Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160895 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yuni Kirana Wulandari
"ABSTRAK
Pendahuluan : Deteksi Basil Tahan Asam (BTA) Ziehl Neelsen cairan serebrospinal (CSS) di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo tahun 2014 tidak pernah positif. Pewarnaan Auramine-O dapat meningkatkan sensitivitas deteksi BTA. Perlu modifikasi sitosentrifugasi pada pulasan BTA, agar dapat deteksi BTA lebih banyak dan cepat.
Metode: uji diagnostik pulasan BTA CSS Ziehl Neelsen metode non sitosentrifugasi, Cytospin, Cytopro serta Auramine-O Cytopro dibandingkan dengan baku emas biakan TB MGIT.
Hasil: Uji diagnostik BTA Ziehl Neelsen tanpa sitosentrifugasi, tidak dapat dinilai karena BTA tidak terdeteksi di semua sampel. Uji diagnostik Ziehl Neelsen Cytospin dan Cytopro sama yaitu sensitivitas 64%, spesifisitas 85%, NPP 54%, NPN 89 %. Uji diagnostik Auramine-O Cytopro, sensitivitas 91%, spesifisitas 26%, NPP 26%, NPN 91 %.
Kesimpulan: Pulasan BTA CSS metode sitosentrifugasi dapat menggantikan metode non sitosentrifugasi. Pulasan BTA CSS Auramine-O dapat me rule out diagnosis meningitis TB.

ABSTRACT
Introduction: Detection of AFB from CSF with Ziehl Neelsen staining in 2014 at dr Cipto Mangunkusumo general hospital never gives positive result. Staining with Auramine-O smear staining can increase its sensitivity. Acid fast bacilli cytocentrifugation is needed as a modification in AFB slide preparation to gain more bacilli faster.
Methods: Diagnostic perfomance of AFB slide prepared by non cytocentrifugation, Cytospin, Cytopro with Ziehl Neelsen stain, prepared by cytopro with Auramine-O stain are compared to TB MGIT as a gold standard.
Results: Acid fast bacilli slide prepared with non cytocentrifugation method and stained by Ziehl Neelsen cannot be obtained because AFB was not detected in all samples. Acid fast bacilli slide prepared with Cytospin and Cytopro and stained with Ziehl Neelsen has sensitivity (64%), specificity (85%), PPV (54%), 89% NPV. Acid fast bacilli slide prepared with Cytopro and stained with Auramine-O has sensitivity (91%), specificity (26%), PPV (26%), 91 % NPV.
Conclusion: Detection of AFB from CSF with cytocentrifugation method can replace non cytocentrifugation method. Acid fast bacilli slide prepared cytocentrifugation and stained by Auramine-O can rule out Tuberculous meningitis.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Dzatir Rohmah
"Meningitis bakterial dianggap sebagai kasus kegawatdaruratan neurologik dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Mortalitas akibat meningitis bakterial dapat mencapai 34% terutama pada infeksi yang disebabkan oleh S. pneumoniae dan L. meningitidis. Sementara morbiditas pada pasien meningitis bakterial yaitu sekuele neurologis jangka panjang dapat mencapai 50% pada survivor meningitis. Terapi antibiotik dengan penggunaan yang rasional dapat menurunkan angka kematian. Sebaliknya, penggunaan terapi antibiotik yang tidak rasional akan meningkatkan terjadinya resistensi yang berdampak pada peningkatan morbiditas, mortalitas, dan biaya kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas penggunaan antibiotik pada pasien meningitis bakteri dengan metode Gyssens. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan metode retrospektif cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Fatmawati, Jakarta. Subyek penelitian adalah 27 pasien meningitis bakterial yang memenuhi kriteria inklusi. Berdasarkan evaluasi penggunaan antibiotik diagram alir Gyssen diperoleh hasil 11 (40,7%) subyek menggunakan antibiotik yang tepat dan 16 subyek (59,3%) menggunakan antibiotik yang tidak tepat. Penggunaan antibiotik yang belum tepat tersebar dalam beberapa kategori sebagai berikut yaitu kategori IVc sejumlah 2 subyek (7,4%), kategori IVd sejumlah 2 subyek (7,4%), kategori IIIA sejumlah 3 subyek (11,1%), kategori IIIB sejumlah 1 subyek (3,7%), kategori IIA sebanyak 13 subyek (48,1%), dan kategori IIB sebanyak 3 subyek (11,1%). Penggunaan antibiotik yang sesuai berdasarkan evaluasi menggunakan algoritma Gyssen pada penelitian ini tidak memberikan pengaruh yang bermakna terhadap outcome pasien dengan nilai p=1,000 (nilai p>0.05). Variabel jenis kelamin merupakan variabel yang berpengaruh secara signifikan (p<00,5) terhadap kerasionalan antibiotik pada pasien meningitis bakterial.

Bacterial meningitis is considered as neurologic emergency with high morbidity and mortality rates. Mortality can reach 34%, especially in infections caused by S. pneumoniae and L. meningitides, while morbidity in bacterial meningitis patients, namely long-term neurologic sequelae, can reach 50% amongst survivors. If antibiotics are used properly, they can lower mortality rates. On the other hand, the irrational use of antibiotic therapy will raise the likelihood of resistance, which raises morbidity, mortality, and costs for health care. This study aims to determine the quality of antibiotic use in bacterial meningitis patients using the Gyssens method. It is an observational study employing the retrospective crosssectional method conducted at Fatmawati General Hospital, Jakarta. The research subjects were 27 patients with bacterial meningitis who met the inclusion criteria. In this study, 40.7% of the subjects had been administered appropriate antibiotics and 59.3% inappropriate ones, which were spread across several categories, namely category IVc for two subjects (7.4%); category IVd for two subjects (7.4%); category IIIA for three subjects (11.1%); category IIIB for one subject (3.7%); category IIA for 13 subjects (48.1%); and category IIB for three subjects (11.1%). The use of appropriate antibiotics based on evaluation using the Gyssens algorithm did not significantly affect patient outcomes (p=1,000). Gender is a variable that has a significant effect (p<00.5) on the rationale for antibiotics in patients with bacterial meningitis."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurdini Khairunnisa
"Meningitis merupakan salah satu penyakit menular mematikan yang menyerang otak. Meningitis disebabkan oleh peradangan pada membran meninges (selaput pelindung otak dan sumsum tulang belakang) akibat infeksi yang disebabkan oleh patogen bakteri, virus atau jamur. Salah satu cara untuk memahami dinamika penyebaran penyakit meningitis yaitu dengan menggunakan pemodelan matematika. Oleh karena itu, pada skripsi ini dikonstruksi model matematika penyebaran penyakit meningitis yang memiliki bentuk SVCtvCvIR melalui persamaan diferensial biasa berdimensi enam nonlinear. Pemodelan penyebaran meningitis yang dibuat dalam penulisan skripsi ini mempertimbangkan intervensi vaksinasi. Model SVCtvCvIR ini diharapkan dapat membantu memberikan pemahaman tentang penyebaran penyakit meningitis guna mengurangi dampak beban penyakit meningitis di masyarakat. Analisis secara analitik maupun numerik dilakukan untuk menentukan titik keseimbangan, berikut dengan jenis kestabilannya serta basic reproduction number (R0). Diperoleh bahwa titik keseimbangan bebas penyakit bersifat stabil jika R0<1 dan tidak stabil jika R0>1. Lebih lanjut, dilakukan simulasi numerik pada model SVCtvCvIR untuk melihat interpretasi dari kajian analitik yang dilakukan sebelumnya. Dari proses numerik yang dilakukan, diperoleh bahwa laju penularan yang rendah serta laju vaksinasi dan pengobatan yang tinggi mampu mengendalikan penyebaran penyakit meningitis.

Meningitis is a deadly infectious disease that attacks the brain. Meningitis is an inflammation of the meninges (the membrane that protects the brain and spinal cord) due to infection caused by bacterial, viral or fungal pathogens. One way to understand the dynamics of the spread of meningitis is to use mathematical modeling. Therefore, in this thesis, a mathematical model of the spread of meningitis is constructed which has the form SVCtvCvIR through a six-dimensional non-linear ordinary differential equation system. The modeling of the spread of meningitis made in this undergraduate thesis considers the vaccination intervention. This model is expected to help provide an understanding of the spread of meningitis in order to reduce the impact of meningitis burden within the community. Analytical and numerical analysis is carried out to determine the equilibrium point, the type of its stability and basic reproduction number (R0). It was found that the disease-free equilibrium point is stable if R0<1, and unstable if R0>1. Furthermore, a numerical simulation was performed on the SVCtvCvIR model to see the interpretation of the previous analytical study. From the numerical process carried out, it was found that the low transmission rate and high vaccination and treatment rates were able to control the spread of meningitis."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jofizal Jannis
"Angka kematian meningitis tidak mengalami penurunan walaupun terdapat penurunan angka kejadian meningitis dan berkembangnya penemuan antibiotik baru. Tujuan penelitian ini adalah melaporkan pola kematian meningitis dan niengetahui faktor yang berhubungan dengan kematian akibat meningitis pada penderita yang dirawat. Penelitian potong lintang menggunakan data rekam medis penderita meningitis yang dirawat di bangsal Neurologi RS Cipto Mangunkusumo Jakarta dari Januari 1997 - Desember 2005. Data dilaporkan dalam bentuk tekstular dan table, dan kemudian dilakukan analisis mcnggunakan Chi-kuadrat untuk data kategorik dan Student's "t" rest untnk data numerical. Analisis menggunakan program SPSS v 13 for Windows. Penelitian ini mengikutsertakan 273 penderita, yang terdiri dari 81 wanila dan 192 pria, dengan usia antara 12 sampai 78 tahun. Seratuis empat belas penderita meninggal dan 159 hidup. Penurunan kesadaran, terutama sopor (OR 10.44, p 0.000) dun koma (OR 53.333, p 0.000), dan adanya himaparesis (OR 2.068, p 0.009) berhubungan dengan keluaran. Angka kematian meningitis masih tinggi (41.8%). Dari penelitian ini didapatkan tingkat kesadaran dan heiniparesis berhubungan dengan angka kematian. (Med J Indones 2006; 15:236-41).

Mortality rate of meningitis is not decreased even though there is decreasing meningitis rate and advanced development of antibiotics. The purpose of this study is to find out meningitis mortality pattern and to evaluate factors related to meningitis mortality in hospitalized patients. Study was done using retrospective data from medical records of the patients administered in llte Neurology ward of Cipto Mangunkusumo hospital from January 1997 - December 2005. Data were reported descriptively in text* and tables, and analyzed with Chi-square for categorical data and Student's "t" test for numerical data, then for final model using multinomial logistic regression analysis. Two hundred and seventy three patients were included in this study, consisted of 81 female patients and 192 male patients age between 12 to 78 years old. A hundred and fourteen patients died during am! 159 patients lived. Decreased level of consciousness, especially stupor (OR 10.44, p 0.000) and coma (OR 53.333, p 0.000), and presence of motor weakness (OR 2.068, p 0.009) had relationship with outcome. Mortality rate of meningitis is still high (41.8%) because there are some factors that affect its prognosis. From this study, onset, level of consciousness, and motor weakness are predictors for meningitis death. (Med J Indones 2006; 15:236-41)."
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 2006
MJIN-15-4-OctDec2006-236
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Anja Hesnia Kholis
"[ABSTRAK
Meningitis dan ensefalitis merupakan infeksi sistem saraf pusat yang dapat
mengancam jiwa. Apabila tidak ditangani dengan baik, akan menimbulkan defisit
neurologis dan berdampak pada kehidupan sehari-hari. Tujuan penelitian ini
adalah mengeksplorasi secara mendalam pengalaman hidup pasien postmeningitis
dan ensefalitis terkait kualitas hidupnya. Penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi pada delapan partisipan ini ditentukan dengan teknik
snowball sampling. Data dikumpulkan dengan wawancara mendalam dan catatan
lapangan. Analisis data menggunakan metode Collaizi. Tema yang ditemukan
adalah perubahan fungsi tubuh pasien, masalah sosial yang dihadapi pasien postmeningitis
dan ensefalitis, strategi koping pasien, kebutuhan akan support system
pasien, dan pengalaman pasien selama menerima pelayanan kesehatan. Hasil
penelitian diharapkan sebagai data dasar pengembangan format pengkajian asuhan
keperawatan dan instrumen kualitas hidup neuroinfection.

ABSTRACT
Meningitis and encephalitis are life-threatening infection of the central nervous
system. If it is not treated properly, will lead to neurological deficits and impact
on daily life. The purpose of this study was to explore the life experiences of postmeningitis
and encephalitis patients related to their quality of life. Qualitative
research with phenomenological approach on eight participants involved were
determined by snowball sampling technique. The data was collected by in-depth
interviews and field notes. Collaizi?s method was used to data analysis. The
results of this investigation were: the changes body function of patients; the social
problems faced by post-meningitis and encephalitis patients; the coping strategies
of patients; the need support system of patients, and the experience patients during
receiving health care. The study findings are expected to be the basic for both the
development of nursing care assessment form and instrument of neuroinfection
related to quality of life., Meningitis and encephalitis are life-threatening infection of the central nervous
system. If it is not treated properly, will lead to neurological deficits and impact
on daily life. The purpose of this study was to explore the life experiences of postmeningitis
and encephalitis patients related to their quality of life. Qualitative
research with phenomenological approach on eight participants involved were
determined by snowball sampling technique. The data was collected by in-depth
interviews and field notes. Collaizi’s method was used to data analysis. The
results of this investigation were: the changes body function of patients; the social
problems faced by post-meningitis and encephalitis patients; the coping strategies
of patients; the need support system of patients, and the experience patients during
receiving health care. The study findings are expected to be the basic for both the
development of nursing care assessment form and instrument of neuroinfection
related to quality of life.]"
2015
T44547
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raesa Yolanda
"Latar Belakang: Meningitis tuberkulosis (TBM) merupakan manifestasi terberat infeksi TB dan prognosisnya bergantung pada kecepatan memulai terapi. Studi ini bertujuan mengetahui alur perjalanan pasien TBM serta faktor-faktor yang memengaruhi keterlambatan dalam mendapatkan pengobatan.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dari pasien TBM yang sudah mendapatkan terapi OAT dan dirawat di RSCM pada bulan Januari 2020 – April 2022. Data diperoleh melalui wawancara terhadap pasien atau pendamping dan telusur rekam medis.
Hasil: Sebanyak 99 orang subjek yang memenuhi kriteria. Terdapat 6 pola alur perjalanan pasien dengan yang terbanyak adalah mengalami gejala umum diikuti gejala neurologis, mencari pertolongan kesehatan, terdiagnosis, dan mendapatkan pengobatan (52,5%). Fasilitas kesehatan pertama terbanyak dikunjungi pasien adalah praktek dokter swasta (L1b) (35,4%). Median jumlah kunjungan yang dibutuhkan pasien untuk mendapatkan pengobatan adalah 6 (4-9) kunjungan dengan durasi keterlambatan sebagai berikut: keterlambatan pasien 17 (3-33) hari, keterlambatan diagnosis 44 (16-101) hari, keterlambatan pengobatan 1 (0-1) hari, dan keterlambatan total adalah 78 (33-170) hari. Faktor yang secara signifikan berhubungan dengan keterlambatan yang lebih panjang (>78 hari) adalah jumlah kunjungan ke fasilitas kesehatan aOR=3,51 (CI95=1,36-9,10; p=0,01) dan pendidikan rendah aOR=0,30 (CI95=0,01-0,89; p=0,03).
Kesimpulan: Pasien TBM di RSCM menjalani kunjungan multipel dan membutuhkan waktu 2,5 bulan sejak mengalami gejala hingga mendapatkan pengobatan dengan keterlambatan terbesar berasal dari sistem kesehatan.

Background: Tuberculous meningitis (TBM) is the worst manifestation of TB infection. Its prognosis is depend on timely treatment initiation. This study intend to know TBM patient pathway and factors that affect treatment delay.
Methods: This was a crossectional study of TBM patients who have received antituberculous medication and were admitted at the RSCM January 2020-April 2022. Data were obtained from interview to either patient or caregiver and medical reccord.
Results: A total of 99 subjects met the criteria. There were 6 patterns of patient pathway with the most prevalent is having general symptoms followed by neurological symptoms, first healthcare visit, diagnosed, and treated (52.5%). The first healthcare visited by most patients was private doctor's practice (L1b) (35.4%). Median number of visits before recieving treatment was 6 (4-9) visits. Delay duration are as follow: patient delay 17 (3-33) days, diagnosis delay 44 (16-101) days, treatment delay 1 (0-1) day, and total delay 78 (33-170) days. Factors that significantly associated with longer delays were number of visits to healthcare facilities aOR=3.51 (CI95=1.36-9.10; p=0.01) and lower education aOR=0.30 (CI95=0 .01-0.89; p=0.03).
Conclusions: TBM patients experienced multiple visit and had 2.5 months delay from first symptoms to treatment with the longest delay coming from the healthcare system.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tara Wandhita Usman
"Latar Belakang : Gangguan fungsi hati pada meningitis tuberkulosis (MTB) dilaporkan sebesar 9,5- 43,3%. Gangguan hati dapat mempengaruhi tata laksana berupa interupsi pemberian obat anti tuberkulosis (OAT) yang dapat menyebabkan perburukan klinis dan meningkatkan risiko kematian terutama pada fase intensif. Metode : Studi kohort retrospektif pada pasien MTB untuk mengetahui karakteristik demografi, laboratorium gangguan fungsi hati dan mortalitas baik pada kelompok dengan dan tanpa interupsi OAT fase intensif. Penelurusan rekam medis pada pasien MTB yang dirawat di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada Januari 2019 – April 2023. Hasil : Dari 200 subjek yang memenuhi kriteria, sebanyak 145 subjek (72,5%) mengalami gangguan fungsi hati, terdiri dari 88 subjek (60,7%) derajat ringan, 25 subjek (17,2%) derajat sedang, dan 32 subjek (22,1%) derajat berat. Gangguan fungsi hati banyak terjadi pada lak-laki (59,3%), median usia 37 tahun. Interupsi OAT dilakukan pada 43 subjek (29,7%). Perbedaan karakteristik yang bermakna adalah laki-laki (72,1% vs 53,9%, p=0,04), kadar tertinggi serum glutamic ocaloacetic transaminase (SGOT) (195 (10-2.945) vs 53,5 (14-464), p=<0,001) serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT) (128 (10-1.268) vs 50 (10-294), p=<0,001), bilirubin total (1,57 (0,34-8,98) vs 1,08 (0,25-2,43), p=<0,001) dan direk (1,11 (0,19-8,05) vs 0,56 (0,12-2,01), p=<0,001). Gangguan fungsi hati derajat berat lebih banyak pada kelompok dengan interupsi (62,8% vs 4,9%, p=<0,001). Mortalitas lebih banyak pada kelompok dengan gangguan fungsi hati (34,5% vs 16,4%, p=0,012) dan pada kelompok dengan interupsi (55,8% vs 44,2%, p=<0,001). Kesimpulan : Gangguan fungsi hati pada MTB lebih banyak ditemukan pada laki-laki dengan usia dekade ketiga. Perbedaan karakteristik bermakna pada kelompok dengan interupsi OAT adalah kadar fungsi hati dan derajat gangguan fungsi hati yang lebih buruk. Mortalitas lebih banyak pada kelompok dengan gangguan fungsi hati dan kelompok dengan interupsi OAT.

Background : Liver dysfunction in tuberculosis meningitis (TBM) has been reported 9,5 – 43,3%. Liver dysfunction could impact to the therapy with interuption of antituberculosis therapy (ATT). That interruption can caused clinical deterioration and increase risk of death, especially in the intensive phase. Methods : Retrospective study on TBM patients to determine the demographic and laboratory characteristics of liver dysfunction and mortality in both groups with and without interruption of intensive phase ATT. Using medical records of TBM patients who admitted at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital from January 2019 to April 2023. Results : Total 200 subjects met the criteria, there were 145 subjects (72.5%) had liver dysfunction, the degree were consist of 88 subjects (60.7%) mild, 25 subjects (17.2%) moderate, and 32 subjects (22.1%) severe. Interruption ATT were in 43 subjects (29.7%). Liver dysfunction was common in male and median age were 37 years. Significant characteristics difference were male (72.1% vs 53.9%, p=0.04), peak level of aspartate transaminase (AST) (195 (10-2945) vs 53.5 (14-464), p=<0.001), alanine aminotransferase (ALT) (128 (10-1268) vs 50 (10-294), p=<0.001), total bilirubin (1.57 (0.34-8.98) vs 1.08 (0.25-2.43), p=<0.001) and direct bilirubin (1.11 (0.19-8.05) vs 0.56 (0.12-2.01), p=<0.001). Severe liver dysfunction more common in group with interruption (62.8% vs 4.9%, p=<0.001). Mortality was higher in liver dysfunction group (34.5% vs 16.4%, p=0.012), and in group with interruption (55.8% vs 44.2%, p=<0.001). Conclusion : Liver dysfunction in TBM more common in male in third decade. Significant characteristics difference were male, higher level of liver function test and degree of liver dysfunction. Mortality was higher in liver dysfunction group and group with interruption"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Septiana Andri Wardana
"Latar Belakang. Prevalensi disabilitas pada pasien meningitis tuberkulosis (MTB) hampir setara dengan angka mortalitas mencapai 29-50%. Aspek luaran pasien MTB tidak cukup dinilai berdasarkan angka morbiditas dan mortalitasnya, namun mencakup kesehatan fisik, mental, dan sosial seperti yang didefinisikan oleh World Health Organization (WHO). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas hidup pasien MTB selesai obat anti-tuberkulosis (OAT) dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Metode. Studi potong lintang (cross sectional) dilakukan pada pasien MTB, termasuk tuberkuloma selesai OAT di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo periode Mei 2019-Juni 2023. Karakteristik demografis, klinis, diagnosis, tatalaksana pasien dinilai dari data rekam medis dan wawancara. Luaran kualitas hidup pasien dinilai menggunakan kuesioner SF (Short form)-36. Analisis statistik dilakukan dengan SPSS versi 19.0, yaitu Mann-Whitney dan Kruskal-Wallis untuk data kategorik, Spearman untuk data numerik. Hasil. Dari 53 subjek penelitian dengan median usia 30 (IQR 25,5-39) tahun, didapatkan median skor SF-36 yaitu, 86,5 (IQR 74,9-92,8). Median (IQR) skor pada aspek fisik (PCS) dan mental (MCS) kualitas hidup serupa, yaitu 85 (IQR 69,4-94,85) dan 88,1 (IQR 74,1-95,3). Faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien MTB selesai OAT antara lain penghasilan (p=0,033), kejang (p=0,028), kelemahan motorik (p=0,023), dan mRS saat pulang perawatan (p=0,007). Faktor yang berhubungan dengan skor PCS adalah pekerjaan (p=0,012), penghasilan (p=0,007), kelemahan motorik (p=0,024), dan mRS saat pulang perawatan (p=0,01). Faktor yang berhubungan dengan skor MCS adalah usia (p=0,006) dan kejang (p=0,025). Kesimpulan. Kualitas hidup pasien MTB selesai OAT berdasarkan skor SF-36, PCS, dan MCS tergolong baik. Faktor yang memengaruhi kualitas hidup lebih tinggi pada pasien MTB selesai OAT adalah berpenghasilan, tanpa klinis kejang atau kelemahan motorik, dan mRS saat pulang perawatan 0-2. Faktor yang memengaruhi aspek fisik lebih tinggi adalah pekerjaan, berpenghasilan, tanpa klinis kelemahan motorik, dan mRS saat pulang perawatan 0-2, sedangkan aspek mental lebih tinggi adalah usia ≥30 tahun dan tanpa klinis kejang. Kata kunci. Kualitas hidup, meningitis tuberkulosis, selesai OAT, SF-36<

The prevalence of disabilities among tuberculous meningitis (TBM) patients almost similar with its mortality rate (29-50%). The comprehensive evaluation of long-term outcomes should encompass not only morbidity and mortality rates but also incorporate the dimensions of physical, mental, and social well-being as outlined by the World Health Organization (WHO). This study aimed to assess the quality of life (QoL) among patients with TBM following the completion of anti-tuberculosis treatment (ATT) and investigating the factors that have impacts on this particular aspect. Methods. Retrospective cross sectional study of TBM patients, including tuberculoma upon completion of ATT at dr. Cipto Mangunkusumo National Center General Hospital during May 2019-June 2023. Demographic, clinical, diagnostic, and treatment characteristics were conducted by medical records and interviews. The assessment of QoL in TBM patients was performed using Short form (SF)-36 questionnaire. Statistical analysis was performed with SPSS version 19.0 (Mann-Whitney and Kruskal-Wallis for categorical data, Spearman for numeric data). Result. The study involved 53 participants, with median of age 30 (IQR 25.5-39) years, demonstrated favorable median SF-36 score of 86.5 (IQR 74.9-92.8). Median of physical score (PCS) and mental score (MCS) almost similar, 85 (IQR 69.4-94.85) and 88.1 (IQR 74.1-95.3), respectively. The impact of various factors on QoL was assessed, revealing significant associations with monthly income (p=0.033), presence of seizure (p=0.028), motoric abnormalities (p=0.023), and mRS at discharge (p=0.007). Employment (p=0.012), monthly income (p=0.007), motoric abnormalities (p=0.024), and mRS at discharge (p=0.01) were identified as factors influencing the PCS score. Age (p=0.006) and presence of seizure (p=0.025) found to impact the MCS score. Conclusion. The evaluation of QoL in TBM patients after completing ATT utilizing SF-36 score, PCS, and MCS revealed favorable outcome. Several factors were found to significantly influence higher SF-36 score, including monthly income, absence of seizure and motoric abnormalities, and mRS at discharge of 0-2. Similarly, factors such as employment, monthly income, absence motoric abnormality, and mRS at discharge of 0-2 were associated with higher PCS scores. Furthermore, a higher MCS score was observed in patients aged 30 years or older and those without seizures. Keywords. Quality of life, QoL, tuberculous meningitis, completion ATT, SF-36"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Erlangga Luftimas
"Meningitis tuberkulosis (MeTB) merupakan manifestasi klinis berat dari infeksi TB yang menyerang sistem saraf pusat (SSP) dan menyebabkan pasien mengalami penurunan asupan nutrisi karena menurunnya kemampuan makan dan selera makan. Asam amino rantai cabang (AARC) diketahui memiliki efek meningkatkan selera makan dan protektif terhadap massa otot. Pemenuhan kebutuhan AARC berpotensi memperbaiki kapasitas fungsional pasien sehingga menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien MeTB. Empat pasien MeTB dipantau selama perawatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Pencatatan asupan makanan pasien dilakukan dengan metode FFQ semi kuatitatif dan 24h dietary recall. Selama masa perawatan diberikan terapi medik gizi sesuai kondisi klinis pasien, dilakukan pemantauan harian termasuk penilaian kapasitas fungsional pasien hingga pasien selesai perawatan. Semua pasien menunjukkan tanda malnutrisi berdasarkan kriteria klinis menurut American Society of Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN). Belum ada rekomendasi terapi medik gizi khusus MeTB yang dapat digunakan, namun pada pasien dengan masalah infeksi disertai masalah neurologis rekomendasi tatalaksana TB paru dan stroke dapat menjadi acuan untuk tatalaksana pasien. Pemberian asupan kalori 35-40 kkal pada pasien dengan protein minimal 1,5 g/kgBB berpotensi meningkatkan kapasitas fungsional pasien dan mencegah perburukan penyakit. Tiga pasien mendapatkan asupan AARC diatas rekomendasi dan didapatkan peningkatan kapasitas fungsional dengan menggunakan indeks Barthel. Terapi medik gizi dengan pemberian protein dan AARC yang lebih tinggi dari rekomendasi IOM pada pasien MeTB dapat meningkatkan kapasitas fungsional pasien.

Tuberculous Meningitis (TBM) has been the most severe manifestation of Tuberculosis infection attacking central nervous system (CNS) and causes the risk of malnutrition in patients due to decrease the ability of eating and loss appetite. Branched chain amino acid (BCAA) has been known having effects in appetite and protection of muscle mass. Fulfilling BCAA requirement is potential to improve patient functional capacity, furthermore lowering the morbidity and mortality of TBM patient. Four TBM patients has been observed during hospitality in Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM). Patient’s dietary intake was collected using semiquantitative FFQ and 24h dietary recall. During hospitality, medical nutrition therapy was administered based on patient clinical condition, daily observation including patient functional capacity was done until patient was discharged. All patients showed malnutrition signs based on clinical criteria according to American Society of Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN). Recommendation of nutrition therapy on TBM patient still not exist, however in patient with infection and neurological problem, guideline of nutrition therapy in TB infection and stroke can be used. Intake of 35-40 kcal/kgBW calories and 1,5 g/kgBW of protein can be potential to increase patient functional capacity and prevent further morbidity. Three patient can fulfill their BCAA beyond the requirement and there were increase in patient functional capacity using Barthel Index. Medical nutrition therapy using protein and BCAA administration above the IOM recomendation in TBM patient can improve functional capacity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdi
"Latar belakang. Sebanyak 1 juta kasus baru dan 625.000 kematian terjadi di dunia setiap
tahunnya akibat meningitis kriptokokus. Perbaikan dalam antiretroviral (ARV) telah
dilaksanakan namun jumlah kasus meningitis kriptokokus masih tinggi. Mortalitas juga masih
tinggi (30-40%) bahkan dengan terapi amfoterisin B. Dengan epidemiologi penyakit yang
tersebar luas dan mortalitas yang substansial, penyakit ini perlu dipikirkan sebagai masalah
kesehatan besar yang memerlukan perhatian global. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
mortalitas meningitis kriptokokus di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan faktor yang
berhubungan.
Metode. Penelitian kohort retrospektif dengan rekam medis di RSUPN Cipto Mangunkusumo
pada subjek dengan meningitis kriptokokus dari tahun 2013-2023. Analisis dilakukan terhadap
data dasar, klinis, pemeriksaan penunjang, dan tata laksana yang dihubungkan dengan
mortalitas 2 minggu.
Hasil. Dari 68 subjek yang melalui kriteria inklusi dan ekslusi, didapatkan mortalitas 2 minggu
sebesar 26,5%. Subjek dengan HIV positif didapatkan sebesar 91% dengan riwayat
penggunaan ARV sebesar 49% dan riwayat putus ARV sebesar 16%. Manifestasi klinis
tersering adalah nyeri kepala (94%) dan muntah (60%). Komorbid tersering yang ditemukan
adalah tuberkulosis paru (49%) dan pneumonia bakterialis (37%). Infeksi PCP berhubungan
dengan mortalitas 2 minggu subjek (OR 14, IK 95% 1,5-135,6, p=0,02). Tinta India ditemukan
positif pada 84% subjek (p=0,029) dan antigen LFA ditemukan positif pada 94% subjek.
Infiltrat pada foto toraks berhubungan dengan mortalitas 2 minggu (OR 12, IK 95% 1,3-115,4,
p=0,03). Frekuensi pungsi lumbal yang lebih jarang berhubungan dengan mortalitas 2 minggu
(p=0,009). Antijamur yang diberikan sebagian besar adalah kombinasi amfoterisin B dan
flukonazol (71%).
Kesimpulan. Mortalitas 2 minggu meningitis kriptokokus sebesar 26,5%. Faktor yang
berhubungan dengan mortalitas adalah infeksi PCP, tinta India positif, infiltrat pada foto
toraks, dan pungsi lumbal yang jarang. Subjek meningitis kriptokokus dengan infeksi HIV
mengalami imunosupresi berat yang ditandai dengan CD4 rendah, riwayat ARV yang rendah,
dan angka putus ARV yang tinggi. Sebagian besar subjek meningitis kriptokokus memiliki
kondisi klinis yang berat sehingga tata laksana seperti pungsi lumbal diperlukan sejak awal.

Background. Approximately 1 million new cases and 625.000 deaths each year are caused by
Cryptococcal meningitis. Improvement in antiretroviral (ARV) was done but number of
Cryptococcal meningitis cases was still high. In spite of amphotericin B based regimen, the
mortality was still high (30-40%). With worldspread epidemiology and substantial mortality,
this disease is a major health issue which requires global attention. This research aimed to
know Cryptococcal meningitis mortality in Cipto Mangunkusumo National General Hospital
and its associated factors.
Methods. Retrospective cohort research using medical records at Cipto Mangunkusumo
National General Hospital was conducted for Cryptococcal meningitis from 2013 to 2023.
Analysis was performed for baseline, clinical, ancillary test, and treatment data with 2 week
mortality.
Results. Of 68 subjects following inclusion and exclusion criteria, the 2 week mortality was
26,5%. The proportion of HIV positive was 91,2% with 38,5% subjects with history of ARV,
and 16,2% subjects with history of default. Common clinical manifestations were headache
(94%) and vomiting (60%). Common comorbids were pulmonary tuberculosis (49%) and
bacterial pneumonia (36%). PCP was associated with mortality (OR 14, 95% CI 1,5-135,6,
p=0,02). Positive India ink was found in 84,3% subjects (p=0,03) and positive LFA antigen
was found in 94,2% subjectss. Infiltrate in chest x ray was associated with mortality (OR 12,
95% CI 1,3-115,4, p=0,03). Infrequent lumbal puncture was associated with mortality
(p=0,009). Majority of antifungal regimen given was combination of amphotericin B and
fluconazole (71%).
Conclusions. The 2 week mortality of Cryptococcal meningitis was 26,5%. Associated factors
were PCP, positive India ink, infiltrate in chest x ray and infrequent lumbal puncture.
Cryptococcal meningitis subjects with HIV infection had severe immunosupression reflected
by low CD4, low ARV usage, and high ARV defaulters. Majority of cryptococcal meningitis
subjects had severe clinical conditions so optimal treatment like lumbal puncture was needed
earlier.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>