Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 210123 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ferdi Afian
"Latar belakang: Tekanan darah tinggi diantara pilot sipil akan menyebabkan gangguan kardiovaskular sehingga akan mengganggu kelangsungan dan kelancaran penerbangan serta bagi perusahaan maskapai juga akan kekurangan pilot. Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui faktor-faktor dominan terhadap tekanan darah sistolik tinggi pada pilot sipil.
Metode: Penelitian potong lintang dengan metode sampling purposif pada pilot yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan pada tanggal 18-29 Mei 2015. Data dikumpulkan dengan menggunakan formulir khusus untuk penelitian ini. Data yang dikumpulkan adalah karakteristik demografi dan pekerjaan, klinis, kebiasaan olahraga, kebiasaan makan, indeks massa tubuh dan riwayat penyakit. Tekanan darah sistolik tinggi ialah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg.
Hasil: Dari 690 pilot yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala, 428 pilot laki-laki bersedia berpartisipasi mengikuti penelitian ini. Usia dan riwayat penyakit hipertensi merupakan faktor risiko dominan yang berhubungan dengan tekanan darah sistolik tinggi. Jika dibandingkan dengan pilot usia 19-39 tahun, yang berusia 40-65 tahun mempunyai 15,1 kali lipat lebih besar risiko terkena tekanan darah sistolik tinggi [rasio odds suaian (ORa)= 15,12; p= 0,001]. Pilot dengan riwayat penyakit hipertensi dibandingkan dengan yang tidak ada riwayat memiliki risiko tekanan darah sistolik tinggi 93,2 kali lipat lebih besar (ORa= 93,21; p= 0,001).
Kesimpulan: Usia 40-65 tahun dan memiliki riwayat hipertensi meningkatkan risiko tekanan darah sistolik tinggi di antara pilot sipil di Indonesia.

Background: High blood pressure among civilian pilot will cause cardiovascular disease and this condition will disrupt the flight and for the airline company will have problem with pilot shortage. The purpose of this study was to identified the dominant factors related to high systolic blood pressure on the civilian pilot.
Methods: A cross-sectional study with a purposive sampling method on a pilot who perform periodic medical examinations in the Civil Aviation Medical Center on 18 to 29 May 2015. Data were collected using a special form for this study. The data collected were demographic and job characteristics, clinical, exercise habits, eating habits, body mass index and history of the disease. High systolic blood pressure is systolic blood pressure ≥ 140 mmHg.
Results: Of the 690 pilots who conduct periodic health examinations, 428 male pilots willing to participate to follow this study. Age and history of hypertension is the predominant risk factor associated with high systolic blood pressure. When compared with the pilot age 19-39 years, 40-65 years old have a 15.1-fold greater risk of high systolic blood pressure [odds ratio (adjusted ORa)= 15.12; p= 0.001]. Pilot with a history of hypertension compared to those without a history of having high systolic blood pressure risk 93.2 times larger (ORa= 93.21; p= 0.001).
Conclusion: Age of 40-65 years and had history of hypertension increased the riskj of systolic blood pressure among civilian pilot in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hesty Ghaits Mubarrok
"Hipertensi Sistolik Terisolasi (HST) didefinisikan sebagai kondisi dimana tekanan darah sistolik ≥140 mmHg sedangkan tekanan darah diastolik < 90 mmHg. HST dinilai sebagai fenomena penuaan, merupakan jenis hipertensi paling berbahaya karena berespon lemah terhadap obat antihipertensi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktorfaktor yang berhubungan dan faktor dominan yang berhubungan dengan HST, dengan desain penelitian cross-sectional. Data yang digunakan yaitu Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 dengan sampel sebesar 18.599 (HST dan normal) serta subjek yang HST yaitu 1.471, dan dianalisis menggunakan uji chi-square dan regresi logistik. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat 7,9% sampel yang mengalami hipertensi sistolik terisolasi (HST), dengan 85% sampel mengalami HST derajat I, 12,8% HST derajat II, dan 8,8% HST derajat III; terdapat hubungan signifikan antara umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, status perkawinan, obesitas, obesitas sentral, stres psikologis, diabetes mellitus, konsumsi makanan asin, konsumsi makanan berlemak, dan aktivitas fisik terhadap kejadian HST, serta tidak ada hubungan antara konsumsi buah, konsumsi sayur, kebiasaan merokok dengan kejadian HST di Indonesia pada tahun 2018. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tingkat pendidikan menjadi faktor dominan kejadian HST di Indonesia, yang mana orang yang tidak bersekolah berisiko 2,14 kali lebih tinggi mengalami HST jika dibandingkan dengan orang yang berpendidikan rendah dan menengah-tinggi setelah dikontrol oleh variabel kebiasaan merokok sebagai cofounder.

Isolated Systolic Hypertension (ISH) is defined as a condition where the systolic blood pressure is ≥140 mmHg while the diastolic blood pressure is <90 mmHg. ISH is considered a phenomenon of aging, is the most dangerous type of hypertension because it responds weakly to antihypertensive drugs. The aim of this study was to determine the associated factors and dominant factors associated with ISH, with a cross-sectional research design. The data used was Basic Health Research (Riskesdas) in 2018 with a sample of 18,599 (ISH and normal) and 1,471 subjects with ISH, and analyzed using the chi-square test and logistic regression. The results of this study showed that 7.9% of samples experienced isolated systolic hypertension (ISH), with 85% of samples experiencing grade I ISH, 12.8% grade II ISH, and 8.8% grade III ISH; there is a significant relationship between age, gender, education level, employment status, marital status, obesity, central obesity, psychological stress, diabetes mellitus, consumption of salty foods, consumption of fatty foods, and physical activity on the incidence of ISH, and there is no relationship between consumption of fruit, vegetable consumption, smoking habits with the incidence of ISH in Indonesia in 2018. The conclusion of this research is that the level of education is the dominant factor in the incidence of ISH in Indonesia, where people who do not go to school have a 2.14 times higher risk of experiencing ISH when compared with people those with low and medium-high education after controlling for the smoking habit variable as a confounder."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ainil Mardiah
"Latar Belakang: Kontrol tekanan darah lebih buruk pada pasien hipertensi dengan sindrom metabolik. Lingkar leher telah diperkenalkan sebagai salah satu indikator obesitas sentral dan adipositas tubuh bagian atas. Tidak seperti lingkar pinggang, lingkar leher tidak dipengaruhi oleh pergerakan pernapasan dan distensi abdominal postpandrial. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti lebih lanjut hubungan lingkar leher dengan tekanan darah pada populasi dewasa.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 94 subjek berusia > 18 tahun. Dilakukan pengambilan data lingkar leher dan tekanan darah bersamaan dengan kadar trigliserida, kolesterol-HDL, dan glukosa darah puasa.
Hasil: Rerata lingkar leher subjek 33.89 cm. Tekanan darah sistolik dan diastolik subjek didapatkan retata 131.63 + 13.16 mmHg dan 84.26 + 8.01 mmHg. Pada analisis korelasi Pearson, ditemukan korelasi positif yang signifikan antara lingkar leher dengan tekanan darah sistolik (r = 0.438, p < 0.001), dan tekanan darah dastolik (r = 0.385, p < 0.001).
Kesimpulan: Lingkar leher secara signifikan berkorelasi dengan tekanan darah sistolik dan diastolik pada populasi dewasa.

Background: Blood pressure control is worse in hypertensive patients with metabolic syndrome. Neck circumference has been introduced as an indicator of central obesity and upper body adiposity. Unlike waist circumference, neck circumference neck circumference is not affected by respiratory movements and postprandial abdominal distension. This study aimed to investigate the association between neck circumference and blood pressure among adult population.
Methods: This cross-sectional study was conducted in Faculty of Medicine Universitas Indonesia involving 94 subjects aged > 18 years. Anthropometric, neck circumference and blood pressure data were collected together with triglyceride levels, HDL-Cholesterol, and fasting blood glucose.
Results: The mean of the neck circumference was 33.89 cm. Subject’s systolic and diastolic blood pressure were 131.63 + 13.16 mmHg dan 84.26 + 8.01 mmHg. In a Pearson’s correlation analysis, there were positive significant correlation between neck circumference with both systolic blood pressure (r = 0.438, p < 0.001) and diastolic blood pressure (r = 0.385, p < 0,001).
Conclusion: The neck circumference is significantly correlated with systolic and diastolic blood pressure in adult population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Devrizal Hendry
"Latar belakang: Gangguan pendengaran sensorineural pada pilot merupakan masalah kesehatan yang dapat menyebabkan inkapasitasi pada saat pilot menjalankan tugas terbangnya dan berdampak terhadap keselamatan penerbangan. Tujuan penelitian ini mengidentifikasi jam terbang total dan faktor dominan lainnya terhadap risiko gangguan pendengaran sensorineural di antara pilot sipil di Indonesia.
Metode: Desain penelitian potong lintang dengan purposive sampling pada tanggal 4-20 Mei 2015 terhadap pilot laki-laki berusia 20-60 tahun dan pilot memiliki lisensi Commercial Pilot License (CPL) atau Air Transport Pilot License (ATPL) yang sedang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala (medex) di Balai Kesehatan Penerbangan, Jakarta. Gangguan pendengaran yaitu subyek memiliki ambang dengar 25 dB atau lebih. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara memakai kuesioner. kemudian data diambil dari rekam medis pada hari pemeriksaan. Risiko gangguan pendengaran sensorineural dianalisis menggunakan risiko relatif (RR) dengan regresi Cox.
Hasil: Selama 3 minggu masa pengumpulan data terdapat 681 pilot yang melakukan medex di Balai Kesehatan Penerbangan, didapatkan 314 pilot yang memenuhi kriteria penelitian. Sebanyak 15,9% mempunyai gangguan pendengaran sensorineural. Pilot dengan jam terbang total lebih 5000 jam dibandingkan kurang 5000 jam berisiko gangguan pendengaran sensorineural 4,7 kali lipat [risiko relatif suaian (RRa)=4,73; p=0,137]. Pilot dengan usia 45-60 tahun dibandingkan usia 20-44 tahun berisiko gangguan pendengaran sensorineural 6,8 lipat (RRa=6,87; p=0,000).
Simpulan: Jam terbang total 5000 jam atau lebih serta usia 45-60 tahun meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural pada pilot sipil di Indonesia.

Background: Sensorineural hearing loss in civil pilots could interfere pilots? performance to safely operate an aircraft thus could cause incapacitation on board. This study aimed to identify risk factors of sensorineural hearing loss among civil pilots in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study design with purposive sampling on 4-20 May 2015 was conducted on pilots of the male civilian. The inclusion criteria civilian pilots male 20-60 years old and had Commercial Pilot License (CPL) or Air Transport Pilot License (ATPL) who were taking medical examinations (medex) in Civil Aviation Medical Centre, Jakarta. Hearing impairment defined by hearing threshold of 25 dB or more. Demographic data were collected by interviewed pilots using questionnaires while audiometry and laboratory data were collected from medical records. Risk factors of sensorineural hearing loss were analyzed by Cox regression.
Results: Three weeks collecting data had 681 pilot conducted medex in Civil Aviation Medical Centre, among 314 commercial pilots were fulfilled the criteria?s. Percentage of sensorineural hearing loss from audiometry data were 15.9%. Subjects with 5000 flight hours or more had almost five times increased risk of sensorineural hearing loss compared to subjects with less than 5000 flight hours [adjusted relative risk (RRa) = 4.73; p = 0.137]. Subjects aged 45-60 year-old had almost seven times increased risk of sensorineural hearing loss compared to subjects aged 20-44 year-old (RRa= 6.87; p = 0.000).
Conclusion: Total flight hours 5000 hours or more and age of 45-60 years increased the risk of sensorineural hearing loss among civilian pilots in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Prathama
"Latar belakang: Mata merupakan indera yang sangat penting dalam penerbangan. Salah satu fungsi untuk menentukan perkiraan jarak, sehingga diperlukan fungsi kedua mata yang baik. Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya identifikasi pengaruh jam terbang total terhadap risiko miopia ringan pada pilot sipil di Indonesia.
Metode: Studi potong lintang dengan purposif sampel pada pilot sipil yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan dengan rentang waktu 27 April sampai dengan 13 Mei 2015. Definisi miopia ringan jika mata memerlukan koreksi penglihatan jauh dengan lensa < -3 dioptri. Data karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan diperoleh dari kuesioner. Data tajam penglihatan dan kadar gula darah puasa didapatkan dari rekam medis Balai Kesehatan Penerbangan. Analisis menggunakan regresi Cox dengan waktu konstan.
Hasil: 690 pilot sipil yang melakukan pemeriksaan kesehatan di Balai Kesehatan Penerbangan, 428 subjek bersedia menjadi responden. Subjek terpilih untuk dianalisis berjumlah 413 pilot dan 15 pilot lainnya menderita miopia berat. Dari 413 pilot, 141(34,1%) miopia ringan dan 272 (65,8%) normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi miopia ringan adalah ras, status perkawinan dan jam terbang total secara signifikan. Subjek dengan ras selain Asia dibandingkan dengan ras Asia berisiko 2,1 kali lipat lebih besar menderita miopia ringan [risiko relatif suaian (RRa)=2,19; p=0,030]. Dibandingkan dengan subjek tidak menikah, subjek yang menikah berisiko 3,8 kali lipat menderita miopia ringan (RRa=3,80; p=0,000). Selanjutnya, dibandingkan subjek dengan jam terbang total 16-194 jam, subjek dengan jam terbang total 195-30285 jam mempunyai risiko 4,5 kali lipat menderita miopia ringan (RRa=4,56; p=0,000).
Kesimpulan: Subjek yang menikah, ras non Asia dan yang memiliki 195 atau lebih jam terbang total mempunyai risiko lebih tinggi menderita miopia ringan di Indonesia.

Background: Eye is very important organ in aviation?s operation. One of the functions is to estimate distance where both healthy eyes are needed. The purpose of this study was to identify the influence of total flight hours on the risk of mild myopia among civilian pilots in Indonesia.
Methods: Study design was cross-sectional with purposive sampling among pilots those who got medical examinations at Civil Aviation Medical Center on April 27th - May13th, 2015. Mild myopia is condition the eyes need negatif lens corection for distance visual acuity less than -3 diopters. Demographic characteristic, occupational characteristic, ranking characteristics, and habits were obtained from questionnaire. Visual acuity and fasting blood sugar levels data were obtained from medical records in Aviation Medical Board. Data were analysed with Cox regression.
Resulted: 690 civilian Indonesia?s pilots who conducted medical examination, 428 subjects were willing to participate. Total subjects to be analyzed were 413 pilots and 15 pilots were not involved since severe myopia. Amongst of 413 pilots, 141 (34,1%) mild myopia and 272 (65,8%) normal. Factors influencing mild myopia were race, marital status and total flight hours. Non-Asian subject had 2.1-fold risk of mild myopia compared to Asian race subject [adjusted relative risk (RRa)=2.19; p=0.030]. Subjects who were married had 3.8-fold risk of mild myopia compared with subjects who were not married (RRa=3.80; p=0.000). Subjects who had total flight hours 195-30285 hours had 4.5-fold risk to be mild myopia compared with subjects 194 or less total flight hours (RRa=4.56; p=0.000).
Conclusion: Married subject, non-Asian race and those who have 195 or more total flight hours constitute a higher risk of suffering mild myopia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darma Syahputra
"Latar belakang : Diabetes Mellitus (DM) dapat terjadi pada pilot sipil akan menyebabkan struk dan gangguan kardiovaskular sehingga membahayakan keselamatan penerbangan. Tujuan penelitian ini adalah identifikasi kaitan total jam terbang dan faktor lainnya terhadap DM pada pilot sipil di Indonesia.
Metode : Penelitian menggunakan metode potong lintang dengan sampel purposif pada pilot sipil di Indonesia yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan pada tanggal 26 Mei ? 6 Juni 2015. Pengumpulan data menggunakan formulir kuesioner, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Data yang dikumpulkan adalah karakteristik demografi dan pekerjaan, kebiasaan makan, indeks massa tubuh (IMT) dan kebiasaan olah raga. Kategori Diabetes Mellitus berdasarkan PERKENI.
Hasil: Diantara 690 pilot yang melakukan pemeriksaan medis, 428 subjek bersedia mengikuti penelitian. Subjek yang diikutsertakan dalam analisis sebanyak 292, 10,3% memiliki kadar gula puasa tinggi dan 89,7% memiliki kadar gula puasa normal. Jika dibandingkan subjek dengan jam terbang 16-4999 jam subjek dengan jam terbang 5000-27500 jam mempunyai risiko lebih besar menyandang DM risiko relatif suaian (RRa)=2,86; 95% interval kepercayaan (CI)=1,38-5,94; p=0,005]. Selanjutnya dibandingkan pilot dengan IMT normal, pilot dengan obesitas memiliki risiko lebih besar menyandang DM (RRa=3,29; 95% CI=0,76-14,29; p=0,111).

Background : Diabetes Mellitus (DM) can occur in civilian pilots will lead to a stroke and cardiovascular disorders, endangering flight safety. The purpose of this study was the identification of linkages total flying hours and other factors against the DM at civilian pilot in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study using the method with a purposive sample in civilian pilots in Indonesia, which performs periodic health checks on Flight Health Center on May 26 to June 6, 2015. The data were collected using a questionnaire form, physical examination and laboratory findings. The data collected were the demographic characteristics and work, eating habits, body mass index (BMI) and exercise habits. DM classification based on standard PERKENI.
Results : Among the 690 pilots who conduct medical examination, 428 subjects were willing to follow the study. Subjects were included in the analysis as much as 292, 10.3% had high fasting glucose levels and 89.7% had normal fasting glucose levels. Compare to the pilots with total flight hours 16-4999 hours, pilots total flight hours 5000-27500 had 2.86 higher risk DM [RRa = 2.86; 95% CI = 1.38 to 5.94; p = 0.005]. Furthermore, compared to the pilot with normal BMI, the pilot with obesity had 3.3 higher risk DM (RRa = 3.29; 95% CI = 0.76- 14.29; p = 0.111).
Conclusions: The pilots who had total flight hours 5000 hours or more and obese had higher risk to be DM."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ainina Nur Hazhiyah
"Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik yang telah mencapai 140 mmHg atau lebih tinggi dan/atau tekanan darah diastolik yang mencapai 90 mmHg atau lebih tinggi. Terdapat cara pengobatan penyakit hipertensi, yaitu dengan mengonsumsi salah satu obat yang tergolong kedalam grup calcium channel blockers, yaitu Nifedipin. Nifedipin dalam plasma hanya bertahan selama 2 jam sehingga pasien penderita hipertensi harus mengkonsumsi 10 mg obat tersebut setiap tiga kali sehari, karena bioavailibilitas nifedipin yang rendah dan hanya akan menyebabkan efek toksik jangka panjang, dapat digunakan metode untuk meningkatkan efek pengobatan dan mengurangi efek samping dari obat tersebut, yang dikenal sebagai Controlled Drug Delivery System (CDDS)Controlled Drug Delivery System adalah sistem dimana obat dilepas dengan cara sistematis untuk mempertahankan efek pengobatan dalam tubuh untuk periode waktu yang berkelanjutan. Metode yang dipakai dalam Controlled Drug Delivery System adalah menggunakan teknik mikroenkapsulasi dengan polimer terdegradasi. Mikroenkapsulasi dipengaruhi oleh komposisi kopolimer dan juga berat molekulnya, karena itu pada penelitian ini mikrokapsul nifedipin dibuat dengan polipaduan polimer hidrofob yaitu poli(D,L-asam laktat) (Mw=30.000) dan polimer hidrofil yaitu metil selulosa menggunakan surfaktan Tween 80 dengan metode evaporasi pelarut. Mikrokapsul nifedipin yang didapat, diuji disolusinya dan dikarakterisasi menggunakan instrumentasi SEM, PSA, FTIR, dan Mikroskop Optik. Persen efisiensi enkapsulasi terbaik yaitu pada komposisi PDLLA/MC 90:10 (%w/w) sebesar 92,93%. Hasil uji disolusi menunjukkan bahwa polipaduan dapat menahan obat dan melepaskannya secara terkontrol, persen pelepasan terbesar yaitu 28,86% pada variasi optimum. Hasil karakterisasi PSA pada variasi optimum yaitu 0,23 ± 0,02 Î¼m dengan PDI sebesar 0,31 ± 0,03. Persen padatan optimum yang didapat sebesar 66,54%. Mikrokapsul yang didapat berbentuk spheris, memiliki permukaan yang tipis, dan terdapat lubang saat diamati menggunakan mikroskop optik.

Hypertension is defined when the systolic blood pressure reached 140 mmHg or higher and/or the diastolic blood pressure reached 90 mmHg or higher. There is a way to treat hypertension by taking one of the drugs that are classified into the group of calcium channel blockers, which is Nifedipine. Nifedipine only lasts for 2 hours in the plasma, so patients with hypertension have to consume 10 mg of the drug three times a day because the bioavailability of nifedipine is low and will only causing long-term toxic effects, there is a method that can be used to increase the treatment effect and reduce the side effects of the drug. The method is called the Controlled Drug Delivery System (CDDS). Controlled Drug Delivery System is a system where the drug is released in a systematic way to maintain the effects of treatment in the body. The method used in the Controlled Drug Delivery System is to use microencapsulation techniques with degraded polymers. Microencapsulation is affected by the composition of the copolymer and also its molecular weight, therefore in this study nifedipine microcapsules were made with polyblend of hydrophobic polymer, poly(D,L-lactic acid) and hydrophilic polymer, methyl cellulose using Tween 80 surfactant with the solvent evaporation method. In this study, the composition of PDLLA and methyl cellulose was varied, and the PDLLA used had a low molecular weight of 30,000 Da. The nifedipine microcapsules obtained were tested for dissolution, characterized using SEM, PSA, FTIR, and Optical Microscope instrumentation. The best encapsulation efficiency is in the composition of PDLLA: MC that is 90%: 10% (%w/w) of 92.93%. In the dissolution test, polyblend could hold the drug and release it slowly, the highest percent release is 28.86% at the optimum variation. The results of the PSA characterization at the optimum variation is 0.23 ± 0.02 Î¼m with a PDI of 0.31 ± 0.03. The optimum yield percent of microcapsules is 66.54%. The shape of microcapsules is round, has a thin surface, and has a hole, when characterized by optical microscope."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurita Chairina
"Latar belakang: Lingkungan kerja pilot dengan paparan radiasi kosmik dan hipoksia dapat menyebabkan gangguan metabolisme lemak yang terlihat pada pemeriksaan profil lipid darah. Dislipidemia merupakan faktor risiko utama aterosklerosis yang menyebabkan serangan jantung sehingga dapat mengancam keselamatan penerbangan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor - faktor risiko dislipidemia pada pilot sipil di Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan consecutive sampling pada pilot sipil yang memeriksakan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan. Data profil lipid didapatkan dari pengisian kuesioner. Variabel yang dianalisis adalah jam terbang total, asupan makanan, Indeks Massa Tubuh IMT, kebiasaan merokok, dan latihan fisik.
Hasil: Terdapat 128 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan bersedia mengikuti penelitian. Didapatkan prevalensi dislipidemia 61,7 dengan mayoritas kadar HDL rendah sebesar 57. Faktor - faktor dominan yang berhubungan dengan dislipidemia adalah obesitas dan asupan makanan tidak sesuai. Pilot sipil dengan asupan makanan tidak sesuai meningkatkan risiko dislipidemia sebesar 2x lipat dibandingkan pilot sipil dengan asupan makanan sesuai OR= 2,44; IK 95 = 1,15 - 5,18; p= 0,02. Jika dibandingkan dengan pilot sipil dengan IMT normal, pilot obese berisiko 4x lipat terjadi dislipidemia OR= 4,21; IK 95 = 1,48 - 11,99; p= 0,007.
Simpulan: Asupan makanan tidak sesuai dan obesitas berhubungan dengan terjadinya dislipidemia pada pilot sipil di Indonesia.

Background: Pilot's occupational environment with cosmic radiation and hypoxia exposure can influence lipid metabolism which reflected in blood lipid profile. Dyslipidemia is the main risk for atherosclerosis that lead to heart attack which can threats flight safety. The purpose of this study was to identify associated risk factors for dyslipidemia among civilian pilot in Indonesia.
Methods: This was cross - sectional study using consecutive sampling among civilian pilots who went to periodic medical check - up in Balai Kesehatan Penerbangan. Blood lipid profiles data was obtained from questionnaire. Variables that went into analyze are total flight hours, food intake, Body Mass Index BMI, smoking habit, and physical activity.
Results: There were 128 respondents who met the inclusion criteria and willing to participate. The dyslipidemia prevalence was 61,7 with low - HDL index was the highest up to 57. Obesity and inapproriate food intake were dominant risk factors that associated with dyslipidemia. Civilian pilots with inapproriate food intake compared with those who had appropriate food intake had 2 - fold risk to have dyslipidemia OR 2,44 95 CI 1,15 - 5,18 p 0,02. Obese pilots had 4 - fold risk to have dyslipidemia compared with those pilots with normal BMI OR 4,21 IK 95 1,48 - 11,99 p 0,007.
Conclusion: Inapropriate food intake and obesity associated with dyslipidemia among civilian pilots in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Mario
"ABSTRAK
Latar belakang Pasien penurunan kesadaran merupakan salah satu kasus yang sering ditemui di Instalasi Gawat Darurat IGD Penilaian awal diperlukan untuk memberikan informasi kepada keluarga pasien mengenai kemungkinan yang akan terjadi dan membantu keluarga dalam pengambilan keputusan GCS telah menjadi salah satu penilaian yang digunakan untuk menilai luaran pasien penurunan kesadaran tetapi dinilai masih kurang dalam memprediksi luaran yang terjadi Penelitian ini bertujuan untuk menilai gabungan GCS tekanan darah sistolik dan umur dapat memprediksi luaran pasien penurunan kesadaran Metode Penelitian ini merupakan studi observasional kohort retrospektif 76 pasien penurunan kesadaran yang datang ke IGD RSUPN Cipto Mangunkusumo Peneliti melakukan pencatatan penilaian Glasgow Coma Scale GCS tekanan darah sistolik dan umur saat pasien diperiksa di triase Luaran dinilai setelah dua minggu pasca kedatangan di IGD Hasil Hasil analisis bivariat pada GCS dan umur memperoleh hasil berbeda bermakna antara pasien kelompok luaran buruk dengan kelompok luaran baik p.
ABSTRACT
Background Patients loss of consciousness is one case that is often encountered in the Emergency Room ER The initial assessment is required to provide information to the patient 39 s family about the possibility that will happen and help families in decision making GCS has become one assessment used to assess outcomes of patients with loss of consciousness but is insufficient in predicting the outcome of some cases This study aims to assess the combined GCS systolic blood pressure and age can predict the outcome of patients with loss of consciousness Methods This was a retrospective cohort observational study 76 patients with loss of consciousness that comes into the ER RSUPN Cipto Mangunkusumo Researchers conducted the recording of the Glasgow Coma Scale GCS systolic blood pressure and age when patients checked in triage Outcomes assessed after two weeks after arrival in the emergency room Results The results of the bivariate analysis on the GCS and ages get results significantly different between patients with poor outcome group with good outcome group p ."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Ayu Putu Wilandari Dewi, auhthor
"Kebisingan adalah bunyi yang tidak dikehendaki dan dapat menimbulkan gangguan kesehatan, salah satunya dapat mengakibatkan kenaikan tekanan darah dan apabila terjadi terus menerus akan berakibat pada hipertensi. Hipertensi adalah salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan yang serius saat ini, dimana 27,5% penduduk di Indondesia menderita hipertensi. Kasus hipertensi di DKI Jakarta terbanyak terdapat di Wilayah Jakarta Timur yaitu 75.099 kasus. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah sesudah kerja pada pekerja di PT. Sanggar Sarana Baja Tahun 2013. Penelitian ini menggunakan disain cross sectional dengan jumlah sampel 196 orang.
Hasil penelitian menunjukkan hubungan yang signifikan antara umur (5,97; 3,03–11,76) dan kebiasaan merokok (5,85; 2,91–11,77) dengan kejadian peningkatan tekanan darah. Besar risiko yang dialami oleh pekerja yang berumur > 40 tahun dan memiliki kebiasaan merokok dalam satu hari > 2 batang untuk mengalami kejadian peningkatan tekanan darah adalah 7,87 kali dibandingkan dengan pekerja yang berumur ≤ 40 tahun dan memiliki kebiasaan merokok dalam satu hari ≤ 2 batang.

Noise is unwanted sound and can cause health problems, one of which can result in increased blood pressure and the event will continue to result in hypertension. Hypertension is one of the non-communicable diseases are a serious health problem today, where 27,5% of the population suffers from hypertension in Indondesia. Cases of hypertension in Jakarta are the highest in the East Jakarta District 75.099 cases. This study aims to analyze the risk factors associated with increased blood pressure after work on workers at PT. Sanggar Sarana Baja in 2013. This study uses cross-sectional design with a sample of 196 people.
The results showed a significant relationship between age (5,97; 3,03-11,76) and smoking (5,85; 2,91-11,77) with an increased incidence of blood pressure. Major risks faced by workers aged > 40 years and have a habit of smoking in one day > 2 sticks to experience an increased incidence of blood pressure was 7,87 times compared with workers aged ≤ 40 years and has a habit of smoking in one day ≤ 2 sticks.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T35881
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>