Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 205786 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adi Prathama
"Latar belakang: Mata merupakan indera yang sangat penting dalam penerbangan. Salah satu fungsi untuk menentukan perkiraan jarak, sehingga diperlukan fungsi kedua mata yang baik. Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya identifikasi pengaruh jam terbang total terhadap risiko miopia ringan pada pilot sipil di Indonesia.
Metode: Studi potong lintang dengan purposif sampel pada pilot sipil yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan dengan rentang waktu 27 April sampai dengan 13 Mei 2015. Definisi miopia ringan jika mata memerlukan koreksi penglihatan jauh dengan lensa < -3 dioptri. Data karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan diperoleh dari kuesioner. Data tajam penglihatan dan kadar gula darah puasa didapatkan dari rekam medis Balai Kesehatan Penerbangan. Analisis menggunakan regresi Cox dengan waktu konstan.
Hasil: 690 pilot sipil yang melakukan pemeriksaan kesehatan di Balai Kesehatan Penerbangan, 428 subjek bersedia menjadi responden. Subjek terpilih untuk dianalisis berjumlah 413 pilot dan 15 pilot lainnya menderita miopia berat. Dari 413 pilot, 141(34,1%) miopia ringan dan 272 (65,8%) normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi miopia ringan adalah ras, status perkawinan dan jam terbang total secara signifikan. Subjek dengan ras selain Asia dibandingkan dengan ras Asia berisiko 2,1 kali lipat lebih besar menderita miopia ringan [risiko relatif suaian (RRa)=2,19; p=0,030]. Dibandingkan dengan subjek tidak menikah, subjek yang menikah berisiko 3,8 kali lipat menderita miopia ringan (RRa=3,80; p=0,000). Selanjutnya, dibandingkan subjek dengan jam terbang total 16-194 jam, subjek dengan jam terbang total 195-30285 jam mempunyai risiko 4,5 kali lipat menderita miopia ringan (RRa=4,56; p=0,000).
Kesimpulan: Subjek yang menikah, ras non Asia dan yang memiliki 195 atau lebih jam terbang total mempunyai risiko lebih tinggi menderita miopia ringan di Indonesia.

Background: Eye is very important organ in aviation?s operation. One of the functions is to estimate distance where both healthy eyes are needed. The purpose of this study was to identify the influence of total flight hours on the risk of mild myopia among civilian pilots in Indonesia.
Methods: Study design was cross-sectional with purposive sampling among pilots those who got medical examinations at Civil Aviation Medical Center on April 27th - May13th, 2015. Mild myopia is condition the eyes need negatif lens corection for distance visual acuity less than -3 diopters. Demographic characteristic, occupational characteristic, ranking characteristics, and habits were obtained from questionnaire. Visual acuity and fasting blood sugar levels data were obtained from medical records in Aviation Medical Board. Data were analysed with Cox regression.
Resulted: 690 civilian Indonesia?s pilots who conducted medical examination, 428 subjects were willing to participate. Total subjects to be analyzed were 413 pilots and 15 pilots were not involved since severe myopia. Amongst of 413 pilots, 141 (34,1%) mild myopia and 272 (65,8%) normal. Factors influencing mild myopia were race, marital status and total flight hours. Non-Asian subject had 2.1-fold risk of mild myopia compared to Asian race subject [adjusted relative risk (RRa)=2.19; p=0.030]. Subjects who were married had 3.8-fold risk of mild myopia compared with subjects who were not married (RRa=3.80; p=0.000). Subjects who had total flight hours 195-30285 hours had 4.5-fold risk to be mild myopia compared with subjects 194 or less total flight hours (RRa=4.56; p=0.000).
Conclusion: Married subject, non-Asian race and those who have 195 or more total flight hours constitute a higher risk of suffering mild myopia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darma Syahputra
"Latar belakang : Diabetes Mellitus (DM) dapat terjadi pada pilot sipil akan menyebabkan struk dan gangguan kardiovaskular sehingga membahayakan keselamatan penerbangan. Tujuan penelitian ini adalah identifikasi kaitan total jam terbang dan faktor lainnya terhadap DM pada pilot sipil di Indonesia.
Metode : Penelitian menggunakan metode potong lintang dengan sampel purposif pada pilot sipil di Indonesia yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan pada tanggal 26 Mei ? 6 Juni 2015. Pengumpulan data menggunakan formulir kuesioner, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Data yang dikumpulkan adalah karakteristik demografi dan pekerjaan, kebiasaan makan, indeks massa tubuh (IMT) dan kebiasaan olah raga. Kategori Diabetes Mellitus berdasarkan PERKENI.
Hasil: Diantara 690 pilot yang melakukan pemeriksaan medis, 428 subjek bersedia mengikuti penelitian. Subjek yang diikutsertakan dalam analisis sebanyak 292, 10,3% memiliki kadar gula puasa tinggi dan 89,7% memiliki kadar gula puasa normal. Jika dibandingkan subjek dengan jam terbang 16-4999 jam subjek dengan jam terbang 5000-27500 jam mempunyai risiko lebih besar menyandang DM risiko relatif suaian (RRa)=2,86; 95% interval kepercayaan (CI)=1,38-5,94; p=0,005]. Selanjutnya dibandingkan pilot dengan IMT normal, pilot dengan obesitas memiliki risiko lebih besar menyandang DM (RRa=3,29; 95% CI=0,76-14,29; p=0,111).

Background : Diabetes Mellitus (DM) can occur in civilian pilots will lead to a stroke and cardiovascular disorders, endangering flight safety. The purpose of this study was the identification of linkages total flying hours and other factors against the DM at civilian pilot in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study using the method with a purposive sample in civilian pilots in Indonesia, which performs periodic health checks on Flight Health Center on May 26 to June 6, 2015. The data were collected using a questionnaire form, physical examination and laboratory findings. The data collected were the demographic characteristics and work, eating habits, body mass index (BMI) and exercise habits. DM classification based on standard PERKENI.
Results : Among the 690 pilots who conduct medical examination, 428 subjects were willing to follow the study. Subjects were included in the analysis as much as 292, 10.3% had high fasting glucose levels and 89.7% had normal fasting glucose levels. Compare to the pilots with total flight hours 16-4999 hours, pilots total flight hours 5000-27500 had 2.86 higher risk DM [RRa = 2.86; 95% CI = 1.38 to 5.94; p = 0.005]. Furthermore, compared to the pilot with normal BMI, the pilot with obesity had 3.3 higher risk DM (RRa = 3.29; 95% CI = 0.76- 14.29; p = 0.111).
Conclusions: The pilots who had total flight hours 5000 hours or more and obese had higher risk to be DM."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devrizal Hendry
"Latar belakang: Gangguan pendengaran sensorineural pada pilot merupakan masalah kesehatan yang dapat menyebabkan inkapasitasi pada saat pilot menjalankan tugas terbangnya dan berdampak terhadap keselamatan penerbangan. Tujuan penelitian ini mengidentifikasi jam terbang total dan faktor dominan lainnya terhadap risiko gangguan pendengaran sensorineural di antara pilot sipil di Indonesia.
Metode: Desain penelitian potong lintang dengan purposive sampling pada tanggal 4-20 Mei 2015 terhadap pilot laki-laki berusia 20-60 tahun dan pilot memiliki lisensi Commercial Pilot License (CPL) atau Air Transport Pilot License (ATPL) yang sedang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala (medex) di Balai Kesehatan Penerbangan, Jakarta. Gangguan pendengaran yaitu subyek memiliki ambang dengar 25 dB atau lebih. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara memakai kuesioner. kemudian data diambil dari rekam medis pada hari pemeriksaan. Risiko gangguan pendengaran sensorineural dianalisis menggunakan risiko relatif (RR) dengan regresi Cox.
Hasil: Selama 3 minggu masa pengumpulan data terdapat 681 pilot yang melakukan medex di Balai Kesehatan Penerbangan, didapatkan 314 pilot yang memenuhi kriteria penelitian. Sebanyak 15,9% mempunyai gangguan pendengaran sensorineural. Pilot dengan jam terbang total lebih 5000 jam dibandingkan kurang 5000 jam berisiko gangguan pendengaran sensorineural 4,7 kali lipat [risiko relatif suaian (RRa)=4,73; p=0,137]. Pilot dengan usia 45-60 tahun dibandingkan usia 20-44 tahun berisiko gangguan pendengaran sensorineural 6,8 lipat (RRa=6,87; p=0,000).
Simpulan: Jam terbang total 5000 jam atau lebih serta usia 45-60 tahun meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural pada pilot sipil di Indonesia.

Background: Sensorineural hearing loss in civil pilots could interfere pilots? performance to safely operate an aircraft thus could cause incapacitation on board. This study aimed to identify risk factors of sensorineural hearing loss among civil pilots in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study design with purposive sampling on 4-20 May 2015 was conducted on pilots of the male civilian. The inclusion criteria civilian pilots male 20-60 years old and had Commercial Pilot License (CPL) or Air Transport Pilot License (ATPL) who were taking medical examinations (medex) in Civil Aviation Medical Centre, Jakarta. Hearing impairment defined by hearing threshold of 25 dB or more. Demographic data were collected by interviewed pilots using questionnaires while audiometry and laboratory data were collected from medical records. Risk factors of sensorineural hearing loss were analyzed by Cox regression.
Results: Three weeks collecting data had 681 pilot conducted medex in Civil Aviation Medical Centre, among 314 commercial pilots were fulfilled the criteria?s. Percentage of sensorineural hearing loss from audiometry data were 15.9%. Subjects with 5000 flight hours or more had almost five times increased risk of sensorineural hearing loss compared to subjects with less than 5000 flight hours [adjusted relative risk (RRa) = 4.73; p = 0.137]. Subjects aged 45-60 year-old had almost seven times increased risk of sensorineural hearing loss compared to subjects aged 20-44 year-old (RRa= 6.87; p = 0.000).
Conclusion: Total flight hours 5000 hours or more and age of 45-60 years increased the risk of sensorineural hearing loss among civilian pilots in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurita Chairina
"Latar belakang: Lingkungan kerja pilot dengan paparan radiasi kosmik dan hipoksia dapat menyebabkan gangguan metabolisme lemak yang terlihat pada pemeriksaan profil lipid darah. Dislipidemia merupakan faktor risiko utama aterosklerosis yang menyebabkan serangan jantung sehingga dapat mengancam keselamatan penerbangan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor - faktor risiko dislipidemia pada pilot sipil di Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan consecutive sampling pada pilot sipil yang memeriksakan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan. Data profil lipid didapatkan dari pengisian kuesioner. Variabel yang dianalisis adalah jam terbang total, asupan makanan, Indeks Massa Tubuh IMT, kebiasaan merokok, dan latihan fisik.
Hasil: Terdapat 128 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan bersedia mengikuti penelitian. Didapatkan prevalensi dislipidemia 61,7 dengan mayoritas kadar HDL rendah sebesar 57. Faktor - faktor dominan yang berhubungan dengan dislipidemia adalah obesitas dan asupan makanan tidak sesuai. Pilot sipil dengan asupan makanan tidak sesuai meningkatkan risiko dislipidemia sebesar 2x lipat dibandingkan pilot sipil dengan asupan makanan sesuai OR= 2,44; IK 95 = 1,15 - 5,18; p= 0,02. Jika dibandingkan dengan pilot sipil dengan IMT normal, pilot obese berisiko 4x lipat terjadi dislipidemia OR= 4,21; IK 95 = 1,48 - 11,99; p= 0,007.
Simpulan: Asupan makanan tidak sesuai dan obesitas berhubungan dengan terjadinya dislipidemia pada pilot sipil di Indonesia.

Background: Pilot's occupational environment with cosmic radiation and hypoxia exposure can influence lipid metabolism which reflected in blood lipid profile. Dyslipidemia is the main risk for atherosclerosis that lead to heart attack which can threats flight safety. The purpose of this study was to identify associated risk factors for dyslipidemia among civilian pilot in Indonesia.
Methods: This was cross - sectional study using consecutive sampling among civilian pilots who went to periodic medical check - up in Balai Kesehatan Penerbangan. Blood lipid profiles data was obtained from questionnaire. Variables that went into analyze are total flight hours, food intake, Body Mass Index BMI, smoking habit, and physical activity.
Results: There were 128 respondents who met the inclusion criteria and willing to participate. The dyslipidemia prevalence was 61,7 with low - HDL index was the highest up to 57. Obesity and inapproriate food intake were dominant risk factors that associated with dyslipidemia. Civilian pilots with inapproriate food intake compared with those who had appropriate food intake had 2 - fold risk to have dyslipidemia OR 2,44 95 CI 1,15 - 5,18 p 0,02. Obese pilots had 4 - fold risk to have dyslipidemia compared with those pilots with normal BMI OR 4,21 IK 95 1,48 - 11,99 p 0,007.
Conclusion: Inapropriate food intake and obesity associated with dyslipidemia among civilian pilots in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Teguh Pribadi
"Latar belakang : Hiperkolesterolemia antara lain menjadi faktor risiko penyakit jantung koroner dan komplikasinya dapat menyebabkan inkapasitasi pada pilot. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi hubungan kebiasaan makan lemak dan faktor lainnya terhadap risiko hiperkolesterolemia pada pilot sipil di Indonesia.
Metode : Penelitian menggunakan metode potong lintang dengan sampel purposif pada pilot sipil di Balai Kesehatan Penerbangan Jakarta tanggal 18-29 Mei 2015. Karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan diperoleh melalui wawancara. Data kolesterol total diperoleh dari laboratorium yang telah dikalibrasi. Kategori kolesterol total dibagi dua yaitu hiperkolesterolemia ( ≥ 240 mg/dl) dan normal (< 200 mg/dl). Analisis menggunakan risiko relatif yaitu regresi Cox dengan waktu konstan.
Hasil : Di antara 690 pilot yang melakukan pemeriksaan medis, 428 subjek bersedia mengikuti penelitian. Subjek yang diikutsertakan dalam analisis sebanyak 327 pilot, 12,3% memiliki hiperkolesterolemia dan 87,7% memiliki kadar kolesterol normal. Subjek dengan kebiasaan makan lemak hampir setiap hari dibandingkan hampir tidak pernah berisiko 3,8 kali lipat lebih besar hiperkolesterolemia [risiko relatif suaian (RRa)=3,78; p=0,223]. Subjek dengan usia 50-65 tahun dibandingkan dengan 19-34 tahun berisiko 1,8 kali lipat lebih besar hiperkolesterolemia (RRa=1,82; p=0,103). Selanjutnya subjek dengan riwayat hiperkolesterolemia dibandingkan tanpa riwayat hiperkolesterolemia berisiko 2,1 kali lipat lebih besar hiperkolesterolemia (RRa=2,13; p=0,118).
Simpulan : Kebiasaan makan lemak hampir tiap hari, usia 50 tahun atau lebih, riwayat keluarga hiperkolesterolemia dalam keluarga meninggikan risiko hiperkolesterolemia di antara pilot sipil di Indonesia.

Background : Hypercholesterolemia becoming one of a risk factor for coronary heart disease and complications may cause the pilots incapacitation. The purpose of this study was to identify eating fatty food habits and other factors and the risk of hypercholesterolemia in civilian pilots in Indonesia.
Methods : A cross sectional study with purposive sampling was conducted in civilian pilots at Indonesian Aviation Medical Center in Jakarta from 18-29 May, 2015. Demogrhapic characteristics, employment, habits was obtained through interviews. Total cholesterol data obtained from laboratory test had been calibrated. Category of cholesterol total was divided into hypercholesterolemia (≥ 240 mg/dl) and normal (<200 mg/dl). Analysis using risk relative by Cox regression with a constant time.
Result : Among the 690 pilots who conducted medical examination, 428 subjects agree to join the study. This analysis included 327 pilots, 12.3% had hypercholesterolemia, and 87.7% normal cholesterol levels. The subjects who had eating fatty food habits almost every day compared to almost never, had 3.8 fold higher risk to be hypercholesterolemia [adjusted relative risk (RRa)=3.78; p=0.223]. The subject aged of 50-65 years compared to 19-34 years, had 1.8 fold higher risk to be hypercholesterolemia (RRa=1.82; p=0.103). Furthermore, subjects with a family history of hypercholesterolemia compared with no family history, had 2.1 fold higher risk to be hypercholesterolemia (RRa=2.13; p=0.118).
Conclusions : Having eating fatty food habits almost every day, age 50 and over, history of hypercholesterolemia elevate the risk of hypercholesterolemia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdi Afian
"Latar belakang: Tekanan darah tinggi diantara pilot sipil akan menyebabkan gangguan kardiovaskular sehingga akan mengganggu kelangsungan dan kelancaran penerbangan serta bagi perusahaan maskapai juga akan kekurangan pilot. Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui faktor-faktor dominan terhadap tekanan darah sistolik tinggi pada pilot sipil.
Metode: Penelitian potong lintang dengan metode sampling purposif pada pilot yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan pada tanggal 18-29 Mei 2015. Data dikumpulkan dengan menggunakan formulir khusus untuk penelitian ini. Data yang dikumpulkan adalah karakteristik demografi dan pekerjaan, klinis, kebiasaan olahraga, kebiasaan makan, indeks massa tubuh dan riwayat penyakit. Tekanan darah sistolik tinggi ialah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg.
Hasil: Dari 690 pilot yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala, 428 pilot laki-laki bersedia berpartisipasi mengikuti penelitian ini. Usia dan riwayat penyakit hipertensi merupakan faktor risiko dominan yang berhubungan dengan tekanan darah sistolik tinggi. Jika dibandingkan dengan pilot usia 19-39 tahun, yang berusia 40-65 tahun mempunyai 15,1 kali lipat lebih besar risiko terkena tekanan darah sistolik tinggi [rasio odds suaian (ORa)= 15,12; p= 0,001]. Pilot dengan riwayat penyakit hipertensi dibandingkan dengan yang tidak ada riwayat memiliki risiko tekanan darah sistolik tinggi 93,2 kali lipat lebih besar (ORa= 93,21; p= 0,001).
Kesimpulan: Usia 40-65 tahun dan memiliki riwayat hipertensi meningkatkan risiko tekanan darah sistolik tinggi di antara pilot sipil di Indonesia.

Background: High blood pressure among civilian pilot will cause cardiovascular disease and this condition will disrupt the flight and for the airline company will have problem with pilot shortage. The purpose of this study was to identified the dominant factors related to high systolic blood pressure on the civilian pilot.
Methods: A cross-sectional study with a purposive sampling method on a pilot who perform periodic medical examinations in the Civil Aviation Medical Center on 18 to 29 May 2015. Data were collected using a special form for this study. The data collected were demographic and job characteristics, clinical, exercise habits, eating habits, body mass index and history of the disease. High systolic blood pressure is systolic blood pressure ≥ 140 mmHg.
Results: Of the 690 pilots who conduct periodic health examinations, 428 male pilots willing to participate to follow this study. Age and history of hypertension is the predominant risk factor associated with high systolic blood pressure. When compared with the pilot age 19-39 years, 40-65 years old have a 15.1-fold greater risk of high systolic blood pressure [odds ratio (adjusted ORa)= 15.12; p= 0.001]. Pilot with a history of hypertension compared to those without a history of having high systolic blood pressure risk 93.2 times larger (ORa= 93.21; p= 0.001).
Conclusion: Age of 40-65 years and had history of hypertension increased the riskj of systolic blood pressure among civilian pilot in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Wibawanti
"Latar belakang: Pilot dapat mengalami obes yang berkaitan dengan jam terbang total atau faktor risiko lainnya. Oleh karena itu, perlu diidentifikasi kaitan jam terbang total dan faktor lainnya terhadap risiko obes pada pilot sipil di Indonesia.
Metode: Studi ini memakai metode potong lintang dengan sampel purposif pada pilot yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan tanggal 14-24 Mei 2013. Data yang dikumpulkan yaitu karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan makan dan olahraga, tinggi dan berat badan serta lingkar pinggang. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara dan pemeriksaan fisik. Analisis menggunakan regresi Cox dengan waktu yang konstan. Subjek dikategorikan menjadi obes (indeks massa tubuh (IMT) 25 atau lebih untuk ras Asia, dan 30 atau lebih untuk ras Kaukasia), dan normal (IMT 18.5-22.9)
Hasil: Di antara 612 pilot yang berusia 18-61 tahun, diperoleh 133 subjek obes dan 41 subjek normal. Faktor-faktor dominan yang berkaitan dengan obes adalah jam terbang total dan lingkar pinggang. Faktor kebiasaan makan makanan berlemak dan cepat saji tidak terbukti mempertinggi risiko obes. Dibandingkan subjek dengan lingkar pinggang normal, subjek dengan lingkar pinggang besar memiliki kemungkinan 77% lebih tinggi untuk obes [risiko relatif suaian (RRa) = 1,77; 95% interval kepercayaan (CI) =1,41-2,14]. Dibandingkan subjek dengan jam terbang kurang dari sama dengan 1000 jam, subjek dengan jam terbang total lebih dari 1000 jam memiliki risiko obes 33% lebih tinggi (RRa = 1,77; 95% CI = 1,11-1,59)
Kesimpulan: Jam terbang total 1001-29831 dan lingkar pinggang besar mempertinggi risiko obes di antara pilot sipil di Indonesia.

Background: Pilot may obese which is related to total flight hours and other risk factors. This study aimed to identify the relationship between total flight hours and other factors related to obese in civil pilots in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study with purposive sampling among pilot undergoing periodic medical check up in 14-24 Mei at Aviation Medical Center (Balai Kesehatan Penerbangan). Data collected were demographic and work characteristics, eating habit, exercise habit, height, weight and waist circumference, high fat diet and fast food consumption were not found to increase the risk of obese. Subject were classified into obese (Body Mass Index = BMI) was 25 or more for Asians and 30 or more for Caucasian) and normal (BMI 18.5-22.9).
Results: A number of 612 pilots, aged 18-61 years old, 133 available for this study which consisted of 133 obese pilots and 41 normal body weight. Subjects with large waist circumference than normal waist circumference had 77% increased risk of obese [relative risk adjusted (RRa) = 1.77; 95% confidence interval (CI) = 1.41-2.14]. Total flight hours 1001 or more, than less 1000 hours had 33% increased risk to be obese (RRa = 1.33; 95% CI =1.11-1.59).
Conclusions: Total flight hours of 1001-29831 hours and large waist circumference increased the risk of obese in civil pilots in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Sri Kristina
"Penyakit kardiovaskular merupakan penyumbang angka kesakitan dan inkapasitasi pada pilot. Risiko pajanan hipoksia intermiten dan radiasi kosmik dari lingkungan penerbangan tercermin dari jam terbang total dan jenis pesawat. Pajanan stresor kerja berupa jumlah sektor serta jenis penerbangan juga dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular. Disertai perubahan kebiasaan berupa berkurangnya durasi tidur dan aktivitas fisik akhirnya dapat menyebabkan tingginya risiko penyakit kardiovaskular. Upaya deteksi dini risiko penyakit kardiovaskular dapat dengan melakukan penghitungan estimasi risiko penyakit kardiovaskular. Studi ini menggunakan desain potong lintang. Data diambil menggunakan kuesioner dari pilot yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala pada 12-27 Mei 2022 di Balai Kesehatan Penerbangan, Jakarta. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan dengan SPSS versi 22. Dari 121 subjek, 66 pilot (54,5%) memiliki risiko penyakit kardiovaskular tinggi. Jam terbang total dan aktivitas fisik secara signifikan memiliki asosiasi dengan risiko penyakit kardiovaskular yang tinggi (p<0,001 dan p=0,003). Keduanya merupakan faktor dominan terhadap risiko penyakit kardiovaskular. Pilot dengan total jam terbang ≥10.850 jam memiliki risiko penyakit kardiovaskular yang tinggi 4,64 kali lebih besar dibandingkan dengan jam terbang <10.850 jam (OR= 4.64, 95% CI 2.09-10.26, p<0,001). Sedangkan pilot yang tidak aktif memiliki risiko penyakit kardiovaskular yang tinggi 2,63 kali lebih besar dibandingkan dengan pilot yang aktif (OR= 2.63 95% CI 1.18-5.86, p=0,019).

Cardiovascular disease can cause incapacitation and long-term unfit period for pilots. Hypoxia and cosmic radiation exposure from flight environment reflected in total flight hours. Pilots are also at risk of being exposed to stress that can affect the cardiovascular system, reflected in the number of sectors and the types of flights it undertakes. Together with poor sleep duration and physical activity can finally lead to high cardiovascular disease risk. Early detection can be done by estimating the risk of cardiovascular disease. This was a cross-sectional study. Data were collected from pilots who had renewal medical examination on 12 to 27 May 2022 at the Aviation Medical Center using questionnaire. Bivariate and multivariate analyses were performed using SPSS version 22. Of 121 subjects, 54.5% (n=66) had a high cardiovascular disease risk. Total flight hours and physical activity were significantly associated with high cardiovascular disease risk (p<0.001 and p=0.003, respectively). Both are dominant factors for the cardiovascular disease risk. Pilots with total flight hours ≥10.850 hours had high cardiovascular disease risk 4.64 times greater than they with <10.850 hours (OR= 4.64, 95% CI 2.09-10.26, p<0.001). Inactive pilots had a high cardiovascular disease risk 2.63 times greater (OR= 2.63, 95% CI 1.18-5.86, p=0.019)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Fathul Hasanah
"Latar belakang: Peningkatan alanine aminotransferase (ALT) dapat terjadi secara asimtomatis. Tes fungsi hati sering ditemukan abnormal pada dikalangan penerbang, dengan sedikit peningkatan kecil dalam satu atau dua parameter enzim hati, penyebab yang paling sering adalah perlemakan hati non alkoholik dan efek minor dari alkohol. Walaupun tidak mempengaruhi sertifikasi kesehatan pada penerbang sipil tetapi peningkatan ALT dapat mempengaruhi kesehatan dari penerbang itu sendiri dan akan mempengaruhi keselamatan penerbangan. Penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang menghubungkan dengan kadar ALT pada penerbang sipil di Indonesia.
Metode: Metode potong lintang yang dilakukan 5-26 Mei 2014 pada penerbang sipil yang melakukan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan dengan sampling purposif dan analisis regresi Cox. Pengumpulan data dengan mengisi kuesioner dan data ALT diambil dari laboratorium. Pemeriksaan tinggi badan, berat badan dan lingkar pinggang dilakukan oleh peneliti. Kadar ALT meningkat jika ≥41 U/l.
Hasil: Diantara 785 subjek yang mengikuti pemeriksaan kesehatan berkala terdapat 314 yang menjadi subjek penelitian. Persentase peningkatan ALT pada penelitian ini sebesar 31,8%. Faktor risiko dominan terhadap peningkatan ALT pada penerbang sipil di Indonesia adalah lingkar pinggang ≥90 cm [risiko relatif (RRa) = 2,00; p = 0,001] yang mempunyai peningkatan 2 kali jika dibandingkan dengan lingkar pinggang yg <90 cm, selanjutnya obesitas meningkatkan risiko peningkatan kadar ALT, meskipun secara statistik tidak signifikan (RRa = 1,75; 95% CI = 0,97-3,17; p = 0.062).
Simpulan: Penerbang sipil dengan lingkar pinggang ≥90 cm atau dengan obesitas mempunyai risiko lebih besar mengalami peningkatan ALT.

Background: Elevated serum alanine aminotransferase (ALT) may occur in asymptomatic. Liver function tests are frequently found to be abnormal in among aviators, with small elevations in one or two liver enzyme parameters. The most common cause is non-alcoholic fatty liver and minor effects of alcohol. This will affect the health of aviators which affect flight safety. The purpose of this study was to determine the factors that connect with ALT levels in commercial pilot in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study on May 5-26Th 2014 in commercial pilots who doing medical check up at Civil Aviation Medical Center, with purposive sampling and cox regression analysis. The collection of data by filling in a questionnaire and ALT data taken from the laboratory. The examination height, weight and waist circumference was conducted by researchers. Elevated serum ALT ≥ 41 U/l.
Results: Among 785 commercial pilots only 314 were willing to participate it in study and 31,8 % had eleveted serum ALT in this study. The dominant risk factor to the elevated of ALT in commercial pilots in Indonesia is waist circumference ≥90 cm [Relative risk (RRa=2.00; p=0,001)]#who have an increased 2 fold when compared with that waist circumference <90 cm, furthermore obesity increases the risk of elevated levels of ALT, although it was not statistically significant (RRa=1.75; 95% CI=0.97-3.17; p=0.062).
Conclusion: Commercial pilot who had waist circumference ≥90 cm or who obese had elevated serum ALT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Damanik, Jandra
"Dalam dunia penerbangan, terutama penerbangan jenis helikopter ditemukan adanya awak pesawat yang mengalami gangguan pada penglihatan yakni berupa penurunan ketajaman penglihatan (miopia), yang akan mengganggu penerbangan. Faktor yang berperan untuk terjadi miopia ini, berasal dari dalam ataupun luar lingkup penerbangan.
Metode: Penelitian dilakukan terthadap 172 awak pesawat helikopter (pilot dan juru mesin udara) TNIAU dan TNIAD. Untuk menentukan prevalensi serta mencari faktor yang berperan pada terjadinya miopia reversibel dilakukan pendekatan nested case-control. Penelitian dilakukan dengan cara mempergunakan data dari hasil rekaman medis berkala dari tahun 1972 sampai tahun 1994 dan dari log board masing-masing awak pesawat.
Hasil: Prevalensi miopia pada awak pesawat sebesar 30,2% (2,9% diantaranya adalah miopi reversibel) dari 172 subyek yang diteliti. Analisis statistik terhadap faktor risiko yang diperkirakan berkaitan dengan terjadinya miopia reversibel dari 47 kasus dan 94 kontrol, menunjukkan bahwa terdapat sejumlah faktor yang berpengaruh yaitu: vibrasi helikopter, jabatan awak pesawat dalam penerbangan, dan golongan pangkat. Jika dibandingkan yang terpajan dengan vibrasi lemah, maka awak pesawat helikopter yang mengalami vibrasi kuat mempunyai risiko sebesar 3,75 kali lipat mengalami miop reversibel (95%CI:1,25-12,O3). Jabatan awak pesawat sebagai juru mesin udara dibandingkan dengan penerbang mempunyai risiko mendapat miop reversibel sebesar 3,89 kali lipat (95%CI : 1,50 - 10,21). Golongan pangkat Bintara dibandingkan Perwira mempunyai risiko terkena miop reversibel sebesar 9,78 kali lipat {95% CI : 2,49 - 24,05).
Kesimpulan: Prevalensi miop dikalangan awak pesawat helikopter TNIAU dan TNIAD cukup tinggi {30,2%). Vibrasi helikopter merupakan faktor risiko untuk terjadinya miopia. Disamping itu golongan pangkat Bintara dan Juru mesin udara perlu perhatian yang khusus, supaya risiko untuk mendapat miop reversibel dapat dikurangi."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>