Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6477 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Gastrointestinal manifestations are common is systemic lupus erythematosus (SLE). Although the relationship between SLE with ulcerative colitis (UC) rarely obtained, SLE patients with gastrointestinal manifestations should preferably be evaluated for the possibility of an inflammatory bowel disease (IBD). UC prognosis associated with SLE is usually good, whereas by proper diagnosis and management, the clinical output and a good life expectancy of patients will be obtained. A young female, 17 years old, who had previously been diagnoses with SLE for 5 years, come with complaints of abdominal pain and chronic diarrhea. From the result of colonoscopy and biopsy of the intestinal mucosa was noted that in accordance with UC. After receiving treatment for 6 days, she no longer obtained compalints of abdominal pain and diarrhea."
UI-IJGHE 15:1 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ghefira Nur Imami
"Kepatuhan pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) berperan penting dalam mencapai aktivitas penyakit yang terkontrol. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi ketidakpatuhan, faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan, dan hambatan minum obat pada pasien LES. Data potong lintang diperoleh dari pasien Poliklinik Alergi-Imunologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo secara konsekutif pada Juli–Agustus 2023. Dilakukan evaluasi terhadap ketidakpatuhan pengobatan (self-report medication-taking behaviour measure for thai patients scale; MTB-Thai), komorbiditas, jumlah obat, aktivitas penyakit (skor MEX-SLEDAI), depresi (Hospital Anxiety and Depression Scale; HADS), dan hambatan lain dalam pengobatan (Identification of Medication Adherence Barriers Questionnaire; IMAB-Q 30). Data kategorik dianalisis dengan uji Chi-square atau Fisher, sedangkan data numerik dianalisis dengan uji Mann-Whitney. Dari 100 pasien LES dewasa, mayoritas merupakan perempuan (97%), dewasa muda (61%), menamatkan pendidikan tinggi (48%), dan memiliki aktivitas penyakit remisi˗ringan (90%). Median (IQR) jumlah obat yang dikonsumsi 6 (5–8). Prevalensi ketidakpatuhan minum obat mencapai 27%. Tingkat pendidikan pasien ditemukan berhubungan dengan ketidakpatuhan (pendidikan menengah vs. pendidikan tinggi, 59,3% vs. 40,7%; p=0,035). Pasien yang tidak patuh memiliki skor hambatan minum obat yang lebih tinggi secara signifikan (p<0,001). Hambatan yang paling banyak dialami pasien yang tidak patuh adalah kekhawatiran terhadap efek samping dan mudah terdistraksi dari mengonsumsi obat-obatan.

Medication adherence among patients with systemic lupus erythematosus (SLE) is essential to achieve controlled disease activity. This study aimed to investigate the prevalence of non-adherence, associated factors, and medication adherence barriers among patients with SLE. Cross-sectional data were obtained from consecutive patients at Allergy-Immunology Clinic Cipto Mangunkusumo Hospital between July–August 2023. Evaluation was conducted on medication non-adherence (self-report medication-taking behavior measure for thai patients scale), comorbidities, number of medications, disease activity (MEX-SLEDAI score), depression (Hospital Anxiety and Depression Scale), and other adherence barriers (Identification of Medication Adherence Barriers Questionnaire-30). Categorical data were analyzed with Chi-square or Fisher test, while numerical data were analyzed with Mann-Whitney test. Of 100 adult SLE patients, most were female (97%), young adult (61%), completed higher education (48%), and had remission˗mild disease activity (90%). The median (IQR) number of medications consumed was 6 (5–8). The prevalence of medication non-adherence was 27%. Patient's educational level was found to be associated with non-adherence (secondary education vs. higher education, 59.3% vs. 40.7%; p=0.035). Non-adherent patients had significantly higher medication adherence barrier scores (p<0.001). The most common barriers experienced by non-adherent patients were concerns about harmful side effects and easily distracted from taking medications."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faradiesa Addiena
"Latar belakang: Limfopenia merupakan manifestasi klinis yang sering terjadi pada pasien dengan LES serta mempunyai arti patologis yang bermakna. Patogenesis limfopenia saat ini masih belum jelas, namun beberapa penyebab yang diketahui adalah terdapatnya antibodi antilimfosit, penurunan CD 55 dan 59 dan apoptosis yang tidak terkontrol. Beberapa penelitian menunjukkan limfopenia berhubungan dengan aktivitas penyakit. Hal lain yang menjadi perhatian adalah pemberian terapi imunosupresan pada pasien LES dalam keadaan limfopenia dapat memperburuk limfopenia.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara limfosit total dan aktivitas penyakit serta terapi imunosupresan pada pasien LES.
Metode: Studi kohort retrospektif dengan penelusuran rekam medis pasien LES yang berobat ke RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Januari 2020 – Desember 2020. Analisa bivariat menggunakan chi square dan fisher exact dilakukan untuk mengetahui hubungan limfopenia dengan aktivitas penyakit, serta analisa bivariat mann whitney dan wilcoxon digunakan untuk perbedaan rerata hitung limfosit dan terapi imunosupresan serta hubungan antara terapi imunosupresan terhadap limfosit total.
Hasil: Sebanyak 214 subjek memenuhi kriteri inklusi. Didapatkan hubungan bermakna antara limfopenia terhadap Mex SLEDAI pada subjek LES dalam keadaan remisi di bulan ke-3 (RR: 0,490; 95% IK: 0,320-0,751; p = 0,001) dan bulan ke-6 (RR: 0,490; 95% IK: 0,322-0,769; p = 0,001). Pada subjek LES dalam keadaan aktif terdapat hubungan bermakna antara limfopenia terhadap Mex SLEDAI pada bulan ke-3 (RR: 2,46; 95% IK: 1,71-5,188; p = 0,009). Tidak didapatkan perbedaan median limfosit total pada pasien LES dalam terapi MMF dan tanpa terapi MMF baik pada bulan ke-0 (p = 0,822), bulan ke-3 (p = 0,916), dan bulan ke-6 (p = 0,560). Tidak didapatkan juga hubungan dari limfosit total pada pasien dalam terapi MMF selama 6 bulan (p = 0,084). Didapatkan perbedaan median limfosit total pada pasien LES dalam terapi AZA dibandingkan pasien LES tanpa terapi AZA di bulan ke-0 (p = 0,044) dan bulan ke-3 (p = 0,007). Terdapat penurunan limfosit total pada bulan ke-3 pada pasien LES dalam terapi AZA namun tidak signifikan (p = 0,844). Tidak didapatkan perbedaan median limfosit total pada subjek pasien LES dalam terapi MTX baik pada bulan ke-0, bulan ke-3 dan bulan ke-6 (p = 0,510), (p=0,977), (p=0,714). Tidak didapatkan hubungan bermakna antara terapi MTX terhadap limfosit total (p = 0,721).
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara limfopenia terhadap aktivitas penyakit pasien LES yang dihitung dengan Mex SLEDAI. Tidak terdapat hubungan bermakna antara terapi imunosupresan selama 6 bulan terhadap limfosit total pasien LES.

Background: Lymphopenia is a clinical manifestations that frequently develops in SLE patients and has important pathological implications. Although the pathogenesis of lymphopenia is still unknown, antilymphocyte antibodies, diminished CD 55 and 59, and uncontrolled apoptosis are a few of the factors that can develop inside it. Numerous investigations have demonstrated a connection between lymphopenia and disease activity. Another issue is that administering immunosuppressant therapy to SLE patients who are already lymphopenic can make their condition worsen.
Objective: To investigate the association between total lymphocytes, disease activity, and immunosuppressive treatment in SLE patients.
Methods: Retrospective cohort study by tracing the medical records of SLE patients who visited Cipto Mangunkusumo General Hospital between January 2020 and December 2020. The relationship between lymphopenia and disease activity was investigated using bivariate analysis using chi square and fisher exact, and the relationship between immunosuppressant therapy and total lymphocytes and differences in mean lymphocyte count and immunosuppressant therapy were investigated using bivariate analysis using mann-Whitney and Wilcoxon.
Results: 214 subjects fulfilled the criteria for inclusion. Lymphopenia and Mex SLEDAI were shown to be significantly associated in SLE patients in remission at months 3 (RR: 0.490; 95% CI: 0.320-0.751; p = 0.001) and 6 (RR: 0.490; 95% CI: 0.322-0.769; p = 0.001). Lymphopenia and Mex SLEDAI were significantly associated at month 3 in patients with active SLE (RR: 2.46; 95% CI: 1.71-5.188; p = 0.009). At month 0 (p = 0.822), month 3 (p = 0.916), and month 6 (p = 0.560), there was no difference in the median total lymphocyte count between SLE patients receiving MMF therapy and those receiving no MMF medication. In addition, there was no association between total lymphocytes and MMF therapy in individuals treated for 6 months (p = 0.084). At month 0 (p = 0.044) and month 3 (p = 0.007), SLE patients receiving AZA therapy had median differences in total lymphocytes compared to SLE patients not receiving AZA therapy. Patients with SLE receiving AZA medication had a decrease in total lymphocytes in the third month, but it was not statistically significant (p = 0.844). At months 0, 3, and 6, there was no difference in the median total lymphocyte count among SLE patients receiving MTX therapy (p = 0.510), (p = 0.977), and (p = 0.714). Total lymphocytes and MTX treatment had no statistically significant relation (p = 0.721).
Conclusion: The lymphopenia and disease activity of SLE patients as determined by the Mex SLEDAI are related. Immunosuppressant therapy administered for six months had no significant impact on the total lymphocyte count in SLE patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
A. Mukramin Amran Machmud
"ABSTRAK
Telah dilakukan studi radiologis secara retrospektif terhadap kolitis ulseratif yang diperiksa dengan barium enema pada dua rumah sakit, yaitu satu rumah sakit pemerintah ( RS. Umum Dadi ) dan satu rumah sakit swasta ( RS. Stella Maris ) Ujung Pandang.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kelainan radiologis yang diketemukan, menetapkan stadium berdasar gambaran radiologis oleh akibat perubahan patologis kolon yang terserang kolitis ulserativa. Selain itu penelitian ini juga bermaksud untuk mendapatkan data distribusi umur, jenis kelamin, lokasi anatomic kolitis ulserativa dan membandingkannya dengan data kepustakaan yang ada dengan harapan ini bisa digunakan dalam melacak dan mendiagnose penyakit tersebut.
Penelitian dilakukan selama dua tahun ( 1988 - 1989 ) terhadap 457 pemeriksaan barium enema yang dicurigai sebagai kasus kolitis. Diketemukan 241 kolitis ulserativa yang terdiri dari 120 laki-laki dan 121 wanita ( 1 : 1 ) Tertinggi pada umur 21 - 40 tahun, gejala klinis yaitu menonjol adalah diare dengan atau tanpa darah, yang paling kurang yaitu demam dan takikardia. Kolitis fulminan diketemukan 8 penderita, hanya 14 penderita kolitis ulserativa timbul, neoplasms.
Kolitis tingkat ringan terbanyak diketemukan pada penderita dirumah sakit swasta sedang yang tingkat berat terbanyak pada rumah sakit pemerintah. Penderita kolitis ulserativa terbanyak menempati ruang rawat kategori B (ekonami lemah).
Lokasi anatomis kolitis ulserativa terbanyak pada kolon kiri sedang keterlibatan rectum pada penelitian ini hanya 70.5%, bandingkan dengan kepustakaan ( 95% ).
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pemeriksaan barium enema Cukup efektif untuk: mendiagnose awal kolitis ulserativa dan dapat dilakukan penetapan stadium secara radiologis, yang berquna untuk para klinikus dalam penanganan penderita kolitis ulserativa.

Barium examination of ulcerative colitis had been studied retrospectively in two which is Dadi Goverment hospital and Stella Morris hospital ( a private one ) that located in Ujung Pandang, South of Sulawesi.
The purpose of this research was to determined radiological image of ulcerative colitis and to confirmed the stage of the disease that based on pathologic and radiological changes.
Distribution of age, sex and anatomical location were also described and compared with other articles to detect and diagnosed the disease more properly.
There were 457 barium enema examination had been performed to detect suspected cases in the period of 1933 - 1939.
From such examination, 4hc'rs were 241 cases of ulcerative colitis had been detected ( 120 men and 121 women ) with the highest age frequency was 21 till 40 years old .
The frequency clinical findings were diarrhea with or without blood staining and the lesser findings were febrile and tachycardi. There were 8 patients with fulminant stage of the disease and there were 14 patients that came up to be neoplasma.
Mild colitis were found in the private hospital but on the other hand, severe colitis were more found in the government hospital. Patients with severe colitis came from lower social economic society that they had been hospitalized in B category.
The anatomical location of ulcerative colitis were in the left side of colon and rectal involvement were only 70,5% compared to 95% from other article.
It had been concluded that barium enema examination was very effective to diagnosed the early stage of ulcerative colitis and others stage as well, that is important for clinical doctors to decide the proper management for the patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Laviani
"Latar Belakang: Kolitis ulseratif distal merupakan kolitis ulseratif yang paling sering ditemukan. Dibandingkan dengan terapi oral, terapi topikal kurang banyak digunakan pasien. Satu studi melaporkan bahwa terapi oral digunakan pada 35,6% pasien sedangkan terapi topikal hanya digunakan pada 6,7% pasien. Namun demikian, berbagai studi yang menilai terapi topikal tersebut memberikan hasil yang inkonsisten.
Tujuan: Mengetahui efektivitas pemberian beberapa terapi topikal dalam tatalaksana kolitis ulseratif distal derajat ringan dan sedang.
Sumber Data: Penelusuran studi dilakukan hingga September 2020 pada empat basis data: PubMed/MEDLINE, Cochrane, ProQuest, dan SCOPUS. Pencarian sekunder dilakukan dengan teknik snowballing pada referensi studi yang ditemukan, pencarian melalui ClinicalTrial.Gov, pencarian melalui Garuda, dan Global Index Medicus.
Seleksi Studi: Studi randomized controlled trial (RCT). Subyek merupakan pasien kolitis ulseratif distal derajat ringan dan sedang. Studi dengan intervensi yang dilakukan berupa terapi topikal 5-ASA enema, kortikosteroid enema, asam hialuronat enema. Luaran efektivitas yang dinilai berdasarkan respon klinis, remisi klinis, profil keamanan dan efek samping terapi tersebut. Tidak dilakukan pembatasan bahasa maupun waktu.
Ekstraksi Data: Ekstraksi data dilakukan oleh kedua peninjau secara independen. Hasil: Respon klinis ditunjukkan pada pemberian 5-ASA enema dibandingkan plasebo enema (RR 2.48, IK 95% 1.81-3.38, p<0.00001). NNT 3 (IK 95% 2-4). Remisi klinis ditunjukkan pada pemberian kortikosteroid enema dibandingkan plasebo enema (RR 1.98, IK 95% 1.59-2.45, p<0.00001). NNT 5 (IK 95% 4-7). Tidak terdapat perbedaan antara pemberian 5-ASA enema bila dibandingkan dengan kortikosteroid enema baik Beclomethasone diproprionate enema (RR 1.04, IK 95% 0.70-1.54, p=0.85) dan Budesonide enema (RR 1.26, IK 95% 0.91-1.73, p=0.16). Asam hialuronat enema merupakan terapi topikal baru yang cukup aman dan efektif namun membutuhkan penelitian lebih lanjut dengan kualitas penelitian yang lebih baik. Terapi topikal memiliki profil keamanan yang baik. Sebagian besar adverse event ringan dan tidak signifikan.
Kesimpulan: 5-ASA enema dan kortikosteroid enema efektif dalam mencapai respon dan remisi klinis bila dibandingkan dengan plasebo. Tidak terdapat perbedaan antara 5-ASA enema bila dibandingkan dengan kortikosteroid enema

Background: Distal ulcerative colitis is the most common ulcerative colitis. Compared with oral therapy, topical therapy is less used by patients. One study reported that oral therapy was used in 35.6% of patients whereas topical therapy was used in only 6.7% of patients. However, studies assessing this topical therapy have yielded inconsistent results. Objective: To determine the effectiveness of topical therapy in the management of mild and moderate distal ulcerative colitis. Data Source: Study searching was done through September 2020 on four databases: PubMed / MEDLINE, Cochrane, ProQuest, and SCOPUS. Secondary searching was done by snowballing method of the study references, searching through ClinicalTrial.Gov, Garuda, and the Global Index Medicus. Study Selection: A randomized controlled trial (RCT). Subjects were mild and moderate distal ulcerative colitis patients. Intervention studies included topical 5-ASA enema therapy, corticosteroid enema, and hyaluronic acid enema. The effectiveness outcome was assessed based on clinical response, clinical remission, safety profile and side effects of the therapy. There are no language or time restrictions. Data Extraction: Data extraction was done by both reviewers independently. Results: Clinical response was shown in 5-ASA enema versus placebo enema (RR 2.48, CI 95% 1.81-3.38, p <0.00001). NNT 3 (CI 95% 2-4). Clinical remission was shown in corticosteroid enema versus placebo enema (RR 1.98, CI 95% 1.59-2.45, p <0.00001). NNT 5 (CI 95% 4-7). There was no difference between 5-ASA enema administration when compared to corticosteroid enema, Beclomethasone diproprionate enema (RR 1.04, 95% CI 0.70-1.54, p = 0.85) and Budesonide enema (RR 1.26, CI 95% 0.91 -1.73, p = 0.16). Hyaluronic acid enema is a new topical therapy that is quite safe and effective in achieving clinical response and remission but requires further research with better research quality. Topical therapies have a good safety profile. Most of the adverse events were mild and insignificant. Conclusion: 5-ASA enemas and corticosteroid enemas were effective in achieving clinical response and remission when compared to placebo. There was no difference between 5-ASA enemas when compared with corticosteroid enemas"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lusiani
"Latar Belakang: Lupus Eritematosus Sistemik LES adalah suatu penyakit autoimun kronik yang melibatkan multiorgan dan multietiologi. Komplikasi kardiovaskular pada pasien LES merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas terbesar. Proses aterosklerosis diketahui terjadi pada pasien LES usia muda dan menjadi salah satu faktor penyebab disfungsi diastolik. Penegakkan diagnosis disfungsi diastolik memerlukan pemeriksaan yang cukup mahal dan tidak merata di setiap fasilitas kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode diagnostik yang lebih mudah dan murah tetapi tetap dapat diandalkan untuk penegakkan diagnostik tersebut, seperti metode sistem skoring. Umur, lama sakit, komorbiditas hipertensi dan atau diabetes mellitus dan atau dislipidemia , anemia, Index Massa Tubuh IMT , kadar serum kreatinin, dan APS diketahui berhubungan dengan disfungsi diastolik dan dapat menjadi determinan diagnosis disfungsi diastolik pada pasien LES.
Tujuan: Menetapkan sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES berdasarkan determinan umur, lama sakit, komorbiditas, anemia, IMT, kadar serum kreatinin, dan APS.
Metode: Penelitian uji diagnostik potong-lintang cross sectional terhadap 127 pasien LES di RSCM sejak bulan April 2017 sampai Mei 2017. Data yang digunakan adalah data primer berupa wawancara, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal, serta data sekunder yang diperoleh dari rekam medis.
Hasil: Terdapat 9 7.08 subjek penelitian yang mengalami disfungsi diastolik. Lima dari tujuh determinan masuk dalam analisis multivariat. Setelah pemodelan, didapatkan APS dengan bobot skor 2 dan komorbiditas dengan bobot skor 1 yang selanjutnya menjadi bagian dari sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES. Sistem skoring ini kemudian di uji dengan kurva ROC dan didapatkan AUC sebesar 80.3 95 IK 62.7-97.8 dengan titik potong terbaik adalah lebih sama dengan 2. Skor ge;2 memiliki sensitifitas 44 , spesifisitas 94.9 , nilai prediksi positif 60 , dan nilai prediksi negatif 95.7 . Uji validasi interna dan eksterna menghasilkan nilai yang baik.
Simpulan: Proporsi disfungsi diastolik pasien LES di RSCM adalah 7.08 . Determinan diagnosis disfungsi diastolik pasien LES adalah APS dan komorbiditas. Skor ge;2 merupakan titik potong terbaik untuk menentukan bahwa pasien LES mengalami disfungsi diastolik.

Background : Systemic Lupus Erythematosus SLE is a chronic autoimmune disease involving multiorgan and multietiology. Cardiovascular complication in SLE patients is one of the highest causes of morbidity and mortality. It is known that premature atherosclerosis occurs in young SLE patients and related to diastolic dysfunction. The diagnostic of diastolic dysfunction requires a quite expensive and uneven examination at every health facilities. Therefore, it's necessary to have an accessible and inexpensive but reliable diagnostic method, such as a scoring system. Age, duration of pain, comorbidities hypertension and or diabetes mellitus and or dyslipidemia , anemia, Body Mass Index BMI , serum creatinine level, and APS are known to be associated with diastolic dysfunction and can be a determinant diagnostic of diastolic dysfunction in SLE patients.
Objective : Establish a diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients with determinants of age, duration of pain, comorbidities, BMI, serum creatinine level, and APS.
Methods : A cross sectional diagnostic study with 127 SLE patients in RSCM from April 2017 to May 2017. The data used are primary data such as interviews, physical examination, and transthoracic echocardiography, as well as secondary data was obtained from medical records.
Results : There were 9 7.08 subjects with diastolic dysfunction. Five from seven determinants can be used in multivariate analysis. After modeling, APS was obtained with score of 2 and comorbidities with score of 1, further it becomes a part of diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients. The scoring system was tested with ROC curve and obtained AUC of 80.3 95 IK 62.7 97.8 with the best cut off point was ge 2. A score of ge 2 had a sensitivity of 44 , specificity of 94.9 , positive predictive value of 60 , and negative predictive value of 95.7 . Internal and external validation test produce a good value.
Conclusions : The proportion of diastolic dysfunction in SLE patients in RSCM is 7.08 . Diagnostic determinants of diastolic dysfunction in SLE patients are APS and comorbidities. A score of ge 2 is the best cut off point for determining that SLE patients has a diastolic dysfunction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Catharina Sri Indah Gunarti
"ABSTRAK
Systemic Lupus Erythematosus SLE adalah penyakit autoimun, dimana sistem kekebalan tubuh menyerang organ tubuh sendiri. Orang dengan Lupus Odapus mengalami berbagai perubahan secara fisik, ekonomi, sosial, dan psikologis yang menyebabkan mereka memiliki penghayatan akan penyakit yang dimiliki, atau disebut juga illness cognition. Penghayatan ini mempengaruhi kognisi Odapus dalam memandang penyakit dan mempengaruhi perilaku kesehatan serta coping akan permasalahan yang disebabkan oleh SLE. Penelitian bertujuan untuk mengubah illness cognition Odapus terkait penyakit SLE yang dimiliki. Penelitian merupakan penelitian kuasi-eksperimental dengan one group pretest-posttest design. Kelompok terdiri dari lima orang yang diperoleh lewat accidental sampling. Partisipan mengikuti lima kali sesi individual serta satu kali pra-sesi dan satu kali sesi follow-up. Analisis dilakukan dengan cara membandingkan data kuantitatif menggunakan adaptasi alat ukur Illness Cognition Questionnaire ICQ serta data kualitatif tentang perubahan kognitif, perilaku, dan strategi pemecahan masalah sebelum dan sesudah mengikuti intervensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi kognitif-perilaku dapat meningkatkan illness cognition pada Odapus. Partisipan dapat menerima penyakit SLE sebagai bagian dari hidupnya, menghayati adanya berbagai hal positif dari penyakit SLE, dan memiliki harapan serta dapat melakukan kontrol terhadap berbagai keterbatasan yang diakibatkan oleh penyakit SLE. Pada akhirnya, partisipan dapat meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh penyakit SLE secara lebih efektif.

ABSTRACT
Systemic Lupus Erythematosus SLE is autoimmune disease which the immune system damage their own body. Patient with SLE experience change in physical, economic, social, and psychology that caused a perception to their own disease, called illness cognition. This perception influence patient rsquo s cognition about their disease and predispose their health behavior and coping problem related to their disease. This study aimed to identify effectiveness of cognitive behavior therapy to change illness cognition patient about SLE. This was quasi experimental study conducted with one group pre test post test design. Group consisted of five participant recruited through accidental sampling. Participants participated in five individual sessions, preceded by a pre session and followed by a follow up session. Analysis was conducted by comparing quantitative data obtained by Indonesian adaptation of Illness Cognition Questionnaire ICQ and qualitative data showing changes in participants rsquo cognition, behavior, and problem solving before and after the intervention took place. This study showed that cognitive behavior therapy can successfully enhance illness cognition in patient with SLE. Participants may receive SLE disease as a part of their life, appreciate many positive things of SLE, have hope also can control various limitations caused by SLE. Participants can improve their ability to coping with problem related to SLE more effectively."
2018
T49079
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, Bertyna Yulia M.
"Systemic lupus eryrhenzalasus (SLE) atau juga dikenal sebagai lupus adalah penyakit kronis yang melibatkan sistem kekebalan tubuh, di mana orang yang mengalaminya dapat menderita sejumlah gejala yang menyerang hampir di seluruh bagian tubuhnya. Para penderitanya sering disebut odapus atau orang dengan lupus. Secara khusus, wanita penderita lupus dapat mengalami kesulitan atau konflik ketika hendak memutuskan untuk memiliki anak. Konflik ini tezjadi karena penyakit yang dideritanya dapat menyebabkan ia sulit untuk mengandung. Jika wanita tersebut tetap memumskan untuk memiliki anak, maka risiko saat terjadirnya kehamilan harus segera dianlisipasi dengan ketat. Jika tidak, ia dapat mengalami keguguran. Sementara, jika wanita penderita lupus tidak mengandung atau memiliki anak, maka fungsi perkawinannya sebagai lembaga membangun keluarga dan keturunan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini bisa menimbulkan perasaan tidak puas atau rendah diri pada wanita karena tidak bisa memberikan keturunan bagi keluarga.
Tujuan dari penelilian ini adalah untuk Iungetahui gambaran pengambilau keputusan untuk memiliki anak pada wanita penderita SLE. Subjek dalam penelitian ini adalah wanita penderita SLE yang berada dalam rentang 20-35 tahun (tahap perkembangan dewasa awal) dan sudah menikah. Penelilian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena dianggap dapat menggali penghayatan subjek mengenai pengambilan keputusan untuk memiliki anak, Jumlah sampel yang digunakan adalah dua orang karena yang dipentingkan adalah penghayatan subjektifnya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kedua subjek hanya melewati tahap 1, 2, dan 5 dalam proses pengambilan keputusan untuk memiliki anak. Mereka tidak lagi melewati tahap 3 dan 4. Sclain itu, terdapat sejumlah faktor yang berperan dalam pengambilan keputusan untuk memiliki anak, yaitu pregfcrence, value, belief circumsrances, dan action. Terakhir, ditemukan bahwa kedua subjek mengalami konflik sewaktu mereka mengambil keputusan untuk memiliki anak, yakni adanya keinginan untuk menghindari akibat buruk dari SLE, yaitu keguguran atau gangguan pada bayi, dengan keinginan yang kuat untuk memiliki anak."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cahya Dewi Satria
"Latar belakang: Lupus eritrematosus sistemik (LES) adalah penyakit yang kompleks dengan manifestasi yang bervariasi. Interleukin-6 (IL-6) merupakan sitokin pleitropik yang mempunyai aktivitas biologis dengan rentang luas yang berperan penting pada regulasi imun dan inflamasi. Saat ini belum ada biomarker yang dapat membedakan kondisi remisi total dengan aktivitas penyakit ringan. Interleukin-6 diharapkan dapat digunakan sebagai parameter aktivitas penyakit terutama pada kasus-kasus dimana antara manifestasi klinis dan skor SLEDAI tidak sesuai yaitu pada pasien LES dengan aktivits ringan dan remisi total.
Tujuan: Mengetahui karakteristik IL-6 pada LES anak dengan berbagai aktivitas ringan dan remisi total.
Metode: Penelitian kasus kontrol dilakukan di poli rawat jalan Alergi-Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta dan RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta mulai Mei hingga Juni 2019. Pasien anak usia 1-18 tahun dengan diagnosis LES dinilai kadar IL-6 dan aktivitas penyakit yang dinilai dengan skor SLEDAI. Uji korelasi chi square dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel bebas dan luaran. Analisis data dilakukan dengan program SPSS for Window ver 20,0
Hasil: Dari 60 subjek penelitian yang terdiri dari 30 pasien LES aktivitas ringan dan 30 remisi total. tidak ada perbedaan kadar IL-6 tinggi pada kelompok kasus dibanding kelompok kontrol dengan p=0,500, OR= 0,483 (95% IK: 0,041-5,628). Terdapat 2 subyek dengan kadar IL-6 tinggi menderita infeksi saluran kencing.
Simpulan: Tidak ada perbedaan aktivitas penyakit pada pasien LES anak dengan aktivitas ringan dibanding remisi total.

Background: Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is a complex disease with various manifestations. Interleukin-6 (IL-6) is a pleiotropic cytokine with a wide range of biological activities that plays an important role in immune regulation and inflammation. Recently, there is no other biomarker that could differentiate total remission condition and mild disease activity in juvenile SLE. Interleukin-6 may be used as a parameter of disease activity, especially in the cases with different clinical manifestations and SLEDAI scores among SLE patients with mild activities and total remissions.
Aim: To indentify the characterictics of serum IL-6 concentration in juvenile systemic lupus erythematosus with mild activities and total remissions.
Methods: Case control study was performed at outpatient clinic of allergy-immunology, department of child health dr. Cipto Mangunkusumo hospital, Jakarta and dr. Sardjito hospital, Yogyakarta during May-June 2019. Serum IL-6 consentration and disease activity were assessed in all juvenile SLE patients aged 1-18 year. SLE disease activity was assessed with SLEDAI scores and serum level of IL-6 was measured by enzyme linked immunosorbent assay. Chi square correlation analysis was used to determine the correlation of serum IL-6 concentration with disease activity in juvenile SLE patients. Analyses of data were performed using the SPSS statistical software for windows version 20,0.
Results: Among 60 subjects included in this study, 30 subjects with mild activities in the case group and 30 subjects with total remissions in the control group. There was no differences of serum IL-6 concentration between case and control group (p=0,500, OR= 0,483 (95% IK: 0,041-5,628)). In this study, we found 2 subjects with urinary tract infection have high serum IL-6 concentration.
Conclusion: There was no differences of serum IL-6 concentration between juvenile SLE patients with mild activities compared with total remissions.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57644
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Giri Aji
"Lupu Eitematosus Sistemik adalah suatu penyakit autoimun yang melibatkan multi organ yang umumnya menyerang wanita dan bersifat kronik yang perjalanan penyakitnya ditandai dengan relaps dan remisi. Penelitian ini bertujuan mencari faktor risiko perburukan pasien lupus eritematosus sistemik dengan menganalisa beberapa variabel seperti usia, tingkat pendidikan, anemia, obat-obatan dihubungkan dengan perburukan yang diukur dengan skor Systemic Lupus Eythematosus Disease Activity Index. Selain itu, dilakukan juga peneltian deskritptif mengenai sebaran gen Human Leucocyte Antigen pada subpopulasi penelitian.

Systemic Lupus Erythemattosus is an autoimmune disease which involved multi organs and have chronic course and mostly inflicted woman , the nature of the disease involved relaps and remission This research aim to find risk factor for worsening (flare) of SLE by analysing variables like age, education level, anemia, drugs associated to flare measured by Systemic lupus erythematosus disease activity index and we also conduct Human Leucocyte Antigen genotyping for subpopulation of the study."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>