Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101149 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Prathama Wibisono
"ABSTRAK
Background Mental emotional disorder becomes one of among top five sources of premature death and disability in many countries around the globe. Several studies reveal that mental health problems are very common among the college student, resulting almost half of college students population having mental health problems. The aim of this study is to find out the prevalence of mental emotional disorder among the first year medical and also to identify whether or not the trend of mental emotional disorder is increase in medical student after 1 year of medical education.Methods The total population of this study is 44 people that consist of men and women aged range from 18 to 24 years from international class medical students in the third semester. This study used the pre post study design. In addition, this study rsquo s population is the international class medical students of Universitas Indonesia Batch 2015. They underwent SRQ 20 both in the beginning of medical education and after 1 year of medical education which is in 2015 and 2016 respectively. In addition, they also conducted Holme Rahes questionnaire and open questions in 2016 after 1 year of medical education.Results The prevalence of mental emotional disorder is 34.1 of total population after 1 year of medical education. Meanwhile, the frequency of mental emotional disorder in 2015 of this population is none. There are some changes comparing mental emotional disorders in 2015 and 2016 that the changes of differences in mean score of 5.909.

ABSTRAK
Gangguan mental-emosional menjadi salah satu dari 5 sumber penyebabnya kematian dini dan kecacatan di beberapa negara seluruh dunia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental sangat banyak ditemukan pada mahasiswa, yaitu hampir setengah dari setengah populasi mahasiswa mempunya masalah kesehatan mental. Tujuan dari penelitian ini adalah menemukan prevalensi gangguan mental-emotional pada mahasiswa kedokteran tahun pertama dan mengidentifikasi apakah kecenderungan gangguan mental-emosional akan bertambah pada mahasiswa kedokteran setelah menjalani satu tahun pembelajaran ilmu kedokteran.Metode: Total populasi dari penelitian ini adalah 44 mahasiswa yang terdiri atas pria dan wanita rentang umur mulai dari 18 sampai 24 tahun dari mahasiswa kedokteran kelas internasional semester tiga. Penelitian ini memakai pre dan post desain. Selanjutnya, populasi pada penelitian ini adalah mahasiwa kedokteran kelas internasional Universitas Indonesia angkatan 2015. Mereka telah melakukan pengisian kuisioner SRQ-20 saat mereka memulai pembelajaran kedokteran pada tahun 2015 dan setelah mereka melewati 1 tahun pertama pembelajaran kedokteran pada tahun 2016. Setelah itu, mereka juga telah mengisi kuisioner Holme-Rahes dan pertanyaan-pertanyaan terbuka pada tahun 2016 setelah 1 tahun pertama pembelajaran kedokteran.Hasil: Prevalensi dari gangguan mental-emotional adalah 34.1 dari total populasi penelitian ini setelah menjalani 1 tahun pertama pembelajaran kedokteran. Selain itu, frekuensi gangguan mental-emosional pada populasi penelitian ini tahun 2015 tidak ada. Terdapat beberapa perubahan saat membandingkan gangguan mental-emosional pada tahun 2015 dan 2016, yaitu perubahan dari rata-rata nilai sebesar 5.909"
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ekowati Rahajeng
"Sebagian besar pasien dengan gangguan mental emosional pertama-tama belum berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan jiwa. Pasien gangguan mental emosional yang berobat ke Puskesmas wilayah Jakarta Timur hanya 1,88 % dari kasus yang ada di masyarakat dengan rata-rata kunjungan 1,31 kali pada tahun 1994. Agar gangguan tersebut tidak menjadi berat atau menjadi penyakit lain, maka diperlukan pengobatan sedini mungkin. Untuk mencapai maksud tersebut, yang menjadi masalah penelitian ini adalah bagaimana pola perilaku pencarian pengobatan dari pasien gangguan mental emosional dan faktor-faktor apa yang berhubungan dengan perilaku tersebut.
Jenis disain penelitian ini adalah crossectional, namun menggunakan analisis yang lazim digunakan pada studi case control pada penduduk dewasa (17 tahun ke atas) yang mengalami gangguan mental emosional. Gangguan mental emosional ditetapkan berdasarkan pengisian instrumen Self Reporting Questionnaire (SRQ) dengan cut-off points 6. Pengambilan sampel dilakukan secara systematic random sampling dengan sampling fraction 9. Unit sampel adalah rumah tangga dengan jumlah 650 KK yang meliputi 1950 penduduk dewasa sehat. Sampel pasien gangguan mental emosional yang diteliti berjumlah 446 kasus. Untuk mengetahui hubungan faktor dengan perilaku pengobatan dilakukan perhitungan Odds ratio melalui analisis regresi logistik multivariat.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pola perilaku pengobatan pertama pasien gangguan mental emmosional di Kelurahan Pulogadung adalah melakukan pengobatan sandhi 27,8 %, ke dokter umum 18,4 %, tidak mencari pengobatan 17,4 %, ke Puskesmas 13,2 %, ke pengobat tradisional 8,7 %, ke rumah sakit umum 6,1 %, ke spesialis penyakit dalarn 5,8 % dan ke psikiater 2,5 %. Pasien yang melakukan kegiatan rujukan adalah 23,6 %. Sebagian besar pasien yang melakukan rujukan dan pasien yang melakukan pengobatan selanjutnya tidak berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan jiwa.
Pasien gangguan mental emosional lebih mungkin tidak mencari pengobatan apabila pasien tidak merasa terganggu akibat gangguan mental emosional yang dialaminya (OR 0,01 ; 95% Cl 1,5E-03 - 0,02), kurang mendapatkan informasi pelayanan kesehatan jiwa (OR 0,49 ; 95% CI 0,25 - 0,95) dan apabila pasien malu berobat ke psikiater (OR 2,24 ; 95% 1,02 - 4,85).
Pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat diharapkan tidak hanya menunggu pasien datang berobat ke fasilitas kesehatan jiwa. Kegiatan pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas perlu dikembangkan dalam kegiatan Puskesmas lainnya (Taruna Husada, Sala Shakti Husada dan sebagainya). Pelayanan prevensi sekunder (mendorong pasien berobat) melalui peningkatan pengetahuan gangguan mental emosional dan fasilitas pengobatannya perlu lebih diprioritaskan. Penyegaran pengetahuan gangguan mental emosional terhadap dokter umum perlu dilakukan secara periodik. Peningkatan mutu pelayanan jiwa di Puskesmas dan pembinaan pengobat tradisional perlu lebih diperhatikan. Disamping itu perlu juga dipertimbangkan tentang perubahan konsep figur psikiater di masyarakat.

Most patients with mental emotional disorder didn't visit health facility with mental health service at the first treatment. There is only 1,8 % of people with mental emotional disorder who visited Puskesmas at East Jakarta with average 1.31 visit in 1994. To prevent the disturbance become more severe or to become another illness, early treatment is needed. To reach the purpose, the problem of this study is to identify health seeking treatment pattern of patient with mental emotional disturbance and to find factors which was associated with the behavior treatment.
The study design is cross sectional study but method of analysis is case control. Sample of the study are adult (17 years or more) who experience mental emotional disorder. The criteria of mental emotional disorder is based on answers of Self Reporting Questionnaire (SRQ) with cut-off 6. Sampling method is systematic random sampling with sampling fraction of 9. Sampling unit is household with totally 650 household which include 1950 adult with good health. Sample of patient with mental emotional disorder are 446 cases. To identify relationship between factors with health seeking treatment, logistic regression with odds ratio is applied.
The result showed that for the first treatment there is 27,8% of the mental emotional disorder patients performing self medication, 18,4% visit medical doctor, 17,4 % didn't seek any treatment, 13,2 % visit Puskesmas, 8,7 % going to traditional healer, 6,1% to general hospital, 5,8% visit internist and 2,5% visit psychiatrist. There where 23,6 patient who were given referral. Most of the patients who were referred or patient who continue the treatment didn't visit health facility with mental health service.
Patients with mental emotional disorder probably not seek any treatment if they didn't feel uncomfortable with the disturbance they experienced (OR 0,01 ; 95% CI 1,5E-03 - 0,02), did not obtained enough information about mental health service (OR 0,49 ; 95% CI 0,25 - 0,95), or if the patient was ashamed to visit psichiatrist (OR 2,24 ; 95% CI 1,02 - 4,85).
Patients with mental emotional disorder probably would performed self medication if their social economic status is low (OR moderat 0,52 ; 95% CI 0,06-0,83; OR high 0,45 ; 95% CI 0,04-0,62), if they were not bothered by the disturbance they experienced (OR 0,47; 95% CI 0,03-0,91), didn't consider the disturbance as severe (OR 0,54 ; 95% CI 0,07-0,91), didn't obtained enough information on the mental health service (OR 0,52 ; 95% CI 0,06-0,79), were not suggested to have treatment (OR 0,45 ; 95 % CI 0,04-0,57), they have no work (OR 0,35 ; 95 %CI 0,17-0,67) and if they are Askes member (OR 2,48 ; 95% CI 2,40-17,54).
Patients with mental emotional disorder will probably visit traditional healer if they have expectation that the treatment not only give drug (OR 8,76 ; 95% CI 1,86 - 42,26), have supernatural believe (OR 7,53; 95% CI 3,15-40,22), and have enough knowledge on the traditional healer service (OR. 6,67; 95% CI 1.86-23,57), did not feel comfortable with the disturbance they experienced (OR 8,84; 95% CI 3,00 - 26,05), their knowledge on the mental emotional disorder was not good (OR 0,12;95% CI 0,03-0,56), and have no information on the mental emotional service (OR. 0,25; 95% CI 0,06-0,98).
Patients with mental emotional disorder will probably visit mental health service if they felt disturbed (OR 4,43 ; 95% CI 1,76 - 11,13), did not have senior high school or more education (OR 0,36 ; 95% CI 0,16 - 0,81), expected to be given more than just drug (OR 5,93 ; 95% CI 1,93 - 18,17), feeling that the high cost of the treatment influence the effort to seek treatment (OR 7,17 ; 95 % CI 2,83 - 17,81), obtained enough information on the mental health service (OR 5,22 ; 95% CI 2,34 - 11,59), and did not feel ashamed to visit psychiatrist (OR 0,43; 95% CI 0,18 - 0,99).
Patients with mental emotional disorder will probably visit Puskesmas if they feel bothered (OR 14,41 ; 95% CI 4,14 - 50,40), feeling the cost of the treatment influence the effort of seeking treatment (OR. 4,28 ; 95% CI 1,39 - 13,06), their social economic status is low (OR high 0,11 ; 95 % CI 0,03 - 0,37), lived near to Puskesmas (OR 0,21 ; 95% CI 0,06 - 0,77), realize that there is mental health service in the Puskesmas (OR 14,31 ; 95 % CI 4,09 - 49,89), did not know about traditional service (OR 0,05 ; 95 % CI 0,01 - 0,25), did not have knowledge about the general health service (OR 0,23; 95% CI 0,07 - 077), and the healer attitude did not influence the choice of treatment (OR 0,35 ; 95 % CI 0,14 - 0,88).
Mental health service in the public is expected not only waited patients to visit the mental health service. Mental health service at the Puskesmas needs to be integrated and to be developed with the other Puskesmas activity (Taruna Husada, Bhakti Husada, Karang Werdha). Secondary prevention thru knowledge development on the mental emotional disorder, treatment facility and early detection should be give more priority. Knowledge refreshment on the mental emotional disorder to medical doctor needed to be in force periodically. Quality improvement of health service in Puskesmas' and education of traditional healer need to be given more attention. The figure of psychiatrist in the society need to changed as well.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panggabean, Laurentius
"Latar belakang dan tujuan
Pekerja dalam melakukan pekerjaannya berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Keselamatan pekerja merupakan hal yang penting mengingat pekerja adalah sumber daya yang diharapkan mampu berproduksi secara optimal. Keselamatan pekerja juga akan mengurangi angka kecelakaan kerja baik yang merugikan pekerja sendiri maupun orang lain yang berada di lingkungannya serta alat produksi. Faktor lingkungan pada pekerja di sektor kelistrikan seperti medan elektromagnit dapat menjadi gangguan keseimbangan lingkungan ekosistem bagi seseorang.
Metode
Penelitian ini dilakukan secara cross sectional dengan perbandingan internal pada populasi tertentu yaitu karyawan PT X Jakarta yang bekerja di tempat dengan pajanan yang tinggi dan di tempat dengan pajanan yang rendah. Pengukuran pada karyawan meliputi nilai SCL-90, Survei Diagnostik Stres, dan Data sosiodemografi.
Hasil
Medan listrik pada tempat dengan pajanan tinggi adalah 4.980 V/m masih di bawah nilai ambang batas yang dianjurkan untuk frekuensi 50/60 Hz yaitu 10.000 V/m untuk medan listrik dan 4,6 A/m untuk medan magnit yang juga masih di bawah ambang batas yaitu 398 A/m. Jumlah sampel yang diteliti adalah 164 karyawan sesuai jumlah sampel yang diperlukan masing-masing kelompok sama yaitu 82 orang. Pada kelompok subyek yang bekerja di tempat dengan pajanan medan elektromagnit tinggi didapat prevalensi gangguan mental 56% sedangkan pada kelompok yang bekerja di tempat dengan pajanan rendah didapat prevalensi gangguan mental 39,02% dengan perbedaan yang bermakna (p
Kesimpulan
Gangguan mental emosional tidak berhubungan secara bermakna dengan pajanan medan elektromagnit. Gangguan mental emosional berhubungan dengan stresor ketaksaan peran dan pengembangan karir.

Workers needed safety work protection ordered by the Safety Law in Workplace, Law Number 1, Year 1970. Safety was very important to have workers work optimally, as well as decreasing the number of accidents in workplace and to have production instruments. In such as the working place, electromagnetic fields was one of the factors interfered the ecosystem balance of work.
Method
This study was a cross sectional design with internal comparison. The population were workers of PT "X" Jakarta consisted of high exposed and low exposed groups. The SCL90 instrument was used to measure the mental emotional disorder.
Results
The electric field as well as the magnetic field in the high exposed workplace were 4.980 V/m and 4,6 V /m below the limit of threshold value 10.000 V/m for electrical field and 398 V /m for magnetic field. Number of samples collected were 164 workers, each 82 for high exposed group and for low exposed group. The prevalence of mental disorder in high exposed group was 56,00% and in the low exposed group was 39,09% when the difference was significant. (p<0,05). Mental emotional disorder did not correlate with age, job position, level and education. The bivariate analysis showed that mental emotional disorder correlated with career development, ambiguity, responsibility for people, conflict, overloaded quantitative role, overloaded qualitative role, workplace and period of work. The logistic regression function identified that career development and role ambiquity correlated with mental emotional disorder while workplace had no correlation with mental emotional disorder.
Conclusion
Mental emotional disorders had no significant correlation with electromagnetic fields. Mental emotional disorder had significant correlation with career development and role ambiguity.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suyoko
"Di Provinsi DKI Jakarta gangguan mental emosional khususnya pada lansia menjadi masalah seiring dengan bertambahnya jumlah lansia. Tujuan penelitian adalah mengetahui prevalensi, distribusi dan perbedaan proporsi faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan mental emosional pada lansia .Metode penelitian ini adalah cross sectional dengan menggunakan data Riskesdas tahun 2007. Hasil Penelitian prevalensi sebesar 21,1%, Berdasarkan umur proporsi gangguan mental emosional pada lansia lebih besar pada umur ≥ 70 tahun (21,0%), lebih besar pada jenis kelamin perempuan (26,0%), lebih besar pada tingkat pendidikan rendah (26,8%), lebih besar pada yang tidak bekerja (24,2%), lebih besar pada status ekonomi tinggi (24,1%), lebih besar pada anggota keluarga (25,3%), lebih besar pada yang cerai (30,6%), lebih besar pada yang menderita DM (31,6%), lebih besar pada yang menderita hipertensi (29,9%), lebih besar pada menderita gangguan sendi (26,2%) lebih besar pada yang kurus (27,4%) lebih besar pada yang tidak mandiri (46,5%).

In Jakarta Provincial mental disorders in the elderly in particular emotional an issue as the number of elderly. The research objective was to determine the prevalence, distribution and differences in the proportion of risk factors related with emotional mental disorder in the elderly. This method is a cross sectional study using data Riskesdas 2007. Research a prevalence of 21.1%, Based on the emotional life of the proportion of mental disorders in the elderly greater at age ≥ 70 years (21.0%), greater in the female sex (26.0%), greater in the low education level (26.8%), greater in that it does not work (24.2%), greater in the high economic status (24.1%), greater in family members (25.3%), greater in the divorce (30.6%), which suffer greater in DM (31.6%), greater in hypertensive (29.9%), greater in suffering from joint disorders (26.2%) greater in the lean (27.4%) was greater in the dependent (46.5%)."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pramudya Sekar Arum
"Penelitian ini menganalisis tentang implementasi informed consent, kedudukan, dan peranan informed consent bagi pasien ODGJ di RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang (Soerojo Hospital). Masalah yang dibahas adalah mengenai implementasi informed consent bagi pasien ODGJ dan kedudukan serta peranan Soerojo Hospital dalam pengimplementasian informed consent. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal. Implementasi informed consent bagi pasien ODGJ tanpa wali di Soerojo Hospital dilakukan melalui berbagai tahapan. Jika tidak ditemukan wali/keluarga pasien maka yang bertanggung jawab penuh adalah dari pihak Soerojo Hospital. Kedudukan Soerojo Hospital sebagai penanggung jawab tertuang dalam Kepdirut Nomor HK.HK.01.08/XXVI.3/1476/2022 dan Kepdirut Nomor HK.01.07/XXVI.3/2099/2019. Soerojo Hospital bertanggung jawab langsung atas segala tindakan medis yang dilaksanakan dan harus sesuai dengan kesepakatan atau informed consent yang disepakati oleh pasien. Dalam praktiknya, antara peraturan perundang-undangan dengan Kepdirut Soerojo Hospital dalam hal implementasi informed consent dan kedudukan rumah sakit sudah sesuai namun harus tetap dipertahankan dan ditingkatkan demi kesejahteraan pasien.

This study analyzed the implementation of informed consent, its status, and its role for patients with mental disorders at Prof. Dr. Soerojo Magelang Psychiatric Hospital (Soerojo Hospital). The issues discussed include the implementation of informed consent for patients with mental disorders and the position and role of Soerojo Hospital in the implementation of informed consent. This study employed doctrinal research methods. The implementation of informed consent for patients with mental disorders without guardians at Soerojo Hospital is conducted through various stages. If no guardian or family member is found, Soerojo Hospital assumes full responsibility. The position of Soerojo Hospital as the responsible party is stipulated in Director’s Decree Number HK.HK.01.08/XXVI.3/1476/2022 and Director’s Decree Number HK.01.07/XXVI.3/2099/2019. Soerojo Hospital is directly responsible for all medical actions, which must follow the informed consent agreed by the patient. In practice, the regulations and the Director’s Decrees of Soerojo Hospital regarding the implementation of informed consent and the hospital's position are aligned, but continuous maintenance and enhancement are necessary for the patient's well-being."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Khusnul Ch
"Gangguan kesehatan mental yang merupakan gejala awal kesehatan jiwa khususnya depresi memberikan kontribusi yang besar bagi beban penyakit. Depresi menjadi beban penyakit nomor tiga di seluruh dunia, menempati urutan kedelapan di negara-negara berkembang, dan menempati urutan pertama pada negara dengan penghasilan menengah keatas.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan mental emosional pada lansia Perdesaan di Indonesia. Design study yang digunakan adalah cross-sectional menggunakan data lanjutan dari hasil Riskesdas 2013 dengan sampel lansia berusia ≥60 tahun yang berada di wiayah Perdesaan di Indonesia dan memiliki data variabel lengkap yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu 49246 sampel.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa umur lansia ≥75 tahun berisiko 1.7 kali (95%CI=1.614- 1.809), perempuan berisiko 1.4 kali (95%CI=1.364-1.517), status perkawinan yang tidak menikah berisiko 1.7 kali (95%CI=1.370-2.201), pendidikan rendah berisiko 3.1 kali (95%CI=1.965-4.710), tidak bekerja berisiko 2.2 kali (95%CI=2.060-2.218), status sosial ekonomi terbawah berisiko 1.8 kali (95%CI=1.633-2.138), status gizi kurang berisiko 1.6 kali (95%CI=1.500-1.706), memiliki penyakit kronis berisiko 1.9 kali (95%CI=1.783-1.984), mengalami disabilitas berisiko 8 kali (95%CI=7.446-8.727), kurang aktifitas fisik perminggu berisiko 1.6 kali (95%CI=1.468-1.759), dan tidak merokok memproteksi 0.6 kali (95%CI =0.619-0.711) untuk mengalami gangguan mental emosional didaerah Perdesaan.
Kesimpulan, bagi lansia sebaiknya mempunyai aktifitas baik dirumah ataupun diluar rumah, menerapkan pola hidup sehat agar menurunkan faktor risiko gangguan mental emosional dan mendekatkan diri kepada Allah SWT agar hati dan jiwa tentram, serta berpikir positive.

Mental health disorders are early symptoms of mental health, especially depression that provide a major contribution to the burden of disease. Depression become number three worldwide burden of disease, number eight in developing country and become the first in developed country.
This study aims to determine the prevalence of and factors associated with emotional mental disorders on elderly in Indonesian rural areas. Design study is cross-sectional, use of advanced Riskesdas 2013 data with sample of elderly aged ≥60 years who are in rural area in Indonesia and variable data required in this study is 49.246 samples.
The results of this study indicate that the elderly ≥75 years of age at risk of 1.7 (95% CI = 1614-1809), women at risk of 1.4 (95% CI = 1364-1517), not married (marital status) at risk of 1.7 (95% CI = 1370-2201), low education risk 3.1 times (95% CI = 1965-4710), unemployee at risk of 2.2 (95% CI = 2060-2218), socioeconomic status, the lowest risk of 1.8 (95% CI = 1633-2138 ), nutritional status is less risk of 1.6 (95% CI = 1500-1706), had 1.9 times the risk of chronic disease (95% CI = 1783-1984), disability risk 8 times (95% CI = 7446-8727), less physical activity at risk of 1.6 (95% CI = 1468-1759), not eating fruit at risk 1.2 times (95% CI = 1191-1399), vegetable consume less risk 1.4 times (95% CI = 1389-1547) and not smoke protect 0.6 times (95% CI = 0619-0711) for mental emotional disorder in rural areas.
Conclusion, for elderly women should have a good activity at home or outside the home, adopting a healthy lifestyle in order to lower the risk factors for mental disorders of emotional and pray a lot to Allah SWT to be the heart and soul at ease, as well as positive thinking.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
S63754
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Yunia Fitriani
"ABSTRAK
Pendahuluan. Gangguan mental emosional adalah keadaan distress psikologik yang jika tidak ditangani dengan baik, dapat menyebabkan gangguan jiwa berat dan disabilitas. Prevalensi gangguan mental emosional yang dialami oleh perawat perempuan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Dr.Cipto Mangunkusumo, rumah sakit rujukan tersier di Indonesia, pada tahun 1998 adalah sebesar 17,7%. Salah satu bahaya potensial psikososial yang diduga berhubungan dengan gangguan kesehatan mental adalah konflik pekerjaan-keluarga.
Metode. Disain penelitian menggunakan studi potong lintang dengan mencari hubungan antara variabel bebas konflik pekerjaan-keluarga dan faktor individu serta faktor pekerjaan lainnya dengan variabel terikatnya yaitu gangguan mental emosional. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner konflik pekerjaan-keluarga, SRQ 20 dengan populasi penelitian perawat perempuan yang bekerja di RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo.
Hasil. Prevalensi gangguan mental emosional pada perawat perempuan di RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo adalah sebesar 23,5%. Faktor paling dominan yang berhubungan dengan gangguan mental emosional pada perawat perempuan di RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo adalah konflik pekerjaan-keluarga (OR 2,59, CI 95% 1,44-4,65, p<0,001) dan tingkat pendidikan (OR 0,07, CI 95% 0,01-0,62, p:0,010).
Kesimpulan. Didapatkan hubungan yang bermakna antara konflik pekerjaan-keluarga dengan gangguan mental emosional pada perawat perempuan di Indonesia.

ABSTRACT
Introduction: Emotional mental disorder is a state of psychological distress that, if not handled properly, can lead to severe mental disorders and disabilities. The prevalence of emotional mental disorder experienced by female nurses at the National General Hospital (RSUPN) Dr.Cipto Mangunkusumo, tertiary referral hospital in Indonesia, in 1998 was 17.7%. One potential psychosocial hazard that is thought to be related to mental health disorders is the work-family conflict.
Methods: This was a cross-sectional study by looking for relationship between the independent variable work-family conflict, individual factors and work factors with dependent variable emotional mental disorder. The instruments used in this study are work-family conflict questionnaire and SRQ 20 with study population is female nurses whom are working at RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo.
Results: The prevalence of emotional mental disorder in female nurses at Dr.Cipto Mangunkusumo RSUPN is 23.5%. The most dominant factor associated with emotional mental disorder in female nurses at RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo is work-family conflict (OR 2,59, CI 95% 1,44-4,65, p<0,001) and level of education (OR 0,07, CI 95% 0,01-0,62, p:0,010).
Conclusion: There is a significant relationship between work-family conflicts and emotional mental disorders in female nurses in Indonesia."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azkia Ikrima
"Gangguan mental emosional merupakan gangguan kesehatan yang terjadi di seluruh negara yang dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang dan dapat terjadi pada seluruh kalangan usia. Lansia merupakan salah satu kelompok usia berisiko terkena gangguan mental emosional sebagai akibat dari berkurangnya kemampuan fisik dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat ketidakmampuan fisik terhadap gangguan mental emosional yang dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya. Studi ini menggunakan desain cross-sectional. Subjek penelitian ini adalah seluruh lansia yang tercatat dalam Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat ketidakmampuan fisik terhadap gangguan mental emosional secara statistik (p = 0,000<0,05), dengan tingkat ketergantungan ringan (PR = 2,021, 95% CI (1,936-2,109)), ketergantungan sedang (PR = 3,189, 95% CI (2,818-3,610)), ketergantungan berat (PR = 3,350, 95% CI (2,920-3,843), dan ketergantungan total (PR = 2,770, 95% CI (2,419-3,173)) setelah dikontrol oleh variabel pendidikan dan jumlah riwayat penyakit kronis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan tingkat ketidakmampuan fisik terhadap gangguan mental emosional baik setelah di kontrol oleh variabel pendidikan dan jumlah riwayat penyakit kronis.

Emotional mental disorders are health problems that occur in all countries that can affect a person's quality of life and can occur in all age groups. Elderly is one of the age groups at risk for mental-emotional disorders as a result of reduced physical ability to carry out daily activities. Therefore, this study aims to determine the relationship between the level of physical disability and emotional mental disorders that are influenced by other variables. This study used a cross-sectional design. The subjects of this study were all elderly people who were recorded in the 2018 Riset Kesehatan Dasar who met the inclusion criteria. The results showed that there was a statistically significant relationship between the level of physical disability and emotional mental disorders (p = 0.000 <0.05), with a mild degree of dependence (PR = 2.021, 95% CI (1.936-2.109)), moderate dependence (PR = 3.189, 95% CI (2.818-3.610)), severe dependence (PR = 3.350, 95% CI (2.920-3.843), and total dependence (PR = 2.770, 95% CI (2.419-3.173)) after being controlled by variable education and the number of history of chronic disease.So it can be concluded that there is a relationship between the level of physical disability with mental emotional disorders after being controlled by the education variable and the number of history of chronic disease."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkarnain
"Ruang lingkup dan Cara penelitian: Bus kota merupakan sarana transportasi penting pada masyarakat perkotaan, terutama Jakarta dan sekitarnya. Mengemudi bus kota merupakan ciri pekerjaan yang mengandung banyak masalah, seperti kemacetan lalu lintas, jam kerja yang tidak menentu, risiko kecelakaan, gangguan keamanan oleh ancaman penumpang dan penodongan, dan sebagainya. Semua masalah ini dapat menimbulkan stres kerja. Stres kerja dapat menimbulkan dampak bagi kesehatan pengemudi, diantaranya hipertensi dan gangguan mental emosional. Penelitian stres di Indonesia masih langka, terutama penelitian untuk pekerja kerah biru seperti pengemudi bus kota.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka prevalensi gangguan mental emosional dan hipertensi pengemudi bus kota dan apakah ada hubungannya dengan stres kerja yang dirasakannya. Penelitian ini dilakukan pada pengemudi bus kota di Tangerang. Alat ukur untuk mengukur stres kerja dipergunakan instrumen yang dikembangkan Winkleby yang telah dimodifikasi. Penilaian stres kerja yang dilakukan oleh instrumen ini bersifat self reported stresors. Alat ukur untuk menilai gangguan mental emosional dipergunakan instrumen kuesioner Symptom Check List 90 (SCL 90). Alat ukur untuk mengukur tekanan darah dipergunakan spighmomanometer air raksa merek Nova, dan mengikuti protokol WHO 1978.
Desain yang dipergunakan pada penelitian ini adalah studi potong tintang (Cross sectional), terhadap 287 subjek penelitian. Data yang terkumpul dianalisis dengan analisis bivariat, kemudian anatisis regresi logistik ganda.
Prevalensi gangguan mental emosional pada pengemudi bus kota 29,3%. Ada hubungan bermakna antara stres kerja dengan gangguan mental emosional. Risiko terjadinya gangguan mental emosional pada pengemudi bus yang mengalami stres tinggi 6,35 lebih tinggi dibandingkan dengan yang mengalami stres rendah. Risiko terjadinya gangguan mental emosional pengemudi yang mengalami hipertensi mempunya risiko 1,96 kali lebih tinggi dibandingkan dengan non hipertensi. Hubungan antara hipertensi dengan gangguan mental emosional mungkin disebabkan oleh dua hal. Pertama, keluhan subjektif pada skala somatisasi merupakan bagian dari gejala hipertensi. Kedua, hipertensi dan gangguan mental emosional merupakan co morbiditas. Bila diperhatikan anatisis logistik ganda hubungan stres kerja dengan gangguan mental emosional tetap positif dan dominan, maka faktor hipertensi kurang begitu panting mempengaruhi gangguan mental emosional. Meskipun demikian, adanya hipertensi pada pengemudi turut meningkatkan gangguan mental emosional hampir dua kali.
Prevalensi hipertensi pada pengemudi bus kota 25,8%. Tidak ada hubungan bermakna antara stres kerja dengan hipertensi. Risiko terjadinya hipertensi pada pengemudi yang gemuk 1,86 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pengemudi yang tidak gemuk.

The Relationship of Occupational Stress to Mental Emotion& Disturbance (Study among City Bus Drivers on a Bus Company in Tangerang, 1997) City bus is an important transportation equipment of Urban Community, particularly in Jakarta and surrounding. Driving the bus is an occupation characterized as having so many problems such as traffic jam, long working hours, accident risk, security annoyance by passengers and an threat. All of the problems may lead to occupational stress and then may lead to outcomes in drivers health such as Hypertension and Mental emotional disturbance. Studies of stress in Indonesia is still rarely, particularly studies on blue collar workers as city bus drivers.
The objectives of this study are to ascertain prevalence of hypertension and mental emotional disturbance and whether an association exist between hypertension, mental emotional disturbance of city bus drivers and their occupational stress felt. This study was carried out on city bus drivers in Tangerang. The instrument for measuring occupational stress was used a questionnaire of Winkleby developed that was modified. This measurement of occupational stress was used an instrument that have the character of self report stressors. The instrument for measuring mental emotional disturbance was used a questionnaire SCL 90. The instrument for measuring blood pressure was used a Mercurial Sphygmomanometer" NOVA' and according to WHO 1978 Protocol.
Design of this study was applied Cross sectional method of 287 subjects study. Collected data were processed by bivariate analysis, and then Multivariate analysis by Multiple logistic regression analysis.
Prevalence of mental emotional disturbance on city bus drivers is 29,3%. There were significant association between Occupational stress with Mental emotional disturbance. Mental emotional disturbance risk of drivers with high level stress 6,35 times more than low level stress. Mental emotional disturbance risk of drivers with hypertension 1.96 times more than drivers with hypertension. The relationships between hypertension and mental emotional disturbance may be caused by two reasons. First, subjective complaints on somatisation scale is a part of hypertension symptoms. Secondly, hypertension and mental emotional disturbance are co-morbidity phenomenon. When we see about multiple logistic regression analysis on relationships of occupational stress with mental emotional disturbance is constant and dominant, therefore hypertension factors less than importance to lead emotional mental disturbance. Nevertheless, hypertension of the drivers to share in confirming mental emotional disturbance increasing twice.
Prevalence of Hypertension on city bus drivers is 25,8%. There were no association between occupational stress and Hypertension. Hypertension risk of obese drivers were 1.86 times more than non obese drivers.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Anggara Kridahutama
"Tindakan Restrain merupakan tindakan yang mempunyai resiko tinggi sehingga memerlukan 'Informed Consent'. Tindakan Restrain biasanya diberikan kepada pasien gangguan jiwa dengan kondisi amuk. Kondisi amuk ini tidak dapat diprediksi kapan terjadinya.  Skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam penerapan 'Informed Consent 'pada pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa serta bagaimana peranan 'Informed Consent 'dalam tindakan restrain pada pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif, dengan sumber data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah hubungan antara dokter dan pasien dalam 'Informed Consent' pada pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa adalah berdasarkan hubungan transaksi terapeutik. Selain itu, 'Informed Consent' dalam tindakan restrain pada pasien gangguan jiwa di Rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor tidak diatur dalam formulir tersendiri, melainkan diatur secara umum pada formulir  'General Consent'.
Penulis memberikan saran bahwa apabila tindakan restrain di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor memang diatur secara umum pada 'General Consent', maka jenis persetujuannya berupa 'Presumed Consent' dan pada saat pelaksanaan 'General Consent 'tersebut, dokter harus memberitahukan kepada pihak keluarga bahwa sewaktu-waktu apabila diperlukan pasien akan diberikan tindakan restrain oleh dokter. Selain itu, Menteri Kesehatan perlu membuat peraturan berupa PERMENKES mengenai tindakan restrain agar dokter dan masyarakat mendapatkan kepastian hukum terkait tindakan restrain yang hendak dilakukan.

Restraint is an action that posses high-risk so it needs an Informed Consent. Restraint often given to the Mental Disorders Patients with tantrums. Tantrums, could not be predicted in any way. This  thesis  consisting how law relating between doctors and patients in conditioning Informed Consent on Mental Disorders Patient at Mental Health Hospital and also how Informed Consent play a role of restraint at Dr. H. Marzoeki Mahdi Hospital Bogor. This thesis used juridical-normative method with literature study and interview. This thesis also used descriptive method.
This thesis showed that the Informed Consent relations between doctors and Mental Disorders Patients at Mental Health Hospital are based on tereapeutik transaction. Other than that, Informed Consent in Mental Disorders Patients at Mental Health Hospital's restraint are not regulated on designated form, but in more general form of General Consent.
Writer suggest that if restraint in Dr. H. Marzoeki Mahdi Hospital Bogor is regulated generally through General Consent, then the agreement will be presumed consent and when it comes to the implication of General Consent, doctors should inform to the patient's family that when it is necessary patient will be given the restraint from doctors. Moreover, the ministry of health need to enact the rule such as PERMENKES regarding restraint so that doctors and people get their law certainty associated to the actions will be done.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>