah lazim dalam praktik.

Disputes arising from contractual relations is inevitable, it is imperative for the parties to have a method of dispute resolution. One of the commonly used method today is arbitration. Many present international arbitration agreements utilize a multi-tiered mechanism whereby parties will agree to conduct alternative dispute resolution methods first. In relation to the foregoing, it becomes important to understand whether a multi-tiered dispute resolution clause constitutes a valid and binding arbitration agreement. Generally, in determining the validity of a multi-tiered dispute resolution clause, a 'tribunal versus claim' test will be used to conclude whether the issue with such clause relates to the jurisdiction of the arbitral tribunal or the admissibility of a claim. Should the matter be regarding jurisdiction of an arbitral tribunal, the underlying issue is that parties have not properly agreed to resolve the dispute through arbitration. On the other hand, if the matter is concerning admissibility, the parties are deemed to agree to resolve the dispute through arbitration, however the claim is not admissible due to reasons such as untimeliness or prematurity. Singaporean and Hong Kong SAR Courts have ruled on multi-tiered dispute resolution clauses through stay of arbitration proceedings. Both Singaporean and Hong Kong SAR Courts have ruled that a multi-tiered dispute resolution clause are acceptable. However, Singaporean Courts viewed that failure to fulfill a set of preconditions renders an arbitral tribunal to not have jurisdiction on the case. On the other hand, Hong Kong SAR Courts viewed that insofar the parties agree to arbitrate, the arbitral tribunal will have jurisdiction and may use such jurisdiction to instruct parties to conduct any activity to fulfill such preconditions. Indonesian statutory provisions do not necessarily shed a light on multi-tiered dispute resolution clauses, however such clauses are already prevalent in practice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Setianingsih Suwardi
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2006
341.52 SRI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>