Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 109168 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Angga Wirahmadi
"ABSTRAK
Latar belakang: Anak dengan penyakit jantung rematik memiliki risiko untuk
terjadinya morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Hal tersebut merupakan masalah
besar dan menimbulkan beban ekonomi pada negara berkembang. Berbagai faktor
prediktor telah diketahui memengaruhi prognosis anak dengan penyakit jantung
rematik, namun belum ada penelitian yang spesifik menilai faktor-faktor prediktor
tersebut pada anak di Indonesia.
Tujuan: (1)Mengetahui angka morbiditas berat pada anak dengan penyakit
jantung rematik. (2)Mengetahui prediktor terjadinya morbiditas berat pada anak
dengan penyakit jantung rematik.
Metode: Penelitian kohort retrospektif dilakukan pada 100 anak dengan penyakit
jantung rematik usia 4-15 tahun yang terdiagnosis pertama kali pada Juli 2010Juni
2015. Manifestasi klinis berupa kelas gagal jantung, jumlah katup jantung
yang terkena, kepatuhan menjalani profilaksis sekunder, jenis serangan demam
rematik dan pemanjangan interval PR dievaluasi untuk menilai hubungan dengan
terjadinya morbiditas berat dan luaran fatal. Faktor prediktor dianalisis secara
multivariat dengan uji Cox regression.
Hasil: Angka morbiditas berat pada anak dengan penyakit jantung rematik
sebesar 54/100 (54%). Pada analisis multivariat didapatkan faktor prediktor
terjadinya morbiditas berat berupa kelas gagal jantung NYHA II (p=0,009; HR
15,3; IK95% 2-119,3), kelas gagal jantung NYHA III-IV (p=0,004; HR 21,2;
IK95% 2,7-167), keterlibatan 3 katup jantung (p=0,005; HR 7; IK95% 1,8-27,6)
dan keterlibatan 4 katup jantung (p=0,008; HR 5,7; IK95% 1,6-20,9).
Simpulan: Angka morbiditas berat pada anak dengan penyakit jantung rematik
sebesar 54%. Faktor prediktor terjadinya morbiditas berat pada anak dengan
penyakit jantung rematik adalah kelas gagal jantung ≥ NYHA II dan jumlah kelainan katup jantung ≥ 3. ;ABSTRACT Background: Children with rheumatic heart disease are at risk of severe
morbidity and mortality. These problems become a major concern and economic
burden in developing countries. Multiple predictors may affect the prognosis of
children with rheumatic heart disease, however there is no specific study
regarding these predictors in Indonesian children.
Aim: (1)To determine the incidence of severe morbidity in children with
rheumatic heart disease (2)To determine the predictor of severe morbidity in
children with rheumatic heart disease.
Methods: A retrospective cohort study was performed in 100 children who have
been diagnosed with rheumatic heart disease from July 2010 to June 2015.
Clinical symptoms in regards to the severity of NYHA, number(s) of cardiac
valve(s) involvement, compliance of prophylactic treatment, type of rheumatic
attack and prolonged P-R interval were evaluated in relation to severity of
rheumatic heart disease and fatal outcome. Predictors were analyzed using Cox
regression model.
Result: Severe morbidity rate was 54/100 (54%). In multivariate analysis,
predictors of severe morbidity were heart failure NYHA class II (p=0,009; HR
15,3; 95%CI 2-119,3), heart failure NYHA class III-IV (p=0,004; HR 21,2;
95%CI 2,7-167), involvement of 3 heart valve (p=0,005; HR 7; 95%CI 1,8-27,6)
and involvement of 4 heart valve (p=0,008; HR 5,7; 95%CI 1,6-20,9).
Conclusion: The severe morbidity rate in children with rheumatic heart disease
was 54%. Predictors of severe morbidity related to rheumatic heart disease were
functional class of heart failure ≥ NYHA II and number of valve involvement ≥ 3."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jellyca Anton
"Tujuan: Studi ini dilakukan dengan tujuan untuk mengevaluasi asosiasi antara peningkatan ekspresi c-Met dengan kesintasan pasien glioblastoma multiform (GBM). Metode: Telaah sistematis dan meta-analisis dilakukan pada artikel terkait dari pangkalan data PubMed, EBSCOhost, Scopus, dan Cochrane. Pencarian berakhir pada 31 Oktober 2020. Sejumlah total 7 studi dikutsertakan dalam telaah sistematis dan analisis. Hasil: Seluruh studi dalam telaah sistematis ini menggunakan imunohistokimia dalam menentukan ekspresi protein c-Met. Hasil memperlihatkan bahwa laju positifitas peningkatan c-Met terdeteksi pada sekitar 33,9%-60,5% pasien GBM. Peningkatan ekspresi c-Met berhubungan dengan kesintasan hidup OS (HR: 1,74; 95% CI: 1,482-2,043; Z=6,756; p<0,001) dan kesintasan bebas progresifitas (HR: 1,66; 95% CI: 1,327-2,066; Z=4,464; p<0,001) yang lebih pendek pada pasien GBM. Heterogenitias subjek yang rendah tampak pada analisis kedua kesintasan ini, nilai I2 7,8% dan 0,0%. Kesimpulan: Peningkatan ekspresi c-Met berhubungan signifikan dengan kesintasan hidup keseluruhan dan kesintasan bebas progresifitas pada pasien GBM, sehingga c-Met dapat dijadikan indikator prognostik potensial pada GBM.

Objective: The aim of this study is to evaluate the association of c-Met overexpression with survival of glioblastoma multiforme (GBM) patients. Method: A systematic review with meta-analyses was conducted on related articles from PubMed, EBSCOhost, Scopus, and Cochrane databases with last updated search on October 31, 2020. A total of 7 studies regarding c-Met overexpression and overall survival (OS) and/or progression free survival (PFS) are included in this study. Result: All studies used immunohistochemistry to examine the expression of c-Met protein. The results showed that the positive rate of c-Met overexpression was detected in approximately 33,9% - 60,5% of GBM patients. c-Met overexpression was related to worse OS (HR: 1,74; 95% CI: 1,482-2,043; Z=6,756; p<0,001) and PFS (HR: 1,66; 95% CI: 1,327-2,066; Z=4,464; p<0,001) in GBM patients. Low heterogeneity of subjects was found in both OS and PFS analyses, I2 values were 7,8% and 0,0%, respectively. Conclusion: In conclusion, c-Met overexpression is significantly related to shorter OS and PFS in GBM patients, so c-Met can be considered as a potential prognostic indicator in GBM."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Puja Agung Antonius
"Latar Belakang: Kanker serviks adalah keganasan ginekologi terbanyak kedua pada perempuan di seluruh dunia dengan angka kematian yang tinggi. Stadium IIIB kanker serviks didefinisikan sebagai perluasan tumor yang mengenai dinding panggul atau adanya hidronefrosis. Jika disertai dengan gangguan ginjal, angka morbiditas dan mortalitas pasien akan meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perbedaan data patologi, respon terapi, masa rawat, dan angka kesintasan satu tahun pada pasien kanker serviks stadium IIIB dengan dan tanpa gangguan ginjal.
Metode: Dengan menggunakan metode potong lintang dilakukan pengambilan data 941 sampel pasien kanker serviks stadium IIIB di RSCM Jakarta antara bulan Juli 2010 - Juli 2015.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan signifikan jumlah pasien ditinjau dari keterlibatan dinding panggul, keterlibatan KGB, derajat dan simetrisitas hidronefrosis, rerata kadar ureum, kreatinin, dan kalium serum pada pasien kanker serviks dengan dan tanpa gangguan ginjal (p<0.001). Juga ditemukan perbedaan bermakna jumlah pasien yang menjalani terapi diversi urin , dialisis, dan kemoterapi. Untuk analisis kesintasan, didapatkan hazard ratio 0.307 (IK95% 0,160-0,589).
Kesimpulan: Dengan gambaran data tersebut, perlu diusulkan suatu entitas klasifikasi baru untuk kanker serviks stadium IIIB dengan gangguan ginjal (IIIB plus), mengingat kasus ini membutuhkan penanganan yang lebih kompleks dan holistik dengan melibatkan banyak keahlian (penyakit dalam, urologi, ginjal hipertensi, gizi klinik dan paliatif) serta prognosis yang berbeda bermakna secara statistik

Background: Cervical cancer is the second most common gynecological cancer in women globally. Stage IIIB cervical cancer is defined as a local extension of tumor that affects the pelvic wall or hydronephrosis or kidney disease. If accompanied by kidney disease, the complication will increase thereby increasing patient's morbidity and mortality. The aim of this study is to know whether there are differences in the clinical data, therapy, duration of hospital, and one-year survival rate in cervical cancer patient with and without kidney disease.
Methods: This research uses cross-sectional method with samples of stage IIIB cervical cancer patients in Cipto Mangunkusumo between July 2010 and July 2015.
Results: The results showed significant difference in the number of patients with pelvic wall involvement, lymph node involvement, degree and symmetry of hydronephrosis, the serum urea, creatinine, and potassium level between cervical cancer patients with and without kidney disease (p <0.001). There are also significant differences in the number of patients undergoing urinary diversion therapy, dialysis and chemotherapy. For survival analysis, the hazard ratio obtained is 0.307 (IK95% 0.160 - 0.589).
Conclusion: With the results obtained, we suggest new entitiy for cervical cancer stage IIIB with kidney disease ( IIIB plus), according to there is an obligation of more complex involvement of specialist (internist, urologist, renal hypertension expert, clinical nutrition and palliative expert) and statistically the prognosis is different
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Anastya Arifa
"Kanker payudara adalah kanker yang biasa terjadi pada wanita dan merupakan jenis kanker yang cukup agresif. Cukup sulit bagi dokter untuk dapat mengobati dan memprediksi harapan hidup kasus pada kanker payudara invasif karena kanker jenis tersebut cukup kompleks. Dengan menggunakan model prediksi pembelajaran mesin yang lebih akurat, dapat membantu dokter dalam mengambil keputusan penanganan dan terapi yang tepat untuk pasien. Untuk dapat memprediksi prognosis kanker payudara tersebut, pada penelitian ini diusulkan model stacked based ensemble berbasis deep learning dan menggunakan multi-modal data. Penulis melakukan pengembangan model dengan menggunakan residual connection dan voting classifier. Penggunaan residual connection dapat membantu mencegah terjadinya informasi hilang saat pergantian layer. Sedangkan voting classifier dapat membantu mengurangi error dari setiap algoritma model klasifikasi. Evaluasi performa dari prediksi akhir model yang digunakan adalah accuracy. Model yang diusulkan dengan residual connection memiliki nilai accuracy sebesar 91.7%, yaitu lebih tinggi 1,5% dari model sebelumnya. Ketika  model dengan residual connection ditambahkan dengan voting classifier, maka nilai accuracy yang dihasilkan sebesar 95.9%, yaitu lebih tinggi 5.7% dibandingkan dengan model acuan.

Breast cancer is a cancer that usually occurs in women and is a type of cancer that is quite aggressive. It is quite difficult for doctors to be able to treat and predict case survival in invasive breast cancer because this type of cancer is quite complex. By using a more accurate machine learning prediction model, it can assist doctors in making the right treatment and therapy decisions for patients. To be able to predict the prognosis of breast cancer, this study proposes a stacked ensemble based model based on deep learning and using multi-modal data. The author develops the model by using residual connection and voting classifier. The use of residual connections can help prevent information loss when changing layers. While voting classifier can help reduce the error of each classification model algorithm. The performance evaluation of the final prediction of the model used is accuracy. The proposed model with a residual connection has an accuracy value of 91.7%, which is 1.5% higher than the previous model. When a model with a residual connection is added with a voting classifier, the resulting accuracy value is 95.9%, which is 5.7% higher than the reference model."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dena Nabila Hasanah
"Autotransplantasi gigi merupakan salah satu pilihan perawatan untuk menggantikan kehilangan gigi. Penelitian mengenai autotransplantasi gigi masih sedikit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prognosis jangka panjang autotransplantasi gigi dengan periode follow-up 5 tahun atau lebih. Hasil yang dievaluasi adalah survival rate, persentasi mobilitas abnormal, kondisi pulpa dan persentase resorpsi akar. Pencarian secara online menghasilkan 1209 studi dan setelah dilakukan penyaringan berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, tiga studi dimasukkan untuk analisis. Survival rate berkisar antara 83.30 -96. Obliterasi pulpa berkisar antara 69.81 -100. Resorpsi permukaan yang ditemukan pada dua studi masing-masing 10 dan 22.2. Resorpsi inflamasi dan resorpsi pengganti ditemukan pada satu studi masing masing 16.7 dan 20.75. Hasil penelitian ini menunjukkan autotransplantasi gigi dengan apeks terbuka memiliki prognosis jangka panjang yang sangat baik dengan perkembangan akar gigi donor sebagai faktor yang signifikan mempengaruhi prognosis autotransplantasi gigi.

Tooth autotransplantation is one of the treatment options to replace the missing teeth. Research on tooth autotransplantation is still limited. This study aims to determine the long term prognosis of tooth autotransplantation with a follow up period of 5 years or more. The results evaluated were survival rate, percentage of abnormal mobility, pulp condition and percentage of root resorption. Online search resulted in 1209 studies and after screening based on inclusion and exclusion criteria, three studies included for analysis. Survival rates range from 83.30 96. Pulp obliteration ranges from 69.81 100. Surface resorption were found in two studies are 10 and 22.2. Inflammatory resorption and replacement resorption were found in one study of 16.7 and 20.75, respectively. The results of this study demonstrate that autotransplantation of the tooth with open apex has an excellent long term prognosis with root development as a significant factor affecting the prognosis of tooth autotransplantation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Birril Qudsi
"belakang: Karsinoma sel skuamosa rongga mulut (KSSRM) adalah salah satu kanker yang paling umum dijumpai dengan angka survival 52.0% yang tidak meningkat secara bermakna walaupun tatalaksana kanker ini terus berkembang. Cornulin merupakan protein spesifik untuk sel skuamosa yang penting dalam diferensiasi epitel. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa rendahnya ekspresi cornulin berhubungan dengan gambaran klinikopatologi dan survival yang lebih buruk dibandingkan dengan ekspresi tinggi. Oleh karena sifatnya yang spesifik dan belum ada penelitian mengenai ekspresi cornulin sebagai faktor prognosis di Indonesia, maka penulis tertarik untuk mengetahui hubungan antara ekspresi cornulin dan survival pada pasien dengan KSSRM.
Tujuan: Mengetahui potensi cornulin sebagai penanda biologis survival pada pasien dengan KSSRM.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi kohort retrospektif yang dilakukan dari periode Juni 2021 sampai dengan Mei 2022. Populasi penelitian ini merupakan pasien dengan diagnosis KSSRM yang ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologis dan menjalani terapi di Divisi Bedah Onkologi Departemen Ilmu Bedah RSCM periode Januari 2015 – Mei 2020. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan untuk mengetahui ekspresi cornulin dan skor imunihistokimia ditentukan menggunakan immunoreactive score (IRS). Skor IRS < 6 berarti ekspresi rendah dan ≥ 6 berarti ekspresi tinggi. Analisis statistik univariat, bivariat, dan survival dilakukan menggunakan perangkat lunak SPSS.
Hasil: Cornulin tidak memiliki hubungan yang signifikan secara statistik dengan survival pada pasien dengan KSSRM. T, N, dan stadium memiliki hubungan yang signifikan secara statistik dengan survival pada pasien dengan KSSRM dengan nilai p masing-masing adalah 0.001, 0.040, dan 0.001. T dan N memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan ekspresi cornulin pada pasien dengan KSSRM, dengan nilai p masing-masing adalah 0.034 dan 0.030.
Kesimpulan:Cornulin sebagai protein penanda biologis KSSM tidak dapat menjadi prediktor dari survival pasien dengan KSSM.

Background: Oral squamous cell carcinoma (OSCC) is one of the most common cancers with a 52.0% survival rate which does not increase significantly even though the management of this cancer continues to develop. Cornulin is a specific protein for squamous cells that is important in epithelial differentiation. Previous studies have shown that low cornulin expression is associated with worse clinicopathological features and survival compared to high cornulin expression. Due to its specific nature and no research on cornulin expression as a prognostic factor has been done in Indonesia, the author is interested in knowing the relationship between cornulin expression and survival in patients with OSCC.
Objective: To determine the potential of cornulin as a biological marker for survival in patients with OSCC.
Methods: This study used a retrospective cohort study design that was conducted from June 2021 to May 2022. The population of this study were patients with OSCC diagnosis confirmed by histopathological examination and undergoing therapy at the Division of Surgical Oncology, Department of Surgery, RSCM for the period January 2015-May 2020. Immunohistochemical examination was performed to determine the expression of cornulin and the immunohistochemical score was calculated using the immunoreactive score (IRS). IRS score < 6 means low cornulin expression and ≥ 6 means high cornulin expression. Univariate, bivariate, and survival statistical analyses were performed using SPSS software.
Results: Cornulin did not have a statistically significant relationship with survival in patients with OSCC. T, N, and stage had a statistically significant relationship with survival in patients with SCC with p values ​​of 0.001, 0.040, and 0.001, respectively. T and N had a statistically significant relationship with cornulin expression in patients with OSCC, with p-values ​​of 0.034 and 0.030, respectively.
Conclusion: Cornulin as a biological marker protein of OSCC cannot be a predictor of the survival of patients with OSCC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Gemiana
"Latar Belakang : Efusi pleura merupakan salah satu komplikasi dari kanker atau penyakit keganasan yang sering terjadi. Efusi pleura maligna termasuk dalam 15% sampai dengan 35% dari seluruh kejadian efusi pleura dan angka kejadiannya mencapai 660 orang per 1 juta populasi secara global. Beberapa model prediksi telah dievaluasi untuk memprediksi mortalitas pada pasien efusi pleura maligna. Skor PROMISE merupakan sebuah model prediksi mortalitas 3 bulan pada pasien dengan efusi pleura maligna.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi performa kalibrasi dan diskriminasi skor Clinical PROMISE dalam memprediksi mortalitas tiga bulan pada pasien efusi pleura maligna.
Metode : Penelitian ini menggunakan metode kohort retrospektif yang melibatkan pasien efusi pleura maligna yang terdaftar tahun 2015-2022 di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dokter Cipto Mangunkusumo. Dilakukan penilaian mortalitas tiga bulan. Data terkumpul dianalisis dengan uji Hosmer-Lemeshow goodness-of-fit untuk mengetahui performa kalibrasi dan pembuatan kurva Receiver Operating Curve (ROC) untuk mengetahui performa diskriminasi skor Clinical PROMISE terhadap luaran mortalitas tiga bulan.
Hasil : Diperoleh 120 subjek yang disertakan dalam penelitian dengan proporsi mortalitas 60,8%. Mayoritas subjek adalah perempuan (73,3%), rerata usia 55 tahun, kanker tipe lain (78,3%). Skor Clinical PROMISE memiliki performa kalibrasi yang baik (p = 0,230, koefisien korelasi r = 0,945). Performa diskriminasi skor Clinical PROMISE baik dengan AUC 0,849 (IK95% 0,776 –0,922).
Kesimpulan : Performa kalibrasi dan diskriminasi skor Clinical PROMISE dalam memprediksi mortalitas tiga bulan pada pasien efusi pleura maligna adalah baik.

Background: Pleural effusion is a frequent complication of malignancy. Malignant pleural effusion accounts for 15% to 35% of all pleural effusion cases and the incidence rate reaches 660 people per 1 million population globally. Several prediction models have been evaluated to predict mortality in malignant pleural effusion patients. The PROMISE score is a prediction model for 3-month mortality in patients with malignant pleural effusion.
Methods: A retrospective cohort study was conducted on patients with malignant pleural effusion registered in 2015-2022 at Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital. A three-month mortality assessment was carried out. The collected data was analyzed using the Hosmer-Lemeshow goodness-of-fit test to determine the calibration performance and creation of a Receiver Operating Curve (ROC) curve to determine the discrimination performance of the Clinical PROMISE score on three-month mortality outcomes.
Results: A total 120 subject were included in the study. The majority of subjects were women (73.3%), mean age 55 years and other types of cancer (78.3%). The Clinical PROMISE score had good calibration performance (p = 0.230, coefficient of correlation r = 0.945). The discrimination performance of the Clinical PROMISE score was good with an AUC of 0.849 (95% CI 0.776 –0.922).
Conclusion: The calibration and discrimination performance of Clinical PROMISE score to predict 3-month mortality of malignant pleural effusion is good.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rebecca Noerjani Angka
"Pasien kanker kolorektal (KKR) dengan stadium yang sama dapat mengalami hasil luaran berbeda, yang disebabkan berbagai faktor antara lain faktor imunitas pasien (sel T-CD3 dan CD8) dan lingkungan mikrotumor (tumor budding). Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis hubungan densitas sel T-CD3 dan CD8, status MMR, TB dengan gambaran klinikopatologi (usia, jenis kelamin, diferensiasi, lokasi, kedalaman invasi tumor, penyebaran kelenjar getah bening), metastasis dan kesintasan KKR. Penelitian observasional, kohort, retrospektif selama 36 bulan, menggunakan 68 blok parafin kasus KKR yang menjalani pengangkatan tumor sebagai pengobatan pertama. Pemeriksaan imunohistokimia digunakan untuk menentukan densitas sel T-CD3, CD8, MLH1, MSH6 dan TB. Pasien laki-laki lebih banyak dari perempuan, rerata usia 56,2 tahun. TB dengan kedalaman invasi tumor (pT), penyebaran kelenjar getah bening dan metastasis ditemukan hubungan bermakna. Selain itu ditemukan hubungan bermakna usia dengan status MMR, metastasis dengan TB, kesintasan dengan pT dan kesintasan dengan metastasis. Densitas sel T-CD8 dan metastasis dapat digunakan sebagai faktor prognostik kesintasan pasien KKR. Densitas sel T-CD8 tinggi dan metastasis organ dapat dipakai sebagai faktor prognosis kesintasan pada pasien KKR. TB tinggi sesuai dengan kedalaman invasi tumor, penyebaran kelenjar getah bening dan metastasis organ. Status MMR tidak berhubungan dengan gambaran klinikopatologi tapi dapat digunakan untuk menentukan jenis pengobatan.

Colorectal cancer (CRC) patients with the same stage produce different outcomes, which are caused by various factors including patient immunity factors (CD3 and CD8-T cells) and the microenvironment tumor (tumor budding). The purpose of this study was to analyze the relationship between CD3 and T-CD8 cell density, MMR status, TB with clinicopathological features, metastasis and CRC survival. This study is observational, cohort, 36 months retrospective on 68 Formalin-Fixed Paraffin-Embedded (FFPE) of CRC, who underwent tumor removal as the first treatment. Immunohistochemical examination was used to determine T-CD3 cells, CD8, MLH1, MSH6 and TB. There were more male patients than female patients, the average age was 56.2 years.TB with the depth of tumor invasion (pT), lymph node and metastasis were significantly related. There was a significant relationship between age and MMR status, metastasis with TB, survival with pT and survival with metastasis. T-CD8 cell density and metastasis used as prognostic factors for survival of CRC patients. High CD8 T-cell density and metastasis used as prognostic factors for survival in CRC patients. High TB in accordance with the depth of tumor invasion, lymph node and metastasis. MMR status is not related to clinicopathological features but used to determine the appropriate treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tommy Toar Huberto Purnomo
"Aktivitas fisik dapat mengurangi risiko terjadinya dan mortalitas akibat Diabetes Mellitus DM tipe 2. Namun, hasil yang didapatkan dari aktivitas fisik oleh pasien DM tipe 2 berbeda-beda. Selain aktivitas fisik terdapat juga beberapa faktor lain yang memiliki hubungan signifikan terhadap faktor prognostik pasien DM tipe 2. Penelitian ini dilakukan untuk mencari tahu hubungan antara aktivitas fisik dan faktor-faktor lain pada pasien DM tipe 2. Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional pada 57 subjek pasien di Rumah Sakit Husada Jakarta yang dianalisis menggunakan uji chi-square.
Hasil menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik p > 0,05 antara aktivitas fisik terhadap faktor-faktor seperti jenis kelamin, usia, status gizi, asupan energi, asupan karbohidrat, asupan lemak, asupan protein dan pemberian tata laksana pada pasien DM tipe 2. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas fisik dapat dilakukan pada pasien DM tipe 2 tanpa harus memperhatikan faktor-faktor tersebut.

The effect of physical activity is known to be useful in Type 2 Diabetes Mellitus T2DM . However, the outcome of physical activity in T2DM patient is varied. Physical activity is not the only factor for the outcome for T2DM. This study objectives is to find the relation between those factors to physical activity in T2DM patient. A cross sectional study was designed in this study and 57 subject in Husada Hospital Jakarta is analyzed by using chi square analysis.
The result of this study shows that there are no significant relation p 0.05 between physical activity and related factors such as gender, age, nutritional status, energy intake, protein intake, carhbohydrate intake, fat intake and pharmacology therapy in T2DM patients. This result means that physical activity could be done in T2DM patients with or without the other related factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>