Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 135875 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ary Widia Atmoko
"Kejadian sindrom koroner akut (SKA) pada pasien risiko atau suspek penyakit jantung koroner (PJK) terkait dengan tipe plaque-nya. Coronary Computed Tomography Angiography (CCTA) merupakan modalitas pilihan untuk melihat adanya soft plaque, mixed plaque dan calcified plaque pada arteri koronaria. Mengetahui hubungan antara vulnerable plaque dengan kejadian SKA pada pasien yang telah diperiksa CCTA menjadi informasi tambahan dalam evaluasi dan penatalaksanaan pasien. Metode.: Penelitian retrospektif dengan comparative cross sectional pasien risiko atau suspek PJK yang menjalani pemeriksaan CCTA yang terdapat soft plaque dan mixed plaque yang termasuk vulnerable plaque serta calcified plaque. Dilakukan penilaian rerata Hounsfield Unit dan perhitungan remodeling indeks (RI) untuk melihat komponen positif remodeling (PR). Hasil : Terdapat hubungan yang bermakna pada vulnerable plaque yang mengalami SKA dengan nilai p < 0,001 dan OR : 6.55. Selain itu didapatkan juga hubungan yang bemakna antara soft plaque dan mixed plaque dengan positif remodeling dibandingkan tanpa positif remodeling dengan nilai p : 0,039 dan OR : 2,92. Kesimpulan : Terdapat hubungan yang bermakna antara vulnerable plaque pada pasien risiko atau suspek PJK dengan kejadian SKA
Background and Objective : Acute coronary syndrome (ACS) event in risk or suspect of coronary artery disesase depent on their plaque type. Coronary Computed Tomography Angiography (CCTA) is modality of choice to recognise soft plaque, mixed plaque and calcified plaque in coronary artery disease (CAD). Correlation between vulnerable plaque with ACS event in risk or suspek CAD that already examined by CCTA have additional information for evaluation and treatment patient.Methods : Comparative cross sectional retrospective study patient with risk or CAD that already examined by CCTA that contain soft plaque and mixed plaque that categorized as vulnerable plaque and calcified plaque, also assessment average value of Hounsfield Unit and quantification of remodeling index (RI) to see the positive remodeling (PR). Results :There is correlation in vulnerable plaque related to ACS with p < 0,001 and OR : 6,55. Besides that there also correlation between soft plaque and mixed plaque with posistif remodeling compare without positive remodeling with value p 0,039 and OR : 2,92. Conclusions : There is correlation between ACS event and vulnerable plaque in patient with risk or suspect CAD"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shafira Rahmania
"Penyakit kardiovaskular, khususnya penyakit arteri koroner (Coronary Artery Disease/CAD), merupakan salah satu penyebab utama kematian global. Bedah pintas arteri koroner (Coronary Artery Bypass Graft/CABG) merupakan salah satu intervensi utama untuk CAD yang bertujuan mengurangi morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Namun, perawatan intensif yang berkepanjangan pasca CABG dapat berdampak negatif terhadap luaran kondisi pasien dan beban sumber daya kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kesintasan pasien pasca bedah pintas arteri koroner (CABG) untuk keluar dari ICU dalam waktu ≤48 jam dan mengembangkan model skoring prediksi lama rawat intensif. Studi menggunakan desain kohort retrospektif dengan data sekunder dari registri bedah jantung dewasa di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita periode Januari 2019 – Agustus 2024. Analisis mencakup univariat, bivariat (log-rank dan uji Cox proportional hazard), serta multivariat untuk memperoleh model prediksi terbaik. Hasil menunjukkan bahwa faktor faktor usia (adjHR 1.22; 95% CI 1.12-1.32), stroke (adjHR 1.29), gangguan fungsi ginjal berat (adjHR 1.51); gangguan fungsi ginjal sedang (adjHR 1.89), fungsi jantung normal (adjHR 1.80), kondisi kritis pre-operasi (adjHR 3.37), disfungsi jantung sedang (adjHR 1.85), disfungsi jantung ringan (adjHR 2.51), fungsi jantung normal (adjHR 3.03); mengalami infark miokard >21 hari pre-operasi (adjHR 1.35); tidak pernah mengalami infark miokard (adjHR 1.36); dan status prosedur elektif (adjHR 1.36) sebagai prediktor signifikan perawatan ICU ≤48 jam. Model skoring yang dikembangkan memiliki nilai AUC 68,87%, dengan titik potong skor ≥14 menunjukkan prediksi keberhasilan pasien menyelesaikan perawatan ICU dalam waktu ≤48 jam pasca operasi CABG.

Cardiovascular diseases, particularly coronary artery disease (CAD), are among the leading causes of global mortality. Coronary Artery Bypass Graft (CABG) surgery is one of the primary interventions for CAD, aimed at reducing morbidity and improving patients' quality of life. However, prolonged intensive care post-CABG can negatively impact patient outcomes and place a burden on healthcare resources. This study aims to analyze factors influencing the survival of post-CABG patients to leave the ICU within ≤48 hours and to develop a scoring model for predicting intensive care length of stay. The study employed a retrospective cohort design using secondary data from the adult cardiac surgery registry at RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita from January 2019 to August 2024. The analysis included univariate, bivariate (log-rank and Cox proportional hazards tests), and multivariate approaches to obtain the best predictive model. Results identified are age (adjHR 1.22; 95% CI 1.12–1.32), stroke (adjHR 1.29), severe renal dysfunction (adjHR 1.51), moderate renal dysfunction (adjHR 1.89), normal cardiac function (adjHR 1.80), critical preoperative condition (adjHR 3.37), moderate cardiac dysfunction (adjHR 1.85), mild cardiac dysfunction (adjHR 2.51), normal cardiac function (adjHR 3.03), myocardial infarction >21 days preoperatively (adjHR 1.35), no history of myocardial infarction (adjHR 1.36), and elective procedure status (adjHR 1.36) as significant predictors for ICU stays ≤48 hours. The developed scoring model achieved an AUC of 68.87%, with a cutoff score of ≥14 indicating successful prediction of ICU discharge within ≤48 hours post-CABG surgery."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hafiz Aini
"Latar Belakang: Derajat kompleksitas lesi koroner yang berat merupakan prediktor mortalitas dan Major Adverse Cardiovascular Event (MACE) serta penentuan revaskularisasi pada penyakit jantung koroner (PJK). Fragmented QRS (fQRS) dinilai sebagai penanda iskemia atau cedera miokardium PJK. Hubungan fQRS dan derajat kompleksitas lesi koroner perlu diteliti lebih lanjut pada pasien PJK di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui hubungan fQRS dan derajat kompleksitas lesi koroner pada pasien penyakit jantung koroner.
Metode: Penelitian potong lintang di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, mengambil data sekunder pada 172 pasien jantung koroner yang menjalani percutaneous coronary intervention (PCI) di Cath Lab pada bulan Januari-Juni 2018 secara total sampling. Pasien dibagi berdasarkan adanya tidaknya fQRS. Data demografi, klinis, dan deajat kompleksitas (skor Gensini) diteliti. Hubungan antara adanya fQRS dan derajat kompleksitas lesi koroner dianalisis dengan uji kesesuaian.
Hasil: Sembilan puluh empat (54,6%) subjek terdapat gambaran fQRS. Pada analisis didapatkan hubungan antara fQRS dengan kategori skor Gensini ringan-sedang dan ringan-berat dengan kesesuaian baik (kappa 0,721 dan 0,820; p <0,001). Hubungan dengan kesesuaian yang baik juga didapatkan antara fQRS dan PJK signifikan (kappa 0,670; p <0,001) serta fQRS dan PJK multivessel (kappa 0,787; p <0,001).
Simpulan: Terdapat hubungan fragmented QRS complexes dan derajat kompleksitas lesi koroner pada pasien penyakit jantung koroner.

Background. The severity of coronary artery lesion is used as a predictor of mortality, major adverse cardiovascular event, and revascularization in coronary artery disease (CAD). Fragmented QRS complex (fQRS) as a novel marker of myocardial ischemia/scar in patients with coronary artery disease. The relationship between the two in Indonesia should be studied further.
Purpose. To determine the relationship between fQRS and the severity of coronary lesion in coronary artery disease.
Methods. A cross sectional study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital. Secondary data were taken from 172 patients with CAD who underwent percutaneous coronary intervention (PCI) from January-June 2018 with total sampling. Patients were divided based on the existence of fQRS. Demographic, clinical, and severity of coronary artery lesion (Gensini score) characteristics were studied. Data were analysed using Cohens kappa agreement test.
Results. fQRS was present in 94 subjects (54.6%). Bivariate analysis showed a significant difference between fQRS with mild-moderate Gensini score as well as mild-severe Gensini score (kappa 0,721 and 0,820; p<0,001), fQRS with significant CAD (kappa 0.670; p<0,001), and fQRS with multivessel CAD (kappa 0.787; p<0,001).
Conclusion. There is a significant relationship between fQRS and the degree of severity of coronary lesion in coronary artery disease patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Novita Lianasari
"Penyakit Jantung Koroner PJK adalah penyakit pada jantung yang terjadi karena otot jantung mengalami penurunan suplai darah. Kurangnya pengetahuan pasien mengenai faktor risiko penyakit jantung koroner berkaitan dengan terjadinya serangan jantung berulang yang akan berdampak pada meningkatnya biaya perawatan dan psikologis pasien yaitu depresi, bahkan dapat menyebabkan komplikasi ataupun kematian. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif komparatif dengan pendekatan cross- sectional. Sampel penelitian berjumlah 67 orang dengan diagnosis penyakit jantung koroner. Pengambilan sampel dengan metode non- probability sampling yaitu consecutive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan faktor risiko penyakit jantung koroner dengan serangan jantung berulang p= 0,43, 0,05. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan faktor risiko penyakit jantung koroner dengan frekuensi serangan jantung berulang p=0,57, 0,05 . Penelitian ini merekomendasikan pemberian edukasi yang disertai dengan motivasi kepada pasien untuk dapat mengubah perilaku sehingga memiliki kesadaran yang tinggi untuk mengontrol faktor risiko dengan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari agar terhindar dari serangan jantung berulang.

Coronary Artery Disease (CAD) is a disease caused by an imbalance between blood supply and heart muscle oxygen demand. Insufficient knowledge about risk factors contributing to CAD is associated with higher recurrence of heart attack, causing the rise of the hospitalitation cost, depression, others complications even death. This study employed comparative descriptive design with cross sectional method, involving a consecutive sample of 67 patients with CAD as their primary diagnosis. Our study showed that there was no relationship between knowledge of CAD risk factors with the recurrence of heart attacks p 0,43, 0,05. Similarly, the study revealed that there was no relationship between risk factors for coronary heart disease and the frequency of heart attack's recurrence p 0,57 0,05 . This study suggested nurses to provide health education along with continuous and effective motivation in order to help patients controlling their risk factors in order to avoid the recurrence of heart attack."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S68824
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Adip Pradipta
"Latar Belakang Uji latih jantung beban (ULJB) merupakan modalitas diagnostik PJKO yang telah lama digunakan. Meskipun demikian, perannya semakin semakin tergantikan oleh karena tingginya angka positif palsu, khususnya pada respons iskemik sugestif positif. Tujuan studi ini adalah untuk menyusun sebuah model algoritme prediksi menggunakan kecerdasan buatan untuk mendeteksi PJKO pada populasi respons iskemik sugestif positif.
Metode Pasien yang menjalani ULJB dengan hasil respons iskemik sugestif positif dan angiografi koroner invasif dalam rentang 1 tahun pasca ULJB diikutsertakan dalam studi ini. Populasi studi dibagi secara acak menjadi kelompok latihan (80%) dan uji (20%) untuk membuat algoritme prediktif. Total 16 dari 122 fitur yang digunakan, meliputi informasi klinis, faktor risiko dan EKG saat ULJB. Algoritme yang digunakan meliputi support vector machine, logistic regression, random forest, k-nearest neighbor, naive Bayesian, Adaboost, decision tree dan extreme gradient boosting. Hasil Sebanyak 124 dari 513 pasien dengan respons iskemik sugestif positif ikutserta dalam studi ini. Algoritme random forest memiliki nilai akurasi yang paling tinggi 0,75±0,05 dengan indeks Youden 0,37 serta AUC 0,7±0,14. Sebanyak 86(69,35%) populasi terbukti memiliki stenosis signifikan.
Kesimpulan ULJB dengan bantuan kecerdasan buatan dapat mendeteksi adanya PJKO pada pasien dengan sindroma koroner kronik dengan respons iskemik sugestif positif.

Background Treadmill stress testing (TST) used to be an established diagnostic modalities in diagnosing obstructive coronary artery disease (OCAD) among patients with chronic coronary syndrome (CCS). Nevertheless, it has high false positive rate especially especially those with suggestive positive ischemic response (SPIR). We aim to develop an predictive model based on machine learning to detect OCAD among those with SPIR.
Method Patients who underwent TST and coronary angiography (CAG) within 1 year interval were enrolled into the study. They were randomly splitted into training (80%) and testing (20%) dataset for model development. Sixteen out of 122 features were used, including clinical information, risk factor and ECG parameter during TST. Several algorithm were used in model development including support vector machine, logistic regression, random forest, k-nearest neighbor, naive Bayesian, Adaboost, decision tree dan extreme gradient boosting.
Result 124 out of 513 patients with SPIR were enrolled in this study. Random forest algorithm achieved the highest accuracy (0,75±0,05) with Youden index of 0,37 and AUC 0,7±0,14. A total of 86(69,35%) patients had OCAD based on CAG.
Conclusion Machine learning based predictive model can diagnosed OCAD among CCS patients with SPIR.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jordan Sardjan
"Latar Belakang: Penyakit kardiovaskular terutama penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab utama kematian pasien dengan penyakit perlemakan hati non-alkoholik (PPHNA). Pengukuran controlled attenuation parameter (CAP) menilai derajat steatosis hati secara non-invasif dan terukur, sementara skor SYNTAX dapat menggambarkan derajat aterosklerosis koroner dan membantu pemilihan modalitas revaskularisasi koroner (PCI atau CABG). Hingga saat ini, belum diketahui korelasi antara nilai CAP dengan skor SYNTAX pada pasien PJK signifikan. Tujuan: Mengetahui korelasi antara nilai CAP steatosis hati dengan skor SYNTAX lesi koroner pada pasien PJK signifikan. Metode: Studi potong lintang dengan populasi terjangkau adalah pasien dewasa yang menjalani tindakan angiografi koroner di ruang cathlab Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada bulan Juli hingga Oktober 2023 dan terbukti menderita PJK signifikan. Selanjutnya dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah, penilaian CAP dengan elastografi transien, dan penghitungan skor SYNTAX. Analisis data dilakukan untuk mencari koefisien korelasi antara nilai CAP dengan skor SYNTAX. Hasil: Didapatkan 124 subjek penelitian dengan dengan rasio laki-laki berbanding perempuan 5:1 dan rerata usia 59,8 ± 11,1 tahun. Rerata IMT 25,6 ± 3,5 kg/m2, dengan 54,8% subjek tergolong obesitas. Sebanyak 94,4% dan 55,6% subjek menderita hipertensi dan DM, dengan tekanan darah dan parameter glikemik relatif terkontrol. Rerata HDL 38,8 ± 10,8 mg/dL dengan 55,6% subjek memiliki HDL rendah, dan median LDL 109,5 mg/dL dengan 89,5% subjek belum mencapai target LDL. Rerata nilai CAP 256,5 ± 47,3 dB/m, dengan 52,5% subjek (IK 95%: 43,3% - 61,5%) menderita steatosis signifikan (nilai CAP ≥ 248 dB/m), Median skor SYNTAX 22. Uji korelasi Spearman menunjukkan korelasi positif dan signifikan antara nilai CAP dengan skor SYNTAX (r = 0,245, p < 0,0001). Kesimpulan: Diantara pasien dengan PJK signifikan, 52,5% diantaranya memiliki steatosis hati non-alkoholik signifikan. Terdapat korelasi positif dan bermakna antara nilai CAP dengan skor SYNTAX pada pasien PJK signifika.

Background: Cardiovascular diseases, particularly coronary artery disease (CAD), is the leading cause of death in patients with non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). The controlled attenuation parameter (CAP) measurement assesses the degree of liver steatosis in a non-invasive and measurable manner, while the SYNTAX score depicts the degree of coronary atherosclerosis and aids in the selection of coronary revascularization modalities (PCI or CABG). To date, the correlation between CAP values and SYNTAX scores in patients with significant CAD remains unknown. Objective: To determine the correlation between controlled attenuation parameter (CAP) value of liver steatosis and SYNTAX score of coronary lesions in patients with significant CAD. Methods: This cross-sectional study was conducted on an accessible population of adult patients who underwent coronary angiography at Cipto Mangunkusumo Hospital catheterization laboratory from July to October 2023, and were proven to have significant CAD. Anamnesis, physical examination, blood tests, CAP assessment with transient elastography, and SYNTAX score calculation were performed. Data analysis was conducted to find the correlation coefficient between CAP values and SYNTAX scores. Results: A total of 124 patients were included in this study, with a mean age of 59.8 ± 11.1 years and 5:1 of male to female ratio. The mean BMI was 25.6 ± 3.5 kg/m2, with 54.8% subjects classified as obese. A total of 94.4% and 55.6% subjects were hypertensive and diabetic with relatively controlled blood pressure and glycemic parameters. The mean HDL was 38.8 ± 10.8 mg/dL with 55.6% of the subjects having low HDL, and a median LDL of 109.5 mg/dL, with 89.5% of the subjects yet to achieve the optimal LDL target. The mean CAP value was 256.5 ± 47.3 dB/m, with 52.5% of the subjects having significant steatosis (CAP value ≥ 248 dB/m). The median SYNTAX score was 22. The Spearman correlation test showed a positive and significant correlation between CAP values and SYNTAX score (r = 0.245, p < 0.0001). Conclusion: Among patients with significant CAD, 52.5% have significant non-alcoholic hepatic steatosis. There is a positive and significant correlation between CAP values and SYNTAX scores in patients with significant CAD."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmat Hamonangan
"Latar Belakang: Angka harapan hidup yang meningkat menyebabkan peningkatan populasi usia lanjut termasuk populasi usia lanjut dengan penyakit jantung koroner. Frailty sering ditemukan pada pasien usia lanjut dengan penyakit kardiovaskular dan keberadaan frailty sangat mempengaruhi prognosis penyakit jantung koroner pada pasien usia lanjut termasuk luaran terhadap intervensi revaskularisasi. Percutaneous Coronary Intervention (PCI) adalah salah satu metode revaskularisasi dan belum banyak penelitian yang dilakukan terkait pengaruh frailty terhadap luaran pasien usia lanjut yang menjalani PCI elektif.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan proporsi frailty, insidensi Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) 30 hari dan mengkaji peran frailty terhadap prognosis pasien usia lanjut dengan penyakit jantung koroner yang menjalani PCI elektif.
Metode: Secara prospektif dilakukan penilaian terhadap kondisi frailty pasien usia lanjut dengan penyakit jantung koroner yang menjalani PCI elektif di RS Cipto Mangunkusumo dengan menggunakan kriteria Frailty Phenotipe. Pasien kemudian di follow-up selama 30 hari setelah tindakan PCI elektif untuk melihat apakah MACE terjadi atau tidak.
Hasil: Terdapat 100 pasien usia lanjut dengan penyakit jantung koroner yang menjalani PCI elektif dari bulan September 2014 - Juni 2015. Usia rata-rata pasien adalah 66.95 tahun (SD = 4.875) dengan pasien terbanyak adalah laki-laki (69%). Sebanyak 61% pasien termasuk ke dalam kelompok frail. MACE terjadi pada 8.19% pasien pada kelompok frail dan 5.12% pada kelompok non-frail. Hubungan frailty terhadap MACE dapat dilihat dari hasil crude Hazard Ratio (HR) 1.6 (IK 95% 0.31-8.24). Pada penelitian ini, kesintasan 30 hari 95% pada kelompok frail, sementara pada kelompok non-frail kesintasan 30 hari adalah sebesar 98%.
Kesimpulan: Terdapat peningkatan risiko 1.6 kali untuk terjadinya MACE 30 hari pada subyek usia lanjut frail yang menjalani PCI elektif namun belum bermakna secara statistik.

Background: The increase in life expectancy caused the increase in elderly population including the population of elderly with Coronary Artery Disease. Frailty is commonly found in elderly patients with cardiovascular disease and frailty had a major influence in determining the prognosis of cardiovascular disease in elderly including the outcome of revascularization intervention. PCI (Percutaneous Coronary Intervention) is one method of revascularization. However, frailty research on the effect on the outcome of elderly patients with coronary artery disease undergoing PCI is still limited.
Aim: To get the proportion of frailty and 30 days Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) incidence, and to review impact of frailty in elderly patients with coronary heart disease who underwent elective PCI.
Method: The frailty condition of the elderly patients with coronary artery disease that underwent elective PCI in Cipto Mangunkusumo Hospital was assessed with the Frailty Phenotype criteria. After the patients underwent the elective PCI, they were followed for 30 days to see whether MACE occurred or not.
Result: There are 100 elderly patients with coronary artery disease that underwent elective PCI from September, 2014 until June, 2015. The mean age of patients is 66.95 ± 4.875 years and 69% of the patients were males. Frail was present in 61% of the patients. MACE were occurred in 8.19% of frail patients and 5.12% were occurred in non-frail patients. The correlation between frailty and MACE could be seen in the result of crude HR 1.6 (CI 95% 0.31-8.24). In this research, the 30 days survival rate is 95% in frail patients and 98% in non-frail patients.
Conclusion: There is a 1.6 fold increased risk of 30 days MACE in elderly frail patients that underwent elective PCI but it is not statistically significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Trianita Suwatri
"Coronary artery bypass grafting (CABG) pada pasien Ejection Fraction (EF) <30% dikaitkan dengan risiko perioperatif yang tinggi. Oleh karena itu, penting untuk melakukan identifikasi pasien yang akan mendapat manfaat dari revaskularisasi. Single photon emission computed tomography (SPECT) digunakan untuk menilai viabilitas miokadium dan ischemic burden. Manfaat CABG pada pasien penyakit jantung koroner (PJK) EF <30% and ischemic burden <10% masih dalam perdebatan karena tingginya mortalitas dan morbiditas pascaoperasi. Teknik off-pump coronary artery bypass graft (OPCAB) diharapkan dapat mengurangi komplikasi pascaoperasi terkait penggunaan mesin cardiopulmonary bypass (CPB) dan dengan meminimalkan manipulasi aorta. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa mortalitas dan morbiditas pasien PJK dengan EF <30% and ischemic burden <10% yang menjalani OPCAB dibanding conventional CABG (CCABG). Dalam penelitian retrospektif ini, terdapat 109 pasien yang menjalani elektif CABG antara bulan Januari 2015 sampai November 2018 di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Indonesia. Terbagi dalam dua kelompok, 35 pasien kelompok OPCAB dan 74 pasien kelompok CCABG. Data demografi tidak terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok. Aritmia yang terjadi pada kelompok OPCAB sebanyak 25,7% berbeda bermakna secara statistik lebih rendah dibandingkan kelompok CCABG sebanyak 51,4% (RR 3,55; IK 95% 1,40-8,91; p = 0,012). Hasil lain yang juga berbeda bermakna secara statistik adalah gagal ginjal akut 8,6% pada kelompok OPCAB dibandingkan 27% pada kelompok CCABG (RR 3,96; 95% CI 1,09-14,35; p = 0,027). Stroke pasca prosedur OPCAB sebesar 2,9% dibandingkan 17,6% pada kelompok CCABG (RR 7,25; IK 95% 1,91-57,81; p = 0,032). Sepsis pasca prosedur OPCAB 5,7% juga berbeda bermakna secara statistik lebih rendah dibandingkan CCABG 21,6% (RR 0,037; 95% CI 0,67-15,12; p = 0,037). Mortalitas pasca prosedur OPCAB lebih rendah dibandingkan CCABG namun tidak bermakna secara statistik, 5,7% dibandingkan 16,2% (RR 3,20; 95% CI 0,67-15,12; p = 0,126). Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada low cardiac output syndrome (LCOS) dan operasi ulang pada kedua kelompok. Kami merekomendasikan OPCAB pada pasien PJK EF <30% and ischemic burden <10%.

Coronary artery bypass grafting (CABG) in patients with Ejection Fraction (EF) <30% is associated with high perioperative risk. Therefore, it is very important to identify patients who would benefit from revascularization. Single photon emission computed tomography (SPECT) is commonly performed to assess myocardial viability and ischemic burden. A benefit of CABG for coronary artery disease (CAD) patients with EF <30% and ischemic burden <10% is still on debate because of the high postoperative mortality and morbidity. The technique of offpump coronary artery bypass (OPCAB) might reduce postoperative complications related to cardiopulmonary bypass (CPB) machine and by minimizing aortic manipulation. The objective of this study is to analyze in hospital mortality and morbidity in patients with EF <30% and ischemic burden <10% undergoing OPCAB compared to conventional CABG (CCABG). In this retrospective study, we included 109 consecutive patients undergoing elective CABG between January 2015 and November 2018 at the National Cardiovascular Centre Harapan Kita, Indonesia. The patients were divided in two groups, 35 patients undergoing OPCAB and 74 patients undergoing CCABG. Demographically, there are no significant differences in preoperative and intraoperative data in comparisons between two groups. Arrhythmia in OPCAB group is statistically lower compared to CCABG group, 25.7% vs 51.4% (RR 3.55; IK 95% 1.40-8.91; p = 0.012). Acute kidney injury is 8.6% vs 27% in OPCAB group and CCABG group, respectively (RR 3.96; IK 95% 1.09-14.35; p = 0.027). Stroke is 2,9% vs 17,6% in OPCAB group and CCABG group, respectively (RR 7,25; IK 95% 1,91-57,81; p = 0,032). OPCAB surgery also shows a statistically significant reduction in perioperative sepsis (5.7% vs 21.6%, RR 0.037; IK 95% 0.67-15.12; p = 0.037). There is no statistically significant difference between OPCAB and CCABG in mortality, 57% vs 16.2% (RR 3.20; IK 95% 0.67-15.12; p = 0.126). There are also no statistically significant differences in perioperative low cardiac output syndrome, re-operation data in both groups. We recommend the OPCAB technique in patients EF <30% and <10% ischemic burden."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57774
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Myrna Martinus
"Latar Belakang: Sebesar 90% penderita DM merupakan DMT2. Komplikasi makrovaskular pada DM merupakan komplikasi ke tiga terbanyak setelah retinopati dan neuropati. Kematian pada DMT2 tujuh puluh lima persen disebabkan oleh PJK. Hal yang mendasari kejadian PJK adalah aterosklerosis yang didahului oleh proses disfungsi endotel. Disfungsi endotel ditandai oleh adanya peningkatan endotelin-1 (ET-1) dan penurunan NO akibat peningkatan inhibitor eNOS, asymmetrical dimethylarginine (ADMA).
Tujuan: Mengetahui perbedaan kadar ADMA dan ET-1 dengan keparahan Penyakit Jantung Koroner (PJK) stabil dengan dan tanpa DMT2.
Metode: Penelitian potong lintang, analitik pada pasien PJK stabil dengan dan tanpa DMT2 yang akan menjalani angiografi koroner pertama kali. Dilakukan pemeriksaan ADMA, ET-1, HbA1c dan evaluasi lesi koroner dengan sistim skoring berdasarkan syntax score (SS). Analisis untuk melihat 2 perbedaan median dilakukan dengan uji Mann Whitney dan perbedaan median lebih dari 2 kelompok dengan uji Kruskal Wallis pada distribusi data yang tidak normal.
Hasil: Dari 28 orang pasien PJK stabil dengan DMT2 dan 30 pasien PJK stabil tanpa DMT2 didapatkan proporsi usia hampir sama, wanita lebih banyak pada kelompok DMT2. Kadar ADMA dan ET-1 pada DMT2 lebih tinggi dibanding tanpa DM (p 0,6; 2,1 dan p 0,3). Kadar ADMA dan ET-1 pada DMT2 dan HbA1c ≥ 7% lebih rendah dari HbA1c < 7% ( p 0,7 dan p 0,8).Kadar ADMA pada DMT2 dan SS tinggi lebih rendah dibanding SS rendah(p 0,7), sedangkan kadar ET-1 pada DMT2 dan SS tinggi, lebih tinggi dibanding SS rendah (p 0,9). Kadar ADMA dan ET-1 pada DMT2 dengan SS rendah dan HbA1c ≥ 7% lebih rendah dibanding HbA1c < 7% ( p 0,5 dan p 0,5).
Simpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar ADMA dan ET-1 pada pasien PJK stabil dengan dan tanpa DMT2. Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar ADMA dan ET-1 dengan kontrol glukosa darah pada kelompok syntax score rendah.

Background: Ninety percent of diabetes patients have type 2 diabetes mellitus (T2DM). Macrovascular complication was the third highest complication in diabetes after retinopathy and neuropathy. Coronary artery disease (CAD) resulting from diabetes is responsible for 75% of diabetes-related death. Underlying mechanism of CAD is atherosclerosis initiated by endothelial dysfunction. The endothelial dysfunction is marked by endothelin-1 (ET-1) levels raise and NO decrement, as a result of eNOS inhibition by increased asymmetrical dimethylarginine (ADMA).
Objective: To determine the difference of asymmetrical dimethylarginine (ADMA) and endotelin-1 (ET-1) levels to evaluate the severity and complexity of coronary lesion in stable coronary artery disease (SCAD) with and without T2DM.
Methods: This is an analytical cross-sectional study. We obtained serum sample and measured ADMA, ET-1, HbA1c levels and evaluated coronary lesion by syntax score (SS). Analysis of the ADMA and ET-1 correlation was evaluated by blood glucose control and SS. Mann-Whitney U test was used to compare two independent mean, Kruskal-Wallis test was used for differences among the groups median if variables were not normally distributed.
Results: We enrolled 28 stable CAD patients with T2DM and 30 stable CAD patients without T2DM. Baseline coroner angiography results with age proportion were similar in both groups. Women were predominant in T2DM group. ADMA and ET-1 levels in T2DM were higher than in without T2DM (58,0 and 50,5 with p 0,6 ; 2,1 and 1,8 with p 0,3). ADMA dan ET-1 levels in T2DM with HbA1c ≥ 7% were lower than in T2DM with HbA1c < 7% (51,7 and 65,3 with p 0,7 ; 2,08 and 2,14 with p 0,8). ADMA level in T2DM with high SS was lower than ones with low SS (44,5 and 58,4 with p 0,7), ET-1 level in T2DM with high SS was higher than in T2DM with low SS (2,72 and 2,08 with p 0,9). ADMA and ET-1 levels in T2DM with low SS and HbA1c ≥ 7% were lower than HbA1c < 7% (47,8 and 72,0 with p 0,5 ; 2,06 and 2,14 with p 0,5).
Conclusions: ADMA and ET-1 levels in patient SCAD with and without T2DM are insignificantly related. There is no significant difference of ADMA and ET-1 levels with blood glucose control and low syntax score.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mutarobin
"Coronary Artery Disease (CAD) atau Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan suatu gangguan fungsi jantung yang disebabkan karena otot miokard kekurangan suplai darah akibat adanya penyempitan dan tersumbatnya pembuluh darah jantung. Kondisi ini dapat mengakibatkan perubahan pada berbagai aspek, baik fisik, psikologis, maupun sosial yang berakibat pada penurunan kapasitas fungsional dan kenyamanan. Rehabilitasi jantung merupakan program pencegahan, pengobatan, pemulihan yang aman serta efektif untuk menilai kapasitas fungsional jantung, hemat biaya, mudah diterapkan pada kelompok besar, dan dapat ditoleransi dengan baik.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi pengaruh 6-MWT terhadap kapasitas fungsional jantung dan kenyamanan pada pasien PJK. Penelitian ini merupakan penelitian quasi experiment, dengan desain pre-post with control group. Teknik consecutive sampling digunakan untuk merekrut 57 responden yang terbagi menjadi 29 responden kelompok kontrol dan 28 responden kelompok intervensi. Pengumpulan data kapasitas fungsional jantung dilakukan dengan VO2 max dan kenyamanan menggunakan Short General Comfort Questionnaire (SGCQ).
Hasil pengukuran menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan kapasitas fungsional dan kenyamanan sebelum dan setelah perlakuan pada kedua kelompok dengan p-value < 0,001. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, 6-MWT dapat digunakan sebagai modalitas keperawatan bagi pasien PJK. 6-MWT hendaknya dijadikan bagian integral dari manajemen rehabilitasi fase 3 pada pasien PJK.

Coronary Heart Disease (CHD) is a disorder of cardiac function caused a deficiency of blood supply to a myocardial muscle. This condition may result in changes various aspects of physical, psychological, and social that will a decrease of functional capacity of the heart and patients comfort. Heart rehabilitation is a safe, effective and effective prevention, treatment, recovery program to assess cardiac functional capacity, cost-effective, easy to apply to large groups, and well tolerated.
The purpose of this study was to identify the impact of 6-MWT on the heart functional capacity and comfort of CHD patients. This study was a quasiexperiment, with a pre and post with control group design. The consecutive sampling technique was used recruited 57 respondent divided into 29 respondent in the control group and 28 respondent in the intervention group. A VO2 max of functional capacity and Short General Comfort Questionnaire (SGCQ).
There were significant differences in functional capacity and comfort before and after treatment in control and intervention groups with the p-value < 0,001. This study suggests that the 6-MWT can be used as a nursing modality for patients with CHD Post. 6-MWT should be made an integral part of phase 3 rehabilitation management in CHD patients.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
T48766
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>