Ditemukan 124470 dokumen yang sesuai dengan query
"kekerasan seksual merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, pelanggaran Hak Asasi Manusia dan kekerasan berbasis gender. Sementara itu sejak 1998-2013 Komnas Perempuan telah melakukan pemantauan dan pendokumentasian, menemukenali sebanyak 15 (lima belas) bentuk kekerasan seksual dari berbagai fakta kejadian. Sementara ini, Komnas Perempuan mengklasifikasi ke-15 bentuk kekerasan seksual menjadi 6 tindak pidana kekerasan seksual berdasarkan kesamaan unsur delik pidananya. Sejauh ini penanganan kasus kekerasan seksual mengalami hambatan dalam pencegahan, perlindungan, pemulihan korban, rehabilitasi pelaku, belum adanya hukum acara peradilan tindak pidana kekerasan seksual. Sehingga negara harus bertanggung jawab untuk segera menyusun Undang- Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, sebagai upaya negara dalam menjalankan prinsip due diligence."
364 JP 21:2 (2016)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Iqraa Runi Aprilia
"Lambatnya pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi bukti bahwa sistem politik di Indonesia tidak sensitif dalam menyikapi isu korban kekerasan seksual. Sementara itu, sistem peradilan yang ada belum mampu memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Itulah sebabnya kaum feminis merumuskan keadilan yang dapat memenuhi kebutuhan korban kekerasan seksual, yang disebut keadilan transformatif. Keadilan transformatif yang didukung oleh solidaritas masyarakat dapat membawa pemulihan bagi korban kekerasan seksual untuk memiliki keberanian untuk berbicara dan mendapatkan kembali harga diri mereka yang hancur."
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2021
305 JP 26:3 (2021)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Aldila Puspa Kemala
"Disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang di dalamnya terdapat pengaturan mengenai pelecehan seksual membuka peluang dipidananya pelaku-pelaku pelecehan seksual, sehingga timbul pertanyaan apa yang dimaksud dengan pelecehan seksual, apa saja perbedaan pengaturannya bagaimana pengertian pelecehan seksual sebagai suatu tindak pidana, bagaimana pengaturan terhadap tindak pidana pelecehan seksual dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan bagaimana penerapan hukum kasus pelecehan seksual berdasarkan putusan pengadilan di Indonesia yang telah berkekuatan hukum tetap sebelum dan sesudah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan. Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian normatf menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan analisa putusan (decision analysis). Diketahui bahwa pengertian pelecehan seksual menurut instrumen Hukum Internasional dan di Berbagai Negara di Asia Tenggara secara garis besar memiliki persamaan, kemudian Sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual belum terdapat peraturan Perundang-Undangan yang spesifik mengatur tentang pelecehan seksual dan setelah Undang-Undang tersebut disahkan merupakan solusi dari permasalahan tersebut untuk mengakomodir kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia.
The passing of Law Number 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence in which there are arrangements regarding sexual harassment opens opportunities for perpetrators of sexual harassment to be prosecuted, so the question arises what is meant by sexual harassment, what are the differences in regulations, what is the meaning of sexual harassment as a criminal acts, how to regulate criminal acts of sexual harassment in Indonesian laws and regulations and how to enforce the law on sexual harassment cases based on court decisions in Indonesia that have permanent legal force before and after Law Number 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence was passed . In this study using normative research methods using a statute approach and decision analysis. It is known that the definition of sexual harassment according to international legal instruments and in various countries in Southeast Asia is broadly similar, then before the enactment of Law Number 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence there were no statutory regulations that specifically regulate sexual harassment and after the Law was passed, it was a solution to this problem to accommodate cases of sexual harassment that occurred in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
"Kekerasan seksual dapat meliputi upaya dan/atau pemerkosaan, pemaksaan hubungan seksual dan pelecehan, kontak seksual dengan paksaan atau ancaman menggunakan kekuatan, serta ancaman pemerkosaan. Sudah saatnya isu-isu terkait kekerasan dan kekerasan seksual ini dibicarakan dalam pelajaran di sekolah dan dianggap sebagai suatu hal yang serius, dengan keberpihakan terhadap korban dan bukan hanya dianggap sebagai isu milik perempuan yang hanya dibahas di antara perempuan. Jika kita ingin melihat perubahan, maka laki-laki harus dilibatkan secara lebih intensif sejak kecil dan diajak untuk melihat hal ini sebagai masalah bersama. Dengan memberikan pemahaman bagaimana seharusnya laki-laki bersikap kepada perempuan, dan ikut mendengarkan kesaksian perempuan penyintas kekerasan seksual tentang trauma dan dampaknya terhadap kehidupan perempuan, diharapkan semakin banyak laki-laki yang memiliki kepekaan dalam menyikapi hubungan antara laki-laki dan perempuan."
364 JP 21:2 (2016)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Nur Fitri Izzati Ramadhani
"Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) gagal mengesahkan Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) pada 2019, yang merupakan RUU usulan DPR pada 2016 dalam RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2014-2019. Pembahasan RUU ini cukup lama sejak dirumuskan pada 2014, dan hingga 2019 pembahasan hanya sampai pada tingkat pertama karena menuai pro-kontra di masyarakat. Studi ini fokus menganalisis kegagalan DPR dalam mengesahkan RUU PKS ini dengan menggunaka metode kualitatif berupa wawancara mendalam dan kajian literatur. Hasil penelitian menunjukan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan pada dasarnya merupakan isu krusial yang memerlukan solusi melalui sebuah regulasi. RUU PKS dianggap dapat melindungi hak-hak perempuan dari kekerasan. Tetapi pada sisi lainnya, RUU PKS dinilai bertentangan dengan moral maupun ajaran agama bahkan sampai dianggap melegalkan seks bebas ataupun LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Masih melekatnya budaya patriarki, kurangnya komitmen maupun pemahaman representasi politik para anggota legislatif dalam membela hak-hak perempuan, juga masih adanya seksisme institusional di lembaga legislatif Indonesia, menjadi temuan dari penelitian terkait penyebab gagalnya pengesahan RUU PKS pada tahun 2019.
The People's Representative Council of the Republic of Indonesia (DPR RI) failed to pass the Bill on the Elimination of Sexual Violence (RUU PKS) in 2019, which was the draft proposed by the DPR in 2016 in the 2014-2019 Priority National Legislation Program (Prolegnas) Bill. The discussion of this bill has taken a long time since it was formulated in 2014, and until 2019 discussions only reached the first level because of the pros and cons in society. This study focuses on analyzing the failure of the DPR in passing the PKS Bill by using qualitative methods in the form of in-depth interviews and literature review. The results showed that sexual violence against women is basically a crucial issue that requires a solution through a regulation. The PKS Bill is considered to be able to protect women's rights from violence. But on the other hand, the PKS Bill is considered to be contrary to moral and religious teachings and is even considered legalizing free sex or LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender). The inherent patriarchal culture, lack of commitment and understanding of the political representation of legislators in defending women's rights, as well as institutional sexism in the Indonesian legislature, are findings from research related to the failure to ratify the PKS Bill in 2019."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Aruma Chandra Dewi
"Penelitian ini bertujuan menemukan model ideal pelayanan victim oriented humanistic policing (VOHP) dan standar operasional prosedur victim impact statement (VIS) untuk korban kejahatan kekerasan seksual di Indonesia. Tujuan tersebut dicapai dengan melakukan studi komparasi implementasi victim oriented policing (VOP) dan VIS pada kepolisian di Indonesia, Jepang, dan Selandia Baru. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dan komparasi studi kasus, merujuk pada Neuman (2013). Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, kajian pustaka, dan dokumen dari ketiga negara, berfokus pada pelayanan kepolisian pada korban kekerasan seksual. Perbandingan dilakukan berlandaskan pada berbagai variabel aspek VOP dan VIS. Variabel perbandingan pada VOP meliputi: kultur organisasi, sumber daya organisasi, dan kompetensi khusus petugas. Sedangkan, variabel pada VIS meliputi pendekatan humanis, sikap empati, dan teknik komunikasi persuasi. Victim oriented humanistic policing (VOHP) yang penulis susun terdiri lima pendekatan strategis. Kelima pendekatan itu berupa (1) pendampingan berkelanjutan; (2) keterampilan wawancara praktis; (3) advokasi; (4) penggunaan teknologi; dan (5) kemitraan strategis. Kelima konsep teoretik ini menekankan fokus transformasi bagi penegak hukum untuk mencegah terjadinya viktimisasi primer maupun sekunder ketika menangani korban. Pada kesimpulannya, penelitian ini menawarkan model ideal VOHP dan model aplikatif VIS bagi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang berlandaskan pada aspek humanis. Menempatkan korban sebagai inti dari pelayanan kepolisian, terutama pada konteks pelayanan bagi korban kejahatan kekerasan di Indonesia.
This research aims to find the ideal model of victim-oriented humanistic policing (VOHP) and the standard operating procedure of the victim impact statement (VIS) for victims of sexual violence crimes in Indonesia. This goal is achieved by conducting a comparative study of the implementation of victim-oriented policing (VOP) and VIS in the police forces of Indonesia, Japan, and New Zealand. The research method uses a descriptive qualitative approach and a comparative case study, referring to Neuman (2013). Data were collected through interviews, observations, literature reviews, and documents from the three countries, focusing on police services for victims of sexual violence. Comparisons were made based on various variables of VOP and VIS aspects. Comparison variables in VOP include: organizational culture, organizational resources, and special officer competencies. Meanwhile, variables in VIS include a humanistic approach, empathetic attitudes, and persuasive communication techniques. The victim-oriented humanistic policing (VOHP) that the author has compiled consists of five strategic approaches. These five approaches are (1) ongoing accompaniment; (2) practical interview skills; (3) advocacy; (4) use of technology; and (5) strategic partnerships. These five theoretical concepts emphasize the focus of transformation for law enforcement to prevent the occurrence of primary and secondary victimization when handling victims. In conclusion, this study offers an ideal model of VOHP and an applicative model of VIS for the Indonesian National Police (Polri) based on humanistic aspects. Placing victims at the core of police services, especially in the context of services for victims of violent crimes in Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership Universitas Indonesia Library
Khairina Sekar Wijayanti
"Kampus merupakan lingkup akademik yang seharusnya bebas dari segala bentuk kekerasan seksual. Namun, realitanya ditemukan bahwa kekerasan seksual juga terjadi di kampus. Studi ini bertujuan untuk melihat respons kampus dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap mahasiswa-mahasiswinya. Studi ini menggunakan analisis data sekunder dari 32 kasus berita yang bersumber dari media di Indonesia dan juga pengakuan korban di media sosial dari tahun 2015 hingga 2021. Hasil temuan data menunjukkan bahwa kampus cenderung memberikan respons yang buruk kepada korban yang secara langsung melaporkan kasusnya ke pihak kampus. Respons buruk yang dilakukan kampus merupakan bentuk dari institutional betrayal. Hasil temuan dalam studi ini juga menemukan bahwa institutional betrayal yang dilakukan kampus menunjukan bahwa rape culture hadir dalam kampus melalui penutupan kasus yang dilaporkan korban. Selain itu, studi ini menggunakan teori viktimologi kritis untuk melihat respons institutional betrayal dan kekerasan seksual yang terjadi di kampus melalui adanya ideal victim dan mahasiswi yang rentan menjadi korban kekerasan seksual.
University as an academic setting should have been free from any form of sexual violence. However, it is found that sexual violence occurs in universities. This study aims to see campuses’ responses to sexual violence against their students. This study uses secondary data analysis from 32 cases from online news and the victims’ confessions on social media from 2015 through 2021. The data findings show that campuses tend to give inadequate responses to students who directly report their cases to the campus. The inadequate response by the campus is a form of institutional betrayal. This study also found that institutional betrayal by campuses showed that rape culture is present on campus with how they tend to deny the victims’ experience. In addition, this study uses critical victimology theory to see institutional betrayal responses and sexual violence that occurs on campus through the existence of ideal victims and female students who are more vulnerable to being victims of sexual violence."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Siti Mazumah
"Tulisan ini membahas tentang konsep restitusi bagi korban tindak pidana kekerasan seksual sebelum dan sesudah peraturan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). UU TPKS hadir dalam rangka memberikan jaminan pencegahan, pelindungan, akses keadilan, dan pemulihan, serta pemenuhan hak-hak korban secara komprehensif yang selama ini tidak pernah didapatkan oleh korban kekerasan seksual yang kerap kali menjadi korban kembali dalam sistem hukum di Indonesia. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana pemenuhan hak korban kekerasan seksual, terutama restitusi, dalam sistem hukum di Indonesia. Data yang dipergunakan dalam tulisan ini diperoleh melalui metode penelitian yang bersifat sosiolegal. Hal ini dilakukan dengan menganalisis implementasi peraturan perundang-undangan tentang restitusi berdasarkan penerapannya sebagaimana disampaikan dalam wawancara pendamping dari Women Crisis Center (WCC) Dian Mutiara Malang dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sementara itu, analisisnya menggunakan teori restoratif dan teori hukum feminis.
Hambatan penelitian ini adalah Penulis tidak banyak menemukan praktik restitusi bagi korban kekerasan seksual baik sebelum atau setelah UU TPKS disahkan pada 2022 lalu. Kelemahan penerapan restitusi sebagai pidana pokok bagi pelaku kekerasan seksual yang diancam pidana penjara 4 (empat) tahun masih terjadi. Dalam implementasinya, restitusi masih belum menjadi hak korban yang harus dipenuhi oleh pelaku tindak pidana. Sebagai hak, korban juga memiliki kewenangan menolak atau menerima dengan beragam alasan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pemenuhan hak korban kekerasan seksual belum optimal, khususnya restitusi. Kemudian terdapat tantangan pula berupa perspektif Aparat Penegak Hukum yang masih beragam dalam implementasi restitusi sebagai hak korban sehingga dibutuhkan layanan terpadu antar pihak agar restitusi menjadi hak bagi korban dalam upaya pemenuhan pemulihan akibat dari kasus yang dialami.
This paper discusses the concept of restitution for victims of sexual violence before and after the regulation of the Law Number 12 of 2022 on the Crime of Sexual Violence. The Crime of Sexual Violence Law is present in order to provide guarantees of prevention, protection, access to justice, and recovery, as well as the comprehensive fulfillment of victims' rights that have never been obtained by victims of sexual violence who often become victims again in the legal system in Indonesia. This research wants to find out how the fulfillment of the rights of victims of sexual violence, especially restitution, in the legal system in Indonesia. Data used in this paper was obtained through sociolegal research method. This is done by analyzing the implementation of laws and regulations on restitution based on its implementation as conveyed in an accompanying interview from the Women Crisis Center (WCC) Dian Mutiara Malang and the Witness and Victim Protection Agency (LPSK). Meanwhile, the analysis uses restorative theory and feminist legal theory.The obstacle for this research is that the author did not find many restitution practices for victims of sexual violence both before and after the Crime of Sexual Violence Law was passed in 2022. The weak application of restitution as the main punishment for perpetrators of sexual violence who are sentenced to 4 (four) years imprisonment still occurs. In its implementation, restitution is still not a victim's right that must be fulfilled by the perpetrator of the crime. As a right, victims also have the authority to refuse or accepts for various reasons. The results of this study conclude that the fulfillment of the rights of victims of sexual violence has not been optimal, especially restitution. Then there are also challenges in the form of perspectives of law enforcement officials that are still diverse in the implementation of restitution as a victim's right, hence integrated services are needed between parties so that restitution becomes a right for victims in an effort to fulfill recovery from the cases they experience."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Gabriel Maranatha
"Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual mengatur bahwa Pengadilan harus merahasiakan informasi yang memuat identitas dari Saksi dan/atau Korban dalam putusan atau penetapan pengadilan. Merahasiakan informasi mengenai identitas korban tindak pidana kekerasan seksual merupakan hal yang penting sebagai wujud pengejawantahan dari hak pelindungan korban atas kerahasiaan identitas. Tulisan ini akan menganalisis bagaimana penerapan pengadilan dalam merahasiakan informasi dari identitas korban tindak pidana kekerasan seksual dalam putusan pengadilan. Dengan menggunakan metode penilitian doktrinal, Tulisan ini juga bertujuan untuk melihat perbandingan pengaturan mekanisme publikasi putusan antara Indonesia dengan Hongaria dan Italia, terkhusus dalam perkara tindak pidana kekerasan seksual. Untuk memperdalam analisis, penulis mewawancari dua narasumber, yaitu Marc van Opijnen selaku Peneliti Publikasi Putusan dalam Uni-Eropa dan Marsha Maharani selaku Peneliti Isu Kekerasan Seksual dari Indonesia Judicial Research Society. Temuan dari tulisan ini adalah putusan-putusan yang tidak melakukan pengaburan informasi identitas tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia. Sayangnya, putusan tersebut dipublikasi dalam situs web Direktori Putusan Mahkamah Agung yang dapat diakses oleh umum yang makin mencederai hak pelindungan korban atas kerahasiaan identitasnya. Selain itu, temuan dari tulisan ini adalah ketiadaan pengaturan mekanisme yang mendetail yang dapat ditempuh oleh korban terhadap putusan pengadilan yang tidak merahasiakan identitas dirinya. Adapun ketiadaan pengaturan mekanisme ini dapat berkaca dari pengaturan yang ada di Hongaria dan Italia untuk menciptakan penanganan tindak pidana kekerasan seksual, dalam hal pengaburan informasi identitas korban dalam putusan pengadilan, yang berasas kepentingan terbaik bagi korban.
The Statute Law Number 12 of 2022 concerning Sexual Violence Criminal Acts stipulates that the Court must maintain confidentiality of information containing the identities of Witnesses and/or Victims in court decisions or determinations. Maintaining the confidentiality of information regarding the identity of victims of sexual violence crimes is crucial as a manifestation of the right to protect the victim's identity. This paper will analyze how the courts implement the confidentiality of information regarding the identity of victims of sexual violence crimes in court decisions. Using the doctrinal research method, this paper also aims to compare the regulations on the publication mechanisms of judgments between Indonesia, Hungary, and Italy, specifically in cases of sexual violence crimes. To deepen the analysis, the author interviewed two informants, namely Marc van Opijnen as a Researcher on Court Decisions Publication in the European Union and Marsha Maharani as a Researcher on Sexual Violence Issues from the Indonesia Judicial Research Society. The findings of this paper reveal that some court decisions in Indonesia do not obscure the identities of victims of sexual violence crimes. Unfortunately, these decisions are published in website Direktori Putusan Mahkamah Agung, which is accessible to the public, thereby compromising the right to protect the victim's identity. Additionally, the paper found a lack of detailed mechanisms that victims can pursue against court decisions that do not maintain the confidentiality of their identities. The absence of these mechanisms can be reflected in the regulations in Hungary and Italy concerning the handling of sexual violence crimes, specifically in obscuring the identities of victims in court decisions, based on the best interests of the victim."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Fahmi Taufikurrahman Badruzzaman
"Pada studi terdahulu, ekspresi emosi pelapor ditemukan berperan dalam mempengaruhi persepsi kredibilitas laporan kasus kekerasan seksual. Meskipun ekspresi emosi pelapor tidak berkaitan dengan kejujuran dan kebenaran laporan, laporan yang menunjukkan pelapor dengan ekspresi emosi negatif ditemukan lebih dipersepsikan kredibel dibanding laporan dari pelapor dengan ekspresi emosi netral atau disebut juga sebagai Emotional Victim Effect (EVE). Untuk lebih jauh memahami pengaruh EVE pada persepsi kredibilitas laporan kasus kekerasan seksual, peneliti melakukan penelitian eksperimen dengan melibatkan petugas kepolisian Indonesia (N=140) yang direkrut melalui Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian dan Unit Pengaduan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Metro Jaya. Partisipan polisi mendapatkan video stimulus yang berisikan tayangan seorang perempuan dewasa muda melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya. Peneliti melakukan manipulasi variabel ekspresi emosi yang mempresentasikan pelapor dengan ekspresi emosi negatif dan ekspresi emosi netral. Temuan utama menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan dari ekspresi emosi negatif pelapor terhadap persepsi petugas polisi terkait kredibilitas laporan kekerasan seksual. Namun, temuan eksploratif menunjukkan adanya kehadiran EVE pada dua aspek persepsi kredibilitas laporan dari pelapor dengan ekspresi emosi negatif. Temuan penelitian ini menyarankan adanya peningkatan kapasitas bagi petugas polisi terkait isu korban kekerasan seksual dan juga pengembangan metode dalam investigasi kredibilitas yang lebih objektif dan akurat.
Previous studies shown that the emotional expression of complainant was found to play a role in influencing the credibility of sexual violence allegation report cases. Although complainant's emotional expression is not related to the honesty and veracity of the complainant's statement, reports from complainant with negative emotional expressions were found to be perceived as more credible than reports from complainant with neutral emotional expressions or also known as the Emotional Victim Effect (EVE). To further understand the effect of EVE on perceived credibility of sexual violence case reports, researcher conducted an experimental study involving Indonesian police officers (N=140) who were recruited from Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian and Special Unit for Women and Children Case or Unit Pengaduan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Metro Jaya. Police participants received a stimulus video containing footage of a young adult woman reporting sexual violence she had experienced. Present study manipulated the emotional expression variable which presented the complainant with negative emotional expressions and neutral emotional expressions. The main finding show that there is no significant effect of complainant's negative emotional expressions on police officer perceptions regarding the credibility of the sexual assault report. However, exploratory findings indicate the presence of EVE on two aspects of the perceived credibility of report from complainant with negative emotional expressions. The findings of this study suggest capacity building for police officers regarding the issue of victims of sexual assault and also the development of methods in investigating credibility that are more objective and accurate."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library