Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142082 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jati Sherawidianti
"Pada tahun 1973, Amerika Serikat (AS) mengesahkan kebijakan praktik aborsi. Hal ini ditentang oleh sebagian masyarakat AS yang tidak menyetujui adanya praktik aborsi, sehingga masyarakat AS menjadi terpolarisasi menjadi dua, yaitu kelompok pendukung aborsi atau American Ways dan kelompok penentang aborsi atau New Christian Right (NCR). Penelitian ini mengambil pengesahan praktik aborsi oleh George W. Bush pada tahun 2003 sebagai lingkup penelitian. Sejak pengesahan kebijakan aborsi tahun 1973, tokoh-tokoh NCR berusaha menentang dan memperjuangkan menuntut pemerintah agar membatalkan atau mencabut kebijakan tersebut. Tokoh-tokoh NCR berpendapat bahwa praktik aborsi merupakan tindakan dosa dan dapat mengakibat pada kematian. Namun, dalam memperjuangkan pelarangan praktik aborsi tokoh-tokoh NCR memiliki dua kepentingan, yaitu kepentingan ideologi dan kepentingan bisnis. Dalam kepentingan ideologi, tokoh-tokoh NCR memandang aborsi sebagai tindakan berdosa dan dilarangkan oleh agama sehingga pandangan tersebut dinilai konservatif oleh sebagian kalangan masyarakat yang mendukung aborsi. Sedangkan dalam kepentingan bisnis, Tokoh-tokoh NCR melihat bahwa adanya peluang memperkaya kekayaannya melalui pengalihan dana dari anggaran pemerintah untuk aborsi yang tidak terpakai ketika pengesahan pelarangan praktik aborsi. Oleh sebab itu, tokoh-tokoh NCR berusaha mempengaruhi pemerintah untuk mengeluarkan dan mengesahkan pelarangan praktik aborsi.

In 1973, the United States (US) policy endorsed the practice of abortion. This was opposed by some people who are not approved the practice of abortion, so that US society became polarized into two, it is American Ways and the New Christian Right (NCR). The Research took the legalization of abortion ban by George Walker Bush in 2003 as the scope of the research study. Since the legalization of abortion policy in 1973, NCR figures sought to oppose and fight demanded the government to cancel or revoke the policy. The NCR figures believes that the practice of abortion is an act of sin and resulted in death. In addition, in the fight for the prohibition of the abortion, NCR figures has two interests, it is the interest of ideology and business interests. In the interest of ideology, NCR figures regard abortion as an act of sin and prohibited by religion, so that views are considered conservative by some people who support abortion. While in the interest of the business, NCR figures to see that the opportunity to enrich his wealth through the diversion of government funds for abortion unused when the endorsement prohibition of the practice of abortion. Therefore, NCR figures tried to influence the government to make and approve banning of abortion."
2015
S61777
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shelfie Prihatini
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
S5796
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Putu Elvina Suryani
"Tesis ini membahas perubahan kebijakan AS terhadap terorisme melalui kacamata sekuritisasi untuk dapat memahami mengapa dan bagaimana perubahan sekuritisasi terjadi di negara tersebut pada masa Pemerintahan George W. Bush dan Barack H. Obama Tahun 2001-2012. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif komparatif dengan pendekatan kualitatif. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa terdapat variasi sekuritisasi terorisme yang terjadi pada masa Pemerintahan Bush dan Obama. Variasi ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang terkait dengan elemen-elemen sekuritisasi. Hasil penelitian juga menyarankan untuk dilakukannya pengembangan teori sekuritisasi secara lebih luas lagi sehingga memungkinkan untuk digunakan sebagai panduan pembelajaran bagi negara dalam menghadapi ancaman terorisme.

This thesis discussed the change of U.S. policy to terrorism through the lens of securitization in order to be able to understand why and how securitization change happened in U.S. during the George W. Bush and Barack H. Obama Administrations in 2001-2012. This research is descriptive-comparative research with qualitative approach. From the result of this research, there is variation of terrorism securitization during Bush and Obama Administrations periods. This variation is influenced by number of factors which are related with the elements of securitization. The result also suggested to develop securitization theory more broadly therefore it could be used as a study reference for countries in responding the terrorism threat.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusdam Arrang Bua
"War on Terror merupakan alasan dasar dari intervensi Amerika Serikat (AS) di Afghanistan. Sebagai tujuan lanjutan dalam memerangi terorisme AS bersama masyarakat internasional berupaya untuk mendemokratisasi Afghanistan. Namun demikian, upaya tersebut menghadapi beberapa kendala. Salah satu diantaranya adalah peningkatan produksi opium/perdagangan narkotik dari tahun 2002 hingga 2003. Amerika Serikat merespon hal tersebut dengan mengimplementasikan strategi counternarcotics, setelah baik pemerintah Inggris maupun Afghanistan tidak dapat menghasilkan kemajuan yang signifikan dalam upaya yang sama. Namun strategi tersebut gagal mencapai tujuannya. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat faktor eksternal dan internal yang menghambat pengimplementasian strategi. Faktor eksternal bersumber dari Taliban dan petani opium. Disisi lain, faktor internal bersumber dari Amerika Serikat sendiri yaitu ketidaksistematisan implementasi proses strategi dan kompleksitas proses pembuatan kebijakan terhadap upaya counternarcotics di Afghanistan.

War on Terror was foundational of U.S presence in Afghanistan. As a futher goals for combating terrorism, U.S along with international community have tried to democratize Afghanistan. However, the efforts faced some obstacles. One of them was the increase of opium production/drug trafficking from 2002 to 2003. This condition was responded by the implementation of U.S counternarcotics strategy, after both the British and Afghanisthan government were unable to create a significant achievement in the previous efforts. However the strategy failed to meet its end. This research finds that there are external and internal factors, which inhibit implementation of the strategy. The external factor comes from Taliban and opium farmer. On the other hand, the internal factors comes from the United States itself, which are the unsystematic of strategy process implementation and the complexity of policy making process toward the counternarcotics efforts in Afghanistan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Jonathan
"ABSTRAK
Perumusan kebijakan luar negeri suatu negara tidak terlepas dari perpolitikan aktor-aktor birokrasi yang terlibat. Dengan demikian, dinamika kebijakan suatu negara terhadap negara lain bisa dipahami melalui studi tentang politik birokrat. Skripsi ini membahas tentang kontradiksi pendekatan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam isu demokratisasi Myanmar pada dua periode pemerintahan George W. Bush. Ada dua kelompok dalam perumusan kebijakan luar negeri Bush yakni kaum neokonservatif dan kaum realis. Melalui studi historis deskriptif, penelitian ini menemukan bahwa kontradiksi terjadi dalam pendekatan kebijakan luar negeri Bush karena adanya dominasi salah satu kelompok dalam perumusan kebijakan.

ABSTRACT
A country’s foreign policy making cannot be separated from the politics of bureaucratic actors. Thus, the dynamics of a country’s policy towards other countries can be understood through the study of bureaucratic politics. This thesis discusses the contradiction of U.S. foreign policy approaches on democratization issues in Myanmar during two periods of George W. Bush administration. There are two groups in the formulation of the Bush foreign policy, neoconservatives and realists. Through descriptive historical studies, this study found that a contradiction in the Bush foreign policy approach occurs because of the dominance of one of the groups in the foreign policy making.
"
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laily Fitriah
"Penelitian ini membahas tentang faktor-faktor yang mempercepat kebijakan pemerintah George W Bush atas rencana penarikan pasukan Amerika Serikat di Irak. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Data-data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari berbagai tulisan terkait yang dimuat dalam beragam publikasi seperti jurnal, buku, majalah, bahan internet, dan surat kabar. Dalam upaya menjawab permasalahan penelitian diatas penelitian ini menggunakan teori element-element of power yang diajukan oleh Vandana. Didalam penelitian ini ditemukan bahwa tahun 2007, Amerika Serikat mengalami kemunduran ekonomi. Dengan indikator kemunduran ekonomi tersebut, antara lain : jatuhnya nilai tukar Dollar terhadap Euro, naiknya harga minyak dunia, serta terjadinya kredit macet dalam industri perumahan di Amerika Serikat. Hal ini mengakibatkan Bank Sentral Amerika Serikat harus melakukan pemotongan suku bunga. Disamping itu penyebab lain terjadinya inflasi di Amerika Serikat ialah masalah efisiensi anggaran, dimana pemerintah Amerika Serikat telah mengeluarkan anggaran yang begitu besar untuk invasi Amerika Serikat ke Irak. Perubahan situasi politik juga terjadi di Amerika Serikat dimana Partai Demokrat berhasil memenangkan pemilihan umum pada tahun 2006 dan menduduki mayoritas Kongres di Amerika Serikat. Sehingga pemerintah George W Bush selalu mendapatkan halangan atas berbagai kebijakannya terutama masalah Irak. Hal ini disebabkan karena Partai Demokrat adalah partai yang sangat menentang invasi Amerika Serikat ke Irak Disamping itu opini publik Amerika Serikat juga menentang penyerangan Amerika Serikat ke Irak, karena menurut mereka, invasi tersebut telah bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan telah menelan korban sipil terlalu banyak di pihak Irak dan juga korban dari tentara Amerika Serikat. Masyarakat internasional juga menentang invasi tersebut. Bentuk penentangan tersebut ialah berbagai pertemuan diadakan oleh negara-negara di dunia yang menolak invasi Amerika Serikat ke Irak. Pertemuan tersebut menghasilkan deklarasi dan berbagai persetujuan untuk mendesak keluarnya pasukan Amerika Serikat dari Irak agar masyarakat Irak dapat membangun kembali negaranya. Dari berbagai keterangan diatas, dapat dilihat bahwa kemunduran ekonomi, situasi politik, opini publik, dan keterlibatan kekuatan internasional merupakan faktor-faktor yang mempercepat kebijakan pemerintah George W Bush atas rencana penarikan pasukan Amerika Serikat dari Irak. Meskipun demikian, keterlibatan kekuatan internasional tidak begitu signifikan pengaruhnya terhadap kebijakan domestik Amerika Serikat. Karena sesungguhnya masalah ekonomi, situasi politik, dan opini publik adalah elemen-elemen ataupun instrumen dalam penentuan kebijakan dalam negeri suatu negara.

This research discusses about the factors which quiken the policy of George W Bush rules on the plan of United States forces draw in Iraq. It is descriptive research, and the data used is secondary data. These data were compiled based on various of publication such as journal, books, magazines, internet sources, and newspaper. In the effort to answer the problems above, this research used the theory of the elements of power as promoted by Vandana Shiva In this research, founded that in 2007, the United States suffered the economic reduces with the indicators such as : the fall of Dollar exchange for Euro, the increasing of world oil price, and the jamming of the debt in real estate industry in United States. These cause the Central Bank of the United States must accomplish some interest rate cuts. Beside other causes for inflation in United States, the budget efficiency, where the government of United States has issued such enormous budget for its invasion in Iraq. The changes of political atmosphere also happened in United States where Democrate Party succeded to win the general election in 2006 and has majority seats for Congress in United States. So that, the rule of George W Bush has some obstractions for his policies especially for Iraq crisis. This is caused that Democrate is the party which is very opposite againts the invasion of the United States to Iraq. In addition, the United States public opinions againts this invasion, according to them, has been opposite againts the human rights and suffered a lot of casualties either Iraqis or American soldier. The international communities disagree in this. It is proven, various meets and talks have been held by whole countries rejected this invasion, and they have resulted some declarations and agreements to push United States forces out of Iraq in order Iraqis can rebuild their country. Based on above, it can be seen that economic reduces, political atmosphere, public opinions, and the involvement of international powers are the factors which quiken the policy of George W Bush rules on the plan of United States forces draw in Iraq. Therefore, the involvement of international powers are not so significant for the influences of the United States domestic policy. Because economic problems, political atmosphere and public opinions are the only elements or instruments for the internal policy affairs in a country."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T22904
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Septiana Pratiwi
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai Politik Luar Negeri George Walker Bush: Studi Kasus Invasi Amerika Serikat terhadap Irak 2003. Penelitian ini adalah penelitian sejarah politik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi dengan menggunakan sumber- sumber tertulis. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa peristiwa invasi Irak ke AS yang dimulai pada 19 Maret 2003 merupakan upaya AS untuk menjaga kepentingan politik nasional maupun internasional AS di kawasan Timur Tengah, khususnya Irak. Selain itu, dalam penelitian ini juga membahas bagaimana proses perencanaan penyerangan AS ke Irak yang didukung oleh kelompok neokonservatif, hawkish, inggris, dan organisasi lobi seperti AIPAC. Proses perencanaan hingga terjadinya penyerangan AS untuk menginvasi Irak banyak dilakukan oleh CENTCOM salah satunya melalui OPLAN 1003. Penelitian ini juga menitikberatkan pada dampak adanya peristiwa Invasi AS terhadap Irak pada tahun 2003 terhadap masalah ekonomi, politik, dan sosial.

ABSTRACT
This study discusses the Foreign Policy of George Walker Bush: A Case Study on United States Invasion Towards Iraq in 2003. This research is a study of political history. The method used in this study is historical methods, namely heuristics, criticism, interpretation, and historiography using written sources. The results of this study explain the invasion of Iraq which began on March 19, 2003 is an effort for national and international political interests in the Middle East region, specifically Iraq. In addition, in this study also discussed how to plan US attacks on Iraq supported by neoconservative, hawkish, British and lobby organizations such as AIPAC. The planning process to spend US attacks on invading Iraq was mostly carried out by CENTCOM, one of them through OPLAN 1003. This research also focused on when it involved the participation of the US invasion of Iraq in 2003 on economic, political and social issues."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridho Rahmadi
"Skripsi ini membahas sekuritisasi isu terorisme oleh National Security Council (NSC) Amerika Serikat pasca peristiwa 9/11 dalam periode Pemerintahan George W. Bush dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dan teori sekuritisasi. Situasi yang terjadi pada masa itu adalah Amerika Serikat yang dikejutkan dengan terjadinya peristiwa 9/11. Peristiwa tersebut mendorong extraordinary measures dari pemerintah Amerika Serikat untuk mencegah peristiwa terorisme seperti 9/11 kembali terulang. Sekuritisasi yang dilakukan oleh Pemerintahan Bush terdiri dari speech act, pencanangan undang–undang, Global War on Terrorism hingga Perang Irak. Dalam proses speech act, terdapat pengaruh dari tokoh-tokoh dalam lingkaran NSC selain Presiden George W. Bush yang ikut berperan mensekuritisasi peristiwa 9/11 dan Global War on Terrorism. Dalam proses sekuritisasi yang terjadi, media memainkan peran yang besar sebagai alat yang berfungsi mengamplifikasi langkah–langkah sekuritisasi terorisme yang diambil oleh Pemerintahan George W. Bush. Media juga berperan dalam menjadikan respon publik terhadap tindakan–tindakan sekuritisasi yang diambil oleh pemerintah menjadi positif. Akhirnya, tulisan ini menyimpulkan bahwa langkah–langkah sekuritisasi yang diambil oleh Pemerintahan Amerika Serikat bersifat politis dan melibatkan aktor lain dalam lingkaran NSC Presiden Bush yang kemudian menggunakan isu terorisme untuk mendorong sekuritisasi terorisme yang bereskalasi menjadi Perang Irak

This undergraduate thesis discusses the securitization of terrorism carried out by the United States NSC after the events of 9/11 in the period of George W. Bush's administration by using qualitative research methods and securitization theory. The situation which occurred at that time portray how the United States was truly shocked by the events of 9/11. The event prompted extraordinary measures from the United States government to prevent terrorism events such as 9/11 to happen again. The securitization carried out by the Bush Administration consisted of a speech act, declaration of laws, Global War on Terrorism and the Iraq War. In the process of expressing speech acts, there were influences from figures within the NSC circle other than President George W. Bush who took part in securitizing the events of 9/11 and the Global War on Terrorism. In the process of securitization that occurred, the media played a large role as a tool that served to amplify the securitization steps of terrorism taken by the George W. Bush Administration. Finally, this paper conclude that the steps of securitization taken by the United States Government are essentially political and involve other actors in the NSC circle of President Bush who then use the issue of terrorism to encourage the securitization of terrorism which further essentially escalates into the Iraq War."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Polimpung, Hizkia Yosias
"Kedaulatan adalah sebuah paradoks: di satu sisi nampak tak mungkin untuk menjadi benar-benar berdaulat, tetapi di sisi lain ada kerinduan untuk senantiasa menjadi berdaulat. Kedaulatan adalah ironis: demi mencapai perasaan kedaulatan, negara rela menyakiti diri sendiri maupun negara lain. Kedaulatan senantiasa memiliki dua wajah: wajah muram dan wajah beringas. Studi ini memulai diskusinya dengan mempertanyakan mengapa negara bersikeras mencapai suatu kedaulatan sekalipun hal tersebut mensyaratkan kekerasan, baik pada diri sendiri maupun pada negara lain. Strategi yang ditempuh untuk menjawab pertanyaan studi ini adalah dengan melacak asal usul kedaulatan negara modern pada Perjanjian Westphalia 1648. Hasil pelacakan tersebut adalah berupa jawaban mengapa kedaulatan akan selalu paradoksal.
Dengan menggabungkan pendekatan Psikoanalisis Jacques Lacan dan Genealogi Michel Foucault, penulis pertama-tama mendesain suatu kerangka analisis yang sesuai bagi pelacakan asal-usul kedaulatan ini, yaitu yang penulis sebut Psikogenealogi. Melalui psikogenealogi, dapat dianalisis bagaimana suatu rezim kebenaran tidak dapat dilepaskan dari hasrat-hasrat tak sadar para pihak/partisipannya dan juga bagaimana rezim itu berhasil menyingkirkan rezim-rezim kebenaran lain pada masanya. Hal berikut yang dilakukan adalah dengan mengeksplorasi tesis makrosubyektivitas yang marak menjadi asumsi dasar terorisasi negara berdaulat. Hasil eksplorasi tersebut nantinya akan mampu melampaui tesis makrosubyektivitas dengan menekankan bahwa negara pada dasarnya memang merupakan manusia-makro, dan bukan analogi. Hal ini hanya akan dapat dilakukan dengan melinguistisasi ?manusia? dan ?negara?, yaitu bahwa keduanya hanyalah efek bahasa.
Berikutnya, dengan dibantu gagasan fasisme dari Gilles Deleuze dan Félix Guattari, subyeksi Judith Butler, dan abyeksi Julia kristeva, penulis menggariskan beberapa konsep yang akan berpengaruh bagi pemahaman tentang kedaulatan itu sendiri, yaitu di antaranya: kedaulatan itu sendiri, paradoks kedaulatan, komodifikasi kedaulatan, logika kedaulatan.
Melalui studi ini, penulis menyimpulkan bahwa sifat paradoksal dari kedaulatan adalah merupakan bawaan semenjak gagasan kedaulatan tersebut muncul pada sekitar abad-12. Kedaulatan muncul dari kegelisahan raja akan ke-diri-an yang utuh dan otonom. Kegelisahan inilah yang nantinya mengkonstrusikan suatu fantasi tentang kedaulatan, yang berikutnya akan diperjuangkan mati-matian. Negara-modern merupakan hasil perjuangan mati-matian tersebut. Jadi, studi ini menekankan bahwa sedari awalnya, kedaulatan adalah selalu untuk memenuhi fantasi ideal tentang kepenuhan diri. Dan sejarah membuktikan bahwa fantasi tersebut adalah selalu merupakan fantasi raja. Sehingga pada dasarnya, negara didirikan adalah untuk merealisasikan hasrat fantastis dari raja. Natur fasis dalam diri raja akan membuatnya mempertahankan mati-matian kedaulatannya. Upaya raja adalah menggunakan universalitas sebagai landasan kedaulatannya. Universalitas ini akhirnya berfungsi sebagai komoditas kedaulatan. Inilah logika kedaulatan, yaitu bahwa sang berdaulat akan selalu mengkomodifikasi universalitas demi membenarkan dan melanggengkan eksistensi berdaulatnya.
Pemikiran ini penulis teruskan dengan memahami praktik kedaulatan AS di era Perang Global Melawan Teror. Melalui kasus AS ini penulis menunjukkan bahwa inti dari konsep kedaulatan, yaitu fantasi ke-diri-an ideal, belumlah berubah dari versi Westphalianya. Hal ini akhirnya menjadi tidak relevan berbicara tentang kedaulatan kontemporer. Oleh karena itu kedaulatan kontemporer adalah selalu kedaulatan kontemporer.

Sovereignty is a paradox: on the one hand it seems impossible to be truly sovereign, but on the other hand there is a desire to be always sovereign. Sovereignty is an irony: for the sake of achieving the sensation of sovereignty, states are willing to do violence upon itself and others. Sovereignty has always had two faces: gloomy face and furious face. The present study begins its discussion by questioning the reason why states perseveringly insist on attaining sovereignty even it requires violence, both upon its own self and towards other states. The strategy undertaken to address this question is by tracking back the genesis of modern state sovereignty on the Westphalia Peace Treaty 1648. The findings will be the answer of why sovereignty will always be paradoxical.
By Combining Jacques Lacan?s Psychoanalysis and Michel Foucault?s Genealogy, the author first designs an analytical framework that fits this tracking of sovereignty genesis, which is what to be called Psychogenealogy. Psychogenealogy could understand how a regime of truth is inseparable from the unconscious desires of its parties/participants and also how that regime could manage to shove aside other regimes of truth on its time. The next thing being done is exploring he macro-subjectivity thesis that is often to be the basic assumption for modern state theorizing. The result of this exploration will be able to go beyond this thesis of macro-subjectivity by arguing that the state in its essence truly is a macro-human, and not a mere analogy. This could only be done by what the author called ?lingusticizing? the ?human? and ?state?, which is by construing that the two is just an effect of language.
Next, with help of the concept of fascism from Gilles Deleuze dan Félix Guattari, subjection of Judith Butler and abjection of Julia Kristeva, the author outlines some concepts that will be a significant influence on the understanding of the sovereignty itself: the sovereignty itself, sovereignty paradox, sovereign commodification, commodity of sovereignty and sovereignty logic. By this present study, the author concludes that the paradoxical nature of sovereignty is hereditary since the idea of sovereignty emerges circa 12th Century. Sovereignty, as a concept, arisen out of kings? anxiety at that moment toward a sense of integrated and autonomous self. It was this anxiety that provoke fantasy construction of sovereignty, which in its turn would be hard-fought. Modern state is the result of that hard-fought. So, this study stresses from the very outset that sovereignty is always functions to fulfill an ideal fantasy toward an integrated and autonomous self. And as history testifies, the fantasy is always the kings? fantasy, and not the people?s. That one can say that in its very basic, state is founded only to realize and manifest the kings? fantastic desire toward sovereign self. Fascistic nature embedded in those kings has always made them pereseveringly hard-fought their sovereignty. It is done by invoking universalities as its basis of sovereignty practices. These universalities eventually functions as commodity of sovereignty. This is the very logic of sovereignty?that is that the sovereign will always commodifies universalities to justify and perpetuate its sovereign existence.
By this understanding of the nature of sovereignty, the author carries on to take account toward the practice of sovereignty of the United States in this present era of Global War on Terror. By the US case the author shows that the core of the conception of sovereignty, that is the ideal fantasy of self-hood, has not changed yet from its Westphalian version. This, in the end, renders irrelevant any conversation about contemporary sovereignty. Thus, contemporary sovereignty is always contemporary sovereignty."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
T27924
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Trisari Dyah Paramita
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan luar negeri AS dalam konflik Israel-Palestina khususnya pada saat masa Presiden Bush, serta menjelaskan faktor-faktor eksternal dan internal AS yang berubah dan tidak dapat diabaikan pada saat itu sehingga membuat AS melakukan adaptasi dalam perilakunya. Dalam hal ini penulis menggunakan negara sebagai unit analisa. Tesis ini sangat menarik bagi penulis karena yang dianalisa adalah perilaku kebijakan AS sebagai satu-satunya negara yang mengalami perubahan secara signifikan dalam doktrin dan kebijakan luar negerinya setelah peristiwa serangan teroris tanggal 11 September 2001.
Adaptasi perilaku AS, merupakan respon AS terhadap perkembangan di lingkungan eksternalnya yaitu peningkatan eskalasi konflik di wilayah pendudukan di Palestina, adanya tekanan dari negara-negara asing termasuk dari negara-negara yang merupakan "sekutu dekat" AS di kawasan serta strategi ofensif yang dijalankan oleh Perdana Menteri Israel Ariel Sharon sejak tahun 2001. Di samping itu, adaptasi perilaku AS tersebut juga merupakan respon AS atas perkembangan di lingkungan internalnya yaitu adanya keprihatinan anggota Kongres/Senat serta publik domestik AS, adanya kekhawatiran kehilangan momentum positif proses perdamaian di Timur Tengah serta adanya kekhawatiran menurunnya koalisi global anti terorisme di kalangan Pemerintah AS.
Pembahasan mengenai permasalahan dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan berbagai kerangka pemikiran sebagai alat analitis.Dengan menggunakan pendapat Rosenau yang mengaitkan antara tindakan suatu negara terhadap lingkungan eksternalnya dengan respon terhadap aksi dari lingkungan eksternal dan internal serta penjelasan bahwa kebijakan luar negeri perlu dipikirkan sebagai suatu proses adaptif, pendekatan sistem politik David Easton, Mochtar Mas'oed dan Hoisti mengenai komponen kebijakan luar negeri serta teori yang dikemukakan Howard Lentner bahwa dalam mencapai tujuan politik luar negerinya, suatu negara mengalami serangkaian penyesuaian yang tetap yang terjadi di dalam negara maupun antara negara dengan situasi yang dihadapi, penulis mencoba membahas permasalahan tersebut.
Hasil dari penulisan ini adalah adaptasi perilaku AS diwujudkan dalam beberapa penyesuaian kebijakan luar negeri AS mengenai konflik Israel-Palestina, yang mencapai puncaknya pada peluncuran roadmap pembentukan dua negara sebagai penyelesaian terhadap konflik Israel-Palestina pada tanggal 30 April 2003. Dalam roadmap disebutkan bahwa realisasi pengakhiran konflik Israel-Palestina hanya dapat dicapai dengan penghentian kekerasan dan tindakan terorisme, dengan pemimpin Palestina yang mampu secara tegas mengambil tindakan melawan tindakan teror dan mampu untuk membangun demokrasi berdasarkan toleransi dan kemerdekaan, kesediaan Israel untuk melakukan apa yang diperlukan bagi berdirinya negara Palestina dan diterimanya oleh kedua pihak suatu wilayah pemukiman sebagaimana telah diatur dalam roadmap tersebut.
Peluncuran roadmap perdamaian merupakan wujud adaptasi kebijakan Presiden Bush pada tingkat perilakulaksi dalam konflik Israel-Palestina, dimana sebelumnya Presiden Bush selalu menolak thrill tangan langsung untuk menggerakkan proses perdamaian. Presiden Bush kini mengulurkan tangannya langsung dengan meletakkan kapasitas dan pengaruh AS untuk membuka kembali solusi politik yang selama lebih dari dua tahun tertutup rapat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12314
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>