Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 47498 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Analisis foto digital untuk memprediksi dimensi vertikal fisiologis. Penetapan dimensi vertical (DV) diperoleh berdasarkan DV pada saat posisi istirahat rahang pasien yaitu dimensi vertikal fisiologis (DVF). Tujuan: Meneliti keakuratan pengukuran DVF dengan menggunakan foto digital. Metode: Penelitian dilakukan pada 64 mahasiswa yang memenuhi kriteria. Kemudian dilakukan pengukuran jarak sudut mata–sudut bibir dan jarak dasar hidung-ujung dagu pada wajah subjek. Lalu dilakukan pemotretan wajah subjek penelitian dengan ketentuan jarak 56cm antara lensa kamera dengan ujung hidung subjek dengan kamera di atas tripod. Hasil: Jarak sudut mata–komisura bibir kanan dan kiri wajah, dan jarak dasar hidung-ujung dagu pada wajah dan foto tidak memiliki perbedaan bermakna. Simpulan: Analisis foto digital dapat diterapkan untuk memprediksi DVF.

Determination of the vertical dimension is based on patient's resting jaw position, which is the physiological vertical dimension. Objective: To examine the accuracy of physiological vertical dimension using digital photography. Methods: The research was done on 64 students who meet the criterias. The measurements of eyes-lips angles and lower nose-chin distance was performed. Then photo shoot of subject faces was taken from 56cm distance between the camera lens and the tip of the subjects’ nose with tripoded camera. Results: Distance of eyes-lips angles, and lower the nose-chin of the face and the photo has no meaningful differences. Conclusions: Analysis of digital photos can be applied to predict physiological vertical dimension."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2011
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Andy Wirahadikusumah
"Introduksi: Pengukuran dimensi vertikal fisiologis yang akurat merupakan tahap penting pada perawatan gigi tiruan lepas agar gigi tiruan lepas dapat digunakan dan memberi kenyamanan bagi pemakainya. Pengukuran dimensi vertikal fisiologis dapat dilakukan secara langsung (pengukuran wajah, penelanan, fonetik, biting forces, taktil dan rumus Hayakawa) dan secara tidak langsung (foto wajah, pencatatan sebelum pencabutan). Foto dapat berupa foto sefalo, foto wajah lama atau foto digital wajah. Gomes, dkk menemukan bahwa pengukuran secara tidak langsung pada foto digital wajah dan dianalisis dengan program HL Image ++97 dapat digunakan untuk memprediksi dimensi vertikal fisiologis.
Tujuan: Mengetahui pengukuran secara tidak langsung pada foto digital wajah dapat digunakan untuk menetapkan dimensi vertikal fisiologis sebenarnya dan mengetahui korelasi pengukuran dimensi vertikal fisiologis secara langsung pada wajah dan secara tidak langsung pada foto digital wajah.
Material dan Metode: Data pengukuran secara langsung pada wajah dan secara tidak langsung pada foto digital wajah ( 64 mahasiswa ). Pengukuran pada foto digital dianalisis dengan program Adobe Photoshop.
Hasil: Uji One way Anova menghasilkan bahwa pengukuran jarak sudut mata ? sudut bibir dan jarak dasar hidung - ujung dagu secara langsung pada wajah (p=0,448; p>0,05) dan secara tidak langsung pada foto digital wajah (p=0,28; p>0,05), didapatkan bahwa jarak pada kedua pengukuran adalah sama satu sama lain. Uji Korelasi Pearson menghasilkan p=0,000 dan r=0,425, berarti terdapat korelasi yang bermakna dengan kekuatan korelasi sedang.
Kesimpulan: Pengukuran dimensi vertikal fisiologis secara tidak langsung pada foto digital wajah dapat digunakan untuk menetapkan dimensi vertikal fisiologis sebenarnya dan terdapat korelasi antara pengukuran dimensi vertikal fisiologis secara langsung pada wajah dan secara tidak langsung pada foto digital wajah dengan kekuatan korelasi sedang.

Introduction: A correct physiological vertical dimension measurement at the early stage of treatment has an important role to the success of treatment with denture, which result in comfort for the patient. This measurement can be done either direct such as facial measurement, swallowing, phonetic, biting force tactile sense and Hayakawa formula. It also can be done indirectly like by photographs of the patient?s face, or by pre extraction record. Photographic methods include cephalometric radiograph, patient?s old photographs, or digital photographs of patient's face. Gomes et al found that indirect measurement of the face using digital photographs and analyzed by Image HL ++97 can be used to predict the physiological vertical dimension.
Purpose: To find out if the indirect measurement of the face by digital photograph can be use to determine the physiological vertical dimension, and to find out any correlation between the direct method and indirect method by digital photograph to determine the physiological vertical dimension.
Material and method: Data of the direct facial measurement and indirect method by digital photograph was done, including 64 students. Measurement on digital photographs was analyzed by Adobe Photoshop software.
Result: One way Anova test result for measurement of the distance between the outer canthus of the eye to the commisure of the lip and the distance between the base of the nose to the lower border of the chin for direct measurement (p=0,448; p>0,05) and for indirect measurement on photograph produced by digital photographic (p=0,28; p>0,05), which concluded no significant differences distance on both measurement. Pearson Correlation test result p=0,000 and r=0,425, which concluded a significant correlation with moderate correlation power.
Conclusion: Indirect measurements method of the face by digital photograph can be use to determine the physiological vertical dimension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
T31947
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Irdra Lastyautari
"Latar Belakang: Fotografi kedokteran gigi semakin umum digunakan dalam praktik. Salah satu tujuan fotografi kedokteran gigi adalah untuk evaluasi perawatan. Kualitas foto digital dipengaruhi oleh resolusi foto. Restorasi GIC sering digunakan pada gigi anak dan perlu dievaluasi secara berkala. Di era digital ini, evaluasi restorasi melalui foto digital menjadi pilihan. Evaluasi restorasi menggunakan kriteria FDI efektif digunakan dalam klinis. Tujuan: Untuk membandingkan perbedaan resolusi foto digital dan klinis sebagai media evaluasi restorasi GIC pada gigi sulung. Metode Penelitian: Terdapat 40 buah gigi molar pertama sulung rahang bawah dari 31 pasien anak usia 4-9 tahun di RSKGM FKG UI. Seluruh gigi diperiksa dan dievaluasi secara klinis, kemudian diambil foto menggunakan kamera dSLR sebanyak tiga kali dengan resolusi rendah (8 MP), resolusi sedang (15,3 MP), dan resolusi tinggi (32 MP). Kemudian hasil foto dievaluasi. Restorasi GIC klinis dan foto digital dievaluasi menggunakan kriteria FDI. Seluruh data yang terkumpul dianalisa dengan uji komparatif kategorik Pearson Chi-Square dengan kemaknaan p<0,05. Hasil: Dengan uji komparatif, didapatkan hasil berbeda tidak bermakna secara statistik pada kelompok klinis dengan foto digital resolusi rendah, sedang, dan tinggi sebagai media evaluasi restorasi GIC pada gigi sulung. Kesimpulan: Fotografi digital dapat menjadi alat yang berguna untuk menilai status restorasi. Foto digital dapat mewakili keadaan klinis restorasi GIC gigi sulung. Dalam pemanfaatannya pada praktik kedokteran gigi, penelitian ini merekomendasikan untuk menggunakan foto digital di antara resolusi rendah dan sedang (8-15,3 MP) sebagai media evaluasi restorasi GIC pada gigi sulung, yaitu setara dengan kamera smartphone ataupun kamera poket.

Background: Dental photography is increasingly being used in practice. One of the purposes of dental photography is for treatment evaluation. Photo resolution affects the picture quality. GIC restorations are frequently used on pediatric teeth and need to be evaluated periodically. In this digital era, evaluation of restoration through digital photos is an option. Evaluation of restorations using FDI criteria is effective in clinical use. Purpose: To compare differences in digital photo resolution and clinical as an evaluation of GIC restioration in primary teeth. Material and Methods: There were 40 mandibular primary first molars from 31 pediatric patients aged 4-9 years at RSKGM FKG UI. All teeth were examined and clinically evaluated, then three photos were taken using a dSLR camera with low resolution (8 MP), medium resolution (15 MP), and high resolution (32 MP). Then the photos are evaluated. Clinical GIC restorations and digital photographs were evaluated using FDI criteria. All collected data were analyzed using the Pearson Chi-Square categorical comparative test with a significance p<0.05. Result: With comparative test, there were no statistically significant differences in clinical groups with low resolution, clinical with medium resolution, and clinical with high resolution as media for evaluating GIC restorations in primary teeth. Conclusion: Digital photography can be used as a supporting tool to evaluate reatoration status. Digital photos can represent the clinical state of GIC restorations. In dental practice, this study recommends using digital photos between low and medium resolution (8-15.3 MP) as media for evaluating GIC restorations in primary teeth, which are equivalent to smartphone cameras or pocket cameras."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Kesehatan, 2008
R 618.9 IND m
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Adhitia Purnama Graha
"Latar belakang: Candida sp. merupakan flora normal di rongga mulut. Deteksi Candida sp. dari spesimen BAL dianggap sebagai kontaminasi atau kolonisasi yang tidak perlu diobati. Tetapi keberadaan Candida sp pada pasien yang berisiko dengan sistem kekebalannya yang rendah seperti pasien yang dirawat di ICU bisa meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Petugas kesehatan yang lalai dalam menjalankan program PPI dapat menjadi sumber penularan infeksi jamur Candida sp. secara sistemik, seperti kurangnya kebersihan tangan (hand hygiene) yang berkontak dengan alat-alat invasif yang digunakan pasien, lingkungan yang tercemar, walaupun bisa juga melalui penularan autoinfeksi oleh pasien sendiri.
Tujuan: Untuk mengetahui kemaknaan klinis Candida sp. yang diisolasi dari BAL pasien dengan faktor risiko untuk sebagai prediktor keluaran infeksi pasien rawat di ICU.
Metode: Penelitian menggunakan desain potong lintang dengan pengambilan sampel secara konsekutif di ICU-IGD dan ICU Dewasa Kanigara Lt.8 RSCM pada juli – desember 2023. Sampel diambil dari bilasan bronkoalveolar pasien dengan diagnosis pneumonia dan dilakukan pemeriksaan mikroskopik Gram, KOH dan dikultur pada sabouraud dekstrosa agar. Jamur yang tumbuh diidentifikasi dan dilakukan uji kepekaan menggunakan mesin Vitekâ2. Sumber infeksi dicari dengan cara melakukan swab handrail tempat tidur dan meja status pasien. Audit kebersihan tangan dilakukan padapetugas kesehatan yang merawat pasien dengan positif kultur jamurnya, menggunakan panduan WHO
Hasil: Candida albicans 26,3% diisolasi dari sampel BAL pasien ICU. Keberadan Candida sp. kemungkinan dapat mempengaruhi pola kepekaan antibiotik bakteri potensi MDR 31,6%. Penggunaan Candida score >2,5 dapat digunakan sebagai dimulainya pemberian antijamur. Pada Ko-infeksi jamur dengan Influenza A dan rhinovirus terdapat 22,2% pasien meninggal. Berdasarkan pelacakan sumber infeksi, tidak ditemukan sumber kontaminasi di permukaan lingkungan sekitar pasien, audit tingkat kepatuhan kebersihan tangan petugas kesehatan rata-rata 83,1% hal ini belum memenuhi target yang ditetapkan Permenkes.
Kesimpulan: Identifikasi Candida sp. perlu dilakukan secara dini untuk mencegah terjadinya penyebaran di rumah sakit yang dapat tumbuh secara bersamaan dengan bakteri MDR. Selain itu Ko-infeksi Candida dengan influenza dan Rhinovirus mungkin dapat mempengaruhi keluaran klinis yang mengakibatkan kondisi klinis pasien menjadi lebih berat.

Background: Candida sp. are normal flora in the oral cavity. Detection of Candida sp. from BAL specimens is considered to be contamination or colonization that does not need to be treated. However, the presence of Candida sp in at-risk patients with low immune systems, such as patients treated in the ICU, can increase morbidity and mortality. Health workers who are negligent in implementing infection prevention and control programs can become a source of transmission of Candida sp fungal infections. systemically, such as lack of hand hygiene in contact with invasive tools used by patients, a polluted environment, although it can also be through transmission of autoinfection by the patient himself.
Objective: This study aims to determine the clinical significance of Candida sp. Isolated from BAL patients with risk factors for ICU as predictors of outpatient infection output.
Method: The study used a cross-sectional design with consecutive sampling in the ICU-IGD and Adult ICU Kanigara Floor 8 RSCM in July – December 2023. Samples were taken from the bronchoalveolar lavage of patients with a diagnosis of pneumonia and were subjected to Gram, KOH microscopic examination and cultured on sabouraud dextrose agar. The fungus that grows is identified and a sensitivity test is carried out using a Vitekâ2machine. The source of infection is sought by swabbing the bed handrail and patient status table. Hand hygiene audits were carried out on health workers caring for patients with positive fungal cultures, using WHO guidelines
Result: Candida albicans 26.3% was isolated from BAL samples of ICU patients. The presence of Candida sp. possibly influencing the antibiotic sensitivity patterns of potential MDR bacteria 31,6%. The use of a Candida score >2.5 can be used to start antifungal theraphy. In fungal co-infection with influenza A and rhinovirus, 22.2% of patients died. Based on tracking the source of infection, no source of contamination was found on surfaces in the environment around the patient, the audit level of hand hygiene compliance for health workers was an average of 83.1%, this does not meet the target set by the Minister of Health.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisnajati Diah Utami
"Kesehatan merupakan faktor penting dalam pembangunan kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia yang baik dapat tercapai apabila semua masyarakat memiliki kesempatan yang sama dalam mendapatkan akses termasuk akses pelayanan kesehatan. Namun, beberapa faktor seperti belum terjangkaunya biaya kesehatan, belum meratanya sarana kesehatan antara desa dan kota, dan juga masalah belum tercakupnya jaminan atau asuransi kesehatan secara luas di kalangan masyarakat miskin menjadi hambatan bagi masyarakat miskin dalam mengakses pelayanan kesehatan. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi individu miskin dalam mengakses pelayanan kesehatan. Data yang dipakai merupakan data sekunder, yaitu Susenas Kor tahun 2011, dengan menggunakan model Logit.
Penelitian ini menggunakan 1 variabel terikat berupa dummy dan beberapa variabel bebas. Variabel terikat bernilai 1 jika individu miskin pergi berobat jalan, dan bernilai 0 jika individu miskin tidak pergi berobat jalan.
Penelitian ini menemukan bahwa variabel umur, pengeluran per-kapita, jamkesmas, asuransi, jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat lain, kota, dan keparahan sakit memiliki pengaruh signifikan dengan hubungan yang positif terhadap keputusan individu miskin untuk mengakses pelayanan kesehatan. Sedangkan variabel berupa gender dan pend1 memiliki pengaruh signifikan dengan hubungan yang negatif terhadap keputusan individu miskin untuk mengakses pelayanan kesehatan.

Health is an important factor in the development of human resources. Good quality of human resources can be achieved if all people have the same opportunity on access, including access to health care. However, several factors such as the price of health services that cannot be achieved, health facilities disparity between rural and urban areas, and also the problem of health insurance coverage become barriers for the poor in accessing health services. Therefore this study aimed to determine the factors that affect poor people in accessing health services. The data is secondary data from Susenas Kor in 2011.
This study uses a dummy one dependent variable and several independent variables. Dependent variable equal to 1 if the poor individual seeking outpatient care, and value 0 if the poor individual doesn't seeking outpatient care.
This study found that the age variable, per-capita expenditure, social assistance, private insurance, other health care insurance, city, and severity of illness has a significant impact with a positive relationship to poor individual decision to access health services. While variables such as gender and education1 have significant influence with a negative correlation to the poor individual decision to access health services.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Nita Noer
"Penelitian ini membahas tentang efisiensi proses discharge dengan pendekatan lean six sigma pada pasien penyakit dalam, neurologi, bedah, jantung, dan paru di Instalasi Rawat Inap Teratai RSUP Fatmawati Tahun 2015. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan hasil analisis dari aktivitas atau proses yang tidak mengandung nilai tambah untuk mengurangi waktu proses discharge. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan time motion studies dan menggunakan operational research dengan metode observasi, wawancara mendalam dan telaah data sekunder.
Hasil penelitian di dapatkan rata-rata waktu proses discharge adalah 264 menit dengan penilaian aktivitas non value added 237 menit dan penilaian aktivitas value added 27 menit. Proses yang paling lama terjadi di kamar rawat inap selama 130 menit, disebabkan oleh pasien menunggu untuk menerima edukasi kesehatan dan menunggu untuk diberikan instruksi dari perawat untuk menyelesaikan administrasi pemulangan pasien.

This research discusses about the efficiency of the discharge process with lean six sigma approach in patients in internal medicine, neurology, surgery, heart and lung in inpatient lotus RSUP Fatmawati in 2015. Purpose of this research is to get the results of analysis of the activity or process that doesn’t have value added for patient to reduce the time of discharge process. This study is a descriptive approach uses time-motion studies and operational research with the method of observation, indepth interviews and secondary data analysis.
This research reveals an average time for discharge process is 264 minutes, with the assessment of non-value added activities 237 minutes and assessment of value added activity 27 minutes. The longest process occurs in the inpatient rooms for 130 minutes, caused by patients waiting to receive health education and waiting to be given instructions from the nurse to complete the administrative discharge of patients.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
S62173
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Busselle, Julien, 1966-
Rochester, N.Y.: Silver Pixel Press in association with RotoVision, 2000
771.4 BUS b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Feininger, Andreas
Englewood Cliffs, NJ: [Publisher not identified], 1969
778.6 FEI c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
William Suryajaya
"Perkembangan teknologi memungkinkan untuk pembuatan model studi secara digital menggunakan intraoral scanner. Data dari model studi ini kemudian bisa dicetak menggunakan mesin cetak 3 Dimensi. Tesis ini membahas akurasi ukuran linier gigi khususnya lebar mesio-distal, interkaninus, intermolar serta Analisis Bolton model studi digital hasil pindaian intraoral scanner Trios, dan model studi resin hasil cetakan printer 3D Formlabs 2 dengan model studi plaster hasil pengecoran bahan cetak alginat dengan dental stone tipe II sebagai pembanding. Penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan desain potong lintang. Data pengukuran antar model studi dianalisa secara statistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar komponen pengukuran linier dan analisa Bolton model studi digital dan model studi resin tidak berbeda secara signifikan secara statistik. Jika terdapat perbedaan secara statistik, perbedaan ini tidak signifikan secara klinis karena perbedaannya tidak lebih dari 1,1 mm. Model studi digital hasil pindaian intraoral scanner Trios dan resin hasil cetakan printer 3D Formlabs 2 cukup akurat untuk keperluan diagnosa dan penentuan rencana perawatan jika dibandingkan dengan model studi plaster hasil pengecoran bahan cetak alginat dengan dental stone tipe 2.

In the advent of digital technology, it is possible to create digital dental model using intraoral scanner. The stereolithographic data collected from the scanner, subsequently, can be printed into 3-Dimensional dental model in resin material. This study aims to evaluate the accuracy of digital model scanned by Trios intraoral scanner and 3-Dimensional dental model printed from Formlabs 2 printer in linear measurements and Bolton analysis compared to plaster dental model obtained by pouring alginate impression with type II dental stone. This is a cross-sectional observational analytical study. The data were collected by measuring each type of the dental models. The result of this study shows that most of the linear measurements and Bolton analysis components analyzed in this study were not significantly different. Significant difference on some components are rendered clinically insignificant. Hence, the results of this study suggests that digital dental model and 3-Dimensional printed dental model may be used interchangeably in comparison to plaster dental model for diagnostic and treatment planning purpose."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>