Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 51031 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lintang Rahayu
"ABSTRAK
Survei menunjukkan bahwa 15 dari 20 orang mahasiswa memilih tidak melaporkan free-rider dalam pengerjaan tugas kelompok meski diberikan keleluasaan dalam sistem peer evaluation. Motif melakukan tindakan yang tidak sesuai aturan demi melindungi orang lain ternyata juga terjadi dalam konteks legal berbentuk false confess. False confession diartikan sebagai pengakuan terhadap tindakan tertentu yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Innocence project (organisasi yang membantu orang-orang tidak bersalah yang terjerat kasus salah tangkap) mencatat bahwa 15-20% kasus yang mereka tangani terkait dengan insiden false confession. Perillo dan Kassin (2011) menyebutkan bahwa terdapat dua faktor risiko yang melatar-belakangi seseorang untuk memberikan confession, pertama adalah kerentanan disposisional (psikologis), yaitu kerentanan yang merupakan bawaan dari tersangka, seperti usia atau kepribadian. Kedua, yaitu faktor situasional yang berkaitan dengan kondisi penahanan dan interogasi. Faktor situasional yang dimaksud salah satunya adalah alat bukti (Gudjonsson, 2003). Oleh karena itu, peneliti ingin melihat apakah faktor disposisional (suggestibity) atau faktor situasional (false evidence) yang lebih mempengaruhi kecenderungan seseorang dalam memberikan false confession pada konteks non legal. Dengan menggunakan Gudjonsson Suggestibility Scale (1984) dan computer-crash paradigm dari Kassin dan Kiechel (1999) yang telah dimodifikasi, didapatkan kesimpulan bahwa faktor situasional (false evidence) lebih kuat mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk memberikan false confession.

ABSTRACT
Survey shows that 15 of 20 students chose not to report the free-rider in the execution of the task group even if given the flexibility in the system through peer evaluation. Motives to protect other people also occured in legal context. False confession interpreted as confession of certain actions that do not correspond to the reality. Innocence Project (an organization that helps innocent people who are wrongfully convinced and imprisoned) noted that 15-20% of the cases they deal related to false confession incident. Perillo and Kassin (2011) states that there are two risk factors underlying people to give confession. First, the dispositional vulnerability (psychological), namely the vulnerability that is inherited from the suspect, such as age or personality. Second, the situational factors relating to the conditions of detention and interrogation. One of them is evidence (Gudjonsson, 2003). Therefore, this research wanted to see whether the dispositional factors (suggestibity) or situational factors (false evidence) influence a person's motive to give a false confession to the non-legal context. By using Gudjonsson Suggestibility Scale (1984) and modified computer-crash paradigm, it shows that the situational factors (false evidence) stronger to influence a person's tendency to give a false confession."
2016
S62760
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stephanie Maria Hasan
"Akta Notaris adalah Akta Otentik yang dibuat di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Jika Akta tidak dibuat menurut Ketentuan yang terdapat pada Undang-Undang, Akta tersebut menjadi tidak otentik. Walaupun Notaris merupakan Pejabat Umum, tetapi tidak luput dari pelanggaran yang dapat dilakukan saat menjalankan Jabatannya. Kasus yang dianalisis dalam Tesis ini menekankan pada Notaris yang membuat Akta Notaris yang memuat Keterangan Palsu. Penulis menggunakan metode yuridis-normatif. Berdasarkan penelitian ini, Penulis menyimpulkan bahwa Notaris yang bersangkutan telah melanggar Hukum dan Kode Etik Profesi.

Notarial deed is an authentic deed that is made in front of a Notary according to the form and procedure as regulated by law. If it is not made according to the form and procedure regulated by law, then the deed is not authentic. Although notary is a civil servant, the profession is not without its blemish. The case analyzed in this thesis emphasized on a notary who made a notarial deed based on false information. The author uses the method of juridical normative. Based on this research, the author concluded that the notary in question had violate the law and code of conduct of the profession."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T21772
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Watt, David
Toronto: Carswell , 2013
R 345.06 WAT w
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Underhill, H.C. [Harry Clay], 1858-1918
"This book was made because of some changes in the legal field. An Oregon statute requires an accused to prove his defense of insanity beyond a reasonable doubt, a familiar concept in an unfamiliar setting. The Supreme Court enunciates the McNabb doctrine for the admission of confessions in the federal courts. The Federal Rules of Criminal Procedure are promulgated. The American Law
Institute recommends that adultery no longer be a criminal offense. The Court of Appeals for the District of Columbia discards the time-honored right-and-wrong and irresistible impulse tests for insanity. About two-thirds of the present work relates to the law of criminal evidence in general; about one-third relates to evidence in connection with specific crimes. New chapters have been added on scientific detection devices, self-incrimination, and tax fraud cases, and the text and footnotes of the other chapters have been brought up to date."
Indianapolis: Bobbs-Merrill , [19--?]
K 345.730 6 UND t
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
Struckey, Gilbert. B
New York, N.Y: McGraw-Hill, 1974
345.06 STR e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Aaron Pietter
"Perjanjian secara lisan merupakan suatu hal yang tidak bisa lepas di dalam kehidupan sehari-hari manusia. Disetiap momen dalam kehidupan sudah dapat dipastikan bahwa kita sebagai manusia selalu melaksanakan ataupun membuat suatu perjanjian secara lisan baik secara sadar maupun secara tidak sadar. Dalam lingkup persidangan, perjanjian secara lisan pun digunakan sebagai suatu media untuk membuktikan dalil yang disampaikan oleh pihak yang bersengketa agar mencapai pemenuhan hak dan kewajiban bagi pihak yang terikat dalam perjanjian secara lisan tersebut. Perjanjian secara lisan tersebut memiliki kekuatan dan tingkat efektivitas sendiri dalam menjadi alat bukti dihadapan persidangan apabila dibandingkan dengan alat bukti lainnya yang sah. Untuk meneliti bagaimana penerapan dan tingkat efektivitas suatu perjanjian secara lisan sebagai alat bukti dihadapan persidangan, perlu diteliti bagaimana peraturan dan ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian secara lisan serta perlu dilakukan analisa perbandingan putusan yang telah dipilih oleh Penulis dalam menentukan tingkat efektivitas masing masing perjanjian secara lisan di dalam Putusan tersebut.

Verbal agreement is something that cannot be separated in our daily life. It is confirmed that in every moment we always make a verbal agreement consciously or unconsciously. Within the scope of the court, verbal agreement is also used by the parties to prove their arguments so they can earn their rights and fullfill the other party obligations. Compared to the other type of evidence, verbal agreement have its own power and effectiveness level when being used as a legitive evidence before the court. To observe about the application and effectiveness of a verbal agreement as a legitive evidence before the court, it is necessary to examine how the rules and regulations regulate the verbal agreement and do a comparative analysis about the sentence that the writer have selected in determining the level of effectiveness of the verbal agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hari Sasangka
Bandung: Mandar Maju, 2005
347.01 HAR h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Herbet Pardamean
"Skripsi ini membahas mengenai limitasi atau batasan penghentian penyidikan berdasarkan kurang alat bukti atau bukan merupakan suatu tindak pidana. Kewenangan polisi sebagai penyidik merupakan kewenangan yang sangat besar dalam proses hukum acara pidana karena polisi sebagai penyidik menentukan apakah suatu peristiwa pidana dapat dilanjutkan ke tahap persidangan atau tidak. Penghentian penyidikan serta penjelasan terhadap alasan penghentian penyidikan itu sendiri serta batasan-batasannya tidak dijabarkan secara rinci oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU No. 8 Tahun 1981). Terhadap kasus 14 perusahaan di Provinsi Riau yang diduga melakukan tindak pidana illegal logging, penyidik akhirnya mengeluarkan SP3 terhadap kasus tersebut di bulan Desember 2008 dengan alasan kurang alat bukti dan bukan merupakan suatu tindak pidana tanpa ada penjelasan apapun. Oleh karena itu, subjektifitas penyidik yang menjadi dasar dalam menentukan suatu peristiwa pidana harus dihentikan ataupun dilanjutkan dapat menimbulkan dampak negatif seperti adanya conflict of interest antara penyidik dengan tersangka atau penyidik dengan penegak hukum lainnya.

This thesis dicusses about termination of investigation limitations based on the absence of sufficient evidence and an event which did not constitute an offense, by virtue of law. The competence of police as investigator is a high competence in a criminal procedural law process because they have competence to determine the criminal events can be brought into the court or not. The explaination of termination of investigation, the reasons, and the limitations are not described in details by Indonesia Criminal Procedure Code (Act. No. 8 Year 1981). Recording to the case of 14 companies in Riau which expected as illegal logging criminal offender, the investigator finally releasing the SP3 in December 2008 without any explanations. The subjectivity of the investigator, which becoming the basic to determine should be terminated or continued, could cause the negative effects, in example conflict of interest between investigator and the suspected or investigator and the other law enforcement officers."
2012
S43132
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aldino Ahmad Ossama
"Penggunaan hasil pemeriksaan poligraf yang dijadikan alat bukti dalam praktik peradilan pidana Indonesia seharusnya dapat diiringi dengan keberadaan regulasi yang memadai serta mekanisme pengawasan yang jelas terhadap pelaksanaan pemeriksaan poligraf agar dapat sejalan dengan asas due process of law. Hal tersebut tentunya berkaitan pada keabsahan suatu alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan di pengadilan, mengingat keabsahan suatu alat bukti dapat ditentukan dengan melihat ke belakang terkait kesesuaian tata cara perolehan alat bukti tersebut dengan ketentuan hukum yang berlaku. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan bentuk penelitian yuridis normatif. Skripsi ini akan membahas mengenai pemeriksaan poligraf dalam praktik peradilan pidana Indonesia mulai dari regulasi yang berlaku saat ini dan perbandingannya dengan yang berlaku dalam negara Common Law System yaitu Negara Bagian New Mexico di Amerika Serikat, serta peran dan keabsahan alat bukti yang bersumber dari hasil pemeriksaan poligraf dalam praktik peradilan pidana di Indonesia, yang kemudian akan dianalisis keterkaitannya dengan asas due process of law. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemeriksaan poligraf dan penggunaannya di Indonesia saat ini belum diatur secara lengkap, serta tidak terdapat mekanisme pemeriksaan keabsahan dari perolehan alat bukti yang bersumber dari hasil pemeriksaan poligraf, dan penggunaan instrumen pemeriksaan poligraf telah bertentangan dengan asas due process of law. Oleh karena itu, perlu adanya pembahasan lebih lanjut untuk mengkaji penggunaan instrumen pemeriksaan poligraf sebagai alat bukti.

The usage of polygraph examination results that are used as evidence in Indonesian criminal justice practices should be accompanied by the existence of adequate regulations and obvious supervisory mechanisms for the enforcement of polygraph examination, so it could be in line with the due process of law principle. This is certainly related to the validity of the evidence presented in a trial at the court, considering the validity of evidence can be determined by observing the conformity of the procedure for obtaining the evidence with the provisions of applicable law. This research is conducted using qualitative research methods with normative juridical forms of research. This thesis will discuss the polygraph examination in Indonesian criminal justice practices starting from the current applicable regulation and its comparison with those applicable in the Common Law System, namely in the State of New Mexico in the United States of America, as well as the role and validity of the evidence that derived from the result of a polygraph examination in Indonesian criminal justice practices, which will be analyzed about the correlation with the due process of law principle. The conclusion of this thesis are the polygraph examination and its current application in Indonesia are not fully regulated, furthermore there is no supervisory mechanism for checking the validity of the acquisition of evidence derived from the results of the polygraph examination, thus it is not proven to fulfill the due process of law principle. Therefore, there needs to be a further discussion to examine the use of the polygraph examination instruments as evidence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pattinasarani, Robyn Maria
"Setiap orang yang telah terbukti melakukan tindak pidana dalam peradilan pidana harus dipidana. Pada pelaku tindak pidana yang diduga menderita sakit jiwa dapat dimintakan untuk dibuat suatu surat keterangan dari ahli jiwa mengenai keadaan jiwa orang tersebut yang disebut juga dengan Visum et Repertum Psychiatricum (VeRP). VeRP dapat diminta pada tahap penyidikan (Pasal 120 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Penjelasan Pasal 186 KUHAP), tahap penuntutan (Penjelasan Pasal 186 KUHAP),dan pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 180 KUHAP). VeRP menyentuh sekaligus dua sisi alat bukti yang sah dalam Pasal 184 KUHAP yaitu alat bukti keterangan ahli dan alat bukti surat. Apabila berdasarkan VeRP orang tersebut terbukti sakit jiwa, maka berdasarkan pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) orang tersebut tidak boleh dihukum karena terdapat faktor-faktor pemaaf pada orang tersebut, yaitu jiwa yang cacat pada pertumbuhan atau jiwa yang terganggu karena penyakit yang mengakibatkan orang tersebut tidak dapat bertanggung jawab atas perbuatannya. Tetapi Pasal 44 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hanya memfokuskan pada hasil diagnosis mengenai sakit jiwa, bukan pada kemampuan bertanggung jawab dari orang tersebut. Begitu pula halnya dengan model VeRP yang ada sekarang ini yang hanya memfokuskan pada diagnosis, sama sekali tidak menyebut-nyebut mengenai kemampuan bertanggung jawab, dan model VeRP tersebut juga hanya terbatas untuk kasus pidana dimana yang diminta untuk diperiksa (terperiksa) adalah pelaku tindak pidana."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S21918
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>