Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 122933 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Isnainy Soengkono
"ABSTRAK
Asthma is a common chronic inflammatory condition of the lung airways whose cause is incompletely understood. A variety of disorders can result in asthma. The most common is an inheritet immunologic abnormality that allows inhalet antigens (allergens) to trigger a hypersensitivy response mediated by immunoglobulin E (Ig F) and thus produce bronchial narrowing. The circumstances leading to an episode of asthma should be analyzed to identify possible precipitating factors. In oral infection focus may be important in precipitating attacks. Asthma medications can contibute to xerostomia making individuals who use medications more susceptible to caries and periodontal disease. The goal of the dental management of the patient asthma is to avoid precipitating an acute attack. Report of case: Oral treatment for an elamination of the causes of infection focus for girls at 11 years old."
Journal of Dentistry Indonesia, 2003
J-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Rogayah
"Telah dilakukan penelitian untuk melihat pengaruh penyuluhan dan Senam Asma edonesia terhadap pengetahuan, sikap, perilaku dan gejala klinik penderit asma. Jumlah subiek penelitian ini sebanyak 40 orang yang terdiri dari 20 orang kelompok kasus dan 20 orang kelompok kontrol. Penderita berusia 15-55 tahun dengan umur rata-rata pada kelompok kasus 46 ±11,71 tahun dan kelompok kontrol 37 ±8,99 tahun. Pada kelompok kasus penderita mengikuti penyuluhan dan melakukan Senam Asma Indonenesia 77,3% selama 6 bulan, sedangkan kelompok kontrol adalah penderita yang tidak mengikuti penyuluhan dan Senam Asma Indonesia. Dari penelitian didapatkan pada kelompok kasus peningkatan pengetahuan 12,5%, sikap 53,9% dan perilaku 53,5% sedangkan pada kelompok kontrol peningkatan pengetahuan 5,6%, sikap 9,1% dan tidak ada perubahan terhadap perilaku. Pada kelompok kasus terdapat penurunan skor gejala klinik yaitu jumlah batuk 71,33%, gangguan tidur 75,4%, gangguan aktivitas 80,5%, napas berbunyi 84,6%. Pada kelompok kontrol terdapat penurunan skor gejala klinik yaitu jumlah batuk 43,6% gangguan tidur 40,9%, gangguan aktivitas 35,8% dan napas berbunyi 40,6%. Peningkatan faal paru KVP,VEP dan APE pada kelompok kasus yaitu KVP dari 1733 ± 231,06 ml menjadi 1842 ± 300,03 ml, VEP dari 1349,5 ± 169,94 ml menjadi 1469,2 ± 190,19 ml dan APE dari 325,9 ± 45,89 Vmnt menjadi 352,6 ± 64,73 l/mnt. Peningkatan faal paru KVP, VEP, dan APE pada kelompok kontrol yaitu KVP dari 1762 ± 307,59 ml menjadi 1840 ± 332,79 ml, VEP, dari 1389,5 ± 214,36 ml menjadi 1482 ± 252,59 ml dan APE dari 323,65 ± 53.51 V/mnt menjadi 348,5 ± 58,23 l/mnt."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57312
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Frits Gosana
"Penelitian dilakukan terhadap 38 penderita asma (laki-laki dan perempuan) yang dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok kasus terdini dari 19 orang (14 orang laki-laki dan 5 orang perempuan), umur rata-rata 52,5 t 12.5 tahun, tinggi badan rata-rata 160.5t 10.5 cm Kelompok kontrol terdiri dari 19 orang (15 orang laki-laki dan 4 orang perempuan), umur rata rata 48,5 ±8,5 tahun., tinggi badan rata-rata 160± 10 cm. Selama 12 minggu kedua kelompok mendapat perlakukan sebagai berikut. Kelompok kasus melakukan senam asma dua kali perminggu dan mendapat terapi obat (ila perlu). sedangkan kelompok kontrol tidak melakukan senam asma hanya diberikan terapi obat (bila perlu). Gejala klinis (batuk, mengi, sesak napas, terbangun karena asma malam hari), jumlah pemakaian obat dan nilai APE (Arus Puncak Ekspirasi) sebelum dan sesudah penelitian diperiksa dan dibandingkan antara kedua kelompok. Pada kelompok kasus sesudah penelitian didapatkan perbaikan gejala klinis, jumlah pemakaian obat dan nilai APE yang bermakna (p < 0,01). Pada kelompok kontrol sesudah penelitian juga didapatkan perbaikan gejala klinis dan nilai APE yang bermakna (p <0,01), tetapi penurunan jumlah pemakaian obat tidak bermakna (p > 0,01). Jika diandingkan antara kedua kelompok sebelum penelitian tidak berbeda bermakna (p > 0,05), sedangkan sesudah penelitain gejala klinis dan jumlah pemakaian obat berbeda bermakna (p< 0,05), tetapi tidak ada perbedaan yang bermakna perbaikan nilai APE antara kedua kelompok (p> 0,05)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57288
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia Fransius
"Terapi penyakit asma dengan inhaled corticosteroid (ICS) dosis tinggi yang berjangka panjang berpotensi menimbulkan efek samping. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah menggunakan senyawa turunan tumbuhan sebagai alternatif. Fisetin merupakan senyawa flavonoid yang menunjukkan berbagai efek farmakologis. Hambatan utama keberhasilan terapi dengan fisetin adalah bioavailabilitas yang rendah dan lipofilisitas yang tinggi. Beberapa pendekatan digunakan untuk meningkatkan bioavailabilitas obat dengan lipofilisitas tinggi, yaitu menggabungkan obat ke dalam matriks lipid. Solid lipid microparticles (SLM) adalah metode mikroenkapsulasi obat ke dalam lipid yang memungkinkan pelepasan obat terkendali, peningkatkan stabilitas obat, dan tetap aman bagi tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi solid lipid microparticle fisetin dry powder inhalation fisetin berbasis lipid Glyceryl tristearate serta surfaktan Poloxamer 188 dan Tween 80 sebagai obat terapi inhalasi penyakit asma. Pada penelitian ini, peneliti telah mengamati variasi kandungan obat, konsentrasi surfaktan, dan kecepatan putar. Serbuk inhalasi menghasilkan ukuran 1,2 – 4 µm dan menunjukkan 34% antiinflamasi pada konsentrasi 1.000 ppm. Selain itu, persentase yield formulasi berada dalam rentang 81 – 96%, drug loading 2 – 5%, dan entrapment efficiency 82 – 87%. Profil pelepasan menunjukkan sistem pelepasan sustained release. Formulasi yang terbaik adalah FIS6 dengan variasi kandungan obat, surfaktan, dan kecepatan putar paling tinggi.

Long-term high-dose inhaled corticosteroid (ICS) for asthma therapy has the potential to cause side effects. One approach that can be taken is to use plant-derived compounds as an alternative. Fisetin is a flavonoid compound that exhibits various pharmacological effects. The main obstacle to successful therapy with fisetin is its low bioavailability and high lipophilicity. Several approaches are used to increase the bioavailability of drugs with high lipophilicity is to incorporate the drug into the lipid matrix. Solid lipid microparticles (SLM) is a method of microencapsulating drugs into lipids that allows the drug to be released slowly, improves drug stability, and remains safe for the body. This study has obtained a fisetin SLM formulation as dry powder inhalation with Glyceryl Tristearate as lipid as well as Poloxamer 188 and Tween 80 as the surfactants. The dry powder inhalation is in the form of inhaled therapy drugs for asthma. This study also observes variations in drug content, surfactant concentration, and rotational speed. The inhalation powder has a particle size ranged 1,2 – 4 µm and showed 34% anti-inflammatory at a concentration of 1,000 ppm. In addition, the yield is in the range of 81 – 96%, drug loading is 2 – 5%, and entrapment efficiency is 82 – 87%. The winning profile shows the sustain release pulmonary drug delivery profile. The best formulation is FIS6 with the highest variation of drug, surfactant, and rotational speed."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Alamsyah
"Tujuan : Mengetahui pengaruh latihan pernapasan diafragma diikuti atau tanpa latihan sepeda statik terhadap tingkat kebugaran pasien asma persisten sedang.
Disain : Uji klinis paralel membandingkan dua perlakuan kelompok kasus diberikan latihan pernapasan diafragma (LPD) diikuti latihan sepeda statik, sedangkan kelompok kontrol hanya diberikan LPD saja.
Tempat : Departemen Rehabilitasi Medik FKUI Perjan RSCM Jakarta.
Subyek : 57 pasien asrija persisten sedang dari Poli AIergi-Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI - Perjan RSCM
Intervensi : Antara bulan Januari 2005 sampai dengan Maret 2005. Empat puluh dua pasien asma persisten sedang yang masuk dalam !criteria inkiusi dibagi dalam dua kelompok (kasus dan kontrol). Melakukan LPD tiga kali seminggu dengan latihan atau tanpa latihan erobik disertai pengawasan selama enam minggu. Hasil peningkatan VO2maks antara kedua kelompok dibandingkan pada akhir penelitian.
Hasil : Hasil penelitian selama enam minggu menemukan adanya peningkatan VO2maks yang bermakna (p <0,01) baik pada kelompok kasus dan kelompok kontrol. Demikian juga dijumpai perbedaan yang bermakna (0,0218) pada selisih kenaikan VO2maks pada kedua kelompok.
Kesimpulan : Latihan pernapasan diafragma diikuti latihan erobik meningkatkan kebugaran fisik pasien asma persisten sedang lebih baik dibandingkan hanya diberikan LPD saja.

Objective : To know the influence diaphragm breathing exercise with or without ergometer cycle exercise toward level of physical fitness of moderate asthma persistent patient.
Design : Paralel clinical test compare two interventions. Case group is given diaphragm breathing exercise with ergometer while control group is given diaphragm breathing exercise only.
Setting : Department of Medical Rehabilitation FMITI Jakarta.
Subject : 57 patient of moderate asthma persistent from Allergic-Immunologic Department of Internist FMUI - Cipto Mangunkusumo Hospital.
Intervention : Between January 2005 up to March 2005. 42 moderate asthma persistent patients which fulfill the condition are divided into two groups (case and control). Perform diaphragm breathing exercise with or without ergometer cycle exercise with supervision for six weeks. The result of V02max increment is compare at the end of the research.
Result : In the result of research for six weeks we find V02max significant increment (p <0.01) in two groups. We also find V02max significant (p <0.0218) increment in different increment in two groups.
Conclusion : Diaphragm breathing exercise with ergometer cycle exercise increase the level of physical of fitness moderate asthma persistent patient is better than diaphragm breathing exercise only.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58468
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sanri Pramahdi
"Asma merupakan penyakit intiamasi kronik saluran napas, gejala umumnya sangat bervariasi dan dapat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Pada dekade terakhir ini prevalensi asma meningkat bahkan di beberapa negara dilaporkan telah terjadi kenaikan prevalensi morbiditi dan mortaliti penderita asma. Hal ini diduga karena keterlambatan diagnosis dan pemberian terapi yang kurang adekuat.
Kematian karena asma di Amerika Serikat tahun 1988 adalah 1,9/100.000 penduduk terutama lebih tinggi pada usia < 45 tahun, tahun 1979 di Kolombia angka kematian 2,06/100.000 dan menurun tahun 1994 menjadi 1,61/100.000. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia tahun 1992 menyimpulkan bahwa asma, bronkitis dan emfisema merupakan urutan ke 7 penyebab kematian atau 5,6% dari total kematian. Data di RS. Persahabatan tahun 1993-1997 mendapatkan 10 kematian yang dihubungkan dengan asma, 9 diantaranya disertai komplikasi seperti pneumonia, gagal jantung, gagal ginjal dan tumor paru.
Peniiaian dan penanganan yang adekuat merupakan kunci pokok yang menentukan apakah seorang pasien dapat teratasi serangannya, berlanjut atau harus dirawat di rumah sakit. Beberapa pasien saat serangan dapat terancam jiwanya bahkan tidak dapat tertolong. Penderita yang berisiko tinggi mengalami kematian adalah penderita yang datang dengan serangan berat, penyakit asmanya jarang dikontrol, respons sebagian atau tidak respons terhadap pengobatan, keterlambatan penggunaan steroid dan keterlambatan penilaian berat serangan baik oleh dokter atau penderita.
Menurut konsensus intemasional tahun 1992 dianjurkan 6 Iangkah dalam penanganan dan penatalaksanaan asma yaitu:
1. Partisipasi pasien dalam pengelolaan asma
2. Dapat dinilai perburukan penyakit dengan peak flow meter
3. Mengenal faktor-faktor pencetus serangan
4. Penggunaan obat-obatan
5. Penanganan serangan
6. Kontrol teratur.
Dalam penanganan serangan asma akut, agonis 132 merupakan terapi pilihan utama baik pada serangan ringan, sedang dan berat. Peranan antikolinergik dalam penatalaksanaan asma akut tergantung berat ringan serangan. Pada asma akut berat pemberian agonis 132 dianjurkan ditambah dengan antikolinergik, pada asma akut sedang pemberian kombinasi ini masih kontroversi, beberapa peneliti mengatakan pemberian kombinasi ini memberikan perbaikan yang berbeda bermakna dan sebagian lagi mengatakan tidak terdapat perbedaan bermakna dalam pemberian kombinasi ini sedangkan pada asma akut ringan pemberian kombinasi ini disebutkan tidak bermanfaat. Seperti kita ketahui antikolinergik seperti ipratropium bromida mempunyai efek bronkodilator meskipun tidak sekuat dan secepat respons pemberian agonis 132, kelebihannya adalah mempunyai masa kerja yang lama.
Kecenderungan meningkatnya angka morbid iii dan mortatiti asma merupakan permasalahan tersendiri. Salah satu yang diduga menyebabkan meningkatnya angka tersebut adalah keterlambatan diagnosis dan penanganan yang tidak adekuat di gawat darurat. Penanganan asma di gawat darurat disesuaikan dengan derajat berat serangan. Penggunaan antikolinergik dengan agonis 132 hanya diindikasikan pada serangan asma berat, sementara untuk serangan sedang dan ringan tidak diberikan antikolinergik, walau pada beberapa kepustakaan lain menuliskan manfaat antikolinergik tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T58454
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danny Darmawan
"Latar belakang: Asma merupakan penyakit ditandai peradangan saluran napas kronik. Satu dari tiga kasus tidak memberikan respon adekuat. Modalitas alternatif terapi  asma adalah magnesium inhalasi. Inhalasi magnesium memiliki efek samping sistemik minimal. Oleh karena itu, peran magnesium inhalasi perlu diteliti lebih lan
Tujuan: Penelitian bertujuan untuk mengetahui efektivitas dan keamanan pemberian magnesium inhalasi pada pasien dewasa mengalami  asma akut.
Metode: Penelusuran literatur dilakukan dua peneliti independen melalui: PubMed/ MEDLINE, Google Scholar, ProQuest, dan Cochrane dengan kata kunci “magnesium inhalasi” dan “serangan asma” dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Pencarian manual dan snowballing dilakukan di portal data nasional. Studi yang dimasukkan adalah uji acak terkontrol mengenai perbandingan magnesium inhalasi dengan terapi standar pada serangan asma akut. Penilaian efektivitas berdasarkan parameter readmisi, tanda vital, perbaikan klinis, serta fungsi paru, sedangkan keamanan berdasarkan parameter efek samping. Protokol telaah sistematis didaftarkan pada PROSPERO.
Hasil: Lima artikel diikutsertakan dalam telaah sistematis. Dua artikel diikut-sertakan menilai aspek  readmisi. Tiga studi  menilai hubungan magnesium terhadap tanda vital pasien. Dua studi menilai tingkat keparahan penyakit dan perbaikan klinis. Studi menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna pemberian magnesium inhalasi pada aspek readmisi pasien (RR 1; IK 95% 0.92 - 1,08; p= 0,96), dan saturasi oksigen (MD  1,82; IK 95%: -0.89 - 4.53; p= 0.19). Ada penurunan bermakna laju napas pasien  (MD -1,72; IK 95% -3,1 -0.35; p= 0.01), dan perbaikan gejala pada pasien  (RR 0.29; IK95% 0.18 - 0.47; p <0.001). Ada peningkatan bermakna efek samping pasien magnesium inhalasi (HR 1.56; IK 95% 1.05 – 2.32; p= 0.32). Efek samping relatif ringan  berupa hipotensi dan rasa mual. 
Kesimpulan: Magnesium inhalasi memperbaiki  klinis pasien asma terutama gejala, laju napas, dan fungsi paru.  Magnesium inhalasi dikatakan aman jika diberikan pada pasien, namun hati-hati penggunaan pada pasien hipotensi.

Background:  Asthma is a disease characterized by chronic airway inflammation. Asthma occurs to many people worldwide. One third of asthmatic case did not respond adequately to standard therapy (Short Acting Beta Agonist, Anticholinergic, Corticosteroid). One of alternative treatment of asthma is inhaled magnesium.  Theoretically, inhaled magnesium is thought to have less systemic side effect and could act directly to respiratory tract. However, the role of inhaled magnesium therapy is not established yet.
Objective: This review is made to evaluate the effectiveness and safety of nebulized magnesium in adult with acute asthma attack.
Methods: Literature search was conducted by two independent investigators through online databases: PubMed/MEDLINE, Cochrane, ProQuest, and Google scholar using the keywords “inhaled magnesium” and “asthma” in English and Indonesian. Manual searches and snowballing were carried out through national data portals and medical faculty e-libraries. Journal articles included in this study are randomized controlled trials that observed inhaled magnesium in adult with acute asthma attack. All the protocol of this systematic review has been registered in PROSPERO.
Result: There are five articles included in this review. Two of them evaluate the effect of magnesium in term of readmission, three of the studies measures effect of magnesium in vital sign, and two of them evaluate the effect of magnesium in term of severity of asthma There is no significant difference in readmission rate and oxygen saturation in magnesium group compared to control (RR 1; 95% CI 0.92 to 1,08; p= 0,96 and MD 1,82; 95% CI -0.89 to 4.53; p= 0.19, respectively). There is significant reduction of respiratory rate and clinical severity in magnesium (MD -1,72; 95% CI   -3,1 to 0.35; p= 0.01, RR 0.29; 95% CI 0.18 to 0.47; p <0.001, respectively). There was a higher risk of side effect in magnesium group (HR 1.56; 95%CI 1.05 to 2.32; p= 0.03). However, the side effect is relatively mild such as hypotension and nausea.
Conclusion: Inhaled magnesium improves clinical outcome for patient with asthma attack especially lung function, improvement of clinical outcome, and lung function. Moreover, Inhaled magnesium is considered safe to be given to asthmatic patient. However, the inhaled magnesium is given with caution in patient with hypotension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ariadna Chitrarasmi Maharani
"Penyakit pernapasan kronis menjadi salah satu penyakit tidak menular yang paling umum di seluruh dunia. Asma merupakan salah satu penyakit pernapasan kronis yang banyak diderita oleh masyarakat. Penyakit ini seringkali dikaitkan dengan beban yang besar. Asma yang tidak terkontrol berhubungan dengan peningkatan pengeluaran, peningkatan utilisasi pelayanan kesehatan dan penurunan produktivitas. Kondisi penyakit asma yang kronis memerlukan peranan pasien dalam pengendalian penyakit. Hal tersebut dapat dimungkinkan melalui adanya self-management. Perkembangan teknologi di masa kini dapat dimanfaatkan melalui penggunaan mHealth untuk mendukung penerapan self-management asma. Penelitian ini menggunakan metode literature review. Pencarian studi dilakukan dengan menggunakan online database yaitu PMC, ScienceDirect, dan LinkSpringer. Terdapat 13 studi yang termasuk ke dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 11 studi menghasilkan perubahan positif yang signifikan dalam pengendalian asma yang dapat diketahui melalui asthma control, kualitas hidup, penggunaan SABA, symptom free days, dan CACG symptom benchmark. Selain itu, terdapat 4 studi yang menghasilkan perubahan positif dalam meningkatkan kepatuhan mengonsumsi obat. Sehingga, dapat dikatakan bahwa penggunaan mHealth efektif dalam penerapan self-management asma.

Chronic respiratory diseases are becoming one of the most common non-communicable diseases worldwide. Asthma is one of the chronic respiratory diseases that many people suffer from. This disease is often associated with a large burden. Uncontrolled asthma is associated with increased spending, increased utilization of health services and decreased productivity. Chronic asthma conditions require the patient's role in Disease Control. This can possible through self-management. Technological developments in the present can be utilized through the use of mHealth to support the implementation of asthma self-management. This study uses the literature review method. Study searches were conducted using online databases namely PMC, ScienceDirect, and LinkSpringer. There are 13 studies included in this study. The results of this study showed that a total of 11 studies resulted in significant positive changes in asthma control that can be known through asthma control, quality of life, use of SABA, symptom free days, and CACG symptom benchmark. In addition, there are 4 studies that produce positive changes in improving adherence to asthma medication. Thus, it can be said that the use of mHealth is effective in the application of asthma self-management."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, Hizrah Harianto
"ABSTRAK
Asma merupakan gangguan inflamasi kronis di jalan napas dengan prevalensi
yang cukup tinggi. Asma dapat terjadi pada semua usia, diperkirakan 300 juta
orang menderita asma diseluruh dunia dan tahun 2025 diperkirakan mencapai 400
juta pasien asma. Prevalensi asma di Provinsi Kalimantan Tengah melebihi angka
nasional dan kota Palangkaraya termasuk daerah dengan prevalensi asma
tertinggi. Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor seperti keturunan serta
lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan tingkat
kepadatan kecoa di rumah tangga dan faktor risiko lainnya yang dapat memicu
asma. Penelitian menggunakan desain Case control. Sampel terdiri dari 58
sampel untuk kasus dan 58 sampel untuk kontrol berusia 12-45 tahun. Hasil
penelitian menunjukkan variabel-variabel yang berhubungan dengan kejadian
asma adalah kepadatan kecoa, riwayat atopi, sensitifitas terhadap makanan, polusi
udara, kondisi cuaca, kondisi sanitasi rumah tangga, jarak rumah dari jalan raya
dan memiliki hewan peliharaan. Sedangkan karakteristik individu seperti
pendidikan, pekerjaan serta jenis bahan bakar memasak tidak berhubungan
dengan kejadian asma. Kesimpulannya tingkat kepadatan kecoa berhubungan
dengan kejadian asma setelah dikontrol variabel karakteristik individu dan faktor
lingkungan. Penderita agar menjaga kebersihan dan sanitasi rumah yang baik,
sehingga tidak menjadi habitat perkembangbiakan vektor kecoa dan sedapat
mungkin menghindari faktor-faktor risiko yang dapat memicu terjadinya asma.

ABSTRACT
Asthma is a chronic inflammatory disease in the airways with highly prevalence.
Asthma can occur at any age, 300 million people estimated suffering asthma in
the world and by 2025 there will be 400 million. Asthma prevalence in Central
Kalimantan Province exceeds the national number. Furthermore, Palangkaraya is
the highest one. The prevalence of asthma is influenced by many factors such as
heredity and the environment. This research aimed to analyze the relationship of
cockroach density in households and other risk factors that can trigger asthma.
This research is using Case control design which consisted of 58 samples for the
cases and 58 samples for the controls aged 12-45 years. Results showed cockroach
density, atopy history, food sensitivity, air pollution, weather, household
sanitation conditions, home distance from highways and pet ownership were
associated with the incidence of asthma. While education, occupation and types of
cooking fuel were not associated. In conclusion, the cockroach density is related
to the incidence of asthma after controlled by variable characteristics of
individuals and environmental factors. Patient is sugessted to maintain good
hygiene and sanitation, so would not become the habitat of cockroach and avoid
risk factors that can trigger asthma."
2017
T47778
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibrahim Utama Pribadi
"Pengantar: Senam Asma Indonesia (SAI) sudah diketahui mampu menurunkan gejala-gejala asma dan meningkatan fungsi paru pada penderita asma. Studi ini bertujuan untuk mempelajari korelasi antara durasi SAI dan faktor lainnya yang mempengaruhi skor Asthma Control Test (ACT) pada anggota Klub Asma RSUP Persahabatan.
Metode: Data penelitian didapatkan dengan meminta 28 penderita asma yang juga anggota Klub Asma RSUP Persahabatan untuk menjawab dua kuesioner yaitu kuesioner ACT dan informasi personal mereka mengenai lama durasi SAI, umur, jenis kelamin, dan riwayat merokok.
Hasil dan Diskusi: Durasi SAI, dengan median 33 bulan (1-360), berkorelasi bermakna positif dengan skor ACT (p=0.022). Faktor lainnya yang berkorelasi bermakna juga dengan skor ACT adalah umur (p=0.020), berasosiasi positif juga, dan jenis kelamin (p=0.002) dengan laki-laki memiliki skor ACT yang lebih baik. Riwayat merokok tidak menunjukan korelasi yang bermakna dengan skor ACT (p=0.816) karena tidak ada subjek perokok aktif.
Konklusi: Di antara anggota Klub Asma RSUP Persahabatan, median dari skor ACT mereka adalah 20(12-23) yang berarti bahwa mereka terkontrol sebagian. Durasi SAI mereka berkorelasi secara positif dengan skor ACT, orang yang sudah lebih lama melakukan SAI memiliki skor ACT yang lebih baik. Selain itu, ditemukan semakin tua subjek semakin baik skor ACT subjek tersebut. Subjek laki-laki didapatkan memilik skor ACT yang lebih baik dari perempuan. Riwayat merokok yang hanya terdiri dari bukan perokok dan mantan perokok tidak berpengaruh terhadap skor ACT.

Introduction: Indonesian Asthma Gymnastics (IAG) exercise has been associated with reducing asthmatic symptoms and increase lung function in asthmatic patient. This study aims to understand the correlation between the duration of IAG exercise and other factors that might affect to the Asthma Control Test (ACT) score amongst RSUP Persahabatan Asthma Club members.
Method: The data is obtained by asking 28 asthmatic RSUP Persahabatan Asthma Club members to answer two questionnaires which are the ACT questionnaire and their personal information questionnaire regarding their duration of exercise, age, gender and smoking history.
Result and Discussion: The duration of IAG exercise, with median of 33 months (1-360), is significantly correlated by positive association with ACT score (p=0.022). Other factors that are significantly correlated as well with ACT score are age (p=0.020), also positively correlated, and gender (p=0.002) with males having better ACT score than females. Smoking history does not exhibit a significant correlation with ACT score (p=0.816) as there is no subject who is an active smoker.
Conclusion: Among RSUP Persahabatan Asthma Club members, the median of their ACT score is 20(12-23) which is translated to partially controlled. Their IAG exercise duration is significantly and positively correlated with ACT score that indicates people who have been engaging IAG exercise longer shows better ACT score. Besides, ACT score is also higher as the subject is older. Males has better ACT score compared to females. Smoking history, however, which comprised only of non-smoker and former smoker does not show significant correlation with ACT score.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>