Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 214559 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nur Aryani
"Penyakit kolestasis pada bayi dan anak memberikan dampak negatif bagi status nutrisi, pertumbuhan serta perkembangan sehingga berdampak pada mortalitas. Sistem imunitas pada bayi dan anak yang lemah meningkatkan morbiditas dan berdampak pada status nutrisi sehingga meningkatkan angka mortalitas pada anak kolestasis.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data rekam medis pasien bayi dan anak kolestasis yang dirawat inap serta rawat jalan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2010-2015.
Dengan menggunakan desain cohort retrospektif, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status nutrisi dan morbiditas pada anak dengan kolestasis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Hasil penelitian pengukuran status nutrisi berdasarkan lingkar lengan atas per umur (n=37) didapatkan, status gizi normal 10(27%), gizi kurang 10(27%), dan gizi buruk 17(46%). Dengan pengukuran indeks lingkar lengan atas per umur (LLA/U), hubungan morbiditas common cold memiliki hubungan yang bermakna p<0,05. Namun morbiditas terhadap status nutrisi berdasarkan tinggi badan per umur (TB/U) p>0,05.

Cholestasis disease in infants and children adversely affects nutritional status, growth and development which impact on mortality. The weak immune system in infants and children can increase morbidity and nutritional status thus increasing the mortality rate in children with cholestasis.
This research was conducted using data from medical records patients of infants and children with cholestatic who are hospitalized and given outpatient treatment at Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo 2010-2015.
By using a retrospective cohort design, this research aims to determine the relationship of nutritional status and morbidity in children with cholestasis in Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Research results measuring of nutritional status with the index mid upper arm circumference for age (n=37), normal nutritional status 10(27%), under nutrition 10(27%) and severe nutrition 17(46%). With the index mid upper arm circumference for age (MUAC/A), morbidity relationship common cold against nutritional status has a significant relationship p<0.05. However, the morbidity of the nutritional status based high for age (H/A) p> 0.05.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutomo Laksono
"Anak dengan kolestasis kronik memiliki risiko tinggi mengalami malnutrisi yang memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan. Berbagai faktor risiko penyebab malnutrisi pada kolestasis kronik penting untuk diidentifikasi agar penanganan malnutrisi lebih terarah. Tujuan studi ini untuk mengetahui prevalens, profil dan faktor risiko yang memengaruhi malnutrisi pada anak dengan kolestasis kronik. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada anak kolestasis kronik berusia 3 bulan – 5 tahun di klinik rawat jalan gastrohepatologi RSCM. Dilakukan pemeriksaan antropometri, status gizi, pola asupan nutrisi makronutrien dan mikronutrien dan identifikasi faktor risiko malnutrisi. Kemudian dinilai hubungan antara faktor risiko tersebut dengan status gizi. Dari 94 subyek didapatkan prevalens malnutrisi 53,3%, prevalens stunting 59,6%, prevalens mikrosefali 59,6%. Persentase subyek dengan riwayat rawat inap 71,1%, riwayat puasa 44,7%, asites sedang-masif 38,3% dan perdarahan saluran cerna 11,7%. Jumlah subyek dengan kekurangan asupan makronutrien: asupan kalori 67,1%, asupan karbohidrat 53,2%, asupan protein 13,8%, asupan lemak 77,7% dan asupan MCT 76,6%. Jumlah subyek dengan kekurangan asupan mikronutrien: vitamin A 56,4%, vitamin D 55,3%, vitamin E 21,3%, vitamin K 24,5%, vitamin B1 21,3%, vitamin B2 13,8%, vitamin B6 24,5%, vitamin B12 2,1%, vitamin C15,8%, zat besi 69,1%, seng 87,2%, fosfor 3,2% dan magnesium 66%. Faktor risiko yang memiliki hubungan bermakna dengan malnutrisi pada anak kolestasis kronik adalah perdarahan saluran cerna dan asites sedang-masif  dengan nilai p  0,001 dan 0,025. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara asupan makronutrien, riwayat durasi rawat inap, riwayat durasi puasa dengan malnutrisi pada anak kolestasis kronik. Prevalens dan penyebab malnutrisi pada anak kolestasis kronik cukup tinggi dan bervariasi, dibutuhkan evaluasi status gizi berkala pada anak kolestasis kronik untuk mengatasi dan mencegah malnutrisi. Perdarahan saluran cerna dan asites sedang- masif sebagai faktor risiko yang berpengaruh terhadap malnutrisi harus mendapat penanganan yang komprehensif agar pemberian asupan nutrisi tidak terhambat.

Kata kunci: kolestasis kronik, status gizi, makronutrien, mikronutrien, ascites, perdarahan saluran cerna.


Abstract

Children with chronic cholestasis have a higher risk of malnutrition that affect growth and development in life. There are several risk factors that should be identified and managed to reduce the risk of malnutrition. In this study we want to know the prevalence of malnutrition, the profile and risk factors that are related to malnutrition in children with chronic cholestasis. This cross-sectional study involved children age 3 months to 5 years old at pediatrics gastro-hepatology clinic RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Methods include standard anthropometric examination, evaluation of nutritional status, pattern of intake nutrition and identification risk factors that are related to malnutrition. Out of 94 subjects, the prevalence of malnutrition is 53.3%, prevalence of stunting is 59.6% and prevalence of microcephaly is 59.6%. 71.1% had history of hospitalization, 44.7% had history of fasting, 38.3% had moderate and massive ascites, and 11.7% had gastro-intestinal bleeding. Insufficient daily macronutrient intake are as follows: calorie 67.1%, carbohydrate 53.2%, protein 13.8%, lipid 77.7% and MCT 76.6%. Insufficient daily micronutrient intake are as follows: vitamin A 56.4%, vitamin D 55.3%, vitamin E 21,3%, vitamin K 24,5%, vitamin B1 21,3%, vitamin B2 13.8%, vitamin B6 24.5%, vitamin B12 2.1%, vitamin C 15.8% Fe 69.1%, zinc 87.2 %, P 3.2% and Mg 66%. There were significant relationships between gastro-intestinal bleeding (p value of 0.001) and moderate-massive ascites (p value of 0.025) in nutrition status in children with chronic cholestasis. No relationships were observed among insufficient macronutrient intake, duration of hospitalization and duration of fasting with nutrition status in children with chronic cholestasis. The high prevalence of malnutrition in children with chronic cholestasis and the causes of malnutrition are varied. Although some causes have no specific treatment, all children with chronic cholestasis should have periodic nutritional evaluation to optimized macronutrient and vitamin intake. Comprehensive management moderate – massive ascites and gastro-intestinal bleeding are important to prevent malnutrition in children with chronic cholestasis."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Salah satu komplikasi berat akibat kolestasis kronik adalah peritonitis bakteri spontan (PBS). Kondisi ini dapat meningkatkan angka mortalitas pada anak dengan kolestasis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko dan spektrum klinis PBS pada anak dengan kolestasis di RSCM. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus sampai Oktober 2015 dengan metode kohort retrospektif terhadap pasien anak dengan kolestasis usia 0-5 tahun yang diikuti selama 6 bulan melalui rekam medis pasien. Dari 97 pasien, didapatkan prevalensi PBS sebanyak 13,4%. Dari analisis multivariat didapatkan rasio odds untuk sirosis sebesar 10,21 (IK 95%=1,83-56,84). Manifestasi klinis yang sering ditemukan adalah infeksi di tempat lain (n=12, 92,3%), sirosis (n=11, 84,6%), hepatomegali (n=9, 69,2%), splenomegali (n=8, 61,5%), dan perdarahan saluran cerna (n=8, 61,5%). Mikroorganisme patogen dari hasil kultur cairan asites adalah Streptococcus epidermidis (n=1) dan Klebsiella pneumoniae(n=1). Sirosis merupakan faktor risiko independen terhadap kejadian PBS pada anak dengan kolestasis, Spontaneous bacterial peritonitis (SBP) is a serious complication of chronic cholestasis. This condition may increase mortality rate among the children with cholestasis. The aim of this research is to identify risk factors and clinical spectrums of SBP in children with cholestasis admitted to RSCM. This research was conducted from August to October 2015 by using retrospective cohort study toward cholestatic children age 0-5 years old who were followed-up for 6 months through medical record. From 97 patients, prevalence of SBP is 13.4%. In multivariate analysis, odds ratio for cirrhosis is 10.21 (95% CI=1.83-56.84). The most common clinical manifestations in children with SBP are other source of infections (n=12, 92.3%), cirrhosis (n=11, 84.6%), hepatomegaly (n=9, 69.2%), splenomegaly (n=8, 61.5%), and gastrointestinal bleeding (n=8, 61.5%). Microorganism pathogens from ascitic fluid cultures are Streptococcus epidermidis (n=1) and Klebsiella pneumoniae (n=1). Cirrhosis is an independent risk factor of SBP in children with cholestasis.]"
[, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cholifatun Nisa
"Latar belakang: pada keadaan tertentu kuning pada bayi baru lahir bisa tidak hilang selama lebih dari dua minggu, namun karena kurangnya informasi pada orang tua, diagnosis kolestasis pada anak menjadi terlambat. Kolestasis memunculkan komplikasi, diantaranya sirosis hati, splenomegali, trombositopenia, hipertensi porta, dan varises esofagus yang merupakan faktor risiko perdarahan saluran cerna.
Tujuan: untuk mengetahui besar prevalensi dan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian langusng perdarahan saluran cerna pada anak dengan kolestasis.
Metode: penelitian ini menggunakan desain cohort retrospective dengan jumlah sampel 97 pasien anak kolestasis yang berobat ke RSCM dari tahun 2010-2015. Jenis uji Chi-square atau Fisher exact dan regresi logistik.
Hasil: hasil penelitian diperoleh 27,8% pasien anak kolestasis mengalami perdarahan saluran cerna. Proporsi splenomegali (OR 4,8; IK 95% 1,3-17,6; P=0,018), trombositopenia (OR 23,5; IK 95% 2,3-244,1; P=0,008), dan varises esofagus (OR 7,8; IK 95% 1,1-54,6; P=0,039) memiliki hubungan bermakna dengan kejadian perdarahan saluran cerna. Sedangkan, proporsi koagulopati tidak (p>0,05).
Kesimpulan: pasien anak kolestasis dengan splenomegali, trombositopenia, dan varises esofagus memiliki risiko terhadap kejadian langsung perdarahan saluran cerna.

Background: in a particular circumtances, jaundice may not disappear for more than two weeks. Due to lack information on parents, the diagnosis of cholestasis in children may be delayed. Cholestasis lead to complications, including liver cirrhosis, splenomegaly, thrombocytopenia, coagulopathy, portal hypertension, and esophageal varices as risk factor for gastrointestinal bleeding.
Purpose: aim of this study was to determine the prevalence and risk factor for gastrointestinal bleeding in children with cholestasis.
Methods: this study used a retrospective cohort design of 97 children with cholestasis who admitted to RSCM from 2010-2015.
Results: The result were obtained 97 samples and 27.8% had gastrointestinal bleeding. The proportion of splenomegaly (OR 4.8; 95% CI 1.3-17.6; P=0.018), thrombocytopenia (OR 23.5; 95% CI 2.3-244.1; P=0.008), and esophageal varices (OR 7.8; 95% CI 1.1-54.6; P=0.039) had significant correlation with the prevalence of gastrointestinal bleeding. Meanwhile, the proportion of coagulopathy was not (p>0.05).
Conclusion: children with cholestasis who suffered splenomegaly, trombocytopenia, and esophageal varices have a risk for gastrointestinal bleeding."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Batubara, Velanie Frida
"Latar belakang: Malnutrisi merupakan masalah utama di negara berkembang dan menimbulkan banyak implikasi dalam tumbuh kembang anak. Malnutrisi sering dikaitkan dengan berbagai penyakit infeksi, salah satunya adalah TB. Terapi medikamentosa berupa pemberian OAT dan nutrisi adekuat diharapkan dapat meningkatkan status nutrisi. Penelitian spesifik yang mengamati perkembangan luaran status nutrisi pada pasien TB anak belum pernah dilakukan di Indonesia.
Tujuan: (1)Mengetahui proporsi status nutrisi awal pasien TB anak dan karakteristiknya (2)Mengetahui perubahan status nutrisi dan perubahan berat badan dengan kesesuaian dosis dan keteraturan minum OAT (3)Mengetahui hubungan keteraturan pengobatan OAT dengan perubahan status nutrisi.
Metode: Penelitian kohort retrospektif dilakukan pada 62 anak dengan penyakit TB dan gizi kurang/buruk usia 1 bulan - 5 tahun yang terdiagnosis pertama kali pada 1 Januari 2010 - 31 Desember 2015. Usia, jenis kelamin, tempat tinggal, jenis TB, lama terapi, efek samping, jalur nutrisi, status nutrisi dan berat badan saat awal diagnosis, bulan ke-2,4,6 dinilai dalam penelitian ini.
Hasil: Proporsi pasien TB anak dengan gizi kurang adalah 53/62 (85,5%). Sebagian besar subyek berusia 2 tahun, lelaki, bertempat tinggal di DKI Jakarta dan sakit TB paru (42,8%). Seluruh subyek mendapat OAT yang sesuai dan hanya 1 subyek yang minum OAT tidak teratur. Sebanyak 45,2% subyek mendapat terapi OAT selama 6 bulan. Efek samping OAT yang ditemukan adalah neuropati perifer (1 subyek), peningkatan SGOT dan SGPT (1 subyek) dan kolestasis (1 subyek). Proporsi subyek yang mendapat nutrisi enteral adalah 15/62 (24,2%). Sebanyak 56/62 (90,3%) subyek dengan dosis OAT sesuai mengalami perbaikan status nutrisi dan 55/61 (90,1%) subyek yang minum OAT teratur mengalami perbaikan status nutrisi. Peningkatan berat badan sebesar 5% tiap 2 bulan dan 17% setelah 6 bulan terapi OAT terjadi pada 97% subyek. Tidak ada hubungan keteraturan pengobatan OAT dengan perubahan status nutrisi (p = 0,161).
Simpulan: Perbaikan status nutrisi terjadi pada 90% subyek. Peningkatan berat badan pada 97% subjek setiap 2 bulan adalah 5% dan 17% pada bulan ke-6 terapi OAT. Tidak terdapat hubungan keteraturan pengobatan OAT dengan perubahan status nutrisi (p = 0,161).

Background: Malnutrition is one of the major problems in developing countries and has many implications in growth and development of children. Malnutrition is always associated with many infection diseases, one of them is tuberculosis. Medical management includes antituberculosis therapy and adequate nutrition are indicated to improve nutritional status. There is no specific study regarding this outcome in Indonesian children.
Aim: (1)To determine the nutritional status proportion of children with tuberculosis and their characteristics (2)To determine nutritional status outcome and body weight gain associated with adequate dosage and regular antituberculosis therapy (3)To identify correlation between regular antituberculosis therapy and nutritional status outcome.
Methods: A retrospective cohort study was performed in 62 children aged 1 month-5 years who have been first diagnosed with tuberculosis from January 2010 to December 2015. Age, sex, lodging, type of tuberculosis, duration of treatment, side effect, nutritional route, nutritional status, body weight at start, 2nd, 4th and 6th month of antituberculosis therapy were evaluated in this study.
Result: The proportion of mild-moderate malnutrition in children with tuberculosis is 53/62 (85.5%). Most of the subjects are 2 years old, male, live in Jakarta and have pulmonary TB (42.8%). All subjects received standard therapy with adequate dosage and only 1 subject did irregular therapy. The duration of treatment is 6 months for 45.2% subjects. The side effects were peripheral neuropathy (1 subject), elevation of transaminase enzymes (1 subject) and cholestasis (1 subject). Subjects received enteral nutrition are 15/62 (24.2%). There are 56/62 (90.3%) subjects with adequate dosage improved nutritional status and 55/61 (90.1%) subjects with regular treatment improved nutritional status after 6 months treatment. Body weight gain in 97% subjects was 5% every 2 months and 17% at the end of the treatment. No correlation between regular antituberculosis therapy and nutritional status outcome (p = 0.161).
Conclusion: Nutritional status improvement was found in 90% subjects. Body weight gain in 97% subjects was 5% in every 2 months and 17% after 6 months of treatment. No correlation between regular antituberculosis therapy and nutritional status outcome (p = 0.161).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Angela Kimberly Tjahjadi
"Latar belakang. Meskipun vaksin Bacille Calemette-Guerin telah menjadi program vaksinasi wajib di Indonesia, TB pada anak tetap prevalen sehingga penelitian ini akan mengevaluasi jaringan parut BCG dan hubungannya dengan kejadian TB ekstraparu (TB-EP) pada anak.
Metode Penelitian. Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kiara dengan metode potong-lintang pada populasi anak terdiagnosis TB berdasarkan kriteria WHO dan konsensus IDAI.
Hasil. Sebanyak 246 pasien anak dengan jangkauan usia 2 bulan -18 tahun terdiagnosis TB. Sebesar 127 anak (51,6%) mengalami TB-EP, dengan prevalensi TB tulang, KGB dan abdomen secara berurutan 13%, 10,9%, dan 6,6%. Mayoritas pasien TB EP adalah laki-laki (55,2%) dan berada dalam kelompok usia 6-14 tahun (60%). Riwayat kontak dengan kasus TB-EP ditemukan pada 49 kasus (51,5%). Penyakit komorbid penyerta dengan mayoritas keganasan (25,6%) dan infeksi HIV (23,1%) ditemukan pada 21 kasus TB-EP (35%). Status jaringan parut BCG positif ditemukan pada 140 kasus (56,9%). Dari 106 anak tanpa jaringan parut BCG, sebanyak 38 anak (35,8%) memiliki TB paru dan sebanyak 68 anak (64,2 %) memiliki TB-EP. Tidak adanya jaringan parut BCG memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian TB-EP pada anak (p < 0.01) dengan OR: 2,457 (IK95% : 1,46 - 4,131).
Kesimpulan. Tingginya kejadian TB-EP pada anak pada proporsi tanpa jaringan parut BCG berhubungan signifikan secara statistik. Upaya vaksinasi BCG yang optimal diperlukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas TB-EP pada anak di Indonesia.

Objectives. Although the Bacille Calmette-Guerin vaccination program is already implemented nationally, childhood TB remains prevalent particularly in Indonesia so this study will evaluate the relationship between BCG vaccination scar and extra pulmonary TB in children.
Methods. Data collection was conducted at Cipto Mangunkusumo Kiara Hospital by cross-sectional method. Children diagnosed with TB according to WHO criteria and IDAI consensus are included in this study.
Results. A total of 246 pediatric patients with a-2 months to 18 years-age range were diagnosed with TB. Extra pulmonary TB was found in 127 children (51.6%), with the most prevalent type: bone, lymph node and abdomen TB sequentially are 13%, 10.9%, and 6.6%. The majority of patients with extrapulmonary TB are male (55.2%) and are in the age group 6-14 years (60%). History of contact with active TB cases was found in 49 out of 95 extrapulmonary cases (51.5%). Comorbidities, predominantly malignancies (25.6%) and HIV infection (23.1%), were found in 21 of 60 extrapulmonary cases (35%). BCG scar was found in 140 cases (56.9%). Of 140 children with BCG scar, 81 children (68.1%) had pulmonary TB and 59 children (42.1%) had extra-pulmonary TB. Of the 106 children without BCG scar, 38 (35.8%) had pulmonary TB and 68 (64.2%) had extra-pulmonary TB. The absence of BCG scar tissue has a significant relationship with extra-pulmonary TB incidence in children (p <0.01) with OR :2.457 (CI95% : 1.46 - 4.131).
Conclusion: The high incidence of extra-pulmonary TB in children in the proportion lacking BCG scar was statistically significant.Thus, an optimal BCG vaccination effort is required to reduce the morbidity and mortality of childhood extrapulmonary TB in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Amaliah, supervisor
"[ABSTRAK
Ulkus peptikum perforasi merupakan salah satu kasus bedah gawat darurat yang cukup sering di RSCM. Perkembangan medikamentosa dalam tatalaksana ulkus peptikum telah berkembang pesat sehingga menurunkan angka tindakan bedah secara elektif. Studi ini bertujuan untuk melihat karakteristik dan faktor risiko pasien dengan morbiditas dan mortalitas ulkus peptikum perforasi. Seluruh pasien ulkus peptikum perforasi yang dilakukan tindakan pembedahan emergensi di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo periode Januari 2006 sampai dengan Maret 2012 dievaluasi secara retrospektif. Empat puluh delapan pasien ulkus peptikum perforasi telah dilakukan tindakan pembedahan di IGD RSCM yang terdiri dari 36 pasien laki-laki dan 12 pasien perempuan dengan usia berkisar antara 17 ? 97 tahun. Faktor risiko terbanyak adalah pemakaian obat-obatan ulserogenik (NSAID dan jamu) sebanyak 70.83%. Sebanyak 52.08% pasien dengan ulkus peptikum perforasi datang dengan keluhan yang dirasakan >24 jam dengan rerata durasi 42 jam. Lokasi perforasi tersering adalah prepilorus sebanyak 66.7% dengan median diameter perforasi 10 mm. Tindakan tersering yang dilakukan adalah penjahitan primer dengan omental patch sebanyak 93.75%. Komplikasi tersering adalah acute kidney injury, sepsis dan infeksi luka operasi sebanyak 45.83%, 31.25% dan 14.58%. Angka morbiditas dan mortalitas pasien ulkus peptikum perforasi adalah 68.75% dan 33.3%. Pada studi ini tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara karakteristik pasien dengan morbiditas dan mortalitas. Angka morbiditas dan mortalitas pasien ulkus peptikum perforasi masih tinggi. Faktor risiko yang ada dapat digunakan untuk meningkatkan pilihan tindakan dan menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien ulkus peptikum perforasi. ABSTRACT Perforated peptic ulcer is one of the most common emergency case in RSCM. Development medicine treatment in peptic ulcer treatment had developed hence had decreased number of elective surgical treatment. This study was aimed to identify patients? characteristic and risk factor in perforated peptic ulcer in morbidity and mortality. All of the patient of perforated peptic ulcer that was done emergency laparotomy in emergency operating room of Cipto Mangunkusumo Hospital since 2006 January until 2012 March was evaluated retrospectively. Fourty eight percent of perforated peptic ulcer patients had been done surgery in Emergency Operating Room of Cipto Mangunkusumo Hospital that consist of 36 male and 12 female with age range 17 ? 97 years old. The most common risk factor is ulcerogenic drug using (70.83%). Patients came to hospital >24 hours (52.08%) after felt complaint with mean duration 42 hours. The most common location of perforation was prepiloric with median of diameter was 10 mm. The most common surgical treatment was primary suturing with omental patch (93.75%). The common complication were acute kidney injury, sepsis and surgical wound infection around 45.83%, 31.25% and 14.58%/. Morbidity rate was 68.75%. Mortality rate was 33.3%. There were no relation between patients? characteristic with morbidity and mortality. Morbidity and mortality rate in perforated peptic ulcer were still high. Risk factor that still be used to increase more choice for surgical treatment and decrease morbidity and mortality rate in perforated peptic ulcer., Perforated peptic ulcer is one of the most common emergency case in RSCM. Development medicine treatment in peptic ulcer treatment had developed hence had decreased number of elective surgical treatment. This study was aimed to identify patients’ characteristic and risk factor in perforated peptic ulcer in morbidity and mortality. All of the patient of perforated peptic ulcer that was done emergency laparotomy in emergency operating room of Cipto Mangunkusumo Hospital since 2006 January until 2012 March was evaluated retrospectively. Fourty eight percent of perforated peptic ulcer patients had been done surgery in Emergency Operating Room of Cipto Mangunkusumo Hospital that consist of 36 male and 12 female with age range 17 – 97 years old. The most common risk factor is ulcerogenic drug using (70.83%). Patients came to hospital >24 hours (52.08%) after felt complaint with mean duration 42 hours. The most common location of perforation was prepiloric with median of diameter was 10 mm. The most common surgical treatment was primary suturing with omental patch (93.75%). The common complication were acute kidney injury, sepsis and surgical wound infection around 45.83%, 31.25% and 14.58%/. Morbidity rate was 68.75%. Mortality rate was 33.3%. There were no relation between patients’ characteristic with morbidity and mortality. Morbidity and mortality rate in perforated peptic ulcer were still high. Risk factor that still be used to increase more choice for surgical treatment and decrease morbidity and mortality rate in perforated peptic ulcer.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gregorius Tanamas
"Latar Belakang : WHO melaporkan angka persalinan preterm mencapai 15 juta persalinan dan menyumbang kematian neonataus hingga 1 juta kasus. Berbagai faktor yang berhubungan dengan kematian neonatus terkait ketuban pecah dini sudah banyak diteliti, namun hubungannya terhadap kematian neonatus belum konsisten di berbagai literature. Peneliti ingin meneliti hubungan faktor-faktor tersebut di RSCM.
Metode : Penelitian ini adalah kohort retrospektif menggunakan rekam medis ibu dan neonatus yang mengalami kasus ketuban pecah dini preterm (<37 minggu) dari tahun 2013-2017 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Luaran neonatus yang dinilai adalah nilai APGAR menit ke-1 dan ke-5, Respiratory Distress Syndrome, sepsis neonatorum, dan kematian neonatus. Data dianalisis secara univariat dan multivariat.
Hasil : Terdapat 1336 kasus ketuban pecah dini preterm dalam periode 5 tahun, namun hanya 891 kasus yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Faktor utama yang terkait morbiditas dan mortalitas neonatus dengan kasus ketuban pecah dini adalah usia kehamilan, dimana usia <28 minggu memiliki RR 18.8, IK 95%12.9-27.3; p=<0.01 dan berat badan lahir <1000 gr memiliki RR 34.1, IK 95%11.1-104.5; p=<0.01. Sepsis secara klinis meningkat risiko kematian neonatus RR 8.1, IK 95%5.2-12.8; p=<0.01.
Kesimpulan : Usia kehamilan yang semakin muda dan berat badan lahir yang semakin rendah meningkatkan risiko morbiditas dan kematian neonatus

Background :  WHO reported the rate of preterm labor are 15 million cases and contributed to 1 million neonatal death. Factors contributed to neonatal death in preterm premature rupture of membrane has been reported in many literatures, however the results are inconsistent. The Authors want to analyze factors contributing to neonatal death in RSCM
Method : This is a retrospective cohort using medical records of both mother and neonatal of preterm premature rupture of membrane from 2013-2017 in RSCM. Neonatal outcome analyzed in this study are minute-1 and minute-5 APGAR, respiratory distress syndrome, neonatal sepsis, and neonatal death. Data was analyzed with univariate and multivariate analysis.
Result : There was 1336 cases of preterm premature rupture of membrane during 5 years period. However, only 891 cases analyzed in this study. Main factors contributed to morbidity and mortality in preterm premature rupture of membrane are gestational age and birth weight, which gestational age <28 weeks has RR 18.8, IK 95%12.9-27.3; p=<0.01 and birth body weight <1000 gr has RR 34.1, IK 95%11.1-104.5; p=<0.01. Clinically sepsis increases neonatal mortality RR 8.1, IK 95%5.2-12.8; p=<0.01.
Conclusion : Younger gestational age and lower birth weight increase the risk of neonatal morbidity and mortality."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeremy Rafael Tandaju
"Latar Belakang: Anemia adalah kondisi sel darah merah yang tidak cukup untuk menunjang kebutuhan fisiologis. Pada kehamilan, anemia cenderung terjadi pada trimester kedua dan ketiga serta menimbulkan komplikasi bagi ibu hamil dan janin yang dikandungnya. Konsumsi vitamin A pada kehamilan masih kurang populer, padahal berguna untuk menolong pertumbuhan dan perkembangan sel serta memediasi metabolisme besi.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara status asupan vitamin A dan status anemia pada ibu hamil trimester ketiga.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang komparatif, dilakukan selama Agustus–Oktober 2018 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dengan total 57 subjek yang merupakan ibu hamil pada trimester ketiga dengan usia di atas 18 tahun. Untuk menyamakan jumlah subjek per kelompok, dilakukan simple random sampling menjadi 44 subjek dengan 22 subjek masing-masing pada kelompok anemia dan non-anemia. Status asupan vitamin A diukur menggunakan food frequency questionnaire semi-kuantitatif dengan bantuan database NutriSurvey dan status anemia diukur dengan uji konsentrasi hemoglobin menggunakan metode flowcytometry. Analisis statistik dilakukan dengan SPSS 20.0 untuk iOS dengan uji komparatif tidak berpasangan.
Hasil: Berdasarkan uji T tidak berpasangan, usia rerata pada kelompok anemia (31,6 7,1) tidak berbeda dibandingkan dengan kelompok non-anemia (31,2 6,4) (p>0,05). Berdasarkan uji chi-square tidak terdapat perbedaan usia gestasi secara statistik antara kelompok anemia dan non-anemia (p>0,05), namun terdapat perbedaan klinis (>10%) di mana usia gestasi kelompok >36 minggu memiliki prevalensi 15,2% lebih tinggi dibandingkan kelompok <36 minggu. Didapati bahwa 36 (81,8%) subjek tidak mendapatkan asupan vitamin A yang cukup. Uji Fischer menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan status asupan vitamin A antara kelompok anemia dan non-anemia (p>0,05).
Pembahasan: Tidak terdapat hubungan antara usia dan usia gestasi dengan status anemia. Akan tetapi, usia gestasi memiliki perbedaan klinis akibat peningkatan intensitas inflamasi seiring dengan usia gestasi yang menua. Tidak terdapat hubungan antara status asupan vitamin A dan status anemia. Hal ini disebabkan oleh peran vitamin A sebagai faktor pertumbuhan sehingga tetap membutuhkan komponen pembangunnya seperti zat besi, asam folat, dan kobalamin. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian yang mempelajari status asupan vitamin A dan nutrisi lainnya dan hubungannya dengan anemia pada ibu hamil di populasi umum
Background: Anemia is condition in which red blood cells not adequate to support physiological needs. Anemia in pregnancy tends to occur in second–third trimester and serves complications both for mother and her child. Vitamin A is helpful for helping iron metabolism and cell differentiation and proliferation, but still considered unpopular.
Aim: Acquire information about relation between vitamin A dietary status and anemia status on third semester pregnant woman.
Method: This is a comparative cross-sectional research, conducted on August–October 2018 in Cipto Mangunkusumo National General Hospital, with total 57 subjects which are third trimester pregnant mothers aged more than 18 years old. Simple random sampling was done in-order to equalize number of subjects in two groups, into 22 subjects on each of anemia and non-anemia group. Vitamin A dietary status was measured with semi-quantitative food frequency questionnaire with the help of NutriSurvey database and anemia status was measured by hemoglobin concentration with flowcytometry method. Statistical analysis was done using SPSS 20.0 for iOS with unpaired comparative test.
Results: Based on unpaired t-test, mean age on anemia group (31.6 7.1) is not different compared to non-anemia group (31.2 6.4) (p>0.05). Based on chi-square test there is no difference of gestation age between anemia and non-anemia group (p>0.05), however there is clinical difference (>10%) in which gestation age group of >36 weeks has prevalence of 15.2% higher compared to gestation age group of <36 weeks. This research found that 36 (81.8%) subject did not get adequate intake of vitamin A, where as Fischer test shown there is no difference of vitamin A dietary status between anemia and non-anemia group (p>0.05).
Discussion: There is no relation between maternal age and gestational age towards anemia status. However, gestational age has clinical difference as results of increase of inflammation incident with aging of gestational age. There is no relation between vitamin A dietary status and anemia status, which explained by vitamin A role as growth factor which still need the building blocks of erythrocyte such as iron, folic acid, and cobalamin. Thus, further research should study link between vitamin A and other nutrients dietary status towards anemia status on pregnant mothers on general population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Julianti Norva Nemba
"Kadar kalium merupakan salah satu biomarker prognostik yang banyak digunakan untuk memprediksi luaran klinis berbagai penyakit. Kadar kalium yang rendah atau hipokalemia berhubungan dengan perlunya pemasangan ventilasi mekanik pada pasien sakit kritis. Berbagai kondisi seperti status nutrisi dan komorbid dapat menyebabkan hipokalemia. Hipokalemia dapat memengaruhi fungsi otot respirasi dan memengaruhi durasi penggunaan ventilasi mekanik. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara status kalium terhadap kejadian sulit weaning ventilasi mekanik pada pasien sakit kritis di ICU RSCM dan RSUI. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif pada subjek berusia ≥18 tahun yang dirawat di ICU RSCM dan RSUI. Diperoleh 52 subjek dengan kelompok yang hipokalemia sebanyak 26 subjek dan kelompok yang normokalemia sebanyak 26 subjek. Rerata usia subjek 49,3±15,1 tahun, jenis kelamin laki-laki 65,4%, status nutrisi berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) berat badan normal 34,6%, dan komorbid penyakit keganasan 36,5%. Tidak terdapat hubungan bermakna antara status kalium dengan kejadian sulit weaning ventilasi mekanik selama perawatan di ICU. Sebagian besar subjek yang mengalami hipokalemia tidak mengalami sulit weaning ventilasi mekanik. Penelitian lanjutan diperlukan dengan menggunakan subjek yang lebih banyak dan menganalisis faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi kejadian sulit weaning ventilasi mekanik dan status kalium pada pasien sakit kritis yang dirawat di ICU.

Potassium levels are one of the prognostic biomarkers that are widely used to predict clinical outcomes of various diseases. Low potassium levels or hypokalemia are associated with the need for mechanical ventilation in critically ill patients. Various conditions such as nutritional status and comorbidities can cause hypokalemia. Hypokalemia can affect respiratory muscle function and influence the duration of mechanical ventilation. This study aims to examine the relationship between potassium status and the incidence of mechanical ventilation weaning difficulty in critically ill patients in the ICU at RSCM and RSUI. This study used a retrospective cohort design on subjects aged ≥18 years who were treated in the ICU at RSCM and RSUI. Total 52 subjects obtained, with 26 subjects in the hypokalemia group and 26 subjects in the normokalemia group. The mean age of the subjects was 49.3±15.1 years old, male gender 65.4%, nutritional status based on body mass index (BMI) of normal weight 34.6%, and comorbid of malignant disease 36.5%. There was no significant relationship between potassium status and the incidence of mechanical ventilation weaning difficulty during treatment in the ICU. Most subjects who experienced hypokalemia did not experience mechanical ventilation weaning difficulty. Further research is needed using more subjects and analyzing other factors that may influence the incidence of mechanical ventilation weaning difficulty and potassium status in critically ill patients treated in the ICU."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>