Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 128812 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Development of nerve tissue is known as neurogenesis. Vertebrate nerve system has various functional capabilities from sensory perception, motor coordination, to the ability in producing motivation, spatial abilities, learning and memorizing due to various cell types that accurately connected and interact to each other. The connections between various nerve cells are continuously developed from the embryonic time until the early period of life. Recent studies have showed that neurogenesis in certain regions of nerve tissue can still be found in adults. This article reviews the cellular mechanism of neurogenesis and conditions that have role in the process."
Journal of Dentistry Indonesia, 2004
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ande Fachniadin
"Latar Belakang. Salah satu komplikasi pada teknik kraniotomi ini adalah cedera pada saraf nervus fasialis cabang frontal sehingga terjadi paralisis pada otot frontal dan orbikularis oris. Komplikasi ini terjadi pada 30% kasus pasien yang dilakukan kraniotomi frontotemporal. Masih terdapat perdebatan bagiamana melakukan preservasi yang baik pada nervus fasialis cabang frontal. Beberapa teknik telah dikembangkan untuk menghindari komplikasi ini seperti teknik seperti teknik miokutan, interfascialis, dan subfascialis. Penelitian ini memiliki tujuan mengetahui insiden terjadinya cedera nervus fasialis pada teknik interfascialis dan subfascialis.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif potong lintang. Penelitian ini dilakukan di Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM pada subjek pasien yang dilakukan kraniotomi frontotemporal pada Januari - Juli 2018. Dilakukan penelusuran rekam medis dalam menilai teknik dan luaran cedera subjek.
Hasil. Dalam kurun waktu dilakukan penelitian terdapat 20 (dua puluh) subjek pasien yang dilakukan preservasi nervus fasialis cabang frontal yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Didapatkan 15% subjek mengalami cedera nervus fasialis cabang frontal pada saat segera setelah tindakan. Pasca 3 bulan tindakan cedera didapatkan 5% subjek masih didapatkan cedera. Seluruh cedera didapatkan pada Teknik interfascialis.
Kesimpulan. Insiden cedera nervus fasialis cabang frontal pada pasien yang menjalani kraniotomi frontotemporal sebanyak 15%. Insiden cedera nervus fasialis cabang frontal menggunakan teknik interfascialis sebanyak 15% dan dengan teknik subfascialis sebanyak 0%.

Background. One of the major complications on frontotemporal craniotomy technique is injury to the frontal facial nerve, inducing paralysis to the frontal and orbicularis oris muscle. This complication occurs in 30% of patients with frontotemporal craniotomy. There are still some lively debates regarding proper preservation on frontal branch of the facial nerve. Some techniques have been developed in order to avoid this complication such as Miocutanenous, interfascialis and subfascialis techniques. This research aims to find the incident of injury to facial nerve on interfascialis and subfascialis techniques.
Method. This is a retrospective cross-sectional research performed in Neurosurgery Department of FKUI-RSCM on patients with frontotemporal craniotomy on January to July 2018. All suitable patients medical record was inspected and studied for the techniques and the occurrence of post-operative side effects.
Results. Within the time limit, we found 20 (twenty) subject patients with frontal branch of facial nerve that matched the inclusion and exclusion criterias. It was found that 15% of the subjects have had their frontal branch of facial nerve injured immediately after surgery, and 5% after 3 months of recuperation. All injuries was found in interfascialis technique.
Conclusion. The incident of injury on the frontal branch of the facial nerve after frontotemporal craniotomy was 15%, with the interfacialis technique contributing to the whole 15% while the subfascialis technique with 0%
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rendra Irawan
"ABSTRAK
Pendahuluan. Tumor Ganas Jaringan Lunak Soft Tissue Sarcoma merupakan kelompok heterogen tumor ganas mesenkim dengan jumlah kasus yang sangat sedikit dengan gejala klinis sulit dibedakan dengan tumor jinak, menjadikan tumor ini sering ditangani tanpa mengetahui batas tumor yang jelas unplanned excision . Penanganan tumor ganas jaringan lunak secara inadekuat ini mengakibatkan tumor masih tersisa sehingga beresiko terjadi rekurensi dan mortalitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rekurensi dan mortalitas pasien tumor ganas jaringan lunak ekstremitas yang telah dilakukan unplanned excision, serta faktor-faktor yang memengaruhinya.Metode Penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan rancangan kohort retrospektif yang menggunakan data pasien RS Cipto Mangunkusumo tahun 2005 hingga 2015. Pada penelitian ini, didapati yang memenuhi kriteria sebanyak 87 subjek, yakni pasien unplanned excision tumor ganas jaringan lunak ekstremitas yang dilakukan analisis angka rekurensi dan mortalitas serta faktor-faktor yang berhubungan dengan rekurensi dan mortalitas tersebut.Hasil Penelitian. Terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat rekurensi dengan operator yang tidak berkompeten non orthopaedi onkologi p0,05 . Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara mortalitas dengan operator pembedahan, lokasi tumor, ukuran awal tumor dan tipe rumah sakit P>0,05 .Kesimpulan. Faktor yang memengaruhi rekurensi pada pasien unplanned excision tumor ganas jaringan lunak yakni operator non orthopaedi onkologi.

ABSTRACT
Introduction. Soft tissue sarcoma is part of mesenchymal malignant tumor heterogeneous group with very little number of cases. Unplanned excision often become the choice of treatment due to difficulties to differentiate it with benign tumor. The inadequate treatment of this soft tissue sarcoma often leave trace of the tumor, leading to recurrence and mortality. We studied the recurrence and mortality of patients with unplanned excision on soft tissue sarcoma of extrimities, including affecting factors.Methods. This is an analytical descriptive study with retrospective cohort design, using patient rsquo s data in Cipto Mangunkusumo hospital during 2005 to 2015. Our study acquired 87 subjects with unplanned excision on soft tissue sarcoma of extrimities. Analysis of recurrence rate, mortality rate, and related factores were examined and analysed.Results. There was significant relationship between recurrence rate with incompetent surgeon non oncology orthopaedics p0,05 . However, this study could not find statistical significance between mortality with non oncology orthopaedic surgeon, location of the tumour, initial size of the tumour, and hospital type P 0,05 .Conclusion. There is relationship between recurrence rate with non oncology orthopaedics operator. "
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arsanto Triwidodo
"Pada penelitian ini terbukti bahwa selubung (conduit) dengan menggunakan fasia lebih baik daripada menggunakan otot. Hal itu disebabkan fasia mempunyai struktur yang hampir sarna dengan pennenum, sehingga akan memberi dinding yang terbentuk sebagai selubung. Kecuali itu di dalam fasia terdapat fibrilin, adhesion glycoprotein, jibronectin, laminine, dan thromboplasmine. Sehingga memberi wahana yang sangat baik dan mendukung axonal survival dalam elongasi akson. Lumen yang terbentuk juga akan memisahkan bahan sisa degenerasi yang menyebabkan obstruksi proses regenerasi saraf.

In this study, it was proven that the sheath (conduit) using the fascia was better than using muscles. This is because the fascia has a structure that is almost like the pennenum, so it will give the wall that forms a sheath. In addition, in the fascia there is fibrilin, adhesion glycoprotein, jibronectin, laminine, and thromboplasmine. So that it provides an excellent vehicle and supports axonal survival in axon elongation. The formed lumen will also separate the degenerated residual material that causes obstruction of the nerve regeneration process."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tony Basuki
"Tujuan penelitian : Mendapatkan nilai rerata orang dewasa normal tentang (1) n peroncus dan n.tibialis serta PAST n.suralis, (2). Mengamati apakah usia, jenis kelamm dan panjang tungkai mempengaruhi nilai rerata yang didapat, (3). Mengamati apakah terdapat perbedaan antara tungkai kanan dan kiri. Subyek penelitian : Meliputi 50 orang yang terdiri dari 26 orang pria dan 24 orang wanta di lingkungan bagian ilmu penyakit saraf FKUI-RSUPNCM, Jakarta; usia 16-50 tahun, dalam keadaan normal dan schat. Tempat penelitian : Laboratonum EMG-Evoked potential bagian ilmu penyakit saraf FKUI RSUPNCM, Jakarta, data dikumpulkan dari Desember 1997 s./d. Mei 1998. Pemeriksaan : Dilakukan terhadap (1). N.peroneus, n.tibialis dan n.suralis dengan alat EMG Medelec MS-6 II, (2). Data yang didapat dicatat secara manual kemudian diolah dengan komputer di bagian statistik ilmu kesehatan masyarakat FKUI-RSUPNCM. Hasil: Dari analisa statistik didapatkan (1). Pengaruh jenis kelamin terhadap (a) PAOT n.peroneus didapatkan perbedaan yang bermakna antara pria dan wanita pada latensi proksimal tungkai kanan dan tungkai kiri, sedangkan KHS dan latensi F pada tungkai kiri, (b) PAOT n.tibialis didapatkan perbedaan bermakna antara pra dan wanita pada amplitudo F tungkai kanan, (c). PAST n.suralis tidak didapatkan perbedaan bermakna baik pada tungkai kanan maupun tungkai kini. (2) Pengaruh usia terhadap (a). PAOT n.peroncus tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kedua tungkai, (b). PAOT n.tibialis didapatkan perbedaan bermakna pada amplitudo tungkai kiri, (c) PAST n suralis tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kedua tungkai. (3). Pengaruh panjang tungkai terhadap PAOT nperoneus, n.tibialis dan PAST n suralis tidak didapatkan perbedaan bermakna pada semua parameter. Kesimpulan : Secara umum (1). PAOT n peroncus dari subyek yang diteliti dipengaruhi oleh (a). Jenis kelamin latensi proksimal tungkai kanan dan kin pada pria lebih panjang daripada wanita KHS pria lebih cepat daripada wanita, (b). usia dan panjang tungkai tidak mempengaruhi nilai yang didapat (2). PAOT n tibialis, (a) Jenis kelamin : amplitudo F pada pria lebih tinggi daripada wanita, (b). Usia : amplitudo dipengaruhi oleh usia, yaitu makin tua usia amplitudo makin rendah, (3). Panjang tungkai : tidak mempengaruhi nilai yang didapat. (3). Pada penelitian ini PAST n suralis tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia dan panjang tungkai. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57308
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eric Mulyadi
"ABSTRAK
Kemampuan berbeda pendapat merupakan kemampuan yang
sangat penting dikembangkan di dalam masyarakat yang
majemuk seperti Indonesia. Kemampuan ini berkaitan dengan
terciptanya perdamaian di antara berbagai kelompok masya
rakat .
Untuk mempelajari faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi
kemampuan berbeda pendapat penelitian ini menggunakan
konstruk kompleksitas konsep sebagai variabel penelitiannya.
Kompleksitas konsep ini diukur dengan menganalisis
secara kwalitatif naskah-naskah tertulis.
Belum ada penelitian yang meneliti kompleksitas konsep
dengan menganalisis naskah-naskah berbahasa Indonesia.
Oleh sebab itu sebagai langkah awal, penelitian ini lebih
bersifat eksploratif, dan bermaksud membuat manual penilaian
berbahasa Indonesia yang dapat diterapkan untuk
menganalisis naskah berbahasa Indonesia.
Penelitian ini mengeksplorasi ada atau tidaknya
hubungan kompleksitas konsep dengan berbagai faktor situasional
dan faktor disposisi. 80 orang subyek mahasiswa
diminta untuk menuliskan pendapat pribadinya pada 4 buah
topik. Naskah tersebut kemudian dianalisis dan dihubungkan
dengan berbagai faktor situasi dan disposisi. Bergantung
pada jenis datanya, pengolahan dilakukan dengan menggunakan repeated measure anova atau korelasi Pearson.
Hasll penelltian menunjukkaii bahwa ada hubungan antara
kompleksitas dengan jenis topik permasahan, keterlibatan.
dan kondisi teridentifikasi, serta pendidikan psikologi"
1995
S2469
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Sugianto
"Latar belakang dan tujuan: Dalam dekade terakhir. penggunaan PCS termasuk N. Tibialis posterior, semakin dirasakan manfaatnya Kegunaannya terutama untuk memperkirakan keluaran dari penderita gangguan medula spinalis. Hasil perekaman PCS dapat dikatakan normal ataupun abnormal tergantung dari nilai normal yang sudah didapat sebelumnya, dalam hal ini masa laten dan amplitudo. Saat ini nilai normal yang dipakai berasal dari rujukan luar negeri. Terdapat kemungkinan nilai normal tersebut kurang tepat dipakai untuk orang Indonesia dikarenakan perbedaan yang ada antara orang Indonesia dan Non Indonesia. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan rerata nilai normal masa laten dan amplitudo PCS N. Tibialis posterior orang dewasa Indonesia. Metode: Perekaman PCS N. Tibialis posterior diambil dari para sukarelawan di lingkungan bagian Ilmu Penyakit Saraf FKUI RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Jakarta mulai bulan Desember 1997 sampai Juli 1998. Analisis statistik menggunakan metode uji-t, dan uji regresi linier dan multivariat. Hasil Rekaman dilakukan pada 104 subyek, terdiri dari 52 pria dan 52 wanita, berusia antara 15-50 tahun. Hasilnya adalah sebagai berikut (1) tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara masa laten pria dan wanita, (2) tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara masa laten dari tungkai kanan dan tungkai kiri; (3) terdapat korelasi yang bermakna antara usia ataupun tinggi badan dengan masa laten, di mana semakin tua ataupun tinggi seseorang masa latennya semakin panjang, dan (4) hanya pada usia saja terdapat hubungan yang bermakna dengan amplitudo, di mana semakin tua seseorang amplitudonya semakin kecil. Oleh karena itu, usia dan tinggi badan harus diperhatikan saat mengevaluasi hasil perekaman PCS N. Tibialis posterior."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57300
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reiner Reza Rahardja
"Latar belakang: Pengukuran luas penampang lintang nervus ulnaris menggunakan USG siku pada populasi dewasa normal pada posisi ekstensi dan fleksi telah banyak dilakukan, tetapi belum banyak penelitian yang menyatakan apakah ada perbedaan bermakna antara kedua posisi tersebut. Bila ditemukan perbedaan yang bermakna, maka pengukuran harus memperhatikan posisi siku karena memiliki rerata normal yang berbeda. Selain itu, hingga saat ini belum ada publikasi maupun data mengenai luas penampang lintang nervus ulnaris pada populasi dewasa normal menggunakan USG siku di Indonesia, khususnya pada posisi ekstensi dan fleksi.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dan desain potong lintang komparatif dengan data primer. Total sampel 61 nervus ulnaris normal yang dibuktikan dengan pemeriksaan kecepatan hantaran saraf (KHS) dan dilanjutkan dengan pemeriksaan USG pada level terowongan kubital serta 2 cm proksimal dan distalnya, kemudian dilakukan pengukuran luas penampang lintang nervus ulnaris di ketiga level tersebut. Analisis statistik dilakukan dengan uji T 2 kelompok berpasangan, dan perbedaan dianggap bermakna apabila p kurang dari 0,05.
Hasil: Rerata luas penampang lintang nervus ulnaris di level 2 cm proksimal dari terowongan kubital, terowongan kubital, dan 2 cm distalnya secara berurutan pada posisi ekstensi adalah 6,0 ± 0,7 mm2, 6,3 ± 0,9 mm2, dan 5,9 ± 0,7 mm2; pada posisi fleksi juga secara berurutan adalah 5,7 ± 0,8 mm2, 5,2 ± 0,9 mm2, dan 5,7 ± 0,7 mm2. Rerata luas penampang lintang nervus ulnaris pada posisi ekstensi lebih besar secara bermakna (p < 0,001) dibandingkan posisi fleksi di ketiga level tersebut pada populasi dewasa normal.
Kesimpulan: Rerata luas penampang lintang nervus ulnaris di siku pada posisi ekstensi lebih besar secara bermakna dibandingkan posisi fleksi, sehingga posisi siku subjek perlu diperhatikan pada saat pengukuran karena masing-masing posisi memiliki nilai normal yang berbeda signifikan.

Background: There are many cross sectional area measurement of ulnar nerve ultrasound of the elbow in extended and flexed position the normal adult population that have been done, but but not many studies have stated whether there are significant differences between the two positions. If significant differences are found, then the measurement must pay attention to the elbow position because it has a different normal mean value. In addition, until now there has been no publication or data on the cross-sectional area of the ulnar nerve in the normal adult population using elbow ultrasound in Indonesia, especially in the position of extension and flexion.
Methods: This study used descriptive design and comparative cross-sectional study design with primary data. A total of 61 normal ulnar nerve samples were proven by nerve conduction velocities examination (NCV) and continued with ultrasound examination at the level of the cubital tunnel and 2 cm proximal and distal, then the cross sectional area of the ulnar nerve at all three levels were measured. Statistical analyses were performed using paired sample t test, and the difference was considered significant if p was less than 0.05.
Results: The mean cross sectional area of the ulnar nerve at the level of 2 cm proximal to the cubital tunnel, cubital tunnel, and distal distal 2 cm in the extension position were 6.0 ± 0.7 mm2, 6.3 ± 0.9 mm2, and 5.9 ± 0.7 mm2, respectively; in the flexion position, they were 5.7 ± 0.8 mm2, 5.2 ± 0.9 mm2, and 5.7 ± 0.7 mm2, respectively as well. The mean cross sectional area of the ulnar nerve in the extension position was significantly greater (p <0.001) than the flexion position at all three levels in the normal adult population.
Conclusion: The mean cross sectional area of the ulnar nerve at the elbow at the extension position was significantly greater than the flexion position, so the elbow position of the subject needs to be considered at the time of measurement because each position has a significantly different normal value.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nella Anggraini
"ABSTRAK
Nervus optikus merupakan saraf kranial kedua, mempersyarafi bola mata, yang terdiri dari selubung dan serabut nervus optikus didalamnya Diameter nervus optikus dapat bervariasi dipengaruhi oleh berbagai sebab yaitu ras, etnik, jenis kelamin atau karena sebab lain yaitu inflamasi, tumor, trauma ataupun penekanan nervus optikus akibat massa disekitarnya. Selubung nervus optikus dapat dinilai rasionya dan dapat dipengaruhi nilainya bila terdapat peningkatan tekanan intrakranial. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui rerata nervus optikus serta rasio selubung dan nervus optikus dengan pemeriksaan MRI pada usia lebih dari 18 tahun sejumlah 64 nervus optikus dari 32 pasien (16 laki-laki dan 16 perempuan) untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara laki-laki dan permpuan. Pasien dianamnesis tidak terdapat riwayat trauma orbita, sakit mata yang menyebabkan penurunan lampang pandang, dan dilakukan pemeriksaan visus yang mambaik setelah dilakukan uji pinhole. Pasien juga tidak terdapat kelainan pada orbita atau massa pada intrakranial pada pemeriksaan MRI kepala. Selanjutnya dilakukan penambahan sekuen sesuai aksis nervus optikus potongan koronal T2 supresi lemak untuk menilai rasio selubung dengan nervus optikus, potongan parasagital kanan kiri T1 supresi lemak untuk pengukuran diameter nervus optikus segmen intraorbita dan intrakanalikular, serta potongan aksial T2 untuk pengukuran segmen intrakranial. Statistik deskriptif disajikan berupa rerata dengan simpangan baku nervus optikus serta rasio selubung dengan nervus optikus. Rerata diameter selubung nervus optikus intraorbita dewasa normal bagian proksimal 4,54 mm (SD 0,28 mm), bagian tengah (mid) 3,49 mm (SD 0,19 mm), bagian distal 3,26 mm (SD 0,17 mm), nervus optikus intrakanalikular 3,03 mm (SD 0,17 mm), nervus optikus intrakranial 4,22mm (SD 0,32 mm), diameter nervus optikus bagian proksimal 2,54 mm (SD 0,28 mm). Rerata rasio normal selubung dengan nervus optikus adalah 1,81:1 (SD 0,11). Pada statistik analitik dengan uji t tidak berpasangan tidak terdapat perbedaan yang bermakna diameter selubung dan nervus optikus antara laki-laki dibandingkan perempuan.

ABSTRACT
Optic nerve as the second cranial nerve which inervates the eye balls, consists of nerve sheath and optic nerve fibers within. Optic nerve diameter varies, and is influienced by various factors namely age, ethnicity, gender or other conditions such as inflammation, tumor, trauma or mass pressing the optic nerve. Nerve sheath and optic nerve ratio can be measured and is influenced by increase of intracranial pressure. The aim of this research is to determine the mean optic nerve diameter and sheath-optic nerve ratio by MRI on subjects older than 18 years, of 64 optic nerves and 32 patients (16 male and 16 female) to determine the difference of male and female. Patient is interviewed to ensure no history of orbital trauma nor orbital disease which decrease the visual field, and improvement of visus on pinhole test. Only patient with no orbital nor intracranial mass on MRI examination is included in this research. Further additional MR sequence is acquired on coronal optic nerve plane on T2 fat suppression sequence, parasagital plane on T1 fat suppression to measure intraorbital and intracanalicular optic nerve diameter, and T2 axial to measure intracranial segment. Descriptive statistic is provided as mean with standard deviation of optic nerve diameter as well as sheath to optic nerve ratio. Intraorbital segmen of optic nerve sheath diameter of normal adult on proximal side is 4,54 mm (SD 0,28 mm), middle part 3,49 mm (SD 0,19 mm), distal part 3,26 mm (SD 0,17 mm), intracanalicular segment optic nerve 3,03 mm (SD 0,17 mm), intracranial segment of optic nerve 4,22 mm (SD 0,32 mm), proximal optic nerve diameter 2,54 mm (SD 0,28 mm). Mean of normal nerve to sheath ratio is 1,81:1 (SD 0,11). Analytic statistic which utilize unpaired t test demonstrate no difference of male and female optic nerve and nerve sheath diameter."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. A. Windu Cahyaningrum Handayani Notonagoro Suryaningrat
"

Latar Belakang: Peningkatan tekanan intrakranial adalah kondisi medis serius yang membutuhkan deteksi cepat dan penanganan yang tepat untuk mencegah komplikasi seperti herniasi otak. Baku emas pengukuran tekanan intrakranial bersifat invasif dan memerlukan sumber daya dan fasilitas yang memadai. Metode non invasif berupa pengukuran diameter selubung saraf optikus (ONSD) berkembang sebagai alternatif dalam menilai tekanan intrakranial. Tujuan: mengevaluasi peran rasio ONSD terhadap diameter bola mata (ED) dalam mendeteksi tanda–tanda peningkatan tekanan intrakranial menggunakan CT dan MRI. Metode: Studi observasional analitik dengan data sekunder dari CT dan MRI kepala-leher periode Januari 2022–Januari 2024, terdiri atas 21 pasien dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial (kasus) dan 21 pasien kontrol. Analisis bivariat menilai perbedaan rerata ONSD dan rasionya terhadap ED pada kelompok kasus dan kontrol. Hasil: Rerata usia ± simpang baku (SB) pasien sekitar 44±11 tahun pada kelompok kasus dan 46±13 tahun pada kelompok kontrol. Rerata ONSD secara signifikan lebih tinggi pada kelompok dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial dibandingkan kontrol baik pada CT (6,05 mm vs. 3,61 mm; p<0,01) maupun MRI (5,36 mm vs. 3,47 mm; p<0,001). Rasio ONSD terhadap ED secara signifikan lebih tinggi pada kelompok dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial dibandingkan kontrol baik pada CT (0,255 vs. 0,151; p<0,01) maupun MRI (0,228 vs. 0,150; p<0,001). Analisis kurva ROC menunjukkan nilai AUC yang sangat baik untuk kedua parameter tersebut (AUC=1,000). Korelasi pengukuran ONSD dan rasionya terhadap ED menggunakan CT dan MRI juga menunjukkan korelasi positif yang tinggi (0,8 ≤ r ≤ 1; p<0,001). Kesimpulan: Rasio ONSD terhadap ED memiliki nilai diagnostik yang sangat baik dan memiliki potensi untuk digunakan secara luas dalam praktik klinis dalam mendeteksi tanda peningkatan tekanan intrakranial.


Background: Increased intracranial pressure is a serious medical condition that requires rapid detection and appropriate management to prevent complications such as brain herniation. Gold standard for measuring intracranial pressure is invasive and requires adequate resources and facilities. A non-invasive method involving the measurement of optic nerve sheath diameter (ONSD) has emerged as an alternative for assessing intracranial pressure. Objective: To evaluate the role of the ONSD-to-eye diameter (ED) ratio in detecting signs of increased intracranial pressure using CT and MRI. Method: An analytical observational study was conducted using secondary data from head-neck CT and MRI scans performed between January 2022 and January 2024. The study included 21 patients with signs of increased intracranial pressure (cases) and 21 control patients. Bivariate analysis assessed the differences in mean ONSD and its ratio to ED between the case and control groups. Results: The mean age ± standard deviation (SD) of patients was approximately 44±11 years in the case group and 46±13 years in the control group. The ONSD was significantly higher in the group with signs of increased intracranial pressure compared to controls, both on CT (6.05 mm vs. 3.61 mm; p<0.01) and MRI (5.36 mm vs. 3.47 mm; p<0.001). The ONSD-to-ED ratio was also significantly higher in the group with signs of increased intracranial pressure on both CT (0.255 vs. 0.151; p<0.01) and MRI (0.228 vs. 0.150; p<0.001). ROC curve analysis showed excellent AUC values for both parameters (AUC=1.000). Correlation between ONSD measurement and its ratio to ED using CT and MRI also demonstrated a high positive correlation (0.8 ≤ r ≤ 1; p<0.001). Conclusion: The ONSD-to-ED ratio has excellent diagnostic value and potential for widespread use in clinical practice for detecting signs of increased intracranial pressure.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>