Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123545 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Janet Andriani
"Skripsi ini membahas mengenai situasi pemenuhan hak korban pra dan pasca Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terbentuk. Situasi pra adalah saat negara masih belum membuat kebijakan apapun perihal korban kejahatan. Situasi pasca adalah saat Indonesia membuat kebijakan perihal korban kejahatan dan membentuk LPSK sebagai pihak yang menjalankannya. Skripsi ini menggunakan proses kebijakan publik mendalaminya. Skripsi ini mencoba membandingkan situasi pra dan pasca keberadaan LPSK untuk melihat fungsi LPSK dalam menjadi perpanjangan tangan negara untuk membantu korban kejahatan. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan melakukan wawancara kepada aparat penegak hukum , dan penelusuran data-data sekunder lainnya sebagai teknik pengumpulan data.. Hingga pada akhirnya setelah mengetahui kondisi pemenuhan hak korban pasca LPSK terbentuk, dapat diambl langkah selanjutnya apabila keberadaan LPSK masih belum bisa maksimal dalam pemberian hak korban kejahatan.

This thesis discusses about the situation of victim's rights fulfillment pre and post existence of the witness and victim protection agency (LPSK). Pre situation is when the state does not have any policies concerning victims of crime. The post is when Indonesia made a policy about vicim of crime and established LPSK to run it. This thesis tried to compare the situation before and after the existence of the insitution to look at the functions of the institution. The method used is qualitative interviewing to law enforcement, search and other secondary data as data collection techniques. At the end, after knowing the condition of the fulfillment of victims' rights after the institution is established, we can take next step if the existence of the institution is not maximal yet in the granting of rights of victims of crime."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S63275
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Artantojati
"Upaya memberantas kejahatan terorganisir tidaklah mudah jika justice collaborators tidak mendapat perlindungan yang memadai dalam menyampaikan informasi yang mereka miliki. Perlindungan bagi justice collaborators sangat penting karena yang bersangkutan biasanya mengetahui dengan pasti pola kejahatan yang terjadi, siapa-siapa yang terlibat dalam kejahatan tersebut, serta jaringan yang ada. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai lembaga yang memberikan perlindungan terhadap justice collaborators dalam menjalankan tugasnya harus bekerjasama dengan berbagai instansi penegak hukum baik kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Pelaksanaan perlindungan justice collabolators hanya bisa ditangani secara efektif melalui pendekatan multi lembaga.
Tesis ini membahas tentang perlindungan justice collabolators oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui perbandingan konsep dan pengaturan, perlindungan bagi justice collaborators di beberapa negara, peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam memberikan perlindungan dan penghargaan bagi justice collaborators, mengetahui bentuk kerjasama LPSK dan komponen sistem peradilan pidana dalam perlindungan justice collaborators, untuk mengetahui hambatan dan peluang pengaturan mengenai perlindungan justice collaborators di Indonesia. Penelitian ini dengan menggunakan metode yuridis normatif yang kemudian dipaparkan secara deskriptif analitis.
Hasil penelitian berupa perbandingan peraturan perlindungan saksi khususnya justice collabolators di Amerika Serikat, Jerman, Italia, Albania ,Belanda dan di Indonesia. Selanjutnya dibahas pratek perlindungan justice collabolators oleh LPSK yang ternyata berjalan tidak maksimal dimana selama tahun 2011 dapat dikategorikan sebagai Justice Collabolators hanya dalam 1 (satu) perkara yaitu Perkara Agus Condro. Hambatan pelaksanaan perlindungan justice collabolators melalui pendekatan teori Lawerence Friedman dari sisi substansi hukum adalah kelemahan dari Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No 13 tahun 2011 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dari sisi struktur hukum adalah kelemahan kelembagaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan dari sisi budaya hukum adalah adalah masalah koordinasi dan ego sektoral antar komponen sistem peradilan pidana.
Oleh karena itu disarankan agar melakukan perubahan dan penyempurnaan atas beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban khususnya berkaitan dengan perlindungan justice collabolators, kelembagaan LPSK, dan mekanisme hubungan kerjasama antara LPSK dan penegak hukum.

The effort to eradicate organized crime is not an easy if justice collaborator do not get enough protection to reveal the information that they have. Justice colaborator's rotection is very important because they ussually know for sure the pattern of the crime, who involved in the crime and the systems. The witness and victims protection agency (LPSK) as an institution that gives protection to justice collaborators on their duty has to cooperate with other law enforcement institutions, such as police, prosecutor, court and penitentiary institutions. The implementation of protection on justice collaborators can be done effectively by an approach of several institutions.
This thesis discusses about the protection of justice collaborators by the witness and victim protection agency (LPSK). The purpose of this writing is to find out the comparison on concept and regulation of protection for justice collaborators in several countries, the role of Witness and victims protection agency (LPSK) on giving protection and appreciation for justice collaborator, knowing the form of cooperation between the witness and victim protection agency (LPSK) and criminal justice system component on protecting justice collaborator, to know the obstacles and regulations opportunities on justice collaborators protection in Indonesia. This research uses normative yuridical method and then presented in descriptive analitical.
The results of the study is comparing witness protection regulation specially justice collaborators in United States of America, Germany, Italy, Albany, Dutch and Indonesia. Than discussing about justice collaborators protection by the witness and victims protection agency (LPSK) does not work well because during 2011 only one case that can categorized as justice collaborators, that is Agus Condro Case. Obstacle on justice collaborators protection through Lawrence Friedmann Theory approachment, from the legal substance is the weakness of article 10 part (2) Act no.13 year 2006 about Witness and victims protection, from the legal structure is the weakness of the witness and victims protection agency (LPSK), and from the legal culture is problems on coordination and sectoral ego between criminal justice system components.
Therefore it is recommended to make changes and improvements several provisions on Act no 13 year 2006 about Witness and victims protection especially related on justice colaborators protection, the institutionally of the witness and victims protection agency (LPSK), and the mechanism of cooperation relationship between the witness and victim protection agency (LPSK) and law enforcements.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30356
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Indraputra
"Upaya aparat penegak hukum dalam mengungkap suatu kejahatan tentunya akan berbicara mengenai pembuktian yang dimiliki oleh penyidik atau penuntut umum. Permasalahan seputar kekurangan atau minimnya saksi selalu menjadi permasalahan yang klasik apabila berhadapan dengan kasus-kasus yang melibatkan organisasi kejahatan yang terorganisir. Peranan “orang dalam” dalam organisasi tersebut dinilai mempunyai potensi yang cukup signifikan untuk membuka lebih jauh tabir kejahatan yang terjadi. Konsep whistleblower dan justice collaborator diyakini merupakan salah satu terobosan dalam pengungkapan suatu kejahatan yang bersifat sistematis dan terorganisir. Whistleblower dan justice collaborator pada dasarnya merupakan konsep protection of witness dalam UNCAC yang melibatkan seorang pelapor atau saksi yang juga terlibat dalam suatu tindak pidana. Permasalahan menjadi kompleks bilamana mereka tidak bersedia untuk memberikan informasi atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana yang bersangkutan, mengingat potensi ancaman dan intimidasi yang rentan diterima oleh mereka. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan whistleblower dan justice collaborator dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, mengetahui fungsi pemberian perlindungan terhadap whistleblower dan justice collaborator dalam upaya mengungkap kejahatan, dan mengetahui bentuk perlindungan yang dilaksanakan oleh LPSK. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa konsep whistleblower dan justice collaborator tidak diadopsi secara utuh oleh Undang- Undang Perlindungan Saksi dan Korban, namun tetap mengakui kedudukan whistleblower sebagai pelapor dan justice collaborator sebagai saksi pelaku yang bekerjasama yang harus dilindungi. Fungsi pemberian perlindungan ini adalah sebagai strategi agar mereka bersedia mengungkap lebih jauh suatu kejahatan. Sedangkan bentuk perlindungan yang diberikan adalah perlindungan fisik, psikis, perlindungan hukum dan penanganan secara khusus. Pemberian perlindungan ini diharapkan sebagai upaya dalam pemenuhan hak-hak whistleblower dan justice collaborator yang berpartisipasi dalam proses penegakan hukum.

The efforts of law enforcement authorities in revealing offences will certainly address about evidentiary held by investigators and prosecutors. Issues around lacks of witnesses have always been classic issues when dealing cases of organized crime. The role of “insider” is considered has significant potential for revealing further about the offences. Concept of whistleblower and justice collaborator is considered as one of the breakthroughs in revealing organized offences. Whistleblower and justice collaborator are basically a protection of witness concept in UNCAC that involves a reporting person or witnesses involved in crimes. The problem becomes complex when they are not willing to give testimonies or information related to the offences, considering potential and intimidation threats that are vulnerable accepted by them. The objectives of this research are to find out the standing of whistleblower and justice collaborator in Witness Protection Act of 2006, to find out the function of providing protection for whistleblower and justice collaborator to reveal offences, and to find out forms of protection carried by LPSK. The method used in this research is normative legal. The results of this research is that concept of whistleblower and justice collaborator are not fully adopted by Witness Protection Act of 2006, but still acknowledged the standing of whistleblower as a reporting person and justice collaborator as cooperative offenders who should be protected. The function of providing protection is as a strategy that they are willing to reveal further a crime. While the forms of the protection provided are protection of physical, psychological, legal protection and special measures. This protection is expected as an effort to fulfill whistleblower and justice collaborator rights who participated in law enforcement process.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35596
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulian Khairani
"ABSTRAK
Kepemimpinan, tidak terlepas dari individu yang berperan sebagai pelaksananya. Memang ada kecenderungan perbedaan dalam gaya kepemimpinan antara perempuan dan laki-laki karena sifatnya, tetapi untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif banyak faktor lainnya yang ikut misalnya pemilihan dan penempatan pemimpin, pendidikan, pemberian imbalan pada prestasi, teknik pengelolaan organisasi dan sebagainya.
Penelitian ini membahas mengenai persepsi kepemimpinan baik kepemimpinan laki-laki dan terutama mengenai kepemimpinan perempuan dalam lembaga negara yang baru berdiri yaitu lembaga perlindungan saksi dan korban.
Penelitian ini merupakan salah satu penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara tidak terstruktur dan observasi partisipan.
Dari hasil analisis, diketahui bahwa sikap perempuan yang menjadi pimpinan di lembaga perlindungan saksi dan korban cukup merepresentasikan kepemimpinan yang efektif. Namun kepemimpinan yang lebih banyak didominasi keberadaan laki-laki, menyebabkan persepsi pegawai tentang kepemimpinan cenderung negatif. Sehingga ada baiknya diterapkan keterbukaan dalam menjalani kepemimpinan itu sendiri.

ABSTRAK
Leadership as its implementation related to the leader. Though there is differences in leadership styles between women and men due its nature. But in implementing effective leadership, need another factors such as positioning, qualification, achievement, organizational management etc.
This study discusses about applied leadership in newly organization named witness and victim protection program agencies. About male and especially about women's leadership. This study is another qualitative research with case study method. Data collected by using unstructured interviews and participant observation.
From data analysis, it is found that female leaders attitude represents ideal leadership. But it is dominated by men causing employee's perception of leadership tend to be negative. Therefore it, transparency management needs to be implemented in it."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T41727
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sianturi, Zephaniah Ben Evan
"Perlindungan hukum bagi 'justice collaborator' secara spesifik berbeda dengan perlindungan tehadap saksi, karena seorang 'justice collaborator' merupakan orang yang melakukan tindak pidana korupsi tetapi menjadi saksi untuk memberikan kesaksian dalam membantu mengungkap tindak pidana. Namun masih terdapat perbedaan penafsiran dan aturan yang dipedomani aparat penegak hukum dalam menetapkan status 'justice collaborator. 'Penelitian ini menggunakan analisis yuridis normatif serta analisis beberapa kasus 'justice collaborator' di Indonesia, analisis kasus ini menjadi perlu, guna mengetahui penerapan 'status justice collaborator' oleh aparat penegak hukum dan analisis tersebut tentu dapat menjadi bahan masukan dalam politik hukum pidana Indonesia.

Legal protection for justice collaborators is specifically different from protection for witnesses, because a justice collaborator is a person who commits a criminal act of corruption but is a witness to give testimony in helping to uncover criminal acts. However, there are still differences in interpretation and rules that are followed by law enforcement officials in determining the status of justice collaborator. This study uses normative juridical analysis and analysis of several cases of justice collaborator in Indonesia, this case analysis becomes necessary, in order to determine the application of the status of justice collaborator by law enforcement officials and the analysis can certainly be input as recommendation in Indonesian criminal law policy.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54767
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ladito Risang Bagaskoro
"ABSTRAK
Perlindungan hak-hak korban tindak pidana, merupakan tanggungjawab negara terhadap korban, tanpa terkecuali. Hal tersebut merupakan bentuk pertanggungjawaban negara atas ketidakmampuannya dalam melindungi masyarakat, sehingga timbul korban. Namun, efektifitas dan ketepatan sasaran serta bentuk perlindungan yang diberikan Pemerintah Indonesia dinilai masih kurang tepat, khususnya korban tindak pidana terorisme. Setiap negara memiliki sudut pandang yang berbeda atas perlindungan hak korban tindak pidana terorisme, khususnya terhadap peraturan yang mengatur dan bentuk perlindungan yang diberikan terhadap korban tindak pidana terorisme, seperti dalam sistem hukum Indonesia, Amerika Serikat dan Republik Jerman. Analisis terhadap perbedaan dan persamaan dari ketiga Negara tersebut tentu dapat menjadi bahan masukan dalam politik hukum pidana Indonesia, khususnya dalam upaya pemenuhan hak asasi manusia korban tindak pidana terorisme, yang mana akan merujuk pada rekomendasi model perlindungan korban tindak pidana terorisme di Indonesia.

ABSTRACT
The protection of victims right is the state responsibility without exception. It is a state responsibility for its inability to protect the community, resulting in casualties. However, the target and forms effectiveness and accuracy of protection provided by Indonesia is still considered inadequate, especially the terrorism victims Each country has different responses to the protection terrorism victims rights, especially to the regulating rules and forms of protection afforded to victims of terrorism, such as in the Indonesia, the United States of America and the Republic of Germany legal system. The analysis of the differences and similarities of the three States can certainly be an input to Indonesian criminal law policies, especially in the effort to fulfil the terrorism victim human rights, which will refer to the recommendation of terrorism victim rsquo s protection model in Indonesia."
2018
T49759
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
La Ode Muhammad Alwi Armas
"Proses investigasi yang dilakukan oleh pihak berwenang terhadap kasus kecelakaan lalu lintas bertujuan untuk mengumpulkan informasi terkait kejadian. Memori terkait kecelakaan merupakan komponen penting yang diakses saat proses investigasi. Namun kemampuan memori tiap individu berbeda-beda dan rentan terhadap kesalahan. Tujuan penelitian ini adalah melihat pengaruh metode wawancara dan jenis kelamin terhadap memori saksi korban kecelakaan lalu lintas.
Penelitian eksperimental dilakukan dengan menggunakan randomized factorial design 2  (metode wawancara: Cognitive Interview dan Standard Interview) x 2 (jenis kelamin: perempuan dan laki-laki). Partisipan penelitian merupakan pengendara sepeda motor yang pernah menjadi korban kecelakaan lalu lintas (N = 44, M = 21.91). Partisipan dibagi secara acak untuk diwawancarai dengan menggunakan salah satu metode wawancara. Kemudian memori diukur melalui detail informasi dalam kategori event-related details, central details dan peripheral details.
Hasil penelitian menemukan bahwa terdapat pengaruh metode wawancara terhadap memori. Cognitive interview menghasilkan jumlah detail informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan standard interview. Di sisi lain, tidak ditemukan pengaruh jenis kelamin terhadap memori. Begitu juga tidak ditemukan adanya interaksi antara metode wawancara dan jenis kelamin terhadap memori.

The investigation process carried out by the authorities in cases of traffic accidents in order to collect information related to the accident. Accident-related memory is an important component accessed during the investigation process. However, each individual's memory ability is different and prone to errors. The purpose of this study was to see the effect of the interview method and gender on the memory of victims witness on traffic accident.
Experimental research is conducted using randomized factorial design 2 (interview method: Cognitive Interview and Standard Interview) x 2 (gender: female and male). Research participants are motorcycle riders who have been victims of traffic accidents (N = 44, M = 21.91). Participants were randomly assigned to be interviewed using one of the interview methods and memory is measured through detailed information in the categories of event-related details, central details and peripheral details.
The results of the study found that there was a significant effect of interview method on memory. Cognitive interviews produce more detailed information than standard interviews. On the other hand, there is no significant effect of gender on memory. Likewise, there was no interaction between the interview method and gender on memory.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.S. Gunadi Sjarif
"Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat) dengan keberadaannya sebagai Negara hukum (rechtstaat) memiliki konsekuensi yang melekat padanya, bahwa konsepsi (rechtstaat) maupun konsepsi (the rule of law), menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu ciri khas pada Negara yang di sebut (rechtstaat). Pada setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia, apakah dalam kategori “berat”, atau ringan “ringan”, akan menimbulkan kewajiban bagi Negara untuk mengupayakan pemulihan (reparation), bentuk pemulihan itu dikenal dengan istilah kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Perlindungan terhadap saksi dan korban, menjadi sesuatu yang penting dalam perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, karena merupakan kejahatan yang diklasifikasikan sebagai kejahatan yang berdampak luas baik tingkat nasional maupun internasional. Tuntutan terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat telah mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang kemudian diikuti oleh Undang-Undang Nomor. 26 Tahun 2000 mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia, dimaksudkan untuk menjawab berbagai persoalan pelanggaran hak asasi manusia khususnya pelanggaran HAM berat. Kemudian lahirnya Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan salah satu regulasi yang diharapkan dapat memecahkan kebuntuan serta terbukanya wacana tentang persoalan pemulihan (reparasi) bagi saksi dan korban. sehingga mampu mengatasi kelemahan-kelamahan yang selama ini terjadi dalam konteks perlindungan dan pemenuhan hak-hak saksi dan korban. Dari pengalaman tiga pengadilan pelanggaran HAM berat yang sudah dilaksanakan di Indonesia yaitu kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur, Tanjung Priok dan Abepura. Tidak ada satupun korban yang mendapatkan kompensasi dan restitusi. Bahwa keputusan-keputusan dalam kasus-kasus tersebut menyatakan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat dan menimbulkan korban, tetapi karena pelaku mendapat vonis bebas, dengan demikian tidak ada kewajiban untuk membayar ganti kerugian kepada korban. Kegagalan dari beberapa pengadilan HAM berat untuk melakukan proses penghukuman yang efektif dan memberikan remedies kepada korban menyisakan banyak pertanyaan mengenai proses pengadilan yang terjadi. Ketidakberhasilan pengadilan HAM ini, selain membebaskan para terdakwa, juga tidak mampu memenuhi hak-hak korban, yang meliputi hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban.

Indonesia is a State of law (rechtstaat) with its existence as a state law (rechtstaat) have consequences attached to it, that the conception (rechtstaat) and conceptual (the rule of law), putting human rights as one of the characteristic of the state of the call (rechtstaat). At any violation of human rights, whether in the category of "heavy" or light "light", will give rise to an obligation for the State to seek recovery (reparation), a form known as the recovery of compensation, restitution and rehabilitation. Protection of witnesses and victims, to be something important in the case of human rights violations that heavy, because it is a criminal offense that is classified as high impact both nationally and internationally. Demands on the resolution of cases of gross human rights violations have prompted the enactment of Law Number 39 Year 1999 on Human Rights, which was then followed by Law Number. 26 Year 2000 on Human Rights Court, is intended to address issues of human rights violations particularly serious human rights violations. Then the enactment of Law Number 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims is one regulation that is expected to break the deadlock and open discourse on issues of recovery (repair) of witnesses and victims. so as to overcome the weaknesses that have occurred in the context of the protection and fulfillment of the rights of victims and witnesses. From the experience of the three trials gross human rights violations that have been implemented in Indonesia, namely the case of gross human rights violations in East Timor, Tanjung Priok and Abepura. None of the victims received compensation and restitution. That decision-making in such cases states have serious human rights violations and cause casualties, but because the perpetrator gets acquittal, thus there is no obligation to make restitution to the victim. Failure of a human rights court to make the process effective punishment and provide remedies to victims leaves many questions about the litigation occurred. The failure of these human rights court, in addition to freeing the defendants, also unable to fulfill the rights of victims, which includes the right to compensation, restitution and rehabilitation for victims.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35108
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azi Tyawhardana
"Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah memberikan dasar perlindungan terhadap pelapor tindak pidana dan saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama. Menurut ketentuan pasal 10 ayat (1) UU tersebut, pelapor tidak dapat dituntut secara hukum atas laporan yang diberikannya, sementara itu menurut pasal 10 ayat (2) kesaksian yang diberikan oleh saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Sebagai implemetasidari UU tersebut, Mahkamah Agung pada tanggal 10 Agustus 2011 telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) Di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Dari bunyi judul SEMA tersebut, maka jelaslah bahwa SEMA tersebut memberikan ketegasan mengenai konsepsi whistleblower dan justice collaborator yang sebelumnya masih samar-samar dalam system peradilan pidana di Indonesia. Permasalahan menjadi menarik mengingat dengan terbutnya SEMA tersebut pengertian whistleblower didefinisikan sebagai pelapor yang tidak terlibat dalam tindak pidana yang dilaporkannya sementara justice collaborator diartikan sebagai salah satu pelaku yang ikut bekerjasama dengan penegak hukum dalam memberikan kesaksian untuk membongkar keterlibatan pelaku lainnya dalam tindak pidana tersebut. Dibedakannya secara tegas konsepsi mengenai whistleblower dan justice collaborator dalam SEMA tersebut tentunya berdampak pada pembedaan perlindungan yang diberikan terhadap keduanya sesuai Undang - Undang No. 13 Tahun 2006. Penelitian tesis ini akan berupaya untuk membahas keterkaitan antara SEMA No. 4 Tahun 2011 dan implemetasinya terhadap perlindungan pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang juga pelaku dalam tindak pidana yang sama sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Law No. 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims have provided basic protection against reporting person and witnesses who are also suspects in the same case. According to the provisions of Article 10 paragraph (1) of the Act, reporting person can not be prosecuted over his statements on the case, while according to Article 10 paragraph (2) the testimony given by a witness who is also a suspect in the same case can be considered by a judge to reduce sentences. As implementation to the Act, the Supreme Court on August 10, 2011 has issued Circular (SEMA) No. 04 Year 2011 on Treatment For Reporting Person (Whistleblower) and The Cooperating defendent (Justice Collaborator) In Specific Crime. Of the heading to the circular, it is clear that the circular is made clear on the concept of justice collaborator and whistleblower who previously remained vague in the criminal justice system in Indonesia. Issues have become particularly attractive given that the circular had defined whistleblower as a reporting person who was not involved in the case while justice collaborator was interpreted as one of the defendent who participated in cooperation with law enforcement in testifying to dismantle the involvement of other actors in the same criminal act. By explicitly distinguish the conception of justice collaborator and whistleblower, the circular is certainly make an impact on the protection provided to them in accordance with Law No.. 13 of 2006. This thesis will attempt to discuss the linkages between circular No. 4 of 2011 and its implementation to the protection of reporting person and witnesses who are also actors in the same offenses as stipulated in Law no. 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35684
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>