Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12525 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Philadelphia: Saunders/Elsevier, 2016
616.33 SLE I
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rafli Fadlurahman
"Latar belakang: Cedera gastrointestinal akut kerap terjadi pada pasien dengan sakit kritis. Fungsi saluran menjadi salah satu pertimbangan dalam pemberian nutrisi pasien. Komplikasi pada saluran cerna dapat menghambat pemberian nutrisi enteral yang lebih direkomendasikan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan derajat cedera gastrointestinal akut dengan capaian nutrisi enteral pada pasien anak sakit kritis.
Metode: Penelitian ini memiliki desain studi potong lintang menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien anak sakit kritis yang dirawat di PICU RSCM dari September 2019 sampai Agustus 2020. Cedera gastrointestinal akut dikelompokkan berdasarkan klasifikasi WGAP ESICM. Asupan nutrisi diambil dari data rekam medis pasien. Data dianalisis menggunakan Uji Saphiro-Wilk dilanjutkan Uji Kruskal-Wallis untuk mengetahui hubungan derajat cedera gastrointestinal akut dengan capian nutrisi enteral pasien. Data diolah menggunakan aplikasi IBM SPSS for windows versi 20.
Hasil: Sampel penelitian berjumlah 26 pasien. Median presentase capaian nutrisi enteral hari ketiga (% laju metabolik basal) setiap derajat yaitu derajat satu 40,08 (0-144,39); dua 0,00 (0-219); tiga 19,10 (0,00-38,20); dan empat 0,00 (0,00-130,30) dengan hasil uji Kruskal-Wallis (p=0,904). Tidak terdapat hubungan bermakna antara lama capaian 25% nutrisi enteral dengan derajat cedera gastrointestinal akut (Kruskal-Wallis, p=0,556). Pada penelitian, faktor lain seperti status gizi (p=0,952), penggunaan ventilator mekanik (p=0,408), dan riwayat pascaoperasi (p=0,423) tidak mempengaruhi presentase nutrisi enteral hari ketiga.
Kesimpulan: Pada pasien anak kritis, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara derajat cedera gastrointestinal akut dengan capaian nutrisi enteral.

Background: Acute gastrointestinal injury (AGI) is usually found in critically ill patients. Gastrointestinal function can determine the route od nutritional therapy. Gastrointestinal abnormalities may delay enteral nutrition therapy in patients. Therefore, this study aims to determine the association between the association between acute gastrointestinal injury and enteral nutrition outcome in critically ill children.
Methods: This study had a cross-sectional study design using the medical records of critically ill children in PICU RSCM from September 2019 until August 2020. AGI patients was classified based on WGAP ESIM grading system. Nutritional outcomes were assessed using data from medical record. Data were analyzed the Kruskal-Wallis test to determine the association between acute gastrointestinal injury and enteral nutrition outcomes. The Data were analysed using SPSS for windows version 20.
Results: The study sample was 26 patients. The medians of day three enteral nutrition percentage were grade one 40,08 (0-144,39); grade two 0,00 (0-219); grade three 19,10 (0,00-38,20); dan grade four 0,00 (0,00-130,30) with Kruskall-walis test result (p=0,904). There was no significant association between AGI and the duration of 25% basal metabolic rate (Kruskal-Wallis, p=0,556). In this study, Other factors such as nutritional status (p=0,952), ventilator usage (p=0,408), and post-operative history (p=0,423) did not associate with day three enteral nutrition percentage.
Conclusion: In critically ill children, there was no significant association between the acute gastrointestinal injury and the outcome of enteral nutrition.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anatha Chriscilia Selaindoong
"Gangguan pencernaan merupakan isu global dengan hasil  studi epidemiologi lebih dari 40% orang diseluruh dunia mengalami gangguan pencernaan. Salah satu faktor diet yang berhubungan dengan gangguan pencernaan yaitu jenis makanan yang dikonsumsi. Masyarakat Minahasa memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan berempah dan pedas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan antara mengonsumsi makanan minahasa berempah dan pedas dengan gejala gangguan pencernaan. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional yang melibatkan 212 sampel berusia 18-60 tahun yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan sampel menggunakan teknik consecutive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah dikontrol dengan variabel perancu, terdapat hubungan antara konsumsi makanan berempah dan pedas dengan gejala gangguan pencernaan (nilai p 0.015<0.05) OR 2.523 (95% CI: 1.197-5.319). Pasien yang mengonsumsi makanan berempah dan pedas berisiko 2.523 kali mengalami gejala gangguan pencernaan. Peneliti merekomendasikan perawat untuk melakukan asuhan keperawatan secara komperhensif sebagai educator dan fasilitator untuk mengoptimalkasn kesehatan masyarakat yang mengonsumsi makanan berempah dan pedas serta faktor lainnya yang berisiko  dengan gejala gangguan pencernaan. Bagi pelayanan kesehatan dan pemerintah daerah dapat menyusun rencana strategi dalam upaya pencegahan maupun penanganan gangguan pencernaan terkait konsumsi makanan berempah dan pedas dengan tetap melestarikan kekhasan budaya setempat.

Gastrointestinal disorders are a global issue with the epidemiology study results of more than 40% of people around the world experiencing digestive disorders. A dietary factor associated with indigestion is the type of food consumed. Minahasa people habitually consume spicy foods. The aim of this study was to identify the relationship between consuming spicy Minahasan food and symptoms of indigestion. This study was a cross-sectional study involving 212 samples aged 18-60 years who complied with the inclusion and exclusion criteria. Consecutive sampling technique was used. After control for confounding variables, there was an association between consuming spicy foods and gastrointestinal symptoms (p value 0.015<0.05) OR 2.523 (95% CI: 1.197-5.319). Patients who consume spicy foods are at risk of 2.523 times to experience gastrointestinal symptoms. Furthermore, Researchers recommend nurses to provide comprehensive nursing care as educators and facilitators to optimize the health of people who consume spicy foods and other risk factors associated with gastrointestinal symptoms. For health services and government can establish a strategic plan in preventing and treating gastrointestinal disorders related to the consumption of spicy food while preserving the characteristics of local culture."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wardah Nafisah
"Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi gambaran kejadian masalah gastrointestinal pada mahasiswa asing di Universitas Indonesia. Desain penelitian deskriptif dengan pendekatan potong lintang, melibatkan 64 sampel yang dipilih dengan teknik convenient sampling. Instrumen yang digunakan ialah kuesioner yang dimodifikasi dari penelitian sebelumnya. Analisis data univariat distribusi frekuensi.
Hasil penelitian menunjukkan 82,8% mahasiswa asing di Universitas Indonesia pernah mengalami masalah gastrointestinal selama berada di Indonesia. 46,3% responden menyatakan sering mengalami keluhan sakit perut, yang merupakan manifestasi umum pada berbagai jenis gangguan gastrointestinal. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi berbagai faktor pola makan dan gaya hidup yang memengaruhi kejadian masalah gastrointestinal pada mahasiswa asing di Universitas Indonesia.

This study aimed to identify the description of gastrointestinal problems on foreign students in Universitas Indonesia. Descriptive study with a cross-sectional design, involving 64 samples whom were selected with convenient sampling method. A questionnaire which was modified from previous research was used.
The result showed that 82,8% foreign students of Universitas Indonesia had experienced gastrointestinal problems during in Indonesia, which indicates high prevalence. 46,3% respondents often experience abdominal discomfort which is the common manifestation of various gastrointestinal disorders. A further research is needed to explore and elaborate the related factors such as consumption pattern and lifestyle which significantly affect the gastrointestinal problems finding on foreign students in Universitas Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
S63148
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggilia Stephanie
"ABSTRAK
Sebagai salah satu penyebab terbanyak peningkatan enzim hati, dan sirosis, NAFLD perlu dinilai derajat steatosisnya. Trigliserida sebagai salah satu komponen sindrom metabolik diketahui mempunyai pengaruh terhadap terjadinya nonalcoholic fatty liver disease NAFLD , namun korelasinya dengan derajat steatosis pada pasien NAFLD belum diketahui. Studi ini bertujuan untuk mendapatkan korelasi antara kadar trigliserida dengan nilai Controlled attenuation parameter CAP pada pasien NAFLD, serta mendapatkan nilai titik potong trigliserida yang optimal untuk memprediksi derajat steatosis sedang-berat pada pasien NAFLD. Studi potong lintang dilakukan pada pasien NAFLD dewasa di poliklinik Penyakit Dalam RSCM, yang direkrut secara konsekutif. Pasien dengan sirosis hepatis dieksklusi dari penelitian. Diagnosis NAFLD dilakukan dengan menggunakan USG, sementara derajat steatosis ditentukan dengan metode CAP menggunakan alat Fibroscan. Sampel darah puasa diambil untuk pemeriksaan trigliserida. Korelasi antara kadar trigliserida dengan nilai CAP dianalisis dengan uji Pearson. Sebanyak enam puluh dua subyek, dengan median usia 55 rentang 21 ndash; 78 tahun. Median nilai IMT 26,1 rentang 19-38 kg/m2, lingkar pinggang 96,6 SB: 8,49 cm, kadar trigliserida 160,3 SB: 65,5 mg/dL, kolesterol LDL 147,8 SB: 38,2 mg/dL, kolesterol HDL 48,5 SB:11,1 mg/dL dan nilai CAP 268,5 SB: 46,8 dB/m. Obesitas sentral didapatkan sebanyak 94,8 . Komorbid didapatkan berupa hipertensi 46,8 , DM tipe 2 54,8 , dan sindrom metabolik pada 72,6 . Didapatkan adanya korelasi yang lemah antara TG dengan derajat steatosis r=0,272; p= 0,033 . Dari kurva ROC didapatkan kemampuan TG dalam memprediksi derajat steatosis kurang baik AUC 0,66 IK 95 0,48 ndash; 0,83 , sehingga tidak dilanjutkan untuk mencari titik potong. Didapatkan adanya korelasi lemah antara kadar trigliserida dengan derajat steatosis pada pasien NAFLD. Saat ini kadar trigliserida tunggal tidak dapat digunakan untuk mendeteksi derajat steatosis sedang-berat.ABSTRACT As one of the most common cause of elevated liver enzymes and cirrhosis nowadays, steatosis degree need to be evaluated in NAFLD cases. Triglyceride, one of metabolic syndrome components, is known to be associated with NAFLD. However, correlation between the triglyceride levels and steatosis degree, has not yet understood. This study aim to find correlation between triglyceride level with Controlled Attenuation Parameter CAP value in NAFLD patients, and also gain optimal cut off point of triglyceride for predicting moderate to severe NAFLD. A cross sectional study on adult NAFLD patient in RSCM Internal Medicine Clinic, recruited consecutively in four months. Patients with liver cirrhosis was excluded. Diagnosis of NAFLD using Ultrasound, meanwhile steatosis degree was assessed using CAP in Fibroscan. Blood samples were taken for Triglycerides examination. The correlation between triglyceride levels with CAP values were analyzed by Pearson test. Sixty two NAFLD subjects, with a median age of 55 range 21 78 years. Median value of BMI was 26.1 range 19 38 kg m2, mean for waist circumference, levels of LDL and HDL cholesterol was 96.6 SD 8.49 cm, 147.8 SD 38.2 mg dL, 48.5 SD 11.1 mg dL , respectively. Mean for triglyceride was 160.3 SD 65.5 mg dL, and CAP value 268.5 SD 46.8 dB m. Central obesity found in as many as 94.8 of subject. Comorbidities such as hypertension and type 2 diabetes was found at 46.8 and 54.8 respectively, and metabolic syndrome 72.6 . In this study, we found a weak correlation between triglyceride values and CAP r 0.272 p 0.033 . From the ROC we find the TG capability of predicting steatosis degree was not good enough AUC 0.66, 95 CI 0.48 to 0.83 . Therefore cut off point of TG was not assessed. As a conclusion, there is a weak correlation between triglyceride levels and degree of steatosis in patients with NAFLD. Triglyceride level cannot be used solely for assessment of steatosis degree. "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55689
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yoppi Kencana
"ABSTRAK
Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) adalah penyakit hati kronik yang ditandai dengan akumulasi lemak berlebihan di hati. Elastografi Transien (ET) dan metode Controlled Attenuation Parameter (CAP) merupakan metode pemeriksaan non-invasif untuk menilai derajat fibrosis dan steatosis, namun tidak tersedia di seluruh rumah sakit di Indonesia. Rasio Neutrofil Limfosit (RNL) merupakan penanda peradangan sederhana yang berpotensi memprediksi luaran penyakit. Tujuan : Mengetahui nilai diagnostik RNL sebagai indikator derajat keparahan steatosis dan fibrosis NAFLD. Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang menggunakan data sekunder dari data rekam medis tahun 2016-2018. Analisis statistik deskriptif dan analitik berupa uji korelasi, Receiver Operating Curve (ROC) dan Area Under The Curve (AUC) dipakai untuk mengetahui luaran studi. Hasil : Dari 106 subjek penelitian, kebanyakan pasien adalah perempuan (62,3%) berusia rata-rata 57,29 tahun dan menderita sindrom metabolik (77,4%). Sebagian besar pasien memiliki derajat steatosis sedang-berat (66%) dengan rerata ET 6,14 (2,8-18,2). Terdapat korelasi antara nilai CAP (r=0,648; p<0,001) dan ET (r=0,621; p<0,001) dengan RNL. Penggunaan RNL untuk menilai derajat steatosis sedang-berat memiliki titik potong 1,775 dengan sensitivitas, spesifisitas, NDP dan NDN sebesar 81,5%, 80,6%, 89,1%, dan 69,1%; titik potong 2,150 untuk menilai fibrosis signifikan dengan sensitivitas, spesifisitas, NDP dan NDN berurutan sebesar 92,3 %; 87,5%; 70,6%; dan 97,2%. Simpulan : RNL memiliki korelasi positif dan signifikan terhadap derajat steatosis (CAP) dan fibrosis (ET) dengan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi.

ABSTRACT
Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) is a chronic inflammatory disease with excessive fat accumulation in the liver. Transient Elastography (TE) with Controlled Attenuation Parameter (CAP) is a device and method to examine the degree of fibrosis and steatosis. However, this device is not widely available across Indonesia. Neutrophil and Lymphocyte Ratio (NLR) is a simple marker for inflammation which has a potency to predict disease outcome. This study aims to know the diagnostic value of NLR as the indicator of steatosis and fibrosis severity. Methods: This was a cross-sectional study with consecutive sample collection. We used secondary data from medical record, starting from 2016-2018. A descriptive and analytic statistic, including correlation test, multivariate linear regression, t test, Receiver Operating Curve (ROC) and Area Under the Curve (AUC) were done to know the outcome of the study. Statistical analyses were performed using Statistical Package for Social Sciences (SPSS) Version 20.0 (SPSS Inc, Chicago, Illinois). A P value <0.05 was considered as statistically significant. Results: Out of 106 subjects, 62.3% patients were women with the mean of age 57.29 years old and 77.4% had metabolic syndrome. Most patients had moderate to severe steatosis degree (66%) with the mean of ET mean 6.14 (2.8-18.2). There was a positive correlation between CAP and TE compared with NLR with r=0.647 (p<0.001) and r=0.621 (p<0.001) respectively. The use of RNL to assess moderate-severe steatosis has a cutoff point of 1.775 with sensitivity,  specificity, PPV and NPV respectively at 81,5%, 80,6%, 89,1%, and 69,1%; cutoff point 2,150 to assess significant fibrosis with sensitivity, specificity, PPV and NPV of 92.3 %, 87.5%, 70.6%, and 97.2% respectively. Conclusion: NLR has a positive and significant correlation with the degree of steatosis and fibrosis with high sensitivity and specificity in comparison with TE/CAP.
"
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Uray Sandy Kurniawan
"Penggunaan obat yang bekerja pada saluran cerna perlu dilakukan kajian farmakologi, khususnya di depo Instalasi Gawat Darurat (IGD). Pelayanan kefarmasian di IGD perlu perhatian khusus karena biasanya menangani pasien yang dalam kondisi kritis. Kajian farmakologi dapat mengetahui efek utama obat, interaksi obat dan efek samping dari obat. Sehingga dapat memberikan terapi yang tepat dan aman kepada pasien.Prosedur kajian literatur yaitu dengan cara pengumpulan dan analisis data yang dilakukan dengan mencari studi pustaka dan observasi. Dalam hal ini, landasan teori untuk penelitian diperoleh melalui pencarian pustaka yang berasal baik dari buku, jurnal lain maupun dari sumber terpercaya lainnya. Selain itu, analisis data serta informasi yang digunakan dilakukan dengan metode observasi yaitu pengamatan dan penelitian farmakologi dari obat-obat yang bekerja pada saluran cerna.Kajian farmakologi obat saluran cerna, khususnya farmakokinetik dan farmakodinamik untuk obat Simetikon, H2 Receptor Blocker, Proton Pump Inhibitor (PPI) dan SukralfatMemberikan informasi kepada sejawat tenaga kesehatan terkait farmakologi obat saluran cerna yang diberikan.

The use of drugs that act on the gastrointestinal tract needs to be studied pharmacologically, especially in the Emergency Room (ER). Pharmacy services in the emergency room need special attention because they usually treat patients who are in critical condition. Pharmacological studies can determine the main effects of drugs, drug interactions, and side effects of drugs. So that it can provide appropriate and safe therapy to patients. Literature review procedures, namely by collecting and analyzing data are carried out by searching literature and observation. In this case, the theoretical basis for the research is obtained through a literature search that originates from books, other journals, and from other reliable sources. In addition, the analysis of data and information used was carried out using the observation method, namely observation and pharmacological research of drugs that act on the gastrointestinal tract. Pharmacological studies of gastrointestinal drugs, especially pharmacokinetics, and pharmacodynamics for Simethicone, H2 Receptor Blockers, Proton Pump Inhibitors (PPI), and Sucralfate Provide information to fellow health workers regarding the pharmacology of the gastrointestinal drugs given."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Lestari
"Gangguan gastrointestinal merupakan sebagain besar penyakit yang menyebabkan penderitanya mencari pertolonganmedis. Salah satu contohnya adalah mual dan muntah. Mual merupakan sensasi tidak menyenangkan dari keinginanuntuk muntah atau perasaan di tenggorokan atau daerah epigastrum yang memperingatkan seseorang bahwa muntah akansegera terjadi. Sedangkan muntah merupakan ekspulsi paksa isi lambung melalui mulut sebagai refleks proteksi dari tubuh untuk mengeluarkan zat berbahaya dari GIT sebelum dapat diserap.

Gastrointestinal disorder are the majority of disease that cause sufferes to seek medical help. One examples is nausea and vomiting. Nausea is the unpleasant sensation of wanting to vomit or a feeling in the throat or epigastrum area that warns a person that vomiting is imminent. Meanwhile, vomiting is the forced expulsion of stomach contents through the mouth as a protective reflex from the body to remove harmful substances from the GIT before they can be absorbed."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Philadelphia: Elsevier Saunders, 2015
617.556 TRA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Meutia Gebrina
"Latar Belakang. Pada lupus eritematosus sistemik (LES) ditemukan prevalensi ansietas dan depresi yang cukup besar. Beberapa aspek menjadi kaitan antara lupus eritematosus sistemik dengan ansietas dan depresi, di antaranya disbiosis usus. Rasio Firmicutes/Bacteroidetes rendah menunjukkan disbiosis dan nilainya rendah pada LES.
Tujuan. Mengetahui profil mikrobiota usus pada ansietas dan depresi pada LES serta secara khusus mengetahui korelasi rasio Firmicutes/Bacteroidetes dengan skor gejala ansietas dan depresi pada LES.
Metode. Penelitian ini mengambil data studi Pengaruh sinbiotik terhadap aktivitas penyakit, respons imun, serta permeabilitas dan mikrobiota usus pada pasien lupus eritematosus sistemik. Dari studi besar tersebut, diambil data dasar (baseline) berupa data demografik, Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS), Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index 2000 (SLEDAI-2k), obat-obatan yang dikonsumsi, pola diet, serta proporsi mikrobiota usus tingkat filum. Keseluruhan data dijabarkan secara deskriptif. Dilakukan analisis korelasi antara rasio Firmicutes/Bacteroidetes dengan HADS-Ansietas dan HADS-Depresi.
Hasil. Dari 41 subjek, didapatkan proporsi ansietas 53,66% dan depresi 14,63%. Kelompok ansietas memiliki proporsi Bacteroidetes lebih tinggi dan indeks diversitas lebih rendah daripada kelompok tidak ansietas. Kelompok depresi memiliki proporsi Bacteroidetes lebih tinggi, Firmicutes lebih rendah, dan rasio Firmicutes/Bacteroidetes lebih rendah dibandingkan kelompok tidak depresi. Diagram sebar menunjukkan tidak adanya hubungan yang linear antara rasio Firmicutes/Bacteroidetes dengan skor gejala ansietas dan depresi sehingga tidak dapat dilakukan analisis korelasi.
Simpulan. Secara deskriptif didapatkan kecenderungan disbiosis pada kelompok yang mengalami ansietas dan depresi daripada kelompok yang tidak mengalami gangguan psikis.

Background. There was a high prevalence anxiety and depression in systemic lupus erythematosus (SLE). Some aspects interconnecting them, such as intestinal dysbiosis. Firmicutes/Bacteroidetes ratio, one of dysbiosis parameter, found low in SLE patients and also depressed patients.
Objectives. This research aim to study intestinal microbiota profile among anxious and depressed SLE patients, and also to know the correlation between Firmicutes/Bacteroidetes ratio with anxiety and depression score in SLE patients.
Methods. We used secondary data from research entitled Effects of synbiotic supplementation on disease activity, immune response, gut permeability, and microbiota of systemic lupus erythematosus patients. We used baseline data of demographic data, Hospital Anxiety and Depression Scale, Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index 2000, drugs used, nutrients intake, and intestinal microbiota profile at phylum level. All those data were described descriptively and also analysed for the correlation between Firmicutes/Bacteroidetes ratio with anxiety score and depression score.
Results. From all 41 subjects, the proportion of anxiety was 53,66% and depression 14,63%. Anxiety group had more Bacteroidetes than not anxiety group. Depressed group had more Bacteroidetes, less Firmicutes, and lower Firmicutes/Bacteroidetes ratio than not depressed group. The scatterplot shows that there is no linear relationship between the Firmicutes/Bacteroidetes ratio with anxiety and depression symptom scores so that correlation analysis cannot be done.
Conclusion. Descriptively there was a tendency for dysbiosis in the group that experienced anxiety and depression than the group that did not experience psychological disorders."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>