Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149175 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Umaimah Wahid
"Marjinalisasi terhadap kaum perempuan sudah lama berlangsung dalam sejarah kehidupan manusia. bahkan jika memahami konteks sejarah keberadaan manusia dari sudut pandang agama, maka hakekatnya marjinalisasi terhadap perempuan sudah terjadi ketika manusia pertama ada dimuka bumi. Perkembangan sejarah kemudian mencatat bahwa marjinalisasi itu tidak semakin berkurang melainkan justru meningkat dan mengakar dalam bentuk budaya dan nilai-nilai estetika yang diyakini kebenaran dan keabsahannya oleh sebagan besar manusia, bahkan terkadang termasuk perempuan itu sendiri. SItuasi ini lalu melahirkan sistem budaya patriarkhis yang sangat merugikan kaum perempuan. Sistem budaya patriarkhis ini semakin kuat berakar dan seakan memiliki legalitas kebenaran ketika Negara, sebagai struktur dominan dalam masyarakat, ikut memelihara dan melakukan pembiaran terhadap nilai-nilai yang terjadi dan merugikan kaum perempuan.
Pentingnya mempengaruhi keijakan negara agar kebih berpihak kepada kaum perempuan sudah banyak dipahami oleh kaum perempuan itu sendiri. Akan tetapi Negara sendiri seringkali membutuhkan pressure guna melahirkan kebijakan-kebijakan tertentu. Dan pressure terhadap Negara hanya dapat dilakukan oleh kaum perempuan jika mereka memiliki posisi tawar (Bargaining position) yang seimbang atau lebih kuat dengan negara.
Dalam konsep Gramscy, keseimbangan posisi tawar antara gerakan peempuan, yang lalu direpresentasikan sebagai masyarakat sipil, dengan negara, yang lalu disebut sebagai masyarakat politik, akan melahirkan pertarungan ide antara keduanya. Hegemoni negara bisa saja kalah dan pertarungan ide dapat dimenangkan oleh kaum perempuan sehingga akan muncul nilai-nilai baru yang lebih berpihak kepada kaum perempuan. Pada fase ini Gramscy menyebutnya sebagai gerakan 'counter hegemoni' dimana kaum perempuan mampu tampil dan melahirkan hegemoni baru setelah memenangkan pertarungan ide melawan hegemoni lama.
Dalam upaya melakukan counter hegemoni, kaum perempuan, sebagaimana disebutkan diatas, harus memiliki posisi tawa (bargaining position) yang tinggi. Posisi tawar yang tinggi sangat dipengaruhi oleh banyak instrumen pendukung yang salah satunya adalah Media. Kebutuhan akan dukungan media industri menjadi pilihan yang tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan Media Industri memiliki gaung yang lebih luas dan cenderung lebih dapat diterima oleh publik dibanding media komunitas. Disamping itu media industri juga mampu menempatkan dirinya sebagai instrumen yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh hubungan saling ketergantungan yang kuat anatara media industri dengan masyarakat itu sendiri.
Marjinalisasi terhadap kaum perempuan sudah lama berlangsung dalam sejarah kehidupan manusia. bahkan jika memahami konteks sejarah keberadaan manusia dari sudut pandang agama, maka hakekatnya marjinalisasi terhadap perempuan sudah terjadi ketika manusia pertama ada dimuka bumi. Perkembangan sejarah kemudian mencatat bahwa marjinalisasi itu tidak semakin berkurang melainkan justru meningkat dan mengakar dalam bentuk budaya dan nilai-nilai estetika yang diyakini kebenaran dan keabsahannya oleh sebagan besar manusia, bahkan terkadang termasuk perempuan itu sendiri. SItuasi ini lalu melahirkan sistem budaya patriarkhis yang sangat merugikan kaum perempuan. Sistem budaya patriarkhis ini semakin kuat berakar dan seakan memiliki legalitas kebenaran ketika Negara, sebagai struktur dominan dalam masyarakat, ikut memelihara dan melakukan pembiaran terhadap nilai-nilai yang terjadi dan merugikan kaum perempuan.
Pentingnya mempengaruhi keijakan negara agar kebih berpihak kepada kaum perempuan sudah banyak dipahami oleh kaum perempuan itu sendiri. Akan tetapi Negara sendiri seringkali membutuhkan pressure guna melahirkan kebijakan-kebijakan tertentu. Dan pressure terhadap Negara hanya dapat dilakukan oleh kaum perempuan jika mereka memiliki posisi tawar (Bargaining position) yang seimbang atau lebih kuat dengan negara.
Dalam konsep Gramscy, keseimbangan posisi tawar antara gerakan peempuan, yang lalu direpresentasikan sebagai masyarakat sipil, dengan negara, yang lalu disebut sebagai masyarakat politik, akan melahirkan pertarungan ide antara keduanya. Hegemoni negara bisa saja kalah dan pertarungan ide dapat dimenangkan oleh kaum perempuan sehingga akan muncul nilai-nilai baru yang lebih berpihak kepada kaum perempuan. Pada fase ini Gramscy menyebutnya sebagai gerakan 'counter hegemoni' dimana kaum perempuan mampu tampil dan melahirkan hegemoni baru setelah memenangkan pertarungan ide melawan hegemoni lama.
Dalam upaya melakukan counter hegemoni, kaum perempuan, sebagaimana disebutkan diatas, harus memiliki posisi tawa (bargaining position) yang tinggi. Posisi tawar yang tinggi sangat dipengaruhi oleh banyak instrumen pendukung yang salah satunya adalah Media. Kebutuhan akan dukungan media industri menjadi pilihan yang tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan Media Industri memiliki gaung yang lebih luas dan cenderung lebih dapat diterima oleh publik dibanding media komunitas. Disamping itu media industri juga mampu menempatkan dirinya sebagai instrumen yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh hubungan saling ketergantungan yang kuat anatara media industri dengan masyarakat itu sendiri.
Yang menjadi masalah adalah ketika Media Industri, sebagai elemen penting untuk mengenalkan posisi tawar kaum perempuan terhadap negara,justru berperan sebagai pendukung budaya patrlarkhis yang berlaku ditengah masyarakat. Situasi menjadi semakin tidak menguntungkan bagi gerakan kaum perempuan ketika negara, yang juga memiliki kepentingan dengan media industri, memanfaatkan kekuasaannya untuk melakukan perselingkugan social (social conspiration) dengan media industri. Social conspiration antara negara dengan media Industri sangat mungkin terjadi terutama jika para pemilik media Industri itu adalah bagian dari masyarakat politik atau memiliki kepentingan dengan masyarakat politik yang berkuasa.
Media Industri, sebagai sebuah lnstitusi yang memiliki Ideology kapital, memang bukan tidak mungkin dimanfaatkan oleh gerakan kaum perempuan untuk memperjuangkan ide ide nya, terutama jlka mengingat bahwa Ideology kapilalis sangat menekankan pada orientasi financial (profit oriented). Orientasi financial ltu sendiri sangat dipengaruhi oleh seberapa banyak sebuah media Industri mampu meraih peminat dikalangan masyarakat. Masyarakat sendiri, meski dengan pola budaya patriarkhis yang mereka miliki, sangat memiliki kepentingan akan pengetahuan yang sebagian besar dapat mereka peroleh melalui media Industri.
Rasa keingintahuan masyarakat terhadap hal hal baru maupun situasi yang sedang berkembang ditengah mereka merupakan celah yang dapat dimanfaatkan oleh gerakan kaum perempuan untuk ?memaksa' media Industri berperan sebagai sarana sosialisasi perjuangan mereka. Diperlukan upaya yang cerdas dan konsisten dari kaum perempuan untuk terus mengangkat lsu lsu perjuangan agar mampu bermain dalam ?arena pasar? yang laku jual agar dapat terus memaksa media Industri berperan sebagai sarana sosialisasi mereka sehingga pada akhimya dapat tercipta opini publik yang lebih mendukung Ide Ide yang mereka perjuangkan. Opini publik inilah yang lalu akan menjadi salah satu instrumen penting untuk menalkan posisi tawar mereka terhadap negara.
Perjuangan counter hegemoni kaum perempuan sangat sulit dilakukan jika perjuangan dilakukan secara parsial / terpecah. Sejarah Indonesia mencatat bahwa spirit individual Kartini maupun "fighting movement" seorang Dewi sartika ternyata tidak memiliki posisi tawar signifikan untuk mengubah nilai budaya yang ada bahkan pada tataran "melintas tembok" sekalipun. Pada konsep ini jelas bahwa ?ideologi pembebasan' ternyata tidak cukup ampuh untuk menambah daya gerakan melainkan sebuah kebersamaan visi dan misi dari seluruh elemen perjuangan yang akan mampu melahirkan energi besar kaum perempuan untuk mencapai tujuan. Dan energi besar itu adalah ?collective will' dari kaum perempuan Itu sendiri. Dari sini jelas bahwa menjadlkan "collectlve will" sebagal sebuah ideologi perjuangan merupakan sebuah keharusan agar ide ide perjuangan kaum perempuan Itu memiliki energi yang konstant dan Signifikan.
Disertasi ini menggunakan metode Analisis isi Kualitatif untuk menemukan tema-tema utama yang dikandung dalam teks Kompas dan Media Indonesia yang berhubungan dengan proses perjuangan kaum perempuan meraih kuota 30 persen di Parlemen.. Untuk memahami dan mengangkat realitas dlbalik realitas yang muncul, termasuk dalam menganalisis isi kedua Media tersebut, dl pakai paradigma kritikal dengan menggunakan teori Marxist Humanist Antonio Gramsci sepertl konsep hegemonl-counter hegemonl antara masyarakat sipll dan masyarakat politlk dengan menyimak peran media massa diantara keduanya.
Beberapa temuan yang dapat disimpulkan diantaranya :
1. Sistem budaya patriarki masih berlangsung di masyarakat dan didukung oleh negara bahkan oleh sebagian perempuan itu sendiri sehingga menciptakan realitas yang merugikan kaum perempuan.
2. Kaum Perempuan butuh Ideologl yang komunal untuk menjamin kontinultas perjuangan yang memang belum selesal, dan Ideology yang dltawarkan adalah "collective wiIl", sementara kesetaraan dan keadilan gender serta ?pembebasan' Iebih merupakan tujuan.
3. Butuh upaya cerdas dan kompromis dengan nilal nilal kapitalis Industri media untuk dapat meraih dukungan media massa bagi gerakan perjuangan kaum perempuan guna menaikan posisi tawar mereka terhadap Ideology dominan negara.
4. Perjuangan kaum perempuan belum selesai. Quota 30 % hanya merupakan affirmative action menuju situasi yang Ieblh ideal bagi kaum perempuan. Gerakan counter hegemoni kaum perempuan Indonesia baru berada pada fase awal."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D812
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Gadis Arivia Effendi
Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan, 2009
305.4 GAD y
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Stuers, Cora Vreede-de
Depok: Komunitas bambu, 2008
992.06 STU it
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Shaffira Diraprana Gayatri
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konstruksi politik tubuh dalam tokoh-tokoh perempuan utama dalam novel Pillars of Salt dan My Name is Salma karya Fadia Faqir, serta menyimpulkan apakah ilustrasi perjuangan para tokoh tersebut dalam melawan manifestasi politik tubuh yang opresif mendobrak atau justru menguatkan representasi Barat mengenai perempuan Muslim. Menggunakan metodologi kualitatif-deskriptif dengan pendekatan close reading sebagai metode analisis, penelitian ini berangkat dari stereotipe perempuan Muslim dari sudut pandang Barat yang cenderung negatif dan asumsi bahwa novel-novel penulis perempuan Arab umumnya bertujuan untuk mendobrak stereotipe tersebut.
Penemuan penelitian ini adalah: pertama, tokoh-tokoh protagonis dalam kedua novel menjadi obyek dari berbagai bentuk politik tubuh yang dikenakan para tokoh laki-laki Timur maupun Barat, dan kedua, meskipun kedua teks tersebut terlihat menguatkan representasi Barat bahwa perempuan Muslim mengalami opresi, namun sesungguhnya mendobrak anggapan Barat bahwa perempuan Muslim cenderung pasif dan patuh. Penelitian ini menyimpulkan bahwa patriarki dan kolonialisme merupakan dua sistem yang membatasi resistensi dan menguatkan marjinalisasi perempuan, dan media operasi kedua sistem tersebut adalah tubuh.

This research aims to analyse the construction of body politics in the female protagonists in Pillars of Salt and My Name is Salma by Fadia Faqir, and to draw a conclusion on whether the illustration of the female characters‘ struggles against the oppressive manifestation of body politics succeed to challenge, or conversely to strengthen, western representation of Muslim women. Using a qualitative methodology with a close reading approach as a method of analysis, this research builds on the western stereotype of Muslim women that tends to be negative and the assumption that Anglophone Arab female writers commonly intends to challenge such stereotype.
The findings of this research are: first, the female protagonists in the novels of Pillars of Salt and My Name Is Salma underwent several forms of body politics that were imposed by both eastern and western men, and second, although these texts seem to strengthen western representations of Muslim women as oppressed, but it actually challenge the western portrayals of Muslim women as passive and obedient. This research concludes that it is both patriarchy and colonialism that overturn their resistance and strengthen female marginalisation, and that both systems take place first and foremost through the body.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S53874
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wenugobal Manggala Nayahi
"Perempuan kerap mengalami opresi dari berbagai pihak, dan suara perempuan terbungkam karena minimnya akses kepada proses produksi di industri media. Karenanya, perempuan membutuhkan ruang komunikasi agar suaranya tidak terus-menerus dibungkam oleh habitus patriarkis. Penelitian ini mengkaji bagaimana proses yang dialami perempuan anggota kolektif alternatif sampai akhirnya mereka berupaya melakukan feminine writing, dengan Kolektif Betina sebagai studi kasus. Pendekatan kualitatif dan paradigma konstruktivisme dipilih sebagai desain penelitian.
Dengan melakukan wawancara mendalam bersama 7 informan, mengumpukan dokumen pendukung, dan melakukan observasi sosial, penelitian ini menemukan bahwa Kolektif Betina merupakan sebuah bentuk sisterhood sekaligus fase dimana perempuan di dalamnya belajar melakukan rekonstruksi pengetahuan tentang solidaritas perempuan. Anggota Kolektif Betina telah melalui tiga tahap; kapitulasi, revitalisasi, dan radikalisasi, sebelum akhirnya memutuskan untuk menciptakan ruang melalui praktik bermedia untuk melakukan feminine writing. Tambahan temuan menarik dalam penelitian adalah mengenai pengaruh skena punk terhadap feminine writing anggota Kolektif Betina.

Women often experience oppressions from various different parties, and their voices are muted because of the limited access to production stage within the media industries. Therefore, women need communication spaces so their voices would not be perpetually silenced by the patriarchal habitus. This research observes how women who are affiliated with alternative collective seek to perform feminine writing, with Kolektif Betina as its case study. Qualitative approach and constructivism paradigm are used in this research.
By conducting in depth interview, collecting supporting data, and doing media observations, this research finds that Kolektif Betina is a form of sisterhood, in which the members learn to reconstruct their knowledge about women rsquo s solidarity. These women had underwent three stages capitulation, revitalization, and radicalization, before finally decided to occupy spaces through media practices to perform feminine writing. An interesting addition to the findings is about the influence of punk scene in these women rsquo s feminine writing."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
S68047
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naufaludin Ismail
"Thus paper will focus on feminist analysis of Law No. 7 of 2016 on the Protection and Empowerment of Fishermen, Fish Cultivators and Salt Farmers and Regulation of the Minister of Marine Affairs and Fisheries No. 16 of 2016 as the legal basis for policy on Fishermen Card and Insurance. This paper will also analyze the experiences of two fisherwomen in Ujung Pangkah, Gresik, East Java who successfully obtained legal identity in the form of fisher card and insurance as a form of legitimacy and recognition of their identity as hsherwomen. The strong patriarchal culture in various society layers, caused the recognition of the political identity of fisherwomen has become difficult, so a feminist analysis toward policy on fisher card and insurance is needed so that women can engage as active Subjects in the policy."
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2017
305 JP 22:4 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Aminda Dhianti
"ABSTRACT
Tulisan ini membahas tentang representasi perempuan berbahaya atau femme fatale sebagai bentuk kekerasan simbolik terhadap perempuan. Femme fatale menjadi sosok arketipe yang umum dalam berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari legenda, literatur, seni lukis hingga industri perfilman.Melalui metode analisis wacana, peneliti berusaha menjelaskan penggambaran femme fatale dalam ketiga film Indonesia, yaitu Kala, Pintu Terlarang dan Rumah Dara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggambaran merugikan akan perempuan sebagai femme fatale yang disubordinasi, dinaturalisasi dan dilanggengkan dalam industri kultural dapat menjadi bentuk kekerasan simbolik terhadap perempuan. Dominasi maskulin dan misrecognition menjadi elemen kunci dalam melahirkan kekerasan simbolik terhadap perempuan.

ABSTRACT
This article discusses the representation of dangerous women or femme fatales in films as a form of symbolic violence against women. Femme fatale has been a familiar and recurring archetype in society, across from myth, literature, painting and film industry. Through discourse analysis method, this research reveals the representation of femme fatales within 3 Indonesian films, ldquo Kala rdquo , ldquo Pintu Terlarang rdquo and ldquo Rumah Dara rdquo . The result of this thesis shows that the subordinated, naturalized and recurring harmful representation of femme fatale in cultural industry is a form of symbolic violence against women. Both masculine domination and misrecognition are key elements to produce symbolic violence against women."
2017
S69993
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>