Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 188425 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bobby Setiadi Dharmawan
"Pencegahan parut ginjal di kemudian hari pada tata laksana PNA belum memuaskan. Mekanisme vitamin E dalam menekan inflamasi dan sebagai antioksidan pada tata laksana anak dengan febrile UTI belum diteliti. Penelitian ini menelaah efek inhibisi vitamin E terhadap IL-6, IL-8, dan MDA urin. Efek perancu seperti usia, ASI, riwayat ibuprofen, dan infeksi E. coli, juga diteliti. Uji klinis acak tersamar ganda (n = 40) dilakukan di RS Fatmawati pada anak berusia 6?60 bulan dengan febrile UTI. Kelompok kasus diberikan 40 UI DL-α- tocopherol dan kelompok kontrol diberikan saccharum lactis selama 10 hari. Kedua kelompok mendapat terapi antibiotik yang sama. Pemantauan demam, leukosit darah, IL-6, IL-8, dan MDA urin dilakukan pada H0, H3 dan H10. Analisis IL-6 dan IL-8 dan MDA urin dilakukan di Laboratorium Biokimia FKUI. Kadar IL-6 urin lebih rendah pada kelompok vitamin E. Vitamin E menurunkan IL-8 urin namun tidak berbeda bermakna dibanding plasebo. Vitamin E tidak terbukti menurunkan demam lebih baik dibanding plasebo. Leukosit darah pada kelompok vitamin E lebih menurun dibanding kelompok plasebo, namun keduanya dalam batas normal. Perubahan MDA urin kedua kelompok tidak berbeda. Pemberian ASI menurunkan IL-6 dan IL-8 urin secara bermakna. Riwayat ibuprofen meningkatkan IL-6 dan IL-8 urin secara bermakna. Infeksi E. coli lebih meningkatkan MDA urin dibanding uropatogen lain. Manfaat penambahan vitamin E pada tata laksana febrile UTI masih perlu diteliti lebih lanjut.

Prevention of subsequent renal scarring in APN treatment has not been encouraging. The mechanism of vitamin E in suppressing inflammation and as an anti-oxidant in pediatric febrile UTI patients has not been studied. This study aimed to examine the inhibitory effects of vitamin E on urinary IL-6, IL-8, and MDA. Confounding effects of age, breastfeeding, previous treatment with ibuprofen, and E. coli infection were studied. A randomized double blind placebo controlled clinical trial (n = 40) was conducted in Fatmawati Hospital on 6 to 60 months old subjects with febrile UTI. The intervention group received 40 IU DL- α-tocopherol while the control received saccharum lactis as placebo for 10 days. Both groups were treated with antibiotics equally. Fever monitoring as well as blood leukocyte, urinalysis, and urinary IL-6, IL-8, and MDA were performed on day 0, day 3 and day 10. Analyses of urinary IL-6, IL-8 and MDA levels were conducted at Biochemistry Laboratory of Faculty of Medicine University of Indonesia. Urinary IL-6 levels were lower in the vitamin E group. Vitamin E suppressed urinary IL-8 but this result was not statistically significant compared to that of the placebo group. Vitamin E was not proven to reduce fever better than placebo. Leukocyte was lower in the vitamin E group compared to the placebo group, but both counts were within normal limit. Changes of urinary MDA levels between the two groups was statistically insignificant. Breastfeeding significantly lowered urinary IL-6 and IL-8 levels. Ibuprofen withdrawal significantly increased urinary IL-6 and IL-8 levels. E. coli infection increased urinary MDA more than any other uropathogens. The supplementation of vitamin E in the treatment of febrile UTI in children needs to be further investigated."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Krisadelfa Sutanto
"Preeklampsia merupakan gangguan kehamilan yang mengancam kesehatan ibu dan bayi Penelitian ini merupakan studi potong melintang yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar vitamin E dan MDA pada 48 subyek preeklampsia dan non preeklampsia di RS Tarakan Jakarta Penilaian mencakup wawancara sosio demografi riwayat obstetri asupan vitamin E dengan FFQ semikuantitatif LILA kadar vitamin E dan MDA serum Kategori usia usia kehamilan dan kadar MDA lebih tinggi pada preeklampsia Edukasi untuk perempuan usia reproduktif tentang pentingnya asupan makanan vitamin E yang cukup diperlukan untuk mencapai keberhasilan kehamilan.

Preeclampsia is a disorder of pregnancy that deteriorate mother and baby rsquo s health This study was a cross sectional study aiming to investigate differences in the levels of vitamin E and MDA of 48 subjects with preeclampsia and non preeclampsia in Tarakan Hospital Jakarta Assessment included interviews of socio demographic obstetric history vitamin E intake with semiquantitative FFQ MUAC serum vitamin E and MDA concentrations Categories of age gestational age and MDA levels were higher among preeclamptics Education for reproductive age women about the importance of sufficient intake of vitamin E foods is necessary to achieve successful pregnancy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuli Subiakto
"Dengan Vitamin E 200 mg Terhadap Penurunan Stres Oksidatif Dan Peningkatan Antioksidan Pada Teknisi Awaak Pesawat Terbang Militer. Stres oksidatif merupakan kondisi patologis tubuh yang disebabkan oleh terjadinya ketidakseimbangan antara oksidan dengan antioksidan tubuh, yang menghasilkan radikal bebas yang dapat mengakibatkan kerusakan sel secara dini. Radikal bebas akan berikatan bahan penyusun sel meliputi lemak, protein dan DNA akibatnya sel mengalami kerusakan, sehingga sel tidak dapat beregenerasi yang berdampak timbulnya penyakit degeneratif. Teknisi awak pesawat terbang militer sebagai personel khusus dalam melakukan pekerjaan bersinggungan langsung dengan bahan-bahan oksidan, sehingga berisiko tinggi mengalami stres oksidatif. Vitamin C dan vitamin E merupakan antioksidan non enzim dari luar luar tubuh yang memiliki peran menghambat stres oksidatif, sehingga stres oksidatif tidak terjadi. Desain penelitian studi eksperimental dengan intervensi (intervention study) dengan randomized double blind controled trial. Besar sampel 206 orang terbagi dua kelompok yaitu kelompok intervensi besar sampel 103 orang diberikan suplemen kombinasi vitamin C 500 mg dengan vitamin E 200 mg dan kelompok kontrol besar sampel 103 orang diberikan placebo selama 40 hari tanpa putus. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik responden, pola dan jumlah konsumsi vitamin C, vitamin E dan nutrien makanan, yang diperoleh dari food frequecy questionnaire (FFQ) dan 24 jam recall, pemeriksaan stres oksidatif berdasarkan pemeriksaan kadar malondialdehyde (MDA) dan antioksidan berdasarkan pemeriksaan kadar glutathione (GSH) dalam serum darah pada pre dan post intervensi. Hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan stres oksidatif pada kelompok yang mendapatkan suplemen kombinasi vitamin C 500 mg dengan vitamin E 200 mg dibandingkan dengan kelompok kontrol yang mendapatkan placebo, secara bermakna dengan p value 0,04 dengan besar efek - 0,089 nmol/mL, selang kepercayaan 95% (-0,17875 – 0,00095). Tidak terjadi peningkatan antioksidan pada kelompok yang mendapatkan suplemen kombinasi vitamin C 500 mg dengan vitamin E 200 mg dibandingkan dengan kelompok kontrol yang mendapatkan placebo, secara tidak bermakna dengan p value 0,81 dengan besar efek -0,019 ug/mL, selang kepercayaan 95% (-0,140 – 0,180). Kata kunci : Suplemen Kombinasi Vitamin C dan Vitamin E, Stres Oksidatif, Antioksidan, Teknisi Awak Pesawat Terbang Milite

500 mg with Vitamin E 200 mg to Decrease Oxidative Stress and Increase Antioxidant on Technician Crew Military Aircraft. Oxidative stress is pathological condition body that is caused by imbalance between oxidants with antioxidants body, which produces free radicals that can lead cell damage early. Free radical will bind building blocks cell covering of fat, protein and DNA will result damage cell, so cell can not regenerate that affect onset of degenerative diseases. Technicians crew military aircraft as specialized personnel with activity job direct contact with material oxidant, thus high risk of oxidative stress. Vitamin C and vitamin E are antioxidant enzyme exogen outside body which has role inhibiting oxidative stress, so oxidative stress does not occur. The design study experimental studies with intervention randomized double blind controled trial. Sample size 206 people divided into two groups are intervention group with sample size 103 people are given supplements combination vitamin C 500 mg with vitamin E 200 mg and control group with sample size 103 people are given placebo for 40 days without break. Data collected include are characteristics of respondent, pattern and amount of consumption of vitamin C, vitamin E and nutrient food, derived from food frequecy questionnaire (FFQ) and 24-hour recall, examination of oxidative stress by checking levels malondialdehyde (MDA) and examination of antioxidant by checking levels glutathione (GSH) in blood serum in pre and post intervention. The results showed decrease oxidative stress in group intervention who are received suplement combination vitamin C 500 mg with vitamin E 200 mg compared with control group who are received placebo, are significant with p value 0.04 with effects size -0.089 nmol/mL, confidence interval 95 % (-0.17875 - 0.00095). No increase antioxidants in group intervention who are received supplement combination vitamin C 500 mg with vitamin E 200 mg compared with control group who are received placebo, are not significant with p value 0.81 with effects size -0.019 ug/mL, 95% confidence interval ( -0.140 - 0.180)."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvina Widhani
"Latar Belakang: Pada ODHA didapatkan peningkatan inflamasi dan stres oksidatif. Puasa Ramadan dapat memperbaiki inflamasi dan stres oksidatif, namun penelitian pada ODHA yang mendapat antiretroviral belum pernah dilakukan.
Tujuan: Mengetahui pengaruh puasa Ramadan terhadap high sensitivity Creactive protein (hs-CRP) dan status antioksidan total (SAT) pada ODHA yang mengonsumsi antiretroviral.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian prospektif pada 29 orang ODHA dengan ARV yang berpuasa dan 29 yang tidak berpuasa. Kriteria inklusi yaitu pria, 20-40 tahun, mendapat ARV lini 1 minimal 6 bulan, serta tidak dalam fase inisiasi pengobatan untuk infeksi oportunistik. Pasien yang mendapat steroid atau imunosupresan lain atau pasien dengan adherens minum ARV kurang dari 95% dieksklusi. Pemeriksaan kadar hs-CRP dan SAT dilakukan sebelum dan saat puasa Ramadan (setelah 14 hari puasa).
Hasil: Karakteristik baseline usia, hitung CD4, HIV-RNA, kombinasi ARV, status hepatitis B dan C, serta kadar hs-CRP tidak berbeda antara kelompok berpuasa dengan kontrol. Setelah dua minggu, terdapat penurunan signifikan hs-CRP pada kelompok yang berpuasa dibandingkan kontrol (p=0,004). Median perubahan hs-CRP pada kelompok puasa adalah -0,41 (IQR -1; 0,1) mg/L, sedangkan pada kelompok kontrol adalah 0,2 (IQR -0,3; 1,5) mg/L. Konsumsi polyunsaturated fatty acid, berat badan, jumlah rokok, dan jumlah jam tidur per hari menurun selama puasa Ramadan (berturut-turut p=0,029; p<0,001; p<0,001; dan p<0,001). Tidak ditemukan perbedaan bermakna perubahan SAT antara kelompok yang berpuasa dengan kontrol (p=0,405). Median perubahan SAT pada kelompok puasa adalah 0,05 (IQR -0,03; 0,12) mmol/L, sedangkan pada kelompok kontrol adalah 0,04 (IQR -0,13; 0,36) mmol/L.
Simpulan: Puasa Ramadan menurunkan kadar hs-CRP pada ODHA yang mengosumsi antiretroviral. Puasa Ramadan belum meningkatkan kadar SAT pada ODHA yang mengonsumsi antiretroviral.

Background: Inflamation and oxidative stress were increased among HIV patients. Studies had showed Ramadan fasting could improve inflammation and oxidative stress, but not one of them had been conducted in HIV patients receiving antiretroviral therapy.
Aim: to know the effect of Ramadan fasting on hs-CRP level and total antioxidant status among HIV patients on highly active antiretroviral therapy.
Methods: A prospective cohort study comparing 29 HIV-infected patients on stable ART doing Ramadan fasting versus 29 non-fasting patients. Inclusion criteria were male, 20-40 years old, receiving first line ART for at least six months, and not on initial phase of opportunistic infection?s treatment. Patients who consumed steroid or other immunosuppressant or patients with poor ART adherence were excluded. Level of hs-CRP was obtained before and during Ramadan after at least 14 days fasting.
Results: Baseline age, CD4 cell count, HIV-RNA, ART combination, hepatitis B and hepatitis C status, and hs-CRP level were similar for both fasting and control groups. After 2 weeks, a significant hs-CRP decrease was found in fasting group compared to non-fasting one (p=0.004). Median difference of hs-CRP in fasting group was -0.41 (IQR -1 and 0.1) mg/L, while in control group the median difference was 0.2 (IQR -0.3 and 1.5) mg/L. Polyunsaturated fatty acid consumption, body weight, amount of cigarette smoking, and total sleep hours per day were decreased significantly during Ramadan fasting (p=0.029; p<0.001, p<0.001, p<0.001 respectively). There was no statistically significant changes in total antioxidant status between the two groups (p=0.405). Median total antioxidant status changes in fasting group was 0.05 (IQR -0.03;0.12) mmol/L. Median total antioxidant status changes in control group was 0.04 (IQR -0.13; 0.36) mmol/L.
Conclusion: Ramadan fasting decreased hs-CRP level among HIV patients on antiretroviral therapy. Ramadan fasting had not increased total antioxidant status among HIV patients on antiretroviral therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hasibuan, Zuainah Saswati
"Serat asbes yang terinhalasi masuk ke dalam alveolus menyebabkan terjadinya peningkatan produksi reactive oxigen spesies (ROS) yang dapat memicu terjadinya reaksi inflamasi. Interleukin 6 merupakan penanda reaksi inflamasi akibat pajanan serat asbes. Vitamin C dan E merupakan antioksidan yang bekerja sebagai scavenger ROS. Vitamin C juga dapat menghambat aktivitas faktor transkripsi NFқB. Vitamin E selain dapat menghambat aktivitas faktor transkripsi JAK/STAT3 dan NFқB, juga dapat menghambat aktivitas COX2 dan LOX5.
Penelitian potong lintang di sekretariat serikat buruh pabrik asbes X Kabupaten Karawang bulan Oktober 2014 dilakukan untuk menilai korelasi asupan vitamin C, E dengan kadar interleukin 6 pada pekerja pabrik asbes. Lima puluh dua pekerja pabrik asbes berhasil menyelesaikan protokol penelitian. Hasilnya menunjukkan tidak terdapat korelasi bermakna (p >0,05) antara asupan vitamin C dengan kadar IL-6 dan antara asupan vitamin E dengan kadar IL-6. Terdapat korelasi positif antara kadar vitamin C dengan kadar IL-6 (r = 0,31) dengan p <0,05, namun tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin E dengan kadar IL-6.

Asbestos fibers that are inhaled into the alveoli cause increased production of reactive oxygen species (ROS) which may trigger inflammation reaction. Interleukin 6 (IL-6) is a marker of inflammation reaction caused by asbestos fibers exposure. Vitamin C and vitamin E are antioxidants acting as ROS scavengers. Vitamin C can also inhibit the activity of transcription factor NFқB. Vitamin E can inhibit the activities of transcription factors JAK/STAT3 and NFқB as well as the activities of COX2 and LOX5.
A cross-sectional sudy at a labor union secretariat in Karawang Regency in October 2014 was conducted to evaluate the correlations between intakes and levels of vitamin C and vitamin E and level of IL-6 in asbestos factory workers. Fifty two asbestos factory workers finished the study. The result showed no significant correlation between vitamin C intake and IL-6 level or between vitamin E intake and IL-6 level. There was a moderate positive correlation between vitamin C level and IL-6 level (r = 0.31, p <0.05), but there was no correlation between vitamin E level and IL-6 level.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soni Siswanto
"Latar belakang. Doksorubisin (DOK), suatu antibiotika antrasiklin, digunakan secara luas untuk terapi antikanker, namun penggunaan DOK dapat menimbulkan efek samping, salah satunya gangguan kognitif. Penggunaan kemoterapi berbasis DOK menunjukkan hingga 76% pasien mengalami penurunan kognitif. Kerusakan otak akibat penggunaan DOK disebabkan oleh peningkatan TNF-α di otak melalui uptake reseptor di sawar darah otak dan peningkatan produksi melalui aktivasi NF-κB. Peningkatan TNF-α lebih lanjut dapat menyebabkan inflamasi kronis yang dapat menimbulkan kematian sel saraf atau penyakit degenerasi saraf. Mangiferin (MAG) merupakan salah satu senyawa neuroprotektif, akan tetapi efek terhadap kerusakan otak akibat pemberian DOK belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek MAG terhadap kerusakan otak yang ditimbulkan oleh pemberian DOK.
Metode. Penelitian dilakukan terhadap tikus Sprague-Dawley yang diinduksi menggunakan DOK dengan dosis total 15 mg/kgBB secara i.p mulai minggu kedua. Pemberian MAG dilakukan secara p.o dengan dosis 30 dan 60 mg/kgBB selama 7 minggu. Parameter yang diamati adalah fungsi kognitif, inflamasi (TNF-α, NF-κB dan iNOS), stres oksidatif (SOD dan MDA) dan histopatologi dengan pewarnaan HE.
Hasil. Pemberian DOK menyebabkan gangguan kognitif yang ditandai dengan penurunan penggiliran labirin Y dan penurunan indeks diskriminasi pada pengenalan obyek baru, disertai peningkatan parameter inflamasi yaitu ekspresi TNF-α, NF-κB dan iNOS. Pemberian MAG bersama DOK menyebabkan peningkatan fungsi kognitif, penurunan inflamasi dan penurunan stres oksidatif serta histopatologi dewan pewarna HE.
Kesimpulan. Berdasarkan hasil pemeriksaan parameter pada penelitian mengindikasikan bahwa mangiferin memiliki efek neuroproteksi terhadap pemberian DOK.

Introduction. Doxorubicin (DOK), an anthracycline antibiotic, is widely used for anticancer therapy, but the use of DOK causing side effects, one of them is cognitive impairment. Up to 76% of patients experienced cognitive decline caused by DOK-based chemotherapy. Brain damage due to the use of DOK lead by an increase in TNF-α in the brain through the receptors uptake in the blood brain barrier and increasing production through activation of NF-κB. Increased TNF-α can further lead to chronic inflammation which can lead nerve cells death or nerve degeneration diseases. Mangiferin (MAG) is one of the neuroprotective compound, but the effect on brain damage induced by DOK is still unknown. This study aims to determine the effect of MAG on brain damage induced by DOK.
Methods. Research carried out on Sprague-Dawley rats induced by DOK i.p with total dose 15 mg/kg that divided into 6 dose and given within 2 weeks, started from 2nd week. The rats was administrated by MAG p.o with dose 30 and 60 mg/kg daily for 7 weeks. Parameters measured were cognitive function, inflammatory parameters (TNF-α, NF-κB and iNOS), oxidative stress parameters (SOD and MDA) and histopatology using HE staining.
Results. DOK cause cognitive disorders that characterized by decreased Y maze alteration and discrimination index in new object recognition, and accompanied by increasing inflammatory parameters that showed in increasing TNF-α, NF-κB and iNOS expressions. Coadministration MAG with DOK led an increasing on cognitive function, reducing the inflammation and oxidative stress.
Conclusion. Based on the results of the study, MAG indicated has a neuroprotective effect on brain damage induced by DOK
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Ramadhani
"Latar Belakang: Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui secara lebih mendalam mekanisme molekuler fenomena respons adaptasi pada penduduk Mamuju, Sulawesi Barat sebagai area radiasi latar tinggi (high background radiation area/HBRA) di Indonesia khususnya ditinjau dari jalur inflamasi dan stress oksidatif.
Metode: Penduduk Dusun Tande-Tande, Mamuju sebagai area radiasi latar tinggi dan penduduk Desa Topoyo, Mamuju Tengah sebagai kelompok kontrol direkrut dalam penelitian. Pemeriksaan kerusakan DNA, aberasi kromosom tidak stabil, stabil, mikronukleus, indeks mitosis, nuclear division index, aktivitas enzim SOD, GPx konsentrasi CAT serum dan darah lengkap dilakukan pada penelitian. Analisis G2 MN dilakukan untuk memvalidasi respons adaptasi pada penduduk Dusun Tande-Tande. Pengukuran konsentrasi sitokin dan protein pro-inflamasi, anti-inflamasi, p-Akt, Akt, dan NFkB dilakukan untuk mengetahui keterlibatan jalur inflamasi dan stress oksidatif pada fenomena respons adaptasi.
Hasil: Analisis kerusakan DNA, aberasi kromosom tidak stabil, stabil, aktivitas SOD, aktivitas GPx menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok penelitian. Rerata konsentrasi CAT kelompok kasus lebih rendah secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol. Nilai indeks mitosis dan nuclear division index (NDI) pada kelompok kasus lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol. Rerata konsentrasi sitokin proinflamasi dan anti-inflamasi pada serum kelompok kasus lebih rendah secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol. Rerata konsentrasi protein marker inflamasi CRP pada serum kelompok kasus lebih rendah tetapi tidak bermakna secara statistik dibandingkan kelompok kontrol. Hasil pemeriksaan darah lengkap memperlihatkan bahwa jumlah sel darah merah kelompok kasus lebih tinggi secara bermakna sedangkan jumlah limfosit, nilai MCV, MCH, MCHC, dan RDW kelompok kasus lebih rendah secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol. Rerata nilai rasio p-Akt/Akt dan konsentrasi NFkB kelompok kasus lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Kesimpulan: Fenomena respons adaptasi terhadap radiasi terjadi pada penduduk Dusun Tande-Tande, Mamuju. Hasil penelitian belum dapat membuktikan peningkatan antioksidan serta sitokin tertentu baik sitokin pro maupun anti-inflamasi pada kelompok kasus. Aktivasi jalur Akt dan NFkB pada kelompok kasus belum dapat dibuktikan mengingat nilai rasio p-Akt/Akt serta konsentrasi NFkB lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Background: This study aim is to investigate the molecular mechanism of radioadaptive response in inhabitants of Mamuju, West Sulawesi as one of the high background radiation areas of Indonesia, particularly from inflammatory and oxidative stress perspectives.
Methods: Tande-Tande sub-village, Mamuju district inhabitants as high background radiation areas, and Topoyo Village inhabitants in Middle Mamuju district were recruited in this study. Evaluation of DNA damage, unstable and stable chromosomal aberrations, micronucleus, mitotic index, nuclear dividon index, SOD and GPx activities, serum catalase concentration and complete blood count were performed in this study. The G2 MN assay for validating the radioadaptive response phenomenon was performed in this study. Measurement of pro and anti-inflamamatory cytokines, p-Akt, AKt and NFkB were performed to find out the involvement of infllmation and stress oxidative on radioadaptive response phenomenon.
Results: The levels of DNA damage and stable and unstable chromosomal aberrations were not significantly different between the two groups. The rate of cell proliferation represented by the mitotic and nuclear dividion indexes showed a significantly higher rate in the case group. The SOD and GPx activities were not significantly different between the two groups. Interestingly, the CAT concentration was significantly lower in the case group. A significant lower level of both pro- and anti-inflammatory cytokines was also found in the case group. A lower level of CRP concentration as an inflammatory marker protein also showed in the present study, although it was not statistically significant. The complete blood counts analysis revealed a significant increase in RBC numbers and a significant decrease in lymphocyte numbers (MCV, MCH, MCHC, and RDW values) in the case group. The p-Akt/Akt ratio and NFkB concentration were also found to be statistically lower in the case group.
Conclusion: It can be concluded that the radioadaptive response phenomena induced by chronic low radiation dose exposure existed in Tande-Tande sub-village inhabitants. However, this present study failed to find a significant increase of antioxidant enzymes and inflammatory cytokines in Tande-Tande sub-village inhabitants. The activation of Akt and NFkB pathways in Tande-Tande sub-village inhabitants was also not found in this present study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel Oetoro
"Latar belakang. Obesitas merupakan masalah kesehatan masyarakat dunia dengan prevalensi yang semakin meningkat. Obesitas meningkatan risiko sindrom metabolik dan penyakit kardiovaskular, yang diyakini akibat inflamasi dan stres oksidatif. Penurunan berat badan (BB) dengan cara diet dan olahraga merupakan strategi dasar dalam manajemen obesitas. Penyandang obesitas seringkali mengalami peningkatan dan penurunan BB yang dikenal sebagai weight cycling (WC). Penelitian menunjukkan risiko sindrom metabolik dan penyakit kardiovaskular meningkat pada WC dibandingkan dengan penyandang obesitas pemula [first encounter obesity (FEO)]. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh program penurunan BB terhadap komposisi tubuh, petanda sindrom metabolik, petanda inflamasi dan stres oksidatif pada penyandang obesitas WC dibandingkan dengan FEO.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis terbuka selama delapan minggu yang dilakukan di Balai Kota DKI Jakarta. Subyek penelitian diambil secara konsekutif dan diklasifikasikan menjadi kelompok WC dan FEO. Kedua kelompok diberikan program penurunan BB yang terdiri dari pengurangan asupan energi sebesar 1000 kkal/hari dan olah raga intensitas ringan - sedang tiga kali seminggu selama 45 menit. Pengukuran antropometri dan komposisi tubuh (BB, indeks massa tubuh/IMT, massa lemak/ML, massa bebas lemak/MBL, massa otot/MO, rating lemak viseral, intracellular water /ICW yang merupakan indikator anabolisme protein ), petanda sindrom metabolik (kadar trigliserida/TG dan LP), petanda inflamasi (high sensitivity C-reactive protein/hs-CRP, interleukin/IL-6), dan stres oksidatif (F2-isoprostan) dilakukan pada awal penelitian, minggu ke-4 dan pada akhir penelitian (minggu ke-8).
Hasil. Dari total 73 subyek (34 subyek kelompok WC dan 39 subyek kelompok FEO) didapatkan karakteristik yang setara dalam hal usia, riwayat obesitas pada keluarga, asupan makanan, proporsi komposisi makronutrien, dan aktivitas fisik, namun tidak terdapat kesetaraan dalam hal distribusi subyek laki-laki dan perempuan, riwayat lamanya obes. Kelompok WC memiliki ML yang lebih tinggi , MBL, MO dan ICW yang lebih rendah, serta petanda inflamasi yang lebih buruk dibanding kelompok FEO, sebaliknya kelompok FEO memiliki kadar TG, F2-isoprostan lebih tinggi daripada WC. Setelah intervensi diet dan olah raga selama 8 minggu, penurunan BB, IMT, ML, MBL, MO, rating lemak viseral dan kadar ICW pada kelompok WC cenderung lebih rendah daripada kelompok FEO (p >0,05). Penurunan LP pada kelompok WC cenderung lebih rendah daripada kelompok FEO (p = 0,23). Kadar TG pada kelompok WC meningkat, sedangkan pada kelompok FEO terjadi penurunan kadar TG, namun perbedaannya tidak bermakna (p = 0,055). Penurunan kadar hs-CRP dan IL-6 pada kelompok WC cenderung lebih besar daripada FEO (p >0,05). Penurunan kadar F2-isoprostan lebih tinggi pada kelompok FEO daripada kelompok WC (p = 0,017).
Kesimpulan: Penyandang obesitas WC memiliki ML yang lebih tinggi dari FEO, disamping itu memiliki anabolisme protein yang lebih rendah, oleh karena itu program diet dan olahraga pada WC harus mempertimbangkan modalitas yang mampu meningkatkan anabolisme protein.Penyandang WC memiliki petanda inflamasi yang lebih buruk dibanding FEO, sedangkan setelah menjalani program diet dan olahraga selama 8 minggu pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan perubahan BB, komposisi tubuh, petanda sindrom metabolik, dan petanda inflamasi, kecuali perubahan petanda stres oksidatif yang lebih baik pada penyandang FEO.

Background. The worldwide prevalance obesity is increasing rapidly and has become serious health burden globally. Obesity increases risks of metabolic syndrome and cardiovascular diseases which may partly caused by inflammation and oxidative stress. Effective weight loss programs include diet and exercise,and these interventions are considered as first line strategy of obesity management. Obese individuals often experience repeated cycles of weight loss followed by weight regain, which is recognized as weight cycling (WC). Several studies demonstrated that weight cycler has higher risk of metabolic syndrome and cardiovascular diseases than individuals with first encounter obesity (FEO). This study aimed to assess the effect of weight loss programs using diet and exercise on body composition, selected markers of metabolic syndrome, inflammation, and oxidative stress in obese subjects with WC and FEO.
Methods.This study was an 8-week open clinical trial held at Balai Kota DKI Jakarta. Subjects were recruited consecutively and classified into WC and FEO groups. All subjects were assigned to receive weight loss programs with the following goals: 1,000 Kcal reduction of total energy intake/day and 45-minute mild-to-moderate intensity exercise, three times a week. Antropometric and body composition (body weight/BW, body mass index/BMI, fat mass, fat free mass, muscle mass, visceral fat rating, intracellular water/ICW as indicator of protein anabolism), markers of metabolic syndrome (triglyceride/TG levels and waist circumference), inflammation (high sensitivity C-reactive protein/hs-CRP, interleukin/IL-6), and oxidative stress(F2-isoprostane)were measured at baseline, week 4, and the end of study (week 8).
Results. A total of 73 subjects consisting of 34 subjects with WC (WC group) and 39 subjects with FEO (FEO group). Both groups had similar characteristics in age, family history of obesity, dietary intakes, macronutrient composition, and physical activities; meanwhile, gender and duration of obesity were significantly different between groups. WC group had more body fat, less fat free mass, muscle mass and ICW, higher markers of inflammation than FEO group. On the other hand, TG and F2-isoprostane levels in FEO group were higher than WC group. Following 8-week intervention with diet and exercise, the reduction in BW, BMI, fat free mass, muscle mass, visceral fat rating, and ICW in WC group was comparable with FEO group (p>0.05). The reduction of waist circumference in WC group tended to be lower than FEO group (p = 0.23). Triglyceride levels in WC group increased, but it declined in FEO group. However, these differences were not statistically significant(p= 0.055). The decline in hs-CRP and IL-6 levels in WC group tended to be higher than FEO group (p>0.05). Meanwhile, the decrease in F2-isoprostane levels in FEO group was significantly higher than WC group (p=0.017).
Conclusion.Obese subjects with WC had more body fat but lower protein anabolic capacity than those with FEO. These results suggest that diet and exercise program for weight cycler should consider effective ways to enhance protein anabolism.In addition, obese subjects with WC had higher inflammatory process than those with FEO.Using the current model of 8-week intervention with diet and exercise, this study was not able to demonstrate differences between WC and FEO groupsin the magnitude of changes in body composition and inflammation indicators, except oxidative stress indicator.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cicilia Febriani Hayuningrum
"ABSTRAK
Endometriosis merupakan penyakit ginekologi ditandai dengan implantasi jaringan endometrium di luar rongga uterus, berhubungan erat dengan proses inflamasi kronis. Stres oksidatif menjadi aktivator terjadinya proses inflamasi kronis di endometriosis. Oktil galat terbukti lebih efektif menekan proses inflamasi dibandingkan asam galat dan heptil galat pada sel kultur primer endometriosis. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh oktil galat pada proses inflamasi dan stres oksidatif pada tikus Wistar model endometriosis. Tiga puluh ekor tikus Wistar dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok uji, kontrol endometriosis dan kelompok normal. Kelompok uji dilakukan autotransplantasi lalu diberikan suspensi oktil galat dan CMC selama satu bulan. Kelompok endometriosis dilakukan autotransplantasi lalu diberikan larutan CMC selama satu bulan, sedangkan kelompok normal hanya dilakukan laparotomi. Seluruh tikus kemudian dieuthanasia, dari kelompok uji dan kontrol endometriosis diambil jaringan endometriosisnya sedangkan dari kelompok sehat diambil jaringan endometriumnya untuk dianalisis. Analisis MDA (Malondialdhyde) dan SOD (Superoxide Dismutase) dilakukan secara spektofotometri, kadar NF-ĸB dengan ELISA dan IL-1β (Interleukin-1 Beta) dengan LUMINEX. Pemberian oktil galat pada kelompok uji tidak menurunkan kadar MDA namun berpotensi menekan kondisi stres oksidatif dengan meningkatkan kadar SOD. Oktil galat terbukti menekan aktivasi NF-ĸB secara signifikan, namun tidak menekan kadar IL-1β. Oktil galat berperan sebagai antiinflamasi pada tikus Wistar model endometriosis dengan cara induksi peningkatan SOD dan hambatan langsung pada translokasi nuklear NF-ĸB.

ABSTRACT
Endometriosis is a gynecological disease characterized by the implantation of endometrial tissue outside the uterine cavity, related to the chronic inflammatory process. Oxidative stress activates the occurrence of chronic inflammatory in endometriosis. Octyl gallate is more effective in suppressing the inflammatory process than gallic acid and heptil gallate in primary endometriosis culture cells. This study aimed to analyze the effect of octyl gallate on the inflammatory process and oxidative stress in endometriosis Wistar rat models. 30 Wistar rats were divided into three groups, the test group, endometriosis control and normal groups. The test group was autotransplantated and then given a suspension of octyl galate and CMC for one month. The endometriosis group was autotransplanted and then given a CMC solution for one month, while the normal group only underwent laparotomy. All rats were then euthanized, from the test and endometriosis group the endometriosis tissue was taken while from the normal group endometrial tissue was taken for analysis. MDA and SOD were measured using spectrophotometry, NF-ĸB with ELISA and IL-1β with LUMINEX. Induction of octyl gallate in the test group did not reduce MDA levels but could potentially suppress oxidative stress conditions by increasing SOD levels. Octyl gallate significantly inhibit the NF-ĸB activation, but not suppressing IL-1β levels significantly. Octyl gallate act as anti-inflammatory agent in endometriosis Wistar rat model through the enhancement of SOD and direct inhibition to nuclear translocation of NF-ĸB."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59186
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Makalah ini merupakan penulisan ilmiah yang membahas mengenai bagaimana mekanisme Kerja Vitamin E sebagai Suatu Antioksidan. Vitamin E diketahui merupakan vitamin yang mempunyai banyak peranan, namun bagaimana mekanisme kerjanya di jaringan masih banyak dibicarakan dan didalami oleh peneliti-peneliti. Mudah-mudahan penulisan ilmiah ini memberikan keluasan wawasan pengetahuan bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2002
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>