Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 121279 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irhandy Joko Pramono
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kondisi perekonomian daerah terhadap aktivitas illegal logging di Pulau Jawa dengan menggunakan metode analisis data panel. Metode estimasi yang digunakan adalah ordinary least square (OLS) dengan menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Perum Perhutani tahun 2007-2011 pada 80 kabupaten di Pulau Jawa. Hasil analisis menunjukkan bahwa kondisi perekonomian daerah berpengaruh terhadap aktivitas illegal logging. Inflasi dan kemiskinan sebagai indikator perekonomian daerah berpengaruh positif terhadap terjadinya illegal logging, dengan pengertian lain bahwa kondisi perekonomian daerah yang kurang baik dapat meningkatkan terjadinya illegal logging. Sedangkan indikator perekonomian daerah lainnya yaitu tingkat pengangguran, menunjukkan pengaruh yang negatif, hal ini dapat terjadinya karena tingkat pengangguran yang tinggi berada pada daerah perkotaan, sedangkan areal hutan berada pada daerah pedesaan. Selain itu para pelaku illegal logging di Pulau Jawa pada umumnya adalah masyarakat desa yang memiliki profesi, namun pada saat kondisi perekonomian memburuk, mereka mencari tambahan pendapatan dari sektor ilegal.

This study aims to determine the effect of regional economic conditions on illegal logging in Java. The research used OLS (Ordinary Least Squares) as a analysis methode and used secondary data from Statistics Indonesia (BPS) and Perum Perhutani, around 2007-2011 from 80 district in Java Island. The analysis showed that regional economic conditions affected the illegal logging activities. Inflation and poverty as an indicator of local economic showed positive effect on illegal logging, which means the unfavorable economic conditions could increase illegal logging. Meanwhile, the others of economic indicators including the unemployment rate showed a negative influence, it can be the occurrence because of the high unemployment rates are in the urban areas, while forest areas are in the rural areas. Eventhoug general case of illegal logging in Java done by rural community who have a profession, but when the economic conditions were decreased, they seek additional income on the illegal sector.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2015
T43516
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riza Suarga
"Penelitian ini menjelaskan suatu permasalahan sosial yang ditemukan di era reformasi yaitu bagaimana proses yang terjadi ketika para pihak mulai mempersoalkan pemahaman tentang illegal logging dalam konteks pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia khususnya temuan pada kasus Adelin Lis di Sumatera Utara, seorang pengusaha yang memiliki izin resmi namun dituntut secara pidana di dalam wilayah kerjanya sendiri, karena setelah jatuhnya rezim Orde Baru muncul pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan sistem serta aturan pengelolaan hutan yang selama ini menjadi pedoman bersama dalam bingkai aturan perundangan negara buatan para rimbawan.
Dalam merangkai penjelasan berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh maka penelitian ini bertujuan untuk pertama memahami bagaimana para pihak melakukan perang wacana tentang illegal logging sehingga kemudian illegal logging tersebut bisa memiliki definisi ganda yaitu ia merupakan sebuah pelanggaran administratif tapi juga bisa diinterpretasikan sebagai pelanggaran pidana, sehingga untuk itu pulalah penelitian ini kemudian memilih rimbawan dan pihak-pihak lain yang berbeda konsep sebagai subyek kajian. Kedua, kehidupan berbangsa di Indonesia dalam 14 (empat belas) tahun terakhir pasca reformasi diwarnai dengan proses transisi demokratisasi yang memberikan ruang teramat luas bagi kebebasan berekspresi serta masuknya pengaruh global ke dalam segala aspek termasuk sektor kehutanan, pengelolaan sumber daya hutan dan tata aturan pengelolaan hutan yang selama ini menjadi pedomannya. Untuk itu dalam penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa dalam penerapan konsep-konsep wacana yang berideologikan pengaruh global sebagaimana diungkapkan di atas ternyata memiliki muatan persaingan kepentingan yaitu utamanya kepentingan persaingan usaha yang bermotifkan ekonomi. Ketiga, perkembangan spesialisasi ilmu dalam ilmu Antropologi semakin berkembang dan dinamis, salah satunya adalah penggunaan teori analisa diskursus.
Analisa diskursus merupakan alternatif yang semakin populer belakangan ini karena mampu menggelar proses argumentatif secara scientific terhadap proses-proses legitimasi kekuasaan metode masa kini yang lebih mengedepankan proses penyebaran informasi melalui media. Asumsi dasar dari perkembangan teori diskursus belakangan ini adalah karena sejarah dan manusia ditentukan oleh adanya knowledge production (pengetahuan yang diproduksi) dan pemahaman atas berbagai hal yang terjadi di dunia yang diinterpretasi secara kolektif (Arts dan Buizer, 2009: hal. 340). Dalam sebuah ?pertarungan? sosial, antropologi mampu menyajikan proses konstruksi para pihak ketika mereka berkompetisi secara holistik, bukan sekedar membuktikan siapa pihak yang menang atau yang kalah. Analisa diskursus menyajikan proses konstruksi argumentatifnya dengan cara yang lebih runut serta rinci.
Dalam penelitian ini ingin memperlihatkan bagaimana pentingnya Antropologi terhadap spesialisasi analisa diskursus, dan begitu pula sebaliknya bagaimana pentingnya analisa diskursus terhadap Antropologi secara umum. Keempat atau terakhir, adalah tujuan praktis dalam pembentukan maupun pertarungan wacana persoalan illegal logging ke depan. Penelitian ini ingin menunjukkan bahwa perdebatan serta variasi pemahaman para pihak tentang illegal logging ini sesungguhnya memiliki makna kepedulian masyarakat dunia tentang lingkungan yang lebih besar. Masing-masing pihak memiliki intensi atau niat yang baik yaitu mereka peduli tentang masa depan dunia yang lebih baik sehingga untuk itu dibutuhkan pengelolaan lingkungan khususnya sumber daya hutan yang lebih bertanggung jawab demi kepentingan bersama. Seperti yang telah diungkapkan lebih awal, konsep-konsep yang membentuk tinjauan konseptual dalam penelitian ini adalah konsep analisa wacana dan konsep legitimasi diskursus yang memiliki muatan ideologi neoliberalisme.
Adapun pemahaman prinsipiil yang saya mengerti dari kedua konsep tersebut adalah bagaimana memecahkan suatu topik yang kompleks atau substansi menjadi beberapa bagian yang lebih kecil dan detail demi mendapatkan pemahaman yang lebih baik (Arts dan Buizer, 2009: hal. 341), kemudian menjalankan suatu tindakan melalui rangkaian proses yang telah dianggap mantap dan seringkali rutin ketika mencoba mengkonversi suatu pemaknaan dari satu bentuk menjadi bentuk yang lainnya (Sokal dan Bricmont, 1998 dalam Humphreys, 2009: hal. 319), dan memasukkan unsur norma serta nilai dalam kategori relatifisme moral untuk mendalami bagaimana sesungguhnya diskursus tetap diklaim atau dianggap etis oleh kelompok tertentu tanpa perlu memiliki dasar ilmiah sebagaimana lazim dilakukan pada klaim pengetahuan yang bersifat epistemik (Humphreys, 2009: hal.320). Kedua pokok pemahaman atas konsep di atas merupakan kriteria data yang saya butuhkan untuk mempelajari dan memahami analisis wacana dan legitimasi diskursif.
Kedua pokok pemahaman di atas pula selanjutnya saya coba untuk kemudian memandu saya dalam merekonstruksi seputar putusan pengadilan kasus Adelin Lis sebagai entry point dalam memasuki ranah dialektika persoalan diskursus tentang illegal logging sehingga benar data yang saya ambil adalah data legitimasi diskursif. Adapun hasil dan kesimpulan penelitian ini adalah pertama, pertarungan diskursus illegal logging yang terjadi adalah antara para pihak yang menggunakan aturan perundangan negara sebagai pedoman dasar penerapan aturan serta pengelolaan sumber daya hutan yaitu memanfaatkan konsep Pembangunan Hutan Produksi Lestari serta metode Tebang Pilih Tanam Indonesia (jalur formal) dengan para pihak yang menggunakan diskursus global sebagai pedoman dasar pengelolaan hutan yaitu penerapan konsep-konsep biodiversity, sustainable development dan governance (jalur non formal).
Para pihak yang menggunakan aturan perundangan negara sebagai basis pemahaman pengelolaan hutan berpendapat kalau illegal logging adalah pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan tanpa mengantongi sehelai izinpun, sedangkan para pihak yang menggunakan basis diskursus global melihat siapapun termasuk pemilik izin apabila dianggap ?merusak? maka mereka dikatakan tetap ?liar? dan oleh karenanya tetap dianggap melakukan illegal logging. Kesimpulan kedua, dijelaskan bahwa dalam membangun diskursus illegal logging menggunakan referensi kasus Adelin Lis adalah dengan pertama mencermati, mengulas kembali serta mempelajari berbagai diskusi diskursus yang terjadi seputar proses hukum di ranah peradilan negara dan kedua mencermati, mengulas kembali serta mempelajari diskusi diskursus yang terjadi dalam konteks ditemukannya legitimasi diskursif pada berbagai diskursus yang bermuatan ideologi neoliberalisme yang sangat sarat dengan konsep-konsep globalisasi dan menggunakan moda teknologi informasi masif seperti media elektronik internet blogs yang berdaya jangkau lintas ruang dan waktu.
Kedua pihak yang berseteru dapat dikatakan membangun simulacra-simulacra yaitu sesuatu yang berdiri sendiri dan muncul tanpa memiliki konteks sejarah awalnya. Para rimbawan dalam menetapkan kawasan hutan misalnya, banyak ditemukan melakukannya hanya di atas meja tanpa melakukan penelitian lapangan sehingga banyak kawasan hutan yang ditetapkan ternyata tidak berhutan lagi atau sudah berupa perkotaan. Para pihak yang menchallenge rimbawan juga membangun simulacra dalam menyebarkan konsep illegal logging nya seperti para blogger yang bukan berlatar belakang kehutanan namun aktif berkampanye masalah lingkungan hanya berdasarkan referensi informasi digital pula meski selalu memiliki pesan-pesan humanis lingkungan yang dikemas secara rapih didistribusikan dalam media yang menggunakan teknologi informasi masa kini yang sangat masif dan berdaya sebar sangat cepat dalam jumlah yang sangat besar pula dengan biaya sangat murah di internet. Kesimpulan ketiga, adalah dengan menjelaskan kalau relasi serta koalisi para pihak terbentuk setelah mencatat dan merangkum hasil diskusi dari proses diskursus yang diangkat oleh dua pertanyaan penelitian sebelum ini, yaitu koalisi terbentuk sebagai wujud pengejawantahan dari persaingan usaha skala global dimana kedua koalisi adalah para pihak yang ingin memperebutkan akses penguasaan sumber daya hutan untuk tetap dimanfaatkan sebagai usaha berbasiskan kepentingan ekonomi.
Koalisi pertama adalah para pihak yang menganggap Adelin Lis sebagai pengusaha resmi memiliki izin sah dan hanya melakukan pelanggaran administratif karena yang didakwakan masih berada dalam wilayah kerja sesuai izinnya, sedangkan koalisi kedua tetap menganggap Adelin Lis melakukan tindak pidana illegal logging karena tetap dianggap merusak hutan yang dikelolanya. Dari perspektif Antropologis dapat disimpulkan akhirnya kalau koalisi pertama adalah pihak yang mempertahankan interest positivis legalistik, sedangkan koalisi kedua adalah pihak yang berpedoman pada interest post-konstruktivis legalistik.

This research is about a social problem where certain parties systematically challenging the existing forestry legal system in particular on illegal logging issue raised out of a legitimate and licensed businessman (Adelin Lis) being prosecuted on a case within his own concession in North Sumatera. This problem discovered in the reform era, where there are concerns and dissatisfactions among group of parties towards the existing forestry legal and management system as well as practices.
To explain the research problem clearly, the purpose of this research are first, to understand how the discourse battle on illegal logging could end up having at least two definitions; as an administrative or civil case but also as a criminal case. Then the subjects of this research are foresters and parties or inviduals that challenged them. Secondly, there are global content within the concept used by the parties that challenged the existing forestry legal system so the next purpose of the research is to find out how those global content concept that are brought up actually have economic purposes. Thirdly, the expansion of specialization of Anthropology discipline are very dynamic, one of which is discourse analysis. So another purpose of this research is to show how important Anthropology towards discourse analysis specialization, and vice versa how important is discourse analysis towards Anthropology in general. Lastly, would be the practical purpose of this research, that is how variation of illegal logging interpretation is actually an expression of good intentions by all parties involved in this battle, that people of the world are more and more concerns about environment and how forest resources in particular needs to be managed more wisely for the sake of future generations.
The two main conceptual framework are discourse analysis and discursive legitimacy which has neoliberalism ideology content (Humphreys, 2009). Understanding both concepts would be the criteria to guide me to search deeply into collecting primary data, reconstructing Adelin Lis court trial and gathering other secondary data on illegal logging by making sure that information I collected are indeed discursive legitimacy material. The research findings are, first, the illegal logging discourse battle is between those using existing forestry legal system such as Sustainable Forest Management (PHPL) and Indonesian Selective Cutting and Planting System (TPTI) that I consider as using formal scheme as their reference base, against those using global concept such as biodiversity, sustainable development and governance (Arts and Buizer, 2009) or using non formal scheme as their reference base, in managing forest resource as well as forest law enforcement.
Those using existing forest legal system as reference base strongly describe that illegal logging is strictly for illegal offenders that do not have a single license at all, while the challengers think that illegal loggers are described as for anyone who destroys forest including license holder or concession owner. Second finding is, beside in depth interviews illegal logging discourse constructions in Adelin Lis case are done through two processes, one is reconstructing court trial proceedings, and two is collecting discourses from media in particular electronic blogs.
Both parties involved in the battle constructed simulacra. Foresters for example created forest land use mapping out of a simple desktop without going into the field, therefore the reference maps used in the existing forestry legal system can be easily challenged. On the other hand, bloggers that happen to be the challengers do not have any forestry basic knowledge whatsoever, are broadcasting their discourses on webs based only on electronic references collected digitally as well. The digital discourses presented are professionally packaged filled with popular humanistic and green messages. The third or last finding is, new power relation and coalition formed from the whole research proceedings. All parties involved in the battle agreed that the entire discourse of illegal logging have economic purposes.
The first coalition describes Adelin Lis, a legitimate licensed businessman, only conducted an administrative offense since the case against him were carried out within the boundary of his concession. While the second coalition describes Adelin Lis conducted a criminal offense, eventhough he is a licensed businessman but he is destroying the forest. In an Anthropological prespective, the first coalition is considered to be the positive-legalist interests, while the second coalition is the post constuctive-legalist interests.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
D1331
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Banjarbaru, Kalimantan Selatan: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) , 2001
634.98 QUO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Adri
"Maraknya illegal logging di Indonesia dari tahun 1999-2005, oleh berbagai kalangan diduga sebagai akibat dari aparatus negara yang korup, keterlibatan polisi dan militer, lemahnya penegakan hukum, tingginya kebutuhan kayu dunia, peraturan yang tumpah tindih, krisis ekonomi, industri perkayuan yang kelebihan kapasitas, dan otonomi daerah dan desentralisasi. Pada banyak kejadian illegal logging di Indonesia, berbagai penyebab diatas memiliki bukti-bukti yang kuat. Namun aktivitas illegal logging menjadi unik jika menengoknya di daerah Badau dan Lanjak yang berbatasan dengan Serawak ? Malaysia.
Kecamatan Badau dan Lanjak merupakan daerah yang mayoritas warganegara Indonesia di sini ialah Orang Iban atau Dayak Iban yang secara etnis merupakan bagian dari etnis yang sama dengan warga negara Malaysia di Serawak yang keduanya hanya dipisahkan oleh garis di peta ketika Indonesia dan Malaysia menjadi negara modern sejak jaman kolonialisme Belanda dan Inggris hingga sekarang ini. Dalam dugaan saya aspek sentimen identitas etnis dan sentimen identitas lainnya memiliki peran yang cukup besar dalam fenomena illegal logging di dua kecamatan ini.
Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, melalui tesis ini saya mengungkap bagaimana identitas warganegara Indonesia dari etnis Iban di Badau dan Lanjak dimanfaatkan oleh berbagai pihak dalam menjalankan praktik illegal logging. Identitas dalam tesis ini utamanya mengacu pada keibanan, namun kedayakan, ke Indonesiaan, kemalaysiaan dan kekatolikan mereka tidak bisa dihindari dalam pembahasannya. Semua digunakan secara bergantian, cair dan cerdik dalam berbagai relasi kepentingan, tergantung situasi dan konteks dari relasi tersebut. Sedangkan illegal logging mengacu pada praktik ekstraksi sumber daya hutan yang menurut definisi negara melanggar peraturan perundangan. Illegal logging di perbatasan Indonesia- Malaysia bersifat frontiers yang berlangsung tidak saja dalam kondisi pengaburan hukum [deregulated] yang menghasilkan pembingungan [confused], tapi juga ada situasi dimana orang tahu bahwa itu salah dan melanggar hukum, namun tidak ada yang melihat dan mampu menyelesaikan dan tidak juga mempunyai solusinya sehingga seolah semua membiarkan itu terjadi [complicity]. Illegal logging tidak cukup dijelaskan dan diselesaikan dengan pendekatan hukum negara yang menyeragamkan problem perbatasan negara dengan daerah Indonesia lainnya dengan menggunakan sisi represif dan koersif negara semata, tapi dia juga menyangkut soal the art of governing dan relasi etnis dan nasionalisme orang perbatasan. Di Perbatasan, negara sebagai the art of governing ini lemah kehadirannya yang tercermin dari keberadaan nya dalam bentuk basic services menyangkut kesejahteraan warga negaranya. Keindonesiaan menjadi lemah posisinya dalam kehidupan Orang Iban di perbatasan. Kekosongan ini yang kemudian ditingkahi oleh kehadiran Malaysia melalui relasi ekonomi dasar, relasi sejarah etnisitas, dan cukong kayu. Pertautan kepentingan ini yang dimanfaatkan dengan cerdik dan sangat strategis oleh cukong kayu untuk menjalankan dan melanggengkan praktik illegal logging di Badau dan Lanjak. Namun tidak berarti Orang Iban di perbatasan adalah bodoh, tertipu oleh kelabaan dari relasi dengan cukong kayu, tidak patuh hukum, tidak cinta Indonesia, atau mereka secara bulat telah menjadi Malaysia. Keterlibatan mereka dalam illegal logging merupakan pilihan strategis atas berbagai pertimbangan masak, melalui proses kreatif dan cerdik. Meski dalam idealnya ?hutan merupakan ibu bagi Orang Iban? namun dalam situasi kongkrit yang dihadapi sehari- hari, hutan sebagai identitas keibanan ini untuk sementara menjadi kurang strategis bagi masa depan mereka. Keindonesiaan untuk berbagai alasan terpaksa dikebelakangkan untuk sementara waktu demi kelangsungan dan eksistensi kemanusiaan yang mereka inginkan.

Corrupted state apparatus, militairy and policeman involvement, the raise of world market demand on ; , the weak of law enforcement, economic crises, over capacity of timber industries, and decentralization always used to explain on how and why illegal logging sustained in Indonesia from 1999-2005. It is easy to proved that this explanation have their own evidence. But it may be very different if we explained illegal logging phenomenon in Indonesia-Malaysia borderland area at Badau and Lanjak District.
At this two-district inhabitant by Iban ethnic, which is also inhabitant Serawak in Malaysia. This ethnic life their live at the same area but separated by the only a line on the map and by the modern state since British and Dutch colonialism. In my point of view, identity sentiment such as ethnicity, language, religiousity, and nationalism play important role in continuity of illegal logging at this area. From my point of view and according my own work experience in illegal logging issues, the aspect of identity play an important role.
Through these theses, I tried to cover up and explain on how the illegal logging actors used and manipulated the aspect of identity in conducting their activity at Indonesia-Malaysia borderland areas. This research conducted based on qualitative approach. Identity refers to Ibanesse in terms of ethnicity as an aspect of identity. But in fact I cannot avoid their indonesianess as nationalism, their language, and catholicism as part of their identity and ibanesse. All aspect of its identity used and played inter-changebly, fluid and in a strategic way to represent their interest, by borderlanders inter-changebly, depend on contemporary situation and context. However, illegal logging refers to timber logging practices in the forest that is against the state law and regulation.
Illegal logging is a frontiers not just a situation where law and regulation are deregulated and it?s create confused, but also complicity where people sound like have no choices and solution to solve the problem exist in society, even their know it is against the law and regulation. Illegal logging can not be stopped by the presentation of the coercive and repressive aspect of state through its regulation and militairy apparatus, but also by representation of the state as the art of governing, where the state have an obligation to provide their citizen not just in term of sovereignty, but also in term of prosperity [basic services]. In this senses, Indonesia at the borderland area sound like stateless representation. This statelessness fulfill by Malaysia and illegal loggers and timber baron. In conducting their illegal logging practices and its sustainability, timber baron consider the aspect of identity and its sentiment seriously. At the other site Indonesia as the state who tried to construct Indonesia amongst borderlanders considered it unseriously. That is the why illegal logging still exist and sustained."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T 22768
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wangke, Humphrey
"ABSTRAK
Pembalakan liar tidak dapat dipisahkan dari keberadaan masyarakat lokal yang telah lebih dahulu tinggal di kawasan daripada berdirinya Taman Nasional Kutai tahun 1995. Pembalakan liar ini melibatkan berbagai pihak baik masyarakat lokal, para pejabat pemerintah daerah maupun oknum TNI/Polri. Akibatnya, kerusakan TNK semakin parah dan mengancam keanekaragaman hayati serta keberlanjutan taman nasional tersebut. Untuk mengatasi masalah itu, penelitian ini fokus pada model kemitraan yang dapat digunakan untuk menanggulangi pembalakan liar di TNK agar keanekaragaman hayati yang dimilikinya dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menekankan pada aspek penanggulangan pembalakan liar melalui penerapan model kemitraan antara Balai TNK dan masyarakat lokal. Observasi, wawancara, dokumen resmi, foto, rekaman, gambar dan percakapan informal merupakan sumber data dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa model kemitraan antara Balai TNK dan masyarakat lokal, serta melibatkan pemerintah kabupaten Kutai Timur, perusahaan, perguruan tinggi dan LSM belum pernah dipraktikkan di TNK sehingga memiliki potensi menjadi sarana untuk mengintegrasikan konservasi dan pembangunan dalam pengelolaan TNK agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
ABSTRACT
Illegal logging is in fact inseparable from the existence of the local community who had previously lived in the area long before the establishment of Kutai National Park as a new institution established by the government in 1995. Illegal logging involves significantly different stakeholders from the local community, local government officials as well as the Armed Forces/Police. As a result, the breaking down of Kutai National Park is getting worse as well as threatening the biodiversity and sustainability of the area. In order to address the problem, this study focuses on a partnership model that can be used to tackle illegal logging in KNP so that its biodiversity can be utilized sustainably. The nature of this research is using qualitative approach which emphasizes on illegal logging controlling aspects through the implementation of partnership model between KNP Authority and local community. Observations, interviews, official documents, photographs, recordings, pictures and informal discussions are the sources of data in this study. The results of this study found that the partnership model between KNP Authority and local communities, as well as the involvement of the government of East Kutai Regency, companies, college and NGOs has not been exercised in Kutai National Park, therefore it has the potential to be a means to integrate conservation and development in the management of KNP for sustainable utilization."
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri B. Praptadina
"Skripsi ini membahas tiga permasalahan. Pertama, bagaimana perumusan tindak pidana pembalakan liar di Indonesia. Kedua, apakah makna unsur "terorganisasi" dalam UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ketiga, bagaimana penerapan unsur "terorganisasi" dalam kasus-kasus faktual yang ada saat ini. Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang dipadu dengan penelitian lapangan, penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apakah makna dari dicantumkannya unsur "terorganisasi" dalam UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar serta bagaimana penerapan unsur tersebut di dalam kasus kasus yang terjadi saat ini. Pembahasan mengenai unsur "terorganisasi" tidak dapat dipisahkan dari kejahatan terorganisasi yang memiliki indikator khusus didalamnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa unsur "terorganisasi" yang dimuat dalam UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar bertujuan untuk memberantas kejahatan terorganisasi, yang mana indikator mengenai kejahatan terorganisasi ini telah diatur di dalam UN Transnational Organized Crime. Terakhir, indikator-indikator yang menjadi syarat terpenuhinya unsur "terorganisasi" tersebut belum dipertimbangkan di dalam kasus-kasus faktual terkait pembalakan liar sehingga tujuan awal pembentukan Undang- Undang tersebut belum terwujud.

This thesis mainly discusses about three problems. First, how did the criminal act of illegal logging formulated in Indonesia. Second, what is the meaning of organized elements in Law No. 18/2013 on The Prevention and Eradication of Forest Destruction. Third, how the implement of organized elements in factual cases nowadays. By combining the literature research method of the field method, this thesis aim to know about what the meaning of the inserted of organized elements in Law No. 18/2013 on The Prevention and Eradication on Forest Destruction and also how the implement of that element in illegal logging cases. Organized elements cannot be separated from organized crime, which has two specific indicators. This thesis concluded that organized elements which inserted on Law No. 18/2013 on The Prevention and Eradication of Forest Destruction aim to eradicate the organized crime in forest section. The indicators of organized crime has regulated in UN Transnational Organized Crime Convention. Last, the indicators of organized elements have not been considered comprehensively in illegal logging cases, therefore the first goals of Law No. 18/2013 is unattainable.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S59989
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilipaly, Nicholas A.
"ABSTRAK
Hukum tertulis berupa peraturan perundangan-undangan dibentuk oleh Pemerintah RI untuk menjamin kepentingan umum di sektor kehutanan berupa kewajiban hukum bagi setiap orang yang melakukan pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan negara sebagai sumber penerimaan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (keuangan publik). Apabila dalam pelaksanaannya, orang tersebut tidak melakukan kewajiban hukum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka orang tersebut telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum yang disebut illegal logging. Dampak ekonomi dari illegal logging adalah dapat merugikan keuangan publik. Konsepsi illegal logging belum dikenal dalam hukum tertulis di Indonesia. Untuk itu, teori mengenai cara-cara menafsirkan perundang-undangan digunakan untuk menafsirkan perbuatan illegal logging menurut substansi peraturan perundang-undangan yang khususnya mengatur aktivitas di sektor Kehutanan. Konsepsi hukum keuangan publik di Indonesia belum sesuai dengan konsepsi hukum dan lingkungan kuasa hukum yang berlaku pada umumnya sehingga dapat menimbulkan kerancuan hukum. Hal ini dapat dilihat pada konsepsi hukum mengenai keuangan negara menurut UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang membatasi lingkup keuangan negara hanya pada penerimaan keuangan oleh Pemerintah Pusat. Sedangkan konsepsi hukum keuangan negara menurut UU khusus yakni UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, bahwa keuangan negara termasuk penerimaan negara dan penerimaan daerah (keuangan publik). ltu berarti dapat diinterpretasikan, bahwa semua bentuk penerimaan keuangan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah termasuk keuangan negara. Dengan demikian, apabila kita mengikuti konsepsi hukum keuangan negara menurut UU Keuangan Negara, maka segala bentuk penerimaan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang bersumber dan kewajiban hukum di sektor kehutanan termasuk ke dalam keuangan negara. Untuk itu, mengenai sanksi hukum keuangan publik kepada pelaku illegal logging dilakukan dengan menafsirkan asas dan kaidah hukum keuangan negara (Pemerintah Pusat) dan kerugian keuangan negara, serta keuangan daerah (Pemerintah Daerah) dan kerugian keuangan daerah yang terdapat dalam hukum positif di Indonesia berupa peraturan perundangundangan yang berlaku. Dengan demikian, teori tentang berlakunya perundang-undangan digunakan untuk menafsirkan berlakunya sanksi hukum keuangan publik kepada pelaku illegal logging.

ABSTRAK
Written law in the form of legislations were formed by Indonesia Government to protect and guarantee public interest in forestry sector, thus it is an obligation for all parties which involve in using forest resource as source of income to follow the legislation since forest resource contribute to state and province income (public financial). Incompliance to the legislation in effect will result in sentence of illegal logging. The economic impact of illegal logging is public financial loss. Illegal logging concept is not known in Indonesia?s written law, therefore the theory on how to interpret legislation is used to interpret illegal logging action as define and specify in forestry sector legislation. The public finance law concept is not inline with generally practice law, therefore it might cause misinterpretation. This can be observe by referring to legislation No. 20 year 1997 regarding non tax state income which limit state finance to receivable from central government, whilst state finance law concept according to special legislation No. 17 year 2003 says that state finance receivable comes from both central government and province government. Thus it can be interpreted that all forms of finance received by central and province government are state receivable. Therefore if we follow state finance law concept according to state finance legislation, all finance receivable by central and province government that comes from forestry sector will be included in state finance. Thus the law sanction given to illegal logging doer is done by interpreting state finance law, state finance loss and province financial loss. Thus the elaborated theory on legislation that should be used to interpret state finance law to illegal lodger.
"
2007
T19603
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Julius Rafles
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai pengaruh pemberlakukan The Lacey Act terhadap
ekspor hasil hutan terutama dari Indonesia ke Amerika Serikat. Ketentuan The
Lacey Act yang bam tersebut merupakan salah satu usaha Pemerintah Amerika
Serikat untuk memberantas kegiatan Illegal logging. Dalam ketentuan The Lacey
Act tersebut, setiap pelaku usaha yang akan memasukkan produk hasil hutan dan
turunannya ke Amerika Serikat harus membuat pernyataan bahwa produk hasil
hutan tersebut bukan berasal dari illegal logging ataupun sumber-sumber yang
tidak sah. Dokumen yang digunakan untuk melakukan ekspor ke Amerika Serikat
tidak dapat dijadikan pegangan atas legalitas produk hasil hutan sehingga
dokumen-dokumen tersebut dianggap tidak sah atau tidak berlaku. Hal ini dapat
menjadi hambatan dalam perdagangan hasil hutan ke Amerika Serikat, karena
setiap saat Pemerintah Amerika Serikat dapat melakukan penahanan ataupun
penyitaan terhadap produk-produk hasil hutan impor yang masuk ke negaranya
mengingat tidak ada satu dokumen pun yang dapat di gunakan untuk menunjukkan
legalitas atas produk impor tersebut. WTO melarang anggota-anggotanya untuk
mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam negeri yang dapat menghambat
perdagangan internasional. Kebijakan The Lacey Act yang ingin memberantas
kegiatan Illegal Logging secara global tidak tepat diberlakukan pada setiap produk
impor Amerika, karena illegal logging diduga terjadi di dalam negeri negara
pengekspor. Pemberantasan illegal logging akan lebih tepat bila pemerintah
Amerika Serikat mengadakan kerjasama dengan pemerintah negara-negara yang diduga terjadi illegal logging.

Abstract
This thesis is discussing about the implementation effect of The Lacey Act
towards the export of forestry products from Indonesia to the United States. The
provisions of the new Lacey Act constitute as one of the efforts of the
Government of the United States for eliminating the Illegal Logging activities. In
the provisions of The Lacey Act every business actor that shall export the forestry
products and its derivatives to The United State must prepare a statement that such
forestry products are not originated from illegal logging or other illegal sources.
The document to be used for performing export to the United States cannot be
used as guidance upon the forestry product legality, consequently such documents
are considered as illegal or not applicable. This matter may become as an obstacle in the trading of forestry products to The United States, since at any time the Government of the United States may perform detention or seizure towards the imported forestry products to its country
the by considering that there is no document
can be used to indicate the legality of such imported products. WTO forbids its
members to issue internal policies that may hinder the international trade policy of
The Lacey Act intended for eliminating the Illegal Logging activities, which
globally is not fit to be applied to every American imported product since illegal
logging is allegedly happened in the exporter country. The elimination of illegal
logging shall be more effective if the Government of the United states establishes
cooperation with the government of the countries where illegal logging is
allegedly happened."
2010
T27935
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nando Nicolas Shristian
"ABSTRAK
Maksud utama penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana seharusnya cara penerapan pasal yang akan disangkakan atau di dakwakan ketika ada perbuatan pidana di bidang kehutanan, apakah menggunakan delik di Undang-Undang Korupsi atau delik di Undang-Undang Kehutanan. Selain itu akan dianalisis apakah memang Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersifat eksklusif mengingat adanya pasal 14 pada Undang-Undang tersebut atau sebenarnya pasal 14 sendiri tidak menghalangi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diterapkan pada Kejahatan di bidang kehutanan yang merugikan keuangan negara. Proses penegakan hukum yang setengah hati menyebabkan hanya pelaku lapangan yang mendapat hukuman, sedangkan pemain kelas kakap dari bisnis illegal logging belum tersentuh oleh hukum. Dengan adanya aparat penegak hukum yang korup. Simbiosis antara korupsi dan illegal logging mengakibatkan kerugian negara tidak hanya dari aspek ekonomi, namun juga mencakup aspek-aspek yang lain seperti sosial dan lingkungan."
2011
T29254
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dila Romi Aprilia
"Banyak pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat sehingga menimbulkan kerusakan hutan yang salah satunya adalah illegal logging. Tindak pidana illegal logging sangat marak di Indonesia dan melibatkan banyak pelaku dan merupakan tindak pidana yang rapi dan terorganisasi. Hal mendasar yang menyebabkan sulitnyamemberantas illegal logging adalah karena illegal logging adalah termasuk kategori 'kejahatan terorganisasi'. Oleh karena itu adanya kebijakan hukum pidana yang tegas mengatur dan penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging perlu diwujudkan. Kebijakan hukum pidana yang diterapkan dalam rangka penanggulangan dan penegakan hukum tindak pidana illegal logging diatur dan dirumuskan dalam ketentuan perundang-undangan pasal 50 dan pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, namun mengenai definisi yang dimaksudkan dengan illegal logging tidak dirumuskan secara limitatif sehingga banyak para praktisi hukum yang menafsirkan illegal logging sendiri-sendiri. Mengenai ancaman pidana yang dikenakan adalah pidana pokok yakni penjara dan denda, pidana tambahan berupa perampasan hasil kejahatan dan atau alat-alat untuk melakukan kejahatan, ganti rugi serta sanksi tata tertib. Kebijakan hukum tindak pidana illegal logging dan penerapan sanksinya dirasakan tidak memenuhi aspek kepastian dan keadilan. Hal ini terlihat dalam kasus illegal logging yang terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Blora dan Bojonegoro. Oleh karenanya selain kebijakan hukum pidana dibutuhkan pula penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging yang dilakukan melalui sistem peradilan pidana. Sistem Peradilan Pidana terdiri dari komponen antara lain kepolisian, PPNS kehutanan, Kejaksaan, Kehakiman dan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam prakteknya proses penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging sangat lemah. Salah satu faktor lemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging ditandai dengan penanganannya yang tidak integral (menyeluruh) karena pelaku intelektual yang berkaitan langsung seperti pemodal, pemesan, pengirim, pemalsu dokumen, sawmill yang berperan sebagai penghubung jarang sekali dipidana dan hanya orang-orang lapangan saja yang dipidana. Selain itu banyak faktor yang menyebabkan lemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging sehingga hal tersebut menjadi kendala dalam dalam penegakan hukum.

The wealth of forests is a gift and trust from God Almighty that is priceless. Therefore, forests must be managed and be best utilized by noble character as the embodiment of worship and gratitude to God Almighty. Forests are many benefits to the sustainability of human life and other living creatures. One benefit is the direct result of forest wood that has high economic value. Timber is harvested and then used by the community. Utilization of wood should be based on permission from the Ministry of Forestry. But in reality there are many violations committed by the community, causing damage to the forest, one of which is illegal logging. Crime is rampant illegal logging in Indonesia and involves many actors and a crime is neat and organized. The basic thing that it is difficult to eradicate illegal logging is due to illegal logging is categorized as "organized crime". Therefore the policy of strict criminal laws regulating and enforcing criminal laws against illegal logging needs to be realized. Criminal law policy adopted in the framework of prevention and criminal law enforcement of illegal logging is regulated and defined in the statutory provisions of article 50 and article 78 of Law No. 41 of 1999, but the definition is meant by illegal logging limitatif formulated not so much legal practitioners who interpret their own illegal logging. Regarding the penalty imposed is the principal criminal imprisonment and fines, an additional penalty of deprivation of proceeds of crime and the or tools to do the crime, compensation and discipline sanctions. Criminal law policy of illegal logging and the application of sanctions does not meet the perceived certainty and fairness aspects. This is seen in cases of illegal logging that occurred in the District Court jurisdiction Blora and Bojonegoro. Therefore in addition to criminal law policy also required law enforcement against illegal logging crimes committed through the criminal justice system. The Criminal Justice System consists of components such as police, investigators forestry, Attorney, Justice and Correctional Institutions. In practice the process of criminal law enforcement against illegal logging is very weak. One of the weak enforcement of laws against illegal logging crimes marked with handling that is not integral (holistic) as intellectual actors who are directly related to such investors, buyers, shippers, document forgers, which acts as a liaison sawmill rarely convicted, and only those field are convicted. In addition, many factors that led to weak law enforcement against illegal logging crimes so they are a constraint in law enforcement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T29475
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>