Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164778 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ayu Astria Sriyana
"ABSTRAK
Latar belakang: Otitis media supuratif kronik merupakan penyakit yang memiliki banyak faktor risiko, salah satunya yang diduga adalah peran dari refluks laringofaring. Refluks laringofaring (RLF) merupakan naiknya cairan lambung yang mengenai daerah laring dan faring. Penelitian mengenai refluks pada pasien OMSK dewasa belum banyak diteliti sehingga penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peranan RLF dalam patofisiologi OMSK. Tujuan: Meningkatkan pengetahuan mengenai peran RLF sebagai salah satu faktor risiko OMSK. Metode: Penelitian potong lintang analitik untuk mengetahui refluks laringofaring sebagai faktor risiko OMSK berdasarkan hubungan reflux symptom index (RSI), reflux finding score (RFS) terhadap kadar pepsin. Hasil: Proporsi subjek OMSK dengan pepsin positif pada sekret telinga tengah sebesar 59,5%. Rerata kadar pepsin sekret telinga tengah lebih tinggi secara bermakna pada kelompok OMSK dengan RFS positif dibandingkan kelompok RFS negatif (P<0,05). RFS positif mempunyai risiko 5,13x terdapat pepsin positif pada telinga tengah (CI 95% = 1,095-24,073). Tidak didapatkan hubungan bermakna antara nilai RSI dengan kadar pepsin telinga tengah. Kesimpulan: Penilaian RFS perlu dilakukan pada pasien OMSK untuk mengetahui adanya RLF yang dapat meningkatkan risiko terdapatnya pepsin di telinga tengah dan kemungkinan berperan dalam inflamasi kronis OMSK. RLF perlu diteliti lebih lanjut untuk mengetahui hubungannya sebagai faktor risiko OMSK.
Kata kunci: Refluks laringofaring, pepsin, OMSK

ABSTRACT
Background: Laryngopharyngeal reflux is suspected to be the one of risk factor that contributes in chronic suppurative otitis media. Laryngopharyngeal reflux is defined as the reflux of gastric content into larynx and pharynx. This study purpose is to know the role of laryngopharyngeal reflux in the pathophysiology of CSOM. Objective: To increase the knowledge about the role of LPR as a risk factor CSOM. Methods: This study is a cross-sectional analytic research to study LPR as a risk factor CSOM based on RSI and RFS relationship with pepsin level in the middle ear. Results: This study found 59.5% CSOM subjects having positive pepsin in the middle ear. Mean middle ear pepsin levels were significantly higher in the group of CSOM with positive RFS than negative group (p<0.05). RFS positive increase the risk by 5.13 times the presence of positive pepsin in the middle ear (95% CI = 1.095 to 24.073). There are no significant relationship between RSI with pepsin levels in the middle ear. Conclusion: Positive RFS increase the risk of the presence of pepsin in the middle ear and may have role in chronic inflamation. LPR should be investigated further to determine its relationship as a CSOM risk factor
Keywords: Laryngopharyngeal reflux, Pepsin, CSOM"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elvie Zulka Kautzia Rachmawati
"ABSTRAK
Refluks laringofaring (RLF) pada anak merupakan kelainan yang sering ditemukan
dan dihubungkan dengan peningkatan insidens berbagai penyakit saluran napas dan
gangguan tumbuh kembang, oleh karena itu diperlukan instrumen diagnosis yang tepat
untuk penatalaksanaanya. Sampai saat ini, instrumen terstandarisasi belum ada,
sehingga diperlukan satu cara untuk mendiagnosis secara mudah, murah, nyaman, tidak
invasif namun mempunyai nilai diagnosis tinggi. Pada orang dewasa, RLF sering kali
dikaitkan dengan Hipertrofi Tonsil Lingual (HTL) dan keberadaan DNA Human
Papillomavirus (HPV), namun hal ini belum dapat dibuktikan pada anak. Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan instrumen diagnostik RLF serta melihat hubungan antara
RLF dan HTL dan keberadaan DNA HPV pada RLF dengan HTL.
Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan 3 desain penelitian, yaitu uji
diagnostik kuesioner Skor Gejala Refluks (SGR) dan Skor Temuan Refluks (STR)
dibandingkan dengan pHmetri 24 jam, dilanjutkan dengan studi kasus kontrol untuk
menilai hubungan RLF dan HTL, serta uji melihat keberadaan HPV DNA pada HTL
dengan RLF dengan cara Linear Array genotyping. Kriteria inklusi adalah anak berusia
5‒18 tahun, memiliki beberapa keluhan seperti banyak riak di tenggorok, sering nyeri
menelan, rasa tersangkut dan mengganjal di tenggorok, mendehem, tersedak, bersuara
serak dan batuk kronik. Kemudian dilakukan pemeriksaan nasofaringolaringoskopi
untuk menilai keadaan faring dan laring dan pemasangan pHmetri. Apabila pasien RLF
terdapat HTL derajat 2 dan 3, dilakukan biopsi tonsil lingual untuk menilai keberadaan
DNA HPV.
Dari hasil penelitian ini, diperoleh satu instrumen baru yang terdiri dari keluhan
berdehem, batuk mengganggu dan choking, disertai kelainan pita suara dan edema
subglotik. Instrumen dengan titik potong 4, mempunyai nilai diagnostik yang baik
dengan nilai sensitivitas 75%, spesifisitas 76%, Nilai Prediksi Positif 80% dan Nilai
Prediksi Negatif 71%. Instrumen baru ini dapat digunakan untuk mendiagnosis RLF
pada anak. Tidak terdapat hubungan bermakna antara HTL dengan RLF dan keberadaan
HPV DNA tidak terdeteksi pada HTL pasien RLF.

ABSTRACT
Laryngopharyngeal reflux (LPR) is common condition in children which is connected
to the increased incidence of airway problems and a developmental delay, therefore a
reliable diagnostic tool is required to manage the condition. There is no standardized
instrument to diagnose LPR yet, consequently, obtaining an instrument which is cost
effective, simple, convenient, non-invasive but yield a good diagnostic values
(sensitivity, specificity, Positive Predictive Value (PPV) and Negative Predictive Value
(NPV)) is essential. In adult, LPR is frequently linked to Lingual Tonsil Hypertrophy
(LTH) and the presence of HPV DNA in its tissue, however those findings have not
been confirmed in pediatric population. The aim of this study is to obtain a good
diagnostic instrument for LPR, to observe the relationship between LPR and LTH and
to identify the existence of HPV DNA in LTH of patient with LPR.
A diagnostic study was done comparing adult questionaires for LPR i.e. Reflux
Symptom Index (RSI) and Reflux Finding Score (RFS) with 24 hour pHmetry, followed
by a case control study to determine the relationship between LPR and LTH and a
crossectional study to evaluate the existence of HPV DNA with Linear Array
genotyping in LTH. The inclusion criteria are age between 5‒18 years old, with the
complain of phleghmy throat, frequent odinophagia, the sensation of lump in the throat,
frequent throat clearing, choking episode, hoarseness and chronic cough. Then the patient
underwent nasopharyngolaryngoscopy for laryngeal evaluation followed by pHmetry
insertion. If LPR is confirmed, the biopsy will be taken from LTH, to see the existence
of HPV DNA.
A new diagnostic instrument, consists of frequent throat clearing, annoying cough,
choking, vocal cords abnormalities, and subglottic edema has been developed and it
demonstrates a good diagnostic outcome. The cut-off is score 4, which produced 75%
sensitivity, 76% specificity, 80% NPP, 71% NPN. Therefore, this instrument can be
applied to diagnose LPR in children. Neither a significant relationship between LPR and
HTL nor the existence of HPV DNA are demonstrated"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Agustawan Nugroho
"Latar belakang: Otitis media efusi adalah penyebab tersering gangguan pendengaran pada anak-anak di negara berkembang. Diagnosis dan penatalaksanaan OME pada anak sering terlambat karena jarang dikeluhkan. OME merupakan penyakit yang memiliki banyak faktor risiko. Salah satu faktor risiko OME yang saat ini banyak dihubungkan dengan kelainan di telinga tengah adalah refluks laringofaring.
Tujuan: Mengetahui peran refluks laringofaring sebagai faktor risiko OME pada anak-anak.
Metode:Pemeriksaan penapisan 396 anak pada tahap pertama dan 1620 anak pada tahap kedua untuk mencari 46 anak yang masukkategori OME sebagai kelompok kasus, kemudian pemilihan 46 anakkelompok non OME sebagaikontrol secara acak, menyepadankan usia dan jenis kelamin. Pada kedua kelompok dilakukan wawancara, pengisian kuesioner, pemeriksaan THT dan pemeriksaan laring dengan nasofaringoskopi serat lentur untuk mendiagnosis refluks laringofaring.
Hasil: Proporsi refluks laringofaring pada kelompok OME lebih tinggi dibandingkan non OME, yaitu sebesar 78,3% dan 52,2%.Terdapat hubungan bermakna antara refluks laringofaring dan OMEdengan nilai odds ratio (OR)3,3 dan interval kepercayaan (IK) 95% antara 1,33 sampai 8,187; p=0,01).
Kesimpulan:Refluks laringofaring merupakan faktor risiko yang memiliki hubungan bermakna dengan terjadinya otitis media efusi.

Background: Otitis media with effusion (OME) is the most cause of hearing impairment in children of developing countries. OME is usually late in diagnosis and management due to the lack of patient’s complaints. OME is a disease that has many risks factor. One of the risk factor in developing OME, that is currently being studied, is its relationship with laryngopharyngeal reflux.
Purpose: To know the role of laryngopharyngeal reflux as a risk factor for OME.
Methods: Examination of the first stage was performed to 396 children and the second stage was performed to 1620 children. Using the exclusion and inclusion criteria, 46 children were accounted as the case group. Forty six children for control group was randomly taken from non OME patients whichmatched with age and sex from the case group. Both groups were treated equally with history taking, questionnaire filling, ENT examination and larynx examination using fiberoptic flexible laryngoscope to diagnose whether there is laryngopharyngeal reflux or not.
Results: The proportional of laryngopharyngeal reflux in OME group is higher compared to non OME group, with 78,3% and 52,2%. There is a significant relationship between laryngopharyngeal reflux and OME with an odds ratio (OR) 3,3 and confidence interval (CI) 95% of 1,33-8,187 (p=0,01).
Conclusion: Laryngopharyngeal reflux is a risk factor that has significant relationship with OME.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmanofa Yunizaf
"Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan salah satu gangguan telinga yang sering menimpa anak dan dapat menyebabkan gangguan pendengaran dan penurunan kualitas hidup, serta banyak komplikasi. Kondisi yang terkait dengan OMSK di antaranya alergi, hipertrofi adenoid, dan refluks laringofaring (RLF). Refluks laringofaring pada anak belum banyak dipelajari di Indonesia, dan diagnosis RLF berdasarkan Instrumen Tanda dan Gejala Refluks belum banyak dipelajari. Kejadian RLF juga dikaitkan dengan gangguan saraf autonom, akibat gangguan nervus vagus yang dapat menyebabkan refluksat lambung naik ke nasofaring dan mencapai muara tuba.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan RLF dengan OMSK tipe aman aktif yang dibahas desain 1 penelitian, yaitu studi kasus kontrol yang menganalisis alergi, hipertrofi adenoid, dan RLF sebagai faktor risiko OMSK tipe aman aktif. Desain kedua penelitian adalah studi kasus kontrol untuk mengetahui hubungan gangguan saraf autonom dengan kejadian RLF. Desain ketiga penelitian merupakan kohort retrospektif untuk mengetahui hubungan RLF dengan gangguan fungsi tuba. Penelitian dilaksanakan Mei 2023–Juni 2024, menyertakan 39 subjek OMSK tipe aman aktif dan 39 subjek kontrol dari pasien Poliklinik THT-KL RSCM, dan direkrut secara consecutive sampling. Subjek juga akan diperiksa kondisi RLF dan gangguan saraf autonom.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak dengan RLF terbukti berisiko 5,59x lebih tinggi untuk terkena OMSK tipe aman aktif (OR: 5,59; 95%CI: 1,247–25,049; p = 0,025). Alergi (OR: 1,433; 95%CI: 0,343–5,981; p = 0,622) dan hipertrofi adenoid (OR: 1,178; 95%CI: 0,584–2,378; p = 0,646) tidak terbukti bermakna secara statistik sebagai faktor risiko OMSK tipe aman aktif. Gangguan saraf autonom juga belum terbukti secara statistik sebagai faktor risiko RLF (OR: 1,086; 95%CI: 0,444– 2,650; p = 0,856). Refluks laringofaring juga tidak terbukti menjadi faktor risiko gangguan fungsi tuba (RR: 1,558; 95%CI: 0,594–4,087; p = 0,367). Dapat disimpulkan bahwa RLF merupakan faktor risiko utama OMSK tipe aman aktif pada anak. Pepsin dan derajat keasaman dari refluksat RLF pada telinga tengah dapat berperan dalam kerusakan telinga tengah.

Chronic suppurative otitis media (CSOM) is a prevalent ear disorder in children that can lead to hearing impairment, a decline in quality of life, and various complications. Conditions associated with CSOM include allergy, adenoid hypertrophy, and laryngopharyngeal reflux (LPR). The incidence of LPR in children has not been extensively studied in Indonesia, and diagnosis of LPR based on Reflux Symptom and Sign Instrument is yet to be studied. LPR has also been linked to autonomic nervous system dysfunction, as disturbances in the vagus nerve can result in the reflux of gastric contents into the nasopharynx and the opening of the Eustachian tube.
This study aims to investigate the relationship between LPR and active benign type CSOM with the first design being a case-control study that analyzes allergy, adenoid hypertrophy, and LPR as risk factors for active benign type CSOM. The second design, also a case-control study, is to determine the association between autonomic nervous system dysfunction and the occurrence of LPR. The third study design employs a retrospective cohort study to assess the relationship between LPR and Eustachian tube function disorders. The research is conducted from May 2023 to June 2024, including 39 subjects with active benign type CSOM and 39 control subjects from the ENT-HN Polyclinic of RSCM, recruited through consecutive sampling. Subjects will also be evaluated for the presence of LPR and autonomic nervous system dysfunction.
The results indicated that children with LPR were at a 5.59-fold increased risk of developing active safe type CSOM (OR: 5.59; 95% CI: 1.247–25.049; p = 0.025). Allergy (OR: 1.433; 95% CI: 0.343–5.981; p = 0.622) and adenoid hypertrophy (OR: 1.178; 95% CI: 0.584–2.378; p = 0.646) were not found to be statistically significant risk factors for active safe type CSOM. Additionally, autonomic nervous system dysfunction did not show statistical significance as a risk factor for LPR (OR: 1.086; 95% CI: 0.444–2.650; p = 0.856). LPR also did not appear to be a risk factor for Eustachian tube dysfunction (RR: 1.558; 95% CI: 0.594–4.087; p = 0.367). It can be concluded that LPR is a primary risk factor for active safe type CSOM in children. The presence of pepsin and the acidity level of the LPR refluxate in the middle ear may contribute to middle ear damage.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arsi Shabrina
"Latar belakang: : Refluks laringofaring merupakan keluhan yang sering ditemui pada poli rawat jalan THT RSCM.. Kuesioner yang selama ini sering digunakan di Poli THT RSCM adalah kuesioner Skor Gejala Refluks (SGR). Kuesioner memiliki kekurangan berupa banyak gejala-gejala terkait refluks laringofaring yang tidak termasuk dalam kuesioner ini. Saat ini terdapat suatu kuesioner yang dianggap lebih signifikan dalam menilai refluks laringofaring dibandingkan SGR yaitu Reflux Symptom Score (RSS) yang belum diadaptasi ke bahasa Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan dari penelitian terapi proton pump inhibitor untuk pasien OMSK aman aktif dengan refluks laringofaring Metode: Pasien-pasien curiga refluks laringofaring dan pasien yang sudah didiagnosis refluks laringofaring yang datang ke Poli THT RSCM dilakukan anamnesis, dan diminta untuk mengisi kuesioner SGR dan RSS yang sudah diadaptasi lintas budaya ke Bahasa Indonesia sesuai dengan metode WHO. Pasien juga dilakukan pemeriksaan rinofaringolaringoskopi serat optik lentur untuk melihat kriteria objektif refluks laringofaring yaitu skor temuan refluks (STR). Hasil: Penelitian melibatkan 44 subjek yang memenuhi kriteria penerimaan. Kuesioner RSS ini memiliki nilai p dan korelasi yang signifikan untuk setiap item pada penilaian frekuensi dan keparahan kecuali satu item yaitu diare. Kuesioner ini juga memiliki Cronbach Alpha di atas 0,6 untuk masing-masing bagian pada penilaian frekuensi dan keparahan. Kesimpulan: Instrumen RSS versi Bahasa Indonesia telah diadaptasi lintas budaya (transcultural), valid dan reliabel sebagai instrumen untuk menilai gejala pada RLF.

Introduction: Laryngopharyngeal reflux is frequently found in the ENT outpatient clinic of Cipto Mangunkusumo General Hospital in Jakarta. Laryngopharyngeal reflux is also a risk factor for Chronic Suppurative Otitis Media (CSOM). The questionnaire that has been frequently used in the ENT outpatient clinic is the Reflux Symptom Index (RSI) questionnaire. However, this questionnaire doesn’t include many symptoms related to laryngopharyngeal reflux. Currently, there is a questionnaire that is considered more significant in assessing laryngopharyngeal reflux than RSI, the Reflux Symptom Score (RSS). This questionnaire has not been adapted to Indonesian yet. This study is a preliminary study of a proton pump inhibitor therapy study for CSOM patients with laryngopharyngeal reflux Methods: Method: Suspected laryngopharyngeal reflux patient or patient that already been diagnosed as reflux laryngopharyngeal reflux that came to Cipto Mangunkusumo general hospital ENT outpatient clinic were interviewed and asked to fill RSI and transcultural adapted RSS. Patients were also examined using flexible rinopharyngolaryngoscopy flexible to assess reflux finding score. Results: This study involved 44 subjects who met the inclusion criteria. This RSS questionnaire has a p-value and significant correlation for each item on the assessment of frequency and severity except for one item diarrhea. This questionnaire also has Alpha Cronbach above 0.6 for each section on the assessment of frequency and severity. Conclusion: RSS Indonesian version has been transculturally adapted also valid dan reliable as an instrument to asses symptoms in laryngopharyngeal reflux."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Saraswati
"ABSTRAK
Latar belakang: Refluks laringofaring (RLF) dipertimbangkan sebagai salah satu faktor risiko karsinoma laring dengan proporsi yang cukup tinggi. Pemeriksaan ELISA pepsin dapat menjadi pemeriksaan penunjang untuk RLF yang tidak invasif dengan nilai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi. Tujuan: Mengetahui sebaran karakteristik pasien karsinoma laring, proporsi RLF berdasarkan kadar pepsin pada pasien karsinoma laring dan hubungan RLF berdasarkan kadar pepsin dengan karakteristik pasien karsinoma laring. Metode: Desain penelitian observasional analitik dengan jumlah subjek karsinoma laring sebanyak 26 orang. Subjek diminta untuk mengumpulkan sputum sebanyak 2 kali (pepsin I dan pepsin II) untuk kemudian dilakukan pemeriksaan ELISA pepsin. Hasil: Didapatkan 24 dari 26 subjek berjenis kelamin laki-laki dengan rerata usia 60,65±8,41 tahun, 7 subjek peminum alkohol berat, 12 subjek perokok berat dan 24 subjek merupakan stadium lanjut karsinoma laring. Semua subjek didapatkan menderita RLF dan didapatkan hubungan yang bermakna antara kadar pepsin I (daytime/ provoked RLF) dengan konsumsi alkohol serta perbedaan bermakna kadar pepsin I dengan perokok berat dan ringan. Kesimpulan: Refluks laringofaring dapat menjadi faktor risiko bersamaan dengan konsumsi alkohol dan rokok pada pasien karsinoma laring. ELISA pepsin dapat menjadi pemeriksaan penunjang adanya RLF terutama pada pasien dengan karsinoma laring mengingat sifatnya yang tidak invasif dan cukup murah.

ABSTRAK
Background: Laryngopharyngeal Reflux (LPR) is suspected to be a risk factor for laryngeal cancer with a high prevalence according to recent studies. ELISA pepsin can be used in diagnosing LPR as it is a noninvasive technique with great sensitivity and specificity. Objectives: To find the characteristics of laryngeal cancer patient, proportion of LPR based on the pepsin value and correlation between LPR based on the pepsin value and the characteristics of laryngeal cancer patient. Methods: Observational analytic study with 26 subjects of laryngeal cancer. All subjects were asked to collect the sputum twice (pepsin I and pepsin II) to evaluated later with ELISA. Result: Twenty four out of 26 subjects were male with mean age 60,65±8,41 years, 7 subjects were severe drinkers, 12 subjects were severe smokers and 24 subjects were late stage laryngeal cancer. All of the subjects were diagnose with LPR and there was a significant correlation between the value of pepsin I (daytime/ provoked LPR) with alcohol consumption and also a significant difference of the value of pepsin I in heavy and light smoker. Conclusion: LPR could be considered as a risk factor together with alcohol consumption and smoking status. ELISA pepsin could be a supporting examination for LPR especially in laryngeal cancer patient as it is a noninvasive and inexpensive method."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yonian Gentilis Kusumasmara
"Latar belakang: Refluks cairan lambung ke struktur laring dapat menyebabkan kerusakan pada pita suara. Stroboskopi adalah pemeriksaan penunjang untuk melihat struktur dan fungsi vibrasi pita suara yang dapat mendeteksi secara dini kelainan pada pita suara dan dapat menunjang diagnosis refluks laringofaring (RLF).
Tujuan penelitian: Mengetahui struktur dan fungsi vibrasi pita suara pada pasien RLF dibandingkan dengan pasien normal, serta mengetahui skor temuan refluks (STR) dengan menggunakan stroboskopi laring pada pasien RLF dibandingkan dengan menggunakan rinofaringolaringoskopi serat lentur.
Metode: Penelitian komparatif cross sectional yang dilakukan di URJT Departemen THT FKUI-RSCM pada bulan Agustus 2018 hingga Februari 2019 dengan subyek penelitian terdiri dari 27 orang pada masing-masing kelompok pasien RLF dengan pasien normal.
Hasil: Delapan dari 10 parameter stroboskopi laring pada kelompok RLF berbeda secara bermakna dibandingkan dengan kelompok normal, antara lain parameter amplitudo, gelombang mukosa, sifat vibrasi, aktifitas supraglotis, tepi pita suara, simetri, periodisitas, dan perbandingan fase tertutup dan terbuka. Selain itu terdapat perbedaan bermakna Skor Temuan Refluks (STR) yang dinilai dengan rinofaringo-laringoskopi (RFL) serat optik lentur cahaya konstan dibandingkan dengan stroboskopi laring, khususnya pada parameter edema subglotis, edema plika vokalis, dan hipertrofi komisura posterior.

Background: Reflux of gastric juice may damage the vocal cords. Stroboscopy is one of supporting examination to explore the structure and vibratory function of vocal cords that has main role in early diagnosis of vocal cords abnormality and sharpened laryngopharyngeal reflux (LPR) diagnosis.
Purpose: To determine differences of structure and vabratory function in LPR patients compared with normal patients, and to determine the differences of reflux finding score (RFS) using stroboscopy with flexible rhinopharyngolaryngoscopy.
Methods: Comparatif cross sectional study was conducted in ENT Outpatient Clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital since August 2018 untill February 2019 with 27 subjects in each group of patient with LPR and normal group.
Result: Eight from 10 stroboscopy parameters is significantly different between LPR group and normal group, ie. vibratory amplitude, mucosal wave, vibratory behaviour, supraglottic activity, vocal folds edge, symetry, periodicity, and open closed phase comparation. Besides, there was a significant difference between Reflux Finding Score (RFS) evaluated using flexible rhinopharyngolaryngoscopy and using laryngeal stroboscopy, particularly in subglottic edema, vocal cords edema, and hypertrophy of posterior commisure.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55595
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Arya Winatha
"Pada tahun 2010 American Venous Forum mengembangkan sebuah sistem skoring Venous Clinical Severity Score (VCSS) untuk menilai tingkat keparahan Insufisiensi Vena Kronik, dimana system ini dikatakan lebih lengkap daripada system CEAP. Tetapi validasi VCSS terhadap uji obyektif masih kurang. Tujuan Penelitian ini adalah untuk menguji VCSS terhadap refluks dan diameter vena tungkai berdasarkan ultrasonografi. Penelitian ini merupakan suatu uji diagnostik potong lintang pada pekerja wanita dengan posisi kerja berdiri sebnyak 114 orang (228 tungkai). Dilakukan penilaian VCSS dan pemeriksaan USG pada semua subjek. Hubungan antara VCSS dengan refluks dan diameter vena tungkai dianalisis menggunakan odd rasio dengan interval kepercayaan 95%. Dari 228 tungkai yang diperiksa didapatkan skor VCSS 0-3 sebanyak 18,4%, skor ≥4sebanyak 81,6%. Refluks didapatkan pada 21,9% tungkai. Terdapat hubungan yang signifikan antara VCSS dengan refluks pada vena tungkai. Sedangkan diameter vena safena magna antara 2,1-12,2mm, vena femoral 7,1-17mm, vena popliteal 3-11,4 dan vena safena parva 1,7-7mm. Ketika VCSS dihubungkan dengan diameter vena, didapatkan hubungan yang signifikan. Sensistivitas VCSS dibandingkan dengan refluks berdasarkan USG didapatkan 78%, spesivitas 98,31%, nilai prediksi positif 92,86% dan nilai prediksi negatif 93,86%. Dari hasil penelitian ini disimpulkan skoring VCSS dapat dipakai sebagi metode untuk menilai insufisiensi vena kronik. Meskipun VCSS dirancang untuk menilai keparahan penyakit vena kronis,  VCSS dapat juga dipaki untuk melakukan skrining karena menujukkan hubungan yang baik dengan refluks dan diameter vena tungkai berdasarkan USG.

In 2010 the American Venous Forum developed a scoring system for the Venous Clinical Severity Score (VCSS) to assess the severity of chronic venous insufficiency, where the system is said to be more complete than the CEAP system. But the VCSS validation of the objective test is still lacking. The aim of this study was to test VCSS for reflux and diameter of leg veins based on ultrasonography. This study is a cross-sectional diagnostic test on female workers with a working position standing at 114 people (228 limbs). VCSS assessment and ultrasound examination were performed on all subjects. The relationship between VCSS and reflux and limb vein diameter was analyzed using odds ratios with a 95% confidence interval. From the 228 limbs examined, the VCSS score of 0-3 was 18.4%, the score ≥4 was 81.6%. Reflux is obtained at 21.9% of the legs. There is a significant relationship between VCSS and reflux in the leg veins. Whereas the diameter of the safena magna vein is between 2.1-12.2mm, 7.1-17mm femoral vein, popliteal vein 3-11.4 and safena parva vein 1.7-7mm. When VCSS is associated with vein diameter, a significant relationship is obtained. The sensitivity of VCSS compared with reflux based on USG was 78%, the specificity was 98.31%, the positive predictive value was 92.86% and the negative predictive value was 93.86%. From the results of this study concluded VCSS scoring can be used as a method to assess chronic venous insufficiency. Although VCSS is designed to assess the severity of chronic venous disease, VCSS can also be cited for screening because it shows a good relationship with reflux and diameter of leg veins based on ultrasound.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Artanti
"ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit refluks gastroesofagus PRGE pada remaja sulit didiagnosis, karena gejala klinis tidak spesifik dan menyebabkan penurunan kualitas hidup. Gastroesofageal reflux disease questionnaire GERD-Q dan pediatric gastroesophageal symptom and quality of life questionnaire PGSQ telah divalidasi dan dikembangkan untuk mengidentifikasi PRGE dan kualitas hidup. Penggunaan GERD-Q dan PGSQ pada populasi remaja sebagian besar tidak diketahui.Tujuan: Untuk memperoleh prevalens dugaan PRGE pada remaja menggunakan GERD-Q dan penilaian kualitas hidup pada remaja yang memiliki GERD-Q positif skor ge; 7 dengan menggunakan PGSQ.Metode: Remaja usia 12-18 tahun di evaluasi menggunakan kuesioner GERD-Q. Remaja yang memiliki skor GERD-Q positif dievaluasi kualitas hidupnya menggunakan PGSQ. Analisis mengenai faktor risiko dugaan PRGE juga dilakukan.Hasil: Pada 520 subjek, rasio laki-laki dan perempuan 1:1,3 dan usia median 13 tahun. Prevalens dugaan PRGE pada remaja menggunakan kuesioner GERD-Q adalah 32,9 . Mengkonsumsi minuman soda memiliki risiko 1,7 kali mengalami dugaan PRGE Interval kepercayaan 95 1,3-2,2, ABSTRACT
Background Gastroesophageal reflux disease in adolescent is difficult to diagnose due to nonspecific symptom and often lead to poor quality of life. Gastroesophageal reflux disease questionnaire GERD Q and pediatric gastroesophageal symptom and quality of life questionnaire PGSQ are validated questionnaire that was developed to help identify GERD patients and their quality of life respectively. The application of GERD Q and PGSQ in adolescent population is largely unknown.Aim To obtain suspected GERD prevalence in adolescent using GERD Q and quality of life score assessment in adolescent with GERD Q positive.Methods Adolescent age 12 18 years were evaluated using indonesian version of GERD Q. Adolescents with GERD Q positive were then evaluated their quality of life using Indonesian version of PGSQ. Suspected risk factors of having GERD, which would influence GERD Q result, were also analyzed.Result In 520 subjects, the male to female ratio was 1 1,3 and the median age was 13 years range 12 18 years . Prevalence of GERD in adolescent using GERD Q was 32,9 . Routine soda consumption was 1,7 times more likely to have GERD CI 95 1.3 2.2, p"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58964
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yadita Wira Pasra
"ABSTRAK
Latar belakang : Hampir seluruh penduduk dunia pernah mengeluhkan masalah di telinga. Salah satu kelainan pada telinga adalah akibat penyakit infeksi telinga Otitis media supuratif kronik (OMSK). Data yang digunakan di Indonesia pada saat ini sudah sangat lama sehingga diperlukan data epidemiologi baru untuk menentukan strategi pencegahan dan pola tatalaksana yang tepat sesuai dengan karaktersitik penyakit dan penderita di masyarakat Indonesia saat ini.
Metode: Penelitian ini bersifat survei deskriptif potong lintang, sebagai bagian dari penelitian ?Profil Otitis Media? untuk mengetahui prevalensi dan hubungannya dengan faktor risiko OMSK, di Jakarta.
Hasil : Prevalensi OMSK di Jakarta tahun 2012 berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap populasi penduduk Kotamadya Jakarta Timur adalah 3,4%. Faktor risiko yang bermakna secara statistik terhadap kejadian OMSK adalah usia (p=0,047), tingkat pendapatan keluarga (p=0,002; OR 2,65(1,35-5,27)) dan pajanan rokok (p=0,037; OR 1,92(1,02-3,59)). Faktor risiko yang secara statistik tidak bermakna terhadap kejadian OMSK adalah rinitis alergi (p=0,226;OR 1,75(0,59-4,78)), jenis kelamin (p=0,796 ; OR 0,92(0,49-1,74)) dan status gizi (p=0,143 ; OR 0,53(0,2-1,32)). Berdasarkan penelitian ini, didapatkan dua dari tiga subyek penderita OMSK di bawah lima tahun, memiliki riwayat pemberian ASI.
Diskusi: Prevalensi OMSK pada penelitian ini sebesar 3,4%, angka ini menurut WHO digolongkan sebagai negara dengan prevalensi OMSK yang tinggi (2-4%). Strategi penatalaksanaan komprehensif diperlukan untuk menurunkan prevalensi OMSK.

ABSTRACT
Introduction: Almost all of world populations complain of ear disturbance once in their life. Chronic supurative otitis media (CSOM) is one of chronic infection of middle ear. The data use in Indonesia is out of date, new data is needed to make new policy of treatment and preventive strategy.
Method: This is cross sectional survey study, as one of ?Profil Otitis Media? study. The aims of this study are to describe prevalence and risk factor of CSOM in Jakarta.
Result: The prevalence of CSOM in Jakarta in year 2012 based on this study is 3.4%. Risk factor that significantly correlated to CSOM are age (p=0.047), family economical status (p=0,002; OR 2,65(1,35-5,27)) and smoke (p=0,037; OR 1,92(1,02-3,59)). Allergic rhinitis (p=0,226;OR 1,75(0,59-4,78)), sex (p=0,796 ; OR 0,92(0,49-1,74)) and nutritional state (p=0,143 ; OR 0,53(0,2-1,32)) are not significantly correlate with CSOM. Based on this study 2 of 3 children with CSOM below 5 years age, are given breast feeding.
Discussion: CSOM prevalence based on this study is 3.4%, according to WHO recommendation this is high CSOM prevalence (2-4%). Comprehensive treatment strategy needed to decrease CSOM prevalent in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>