Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 81563 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raihanah Suzan
"Latar Belakang: Kontak tubuh manusia dengan arus listrik dapat mengakibatkan trauma luka bakar. Pada Pasien luka bakar listrik, derajat keparahan trauma yang dialami pada organ dalam tidak sebanding dengan luka bakar di permukaan tubuh, sehingga dapat dikategorikan sebagai luka bakar berat. Terapi nutrisi merupakan bagian integral dalam tata laksana luka bakar sejak awal resusitasi hingga fase rehabilitasi. Saat ini sudah terdapat rekomendasi untuk tata laksana nutrisi luka bakar berat. Namun, belum terdapat rekomendasi yang spesifik mengenai tata laksana pada luka bakar listrik.
Metode: Laporan serial kasus ini menjelaskan empat pasien kasus luka bakar listrik. Pasien mengalami berbagai penyulit yang kemudian mempengaruhi tata laksana nutrisi yang diberikan. Pasien pertama dengan trauma servikal, pasien kedua mengalami AKI dan penurunan fungsi hati, pasien ketiga mengalami syok sepsis, dan pasien keempat mengalami sepsis dan amputasi. Pemberian nutrisi dimulai sesuai dengan kondisi pasien. Target pemberian energi dihitung dengan menggunakan persamaan Harris-Benedict untuk kebutuhan basal, ditambah faktor stres 1,5-2. Protein diberikan 1,5-2 g/kg BB/hari hingga terjadi perbaikan. Karbohidrat dan lemak berturut-turut 60-65% dan <35%. Pemberian nutrisi diutamakan melalui oral dan enteral, sedangkan jalur parenteral hanya digunakan bila diperlukan untuk pemenuhan energi. Mikronutrien yang diberikan berupa multivitamin antioksidan, vitamin B kompleks dan asam folat.
Hasil: Tiga pasien mengalami perbaikan klinis, kapasitas fungsional, dan laboratorium hingga diperbolehkan rawat jalan. Lama perawatan ketiga pasien tersebut berturut-turut 17 hari, 60 hari, dan 20 hari. Satu orang pasien meninggal akibat penyulit yang dialaminya yaitu syok sepsis yang menyebabkan gagal multi organ setelah dirawat selama 14 hari.
Kesimpulan: Tatalaksana nutrisi yang optimal dan tepat sesuai dengan kondisi klinis pasien dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien dengan luka bakar listrik.

Background: Contact to electricity can inflict burn injuries in human. In electrical burn injuries, the damages of the internal organs are not comparable to the burn injuries in the body's surface. Nutrition therapy is an integral part in burn management from the beginning of resuscitation to rehabilitation phase. Currently there have been several recommendations of nutrition management in severe burn injury. However there is still no recommendation that specifically recommend for nutrition management in patients with electrical burn injury.
Methods: The serial case report describes four patients with electrical burn injury. All patients had various complications that affected the nutrition management. First patient with cervical trauma, second patient had AKI and decreased liver function, third patient had septic shock, and fourth patient had sepsis and amputation. Nutrition was given individualy according to the patient clinical condition. Target of energy given calculated by Harris-Benedict equation for basal requirement with added stress factor 1,5-2. Protein was given 1,5-2 g/kg BW/day except patient with AKI protein restricted to 0,8-1 g/kg BW/day until improvement of renal function. Carbohydrates and lipids were given 60-65% and <35%, respectively. Oral or enteral nutrition was preferred while parenteral nutrition only given if required to meet the energy requirements. Micronutrients supplementation such as antioxidant vitamins, vitamin B complex, and folic acid were provided to patients.
Results: Three patients had the improvement in clinical condition, functional capacity, and laboratory results that allowed them to be discharged and had outpatient treatment. Length of stay of the patients were 17, 60, 20 days respectively. One patient died due to septic shock compilation that lead to multiple organ failure after 14 days of hospitalization.
Conclusion: Optimal and appropriate nutrition management adjusted to patient's clinical condition can reduced morbidity and mortality rate in the electrical burn injury patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mutia Winanda
"ABSTRAK
Latar belakang: Prevalensi obesitas di seluruh dunia telah diketahui mengalami peningkatan yang signifikan dalam tiga dekade terakhir. Tingginya prevalensi obesitas tersebut dapat memengaruhi peningkatan prevalensi pasien luka bakar dengan obesitas yang dirawat di unit luka bakar. Pasien luka bakar dengan obesitas mengalami fenomena 'second hit', yaitu peningkatan respon hipermetabolisme pasca luka bakar akibat inflamasi kronik yang sebelumnya sudah dialami. Masalah tersebut memiliki kaitan erat dengan nutrisi sehingga membutuhkan terapi medik gizi yang optimal untuk memodulasi respon hipermetabolisme yang meningkat pada pasien luka bakar dengan obesitas. Metode: Pada serial kasus ini terdapat empat pasien luka bakar berat karena api. Keempat pasien tersbeut memiliki status nutrisi obes berdasarkan kriteria indeks massa tubuh IMT menurut WHO untuk Asia Pasifik. Target kebutuhan energi dihitung menggunakan formula estimasi Xie dengan berat badan kering. Terapi medik gizi diberikan sesuai panduan terapi medik gizi pasien sakit kritis berupa nutrisi enteral dini dengan target energi awal 20-25 kcal/kg BB dengan target protein 1,5-2 gram/kg BB. Terapi medik gizi selanjutnya diberikan sesuai dengan klinis dan toleransi pasien. Mikronutrien yang diberikan berupa vitamin C, vitamin B, asam folat, dan seng.Hasil: Tiga pasien meninggal selama perawatan karena syok sepsis yang tidak teratasi, sedangkan satu pasien mengalami perbaikan luas luka bakar dari 47 menjadi 36 luas permukaan tubuh LPT serta peningkatan kapasitas fungsional. Kesimpulan: Status nutrisi obesitas pada pasien dalam serial kasus ini dapat menjadi faktor yang memperberat penyulit yang dialami. Terapi medik gizi yang adekuat dapat menunjang proses penyembuhan luka serta meningkatkan kapasitas fungsional.

ABSTRACT<>br>
Background The prevalence of obese patients presenting to burn unit facilities is expected to increase over the next three decades due to global epidemic of obesity. Given that the metabolic derrangements seen in burn mirror those found in association in obesity, it is plausible that excess adipose tissue contributes to a 'second hit' phenomenon in patients affected by burn injury. Optimal and adequate medical nutrition therapy is required in order to modulate the inflammatory and metabolic response, therefore enhance burn wound healing.Methods The current case series consist of four severly flame burned patient. The nutritional status of these patients was moderately obese according to WHO criteria for Asia Pacific. Enery requirement was calculated using the Xie formula based on patient rsquo s dry weight. Medical nutrition therapy was initiated with eraly enteral nutrition started at 20-25 kcal kg day with protein target at 1,5-2 gram kg day. Micronutrient supplementation was also given to these patients. Results Three patients died during hospitalization due to septic shock. The last patient had satisfactory wound healing and improved functional capacity at discharge. Kesimpulan: Obesity in this case series may be one of the risk factor for mortality. Adequate medical nutrition therapy inline with patient's clinical condition leads to enhancement healing process and improved functional capacity."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raissa Edwina Djuanda
"Latar belakang: Karsinoma nasofaring merupakan salah satu keganasan yang dapat menyebabkan malnutrisi. Radioterapi dan kemoterapi merupakan bagian dari terapi yang dapat menimbulkan berbagai efek samping yang dapat mempengaruhi status gizi. Tujuan dari tata laksana nutrisi adalah meminimalkan penurunan massa tubuh, meningkatkan kualitas hidup, serta menurunkan angka mortalitas dan morbiditas. Tata laksana nutrisi yang diberikan meliputi pemberian makronutrien, mikronutrien, nutrient spesifik, konseling dan edukasi.
Metode: Pasien serial kasus ini berjumlah empat orang dan berusia antara 38?69 tahun. Keempat pasien menjalankan terapi kemoradiasi. Hasil skrining pasien menggunakan malnutrition screening tools (MST) adalah SOH2. Kebutuhan energi total pasien dihitung menggunakan Harris-Benedict yang dikalikan dengan faktor stress sebesar 1,5. Pemantauan yang dilakukan meliputi keluhan subyektif, kondisi klinis, tanda vital, antropometri, massa lemak, massa otot, kapasitas fungsional, pemeriksaan kekuatan genggam tangan, analisis asupan, dan laboratorium. Monitoring dan evaluasi dilakukan secara teratur untuk memantau pencapaian target nutrisi.
Hasil: Dukungan nutrisi pada keempat pasien dapat meningkatkan asupan, meminimalkan penurunan massa tubuh dan kapasitas fungsional pada pasien KNF yang menjalankan terapi kemoradiasi.
Kesimpulan: Dukungan nutrisi yang diberikan pada pasien KNF yang menjalankan terapi kemoradiasi dapat meminimalkan penurunan status gizi dan kapasitas fungsional pasien. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raissa Edwina Djuanda
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Primahastuti
"Latar belakang: Kanker kepala dan leher merupakan salah satu kanker yang berisiko tinggi malnutrisi. Pada kanker kepala dan leher stadium lanjut lokal, radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi merupakan terapi pilihan dan berkaitan dengan berbagai efek samping yang berperan dalam penurunan asupan makan dan berefek negatif pada status nutrisi. Tata laksana nutrisi bertujuan untuk mengurangi risiko malnutrisi, mendukung keberhasilan terapi kanker, meningkatkan kualitas hidup, serta menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Pemberian terapi nutrisi berupa konsultasi individu yang meliputi perhitungan kebutuhan energi, makronutrien, mikronutrien, dan nutrien spesifik, serta pemberian medikamentosa bila diperlukan.
Metode: Pasien pada serial kasus ini berjumlah empat orang dengan rentang usia 3055 tahun. Dua dari empat pasien mendapat kombinasi kemoterapi. Hasil skrining keempat pasien dengan malnutrition screening tools (MST) didapatkan skor ≥2. Kebutuhan energi total dihitung menggunakan persamaan Harris-Benedict yang dikalikan dengan faktor stres sebesar 1,4. Pemantauan yang dilakukan berupa anamnesis keluhan subyektif dan analisis asupan, pemeriksaan fisik, antropometri, massa otot skelet, massa lemak, kekuatan genggam tangan, dan hasil laboratorium. Pemantauan dilakukan secara rutin dengan frekuensi satu kali per minggu untuk menilai pencapaian target nutrisi.
Hasil: Terapi nutrisi dapat meningkatkan asupan protein dan nutrien spesifik, namun tidak dapat mencegah penurunan BB, massa otot skelet, dan kekuatan genggam tangan pada pasien kanker kepala dan leher stadium lanjut lokal yang menjalani terapi radiasi dengan atau tanpa kemoterapi.
Kesimpulan: Tata laksana nutrisi pada pasien kanker kepala dan leher stadium lanjut lokal yang menjalani terapi kanker dapat memberikan efek positif pada asupan nutrien pasien.

Introduction: Head and neck cancer is one of malignancy with higher risk of malnutrition. Treatment of choice for locally advanced head and neck cancer is radiotherapy with or without chemotherapy and is associated with various side effects that may decrease food intake and negatively affect nutritional status. The aim of nutrition management is to reduce the risk of malnutrition, to support the success of cancer therapy, to enhance the quality of life, and to reduce morbidity and mortality. Nutrition therapy in the form of consultation includes calculation of energy needs, macronutrient, micronutrient, and specific nutrients, as well as drug therapy when needed.
Methods: This case series consist of four patients between 3055 years old. Half of the patients received combination with chemotherapy. All patients had screening score with malnutrition screening tools (MST) ≥2. The total energy requirement was calculated using Harris-Benedict equation then multiplied with stress factor 1.4. Monitoring was done by anamnesis of subjective complaints and food intake, physical examination, anthropometric, muscle mass, fat mass, hand grip strength, and laboratory results. Monitoring was performed frequently once a week to assess the accomplishment of nutritional target.
Results: Nutrition therapy could improve intake of protein and specific nutrients, but couldn't prevent weight loss, a decrease in muscle mass and hand grip strength in locally advanced head and neck cancer patients receiving radiation therapy with or without chemotherapy.
Conclusion: Nutrition management in locally advanced head and neck cancer patients receiving anticancer therapy positively affect patient's nutrient intake.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Arintawati
"ABSTRAK
Latar Belakang: Prevalensi gagal jantung semakin meningkat per tahun, 60-70% disebabkan penyakit jantung koroner (PJK). Beberapa faktor risiko penyebab gagal jantung yaitu DM, hipertensi, obesitas, sindrom metabolik, dan aterosklerosis. Patofisologi gagal jantung sangat kompleks dan melibatkan banyak sistem, terjadi hipermetabolisme yang dapat menyebabkan penurunan
berat badan dan memicu terjadinya malnutrisi. Keadaan gagal jantung dekompensasi akut karena infark miokard lama membutuhkan penanganan segera di RS untuk menghindari komplikasi lebih lanjut.
Metode: Laporan serial kasus ini memaparkan empat kasus pasien gagal jantung dekompensasi akut karena infark miokard lama, berusia antara 41 hingga 70 tahun, dan tiga diantaranya dengan riwayat DM tipe II. Semua pasien memerlukan dukungan nutrisi, tiga pasien memiliki status gizi obesitas dan satu pasien berat badan normal. Masalah berkaitan erat pada nutrisi keempat pasien adalah hipoalbuminemia, gangguan elektrolit, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati, keseimbangan cairan, serta defisiensi mikronutrien. Perhitungan kebutuhan energi basal (KEB) dihitung berdasarkan rumus Harris Benedict dengan faktor stres sesuai kondisi klinis dan penyakit penyerta. Komposisi makronutrien diberikan menurut
rekomendasi Therapeutic Lifestyle Changes (TLC) dan American Heart Association (AHA), pemberian protein disesuaikan dengan fungsi ginjal masing-masing pasien. Pemberian suplementasi mikronutrien juga diberikan
kepada keempat pasien. Pemantauan pasien meliputi keluhan subyektif, hemodinamik, analisis toleransi asupan, pemeriksaan laboratorium, antropometri, keseimbangan cairan dan kapasitas fungsional.
Hasil: pemantauan selama di RS, keempat pasien menunjukkan perbaikan klinis, peningkatan toleransi asupan, perbaikan kadar elektrolit dan peningkatan kapasitas fungsional.
Kesimpulan: Terapi nutrisi medik yang adekuat dapat memperbaiki kondisi klinis pasien gagal jantung dekompensasi akut karena infark miokard lama.

ABSTRACT
Background: The prevalence of heart failure increase annually, 60-70% due to coronary heart disease (CHD). Some of the risk factors associated with heart failure are diabetes, hypertension, obesity, metabolic syndrome, and atherosclerosis. The phatophysiology of heart failure is very complex and involves many systems. The occurance of hypermetabolism can lead to weight loss and triger malnutrition. The state of acute decompensated heart failure due to old myocardial infarction require immediate treatment in hospital to avoid further complications.
Methods: This series of case report describes four cases of patients with acute myocardial heart failure, due to old infarction, aged between 41 to 70 years old, and three of them with a history of type 2 diabetes melitus. All patients required nutritional support, three patients had nutritional status of obese and one patient was normal in weight. The problems which closely linked to all nutrition of the four patients were hypoalbuminemia, electrolyte disturbances, impaired renal function, impaired liver function, fluid inbalance, and micronutrient deficiencies. Basal Energy Requirement was calculated using Harris Benedict formula with stress factors corresponding clinical condition and comorbidities. Macronutrients composition was given according to the recommendation of the Therapeutic Lifestyle Changes (TLC) and the American Heart Association (AHA), while the provision of proteins was
tailored with the kidney function of each patient. Micronutrients supplementation was also given to four patients. Patient monitoring parameters included subjective complaints, hemodynamic, analysis tolerance
of intake, laboratory tests, anthropometric, fluid balance and functional capacity.
Results: During the monitoring period in the hospital four patients showed clinical improvement, increased tolerance of intake, improved electrolyte levels and increased functional capacity.
Conclusion:Adequate medical nutrition therapy can improve the clinical condition of patients with acute decompensated heart failure due to old myocardial infarction.
"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pande Putu Agus Mahendra
"ABSTRAK
Latar belakang: Luka bakar merupakan suatu trauma yang menyebabkan kerusakan dan kehilangan jaringan karena kontak dengan objek bersuhu tinggi. Kondisi tersebut memicu respons inflamasi lokal dan sistemik yang memicu komplikasi. Hipermetabolisme dan hiperkatabolisme yang terjadi memerlukan tatalaksana nutrisi adekuat untuk menurunkan respons inflamasi, mencegah wasting otot, meningkatkan imunitas, dan mempercepat penyembuhan luka.
Metode: Empat pasien dalam serial kasus ini mengalami luka bakar berat karena api dengan berbagai pencetus. Dua pasien dalam serial kasus ini masuk perawatan lebih dari 24 jam pasca kejadian. Status nutrisi pasien obes derajat II 1 pasien dan obes derajat I 3 pasien . Target energi menggunakan metode Xie dan Harris ndash;Benedict dengan berat badan sebelum sakit. Pemberian nutrisi diberikan sesuai dengan rekomendasi untuk sakit kritis fase akut 20 ndash;25 kkal/kg BB. Nutrisi dini dilakukan pada dua pasien yang datang kurang dari 24 jam pasca kejadian. Nutrisi diberikan melalui jalur enteral dengan metode drip intermittent. Tatalaksana nutrisi selanjutnya disesuaikan dengan toleransi dan kondisi klinis yang dialami pasien.
Hasil: Tiga pasien meninggal selama perawatan karena komplikasi sepsis Tatalaksana nutrisi dinaikkan bertahap sesuai kondisi klinis pasien. Pasien kasus keempat mengalami perbaikan dengan luas luka bakar 48,5 menjadi 11,5 dan peningkatan kapasitas fungsional, walaupun terjadi penurunan berat badan hingga 12 kg selama perawatan.
Kesimpulan: Tatalaksana nutrisi yang adekuat dengan memperhatikan kondisi klinis serta parameter penunjang lainnya dapat menunjang proses penyembuhan luka serta menurunkan laju morbiditas dan mortalitas pada pasien luka bakar. Kata kunci: luka bakar berat, tatalaksana nutrisi.

ABSTRACT
Background Burn injury is a trauma that caused damage and tissue loss due to contact with high temperature objects. That conditions will initiated local and systemic inflammatory reaction, which trigger complications after burn injury. Adequate nutrition management is needed in hypermetabolic and hypercatabolic condition to decrease the inflammatory response, prevents muscle wasting, improve immunity and wound healing.
Methods Four patients in this case series suffered from burn injury by fire with various origins. Two patients in this case series were treated more than 24 hours after trauma. Patients nutritional status were obese grade II 1 patient and grade I 3 patients. Energy requirement was measured by using Xie and Harris Benedict equations, with usual body weight. Nutrition was given base on recommendation for critically ill in acute phase, 20 ndash 25 kcal kg BW. Enteral nutrition was initiated for two patients who came less than 24 hours post burn, using intermittent drip method. The nutrition was adjusted daily depend on their clinical condition.
Results Three patients died during treatments for septic complications. Nutrients management gradually increase in accordance to clinical conditions. Patient in 4th cases experienced improvement with burn area decreased from 48,5 to 11,5 , also increasing on functional capacity, despite of weight loss up to 12 kg during treatment.
Conclusion Adequate nutritional management based on clinical conditions not only to reduce morbidity and mortality in burn patients, but also lead to improve healing process.. Keywords severe burn, nutrition management.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55615
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Fitriyani
"ABSTRAK
Pendahuluan:
Stroke iskemia menyebabkan cedera pada otak yang dapat menyebabkan malnutrisi dan disfagia. Risiko stroke meningkat jika ditemukan hipertensi dan dislipidemia. Tujuan tata laksana nutrisi adalah mencegah malnutrisi, menurunkan faktor risiko, dan mencegah risiko stroke berulang dan komplikasi pada pasien dengan faktor risiko.
Presentasi Kasus:
Pasien dalam serial kasus terdiri dari tiga pasien laki-laki dan satu pasien perempuan berusia antara 39-54 tahun yang didiagnosis stroke iskemia. Kasus pertama dan kedua memiliki faktor risiko hipertensi, sedangkan kasus kedua dan keempat memiliki faktor risiko dislipidemia. Hasil skrining gizi dengan MST pada pasien pertama adalah skor 2 dan diagnosis khusus, sedangkan tiga kasus lain termasuk dalam diagnosis khusus. Kebutuhan nutrisi dihitung dengan persamaan Harris-Benedict dengan faktor stres 1,5 pada kasus pertama karena terdapat ulkus dekubitus, sedangkan faktor stres tiga kasus lain adalah 1,3. Target pemberian protein adalah 1,3-1,5 g/kg BB/hari. Selama pemantauan, pemberian protein mencapai 1,3-1,4 g/kg BB/hari. Kasus kedua dan keempat mengalami disfagia, tetapi terdapat perbaikan disfagia pada pasien keempat sehingga jalur nutrisi diubah melalui oral, sedangkan pada kasus kedua tidak terdapat perbaikan disfagia sehingga pasien pulang dengan NGT. Terdapat riwayat hiponatremia berulang pada kasus pertama, sehingga dilakukan koreksi natrium dan restriksi cairan.
Hasil:
Terdapat perbaikan klinis pada keempat kasus dan perbaikan kapasitas fungsional, kecuali kapasitas fungsional kasus pertama.
Kesimpulan:
Tata laksana nutrisi adekuat pada pasien stroke iskemia dengan mempertimbangkan komorbiditas dapat menunjang perbaikan klinis dan kapasitas fungsional pasien.

ABSTRACT
Background:
Ischemic stroke cause cerebral insult results in malnutrition and dysphagia. Risk factors of stroke are hypertension and dyslipidemia. The aim of nutrition management is malnutrition prevention, lowering the risk factors, and preventing of recurrent stroke and complication.
Case Presentation:
The four patients included in this serial case were three males and one female, 39-54 years old, diagnosed with ischemic stroke. The first and second case had history of hypertension and the third and fourth case had dyslipidemia. The result of MST score of first case was 2 and special diagnosed, whereas the other three cases were special diagnosed. Energy needs was based on Harris-Benedict equation with 1,5 of factor stress for first case (with pressure ulcers) and 1,3 for the other three cases. The target of protein needs is 1,3-1,5 g/kg. The protein intake during monitoring were 1,3-1,4 g/kg. Dysphagia were found at second and fourth case, but then the fourth case had recovery of dysphagia and nutrition route was transitioned to oral, while the second case did not had recovery of dysphagia during monitoring and discharged with NGT. Natrium correction and fluid restriction were done at first case due to history of repeated hyponatremia.
Result:
There were improvement of clinical outcome and functional capacity, except functional capacity of first case.
Conclusion:
Adequate nutritional management for ischemic stroke patients could support the recovery of clinical outcome and functional capacity and should consider patients? comorbidities.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zairida Rafidah Noor
"ABSTRAK
Latar belakang: Cholangiocarcinoma adalah keganasan traktus bilier yang dapat menyebabkan gangguan metabolisme dan malnutrisi. Terapi kuratif adalah dengan pembedahan. Saat ini telah terdapat pedoman tata laksana nutrisi perioperatif pada slauran cerna tetapi belum terdapat rekomendasi spesifik terkait cholangiocarcinoma.
Presentasi kasus: Pasien dalam serial kasus ini terdiri dari empat pasien laki-laki berusia γ1?6β tahun dengan diagnosis cholangiocarcinoma ekstrahepatik dengan rencana bedah elektif. Maka tata laksana nutrisi yang dilakukan adalah dukungan nutrisi perioperatif. Pasien diberikan diet tinggi protein dan rendah lemak dengan nutrien spesifik berupa MCT dan BCAA. Pada kasus pertama dukungan nutrisi perioperatif mencakup pra dan pasca operasi, outcome operasi baik dan target nutrisi tercapai. Pada kasus kedua pasien mengalami komplikasi fistula pankreas dan tuberkulosis usus sehingga toleransi terhadap dukungan nutrisi pasca operasi berjalan lambat dan tidak mencapai target. Pada kasus ketiga pasien diberikan dukungan nutrisi pra operasi dan selama pemantauan didapatkan perbaikan kondisi klinis dan target nutrisi tercapai. Pasien kasus kedua dan ketiga diberikan suplementasi enzim pankreas yang meningkatkan toleransi asupan. Pada kasus keempat pasien mengalami perburukan kondisi klinis selama pemantauan yang berkaitan dengan beratnya penyakit dan berbagai komplikasi sehingga tata laksana nutrisi yang diberikan tidak optimal.
Kesimpulan: Tata laksana nutrisi perioperatif yang adekuat dapat memberikan outcome yang baik pada pasien cholangiocarcinoma. Pemberian nutrien spesifik berupa MCT dan BCAA, dan suplementasi enzim pankreas bermanfaat meningkatkan toleransi asupan pada pasien cholangiocarcinoma.

ABSTRACT
Background: Cholangiocarcinoma is biliary tract malignancy that may alter metabolism function and cause malnutrition. Curative therapy is abdominal surgery. Recommendations regarding perioperative nutrition in abdominal surgery has been established but there is no specific recommendations for cholangiocarcinoma yet.
Case presentation: Four male with range of age between γ1 to 6β years old are included in this case series. All cases were diagnosed with extrahepatic cholangiocarcinoma and bound to elective surgery therapy. Thus all patients were given perioperative nutrition support. All patient were given high protein and low diet with specific nutrients such as MCT and BCAA. The first patient received perioperative nutrition during pre and post operation phase, operation outcome was good, and nutrition target was achieved. The second patient experienced complications of pancreatic fistula and intestine tuberculosis, resulting in slow response to nutrition therapy. The third patient received nutrition therapy during pre operation phase with good response and nutrition target was achieved. The second and third patient were given pancreatic enzyme supplementation that improved nutrition tolerance. The fourth patient?s clinical condition worsen during monitoring due to nature of the severe disease and presence of complications hence nutrition therapy worked poorly.
Conclusion: Adequate perioperative nutrition support in cholangiocarcinoma improves outcome. Specific nutrients such as MCT and BCAA, and pancreatic enzyme supplementation improves nutrition tolerance and contribute to achieving nutrition target in cholangiocarcinoma patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel Oetoro
"Tujuan: Mengetahui pengaruh pemberian nutrisi enteral dini (NED) terhadap stres metabolisme pada penderita luka bakar, dalam rangka mencari alternafif penatalaksanaan nutrisi pada penderita luka bakar.
Tempat: Unit Luka Bakar RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Bahan dan cara: Penelitian ini merupakan uji klinik pada penderita luka bakar berusia 18 - 60 tahun dengan luka bakar derajat dua seluas 20 - 60% luas permukaan tubuh (LPT). Sepuluh subyek perlakuan diberi Nutrisi Enteral Dini/NED mulai ≤8 jam pasca trauma, sedangkan 10 subyek kontrol diberi nutsisi enteral/oral 24 jam pasca trauma. Stres metabolisme dideteksi dengan pemeriksaan kadar hormon kortisol serum, glukosa darah dan nitrogen urea urin (NUU). Sampel darah untuk pemeriksaan kortisol dan glukosa diambil pada hari ke 1, 7 dan 12. Urin untuk pemeriksaan NUU di kumpulkan selama 24 jam pada hari ke 3, 7 dan 12. Uji statistik yang digunakan adalah uji Mann Whitney U untuk kadar kortisol, NUU dan glukosa darah. Batas kemaknaan yang digunakan 0,05.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna pada kadar kotisol dan NUU, namun demikian pada hari ke 12 tampak penurunan kadar NUU lebih tajam pada kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol justru meningkat Kadar glukosa darah pada hari 12 menunjukkan perbedaan bermakna (p = 0, 04).
Kesimpulan: Pemberian NED berhasil menekan stres metabolisme yang terjadi pada penderita luka bakar derajat dua berdasarkan parameter glukosa darah.

Objective: To investigate the effect of early enteral nutrition (EEN) on the metabolic stress in burned patients, in respect to looking for the alternative of nutrition management in burned patients.
Place: Burn Unit RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Materials and methods: This study was randomized clinical trial was conducted on 18 - 60 years subjects with 20 - 60% total body surface area (FBSA) of second degree burned. Ten subjects were given enteral nutrition started g 8 hours post burn, while 10 control subjects were given enteral/oral nutrition 24 hours post burn. Metabolic stress was detected by measuring of serum cortisol, blood glucose level, and urinary urea nitrogen (UUN) level. Blood samples for cortisol and glucose level were taken on day 1, 7 and 12 Twenty four hours collected urine for UUN level were taken on day 3, 7 and 12. Statistical analysis was performed with Mann Whitney U test for cortisol level, NUU and glucose level. The level of significance was 0, 05.
Results: There were no significant differences between the two groups based on serum cortisol and UUN levels, however, the level o UUN of the day 12 decreased in the study group, while it increased in the control group. A significant difference was found of blood glucose between these two groups (p = 0, 04) on day 12.
Conclusion: The administration of EEN reduced the metabolic stress of second degree burned patients express by blood glucose parameter.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T5321
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>