Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 119195 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Okta Rina Fitri
"Upaya-upaya dilakukan oleh berbagai pihak untuk memberantas korupsi, namun Indonesia masih tercatat sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Korupsi yang telah mengakar di Indonesia ini menunjukan minimnya nilai, moral, dan agama dalam pembentukan perilaku yang antikorupsi. Sejumlah hasil kajian literatur menunjukan bahwa perilaku antikorupsi seseorang dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor, antara lain sosialisasi, religiositas, dan civic knowledge. Peneliti berargumen bahwa semakin tinggi religiositas seseorang, maka semakin positif perilaku antikorupsinya. Unit analisa penelitian ini adalah individu yaitu mahasiswa Universitas Indonesia. Data dalam tulisan ini didapat dari survei menggunakan kuesioner terhadap 160 responden. Adapun hasil penelitian ini menunjukan bahwa religiositas signifikan dalam memengaruhi perilaku antikorupsi dengan kekuatan hubungan yang lemah yaitu d=0,292. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat faktor lain yang memengaruhi perilaku antikorupsi yaitu normas sosial dan norma hukum.

The efforts has made by variuos parties to eradicate corruption, but Indonesia is still listed as one of the most corrupt countries in The World. Corruption which has been rooted in Indonesia implicated lack of value, morality, and religion in the development of anti-corruption behavior. A number of literary studies show that somebody's anti-corruption behavior can be influenced by some factors, such as socialization, religiousity, and civic knowledge. Researchers argue that the higher somebody?s religiosity, the more positive his anti-corruption behavior. Analysis unit of this research is the individual Universitas Indonesia's students. The data of this script obtained from the survey questionnaire to 160 respondents. As for the results this research shown that religiosity is significant in influencing anti corruption behavior with low correlation?s strength d=0,292. The result of this study also show that there are some other factor that influence anticorruption behavior which are social norm and law norm.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S61441
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rodliyatun Mardliyyah
"Tindak pidana korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang pelaku. Karena itu selain didakwa dengan pasal dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pelaku tindak pidana korupsi juga didakwa dengan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang mengatur mengenai penyertaan melakukan tindak pidana. Namun para pelaku dalam kasus yang sama dihukum dengan hukuman yang berbeda-beda.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui terjadinya disparitas pemidanaan terhadap para pelaku turut serta melakukan (medeplegen) dalam putusan perkara tindak pidana korupsi di Indonesia, pertimbangan hakim dalam kasus, dan untuk mengetahui pengaruh pemisahan atau penggabungan berkas dakwaan terhadap beratnya hukuman para peserta tindak pidana. Penelitian dilakukan dengan metode penelitian yuridis-normatif dengan menggunakan data sekunder berupa studi dokumen dan wawancara dengan narasumber.
Berdasarkan hasil analisis dalam penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa meskipun dilakukan secara bersama-sama, sangat dimungkinkan terjadi penghukuman yang berbeda di antara para peserta. Pertimbangan hakim dalam memutus perkara didasarkan pada hukum yang berlaku, bersumber dari para Terdakwa sendiri, dan bergantung pada Majelis Hakim yang memutus perkara. Sementara tidak selalu penggabungan atau pemisahan berkas perkara punya pengaruh atau hubungan yang signifikan terhadap perbedaan penjatuhan sanksi pidana.

Corruption always involves more than one perpetrator. Therefore, not only charged with the Law on Corruption Eradication, perpetrators of corruption are also charged under Article 55 (1) Criminal Code (KUHP) regulating the inclusion of a criminal act. However, the perpetrators in the same case punished with different punishments.
This study aimed to determine the possible disparity of the sentencing for the perpetrators who take a direct part in the execution (medeplegen) corruption cases in Indonesia, consideration of the judge in the case, and to determine the effect of the separation or merger of the indictment against the severity of the punishment of the participant involved in criminal offense. Research conducted by the juridical-normative research methods using secondary data from the study documents and interviews with sources.
Based on the analysis in this study we concluded that although the criminal offense conducted jointly, it is possible that a different judgement occurs among each of the participants. Consideration of the judge in deciding the case based on the applicable law, derived from the defendant's own, and relies on the judges that deciding the case. Merging or splitting the case file does not always have influence or significant relationship to differences in criminal sanctions.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60864
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erita Setyarini Pribadi
"Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti empiris terkait pengaruh temuan ketidakpatuhan pada perundang-undangan laporan keuangan pemerintah daerah dan tindak lanjut pemeriksaan sesuai rekomendasi BPK terhadap tingkat korupsi Pemerintah Daerah. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif menggunakan sampel tiga puluh Pemerintah Daerah Provinsi dengan tahun sampel dari tahun 2008 hingga 2012 sehingga total jumlah observasi adalah 150.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa temuan ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan berpengaruh positif dan tindak lanjut pemeriksaan sesuai rekomendasi BPK berpengaruh negatif terhadap tingkat korupsi Pemerintah Daerah. Hasil ini konstan dengan menggunakan jumlah kasus korupsi yang telah ditangani oleh KPK ataupun jumlah laporan masyarakat atas indikasi korupsi.
This study aims to obtain empirical evidence related to the effect of irregularities detected and follow up BPK?s recommendations on the level of local government corruption. This research is a quantitative study using a sample of thirty Provincial Government with the sample from 2008 to 2012, bringing the total number of observations is 150. The results of this study proves that irregularities detected has positive effect and follow up BPK?s recommendations has negative effect on the level of corruption in Local Government. The result is constant by using the number of corruption cases have been handled by KPK or the number of public reports on indications of corruption."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
S57262
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khaliful Azhar
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh temuan dan tindak lanjut hasil pemeriksaan terhadap tingkat korupsi serta pengaruh tingkat korupsi dan tindak lanjut hasil pemeriksaan terhadap jumlah temuan audit pada Kementerian/Lembaga di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data panel dengan sampel 24 Kementerian/Lembaga yang terindikasi terdapat korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama periode tahun 2010-2013. Hasil Penelitian ini menunjukan bahwa jumlah temuan audit berpengaruh positif terhadap tingkat korupsi dan tingkat keparahan korupsi juga berpengaruh positif terhadap jumlah temuan audit. Tindak lanjut hasil pemeriksaan terbukti berpengaruh negatif terhadap tingkat korupsi. Hal ini menunjukan bahwa hasil audit dapat digunakan sebagai deteksi awal terjadinya tindakan korupsi di Kementerian/Lembaga dan juga keparahan tingkat korupsi dapat mengindikasikan banyaknya temuan audit di instansi tersebut. Selain itu, upaya dalam melakukan perbaikan sesuai dengan rekomendasi auditor secara signifikan dapat menurunkan tingkat korupsi.

The purpose of this research is to analyze the influence of findings and follow-up audit results to level of corruption and the influence of level of corruption and follow-up audit result to the number of audit findings in the ministry / Agency in Indonesia. This research uses panel data with a sample of 24 Ministries / Agency in Indonesia indicates that there is corruption handled by the Corruption Eradication Commission (KPK) over the period 2010-2013. Results of this research showed that the number of audit findings has a positive influence on the level of corruption and the degree of severity of corruption is also positively related to the audit findings. And follow-up audit results has negative influence on the level of corruption. Results of this research showed that audit result can be used as an early detection of the occurrence of acts of corruption in the Ministry / Agency and also the severity of corruption levels can indicate the number of audit findings in the institution. In addition, efforts to make improvements in accordance with the auditor's recommendations can significantly lower the level of corruption.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2015
S59195
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"In traditional phase of carrying out govrenment activities from centralization to decentralization paradigm, it is needed a new way to look and new frame of thinking from government appartus. Professionalism and the will to change is the principal key. In order to realize that thing, a series of action need to be done systematically as internalization of bureaucracy values and cultural behavior behavior of anti corruption, so that it can create a clean, transparent and authorized bureaucracy."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sultandar Zulkarnain
"ABSTRAK
Kami mempelajari ekonomi korupsi melalui eksperimen berupa survey. Hubungan antara kecenderungan untuk terlibat dalam perilaku korupsi dan beberapa karakteristik diantaranya adalah jenis kelamin, usia, kebangsaan dan “pengalaman internasional” kemudian diteliti melaui kuesioner. Penelitian ini menggunakan mahasiswa program master tahun 2013-2014 di ISS.
Penelitian ini menemukan bahwa, pertama, perilaku korup tidak hanya digerakkan oleh jumlah uang yang ada dalam “kegiatan” korupsi tersebut, tetapi juga dipengaruhi oleh seberapa besar kemungkinan tertangkap. Kedua, meskipun beberapa peneliti percaya bahwa perilaku korupsi adalah fenomena yang umum, namun demikian, tidak ada hubungan pasti antara kecederungan untuk terlibat korupsi dan jenis kelamin, usia, kebangsaan, ataupun “pengalaman internasional”. Ketiga, persepsi korupsi mungkin tidak mewakili seluruh fenomena realitas korupsi di Negara tertentu. Keempat, institusi-institusi memiliki pengaruh tertentu dalam membentuk pandangan hidup masyarakat.

ABSTRACT
We study the economics of corruption through survey experiment. The relationship between the likelihood to engage in corrupt behavior and several characteristics such as sex, age, nationality and international exposure is then examined through questionnaire. This study uses ISS students MA batch 2013-2014 as the respondents.
This research finds that, firstly, corrupt behavior is not only driven by the amount of money involved in the corrupt activities, but also affected by the probability of being caught. Secondly, even though some scholars believe that corruption is a widespread phenomenon, there is no exact relationship between the propensity to engage in corruption and gender, age, nationality or international exposure. Thirdly, corruption perception may not represent the whole phenomena of corruption reality in a specific country. Fourthly, institutions have certain influences in shaping people’s way of life."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T42771
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galang Adhyaksa Pratama
"Dalam tulisan ini penulis akan menganalisis dan mengkritisi mengenai perdagangan pengaruh dan urgensi kriminalisasinya. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah Salah satu norma yang diatur di dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) adalah perdagangan pengaruh atau trading in influence. Indonesia telah meratifikasi konvensi antikorupsi ini, tetapi masih belum diundangkan ke dalam hukum positif. Memperdagangkan pengaruh memiliki korelasi kuat dengan tindak pidana korupsi yang harus melibatkan tiga pihak (trilateral relationships), yakni pihak yang memiliki kepentingan, orang yang memiliki pengaruh atau akses terhadap kekuasaan, dan pejabat atau otoritas publik. Namun, dalam rumusan pasal UNCAC dan konvensi antikorupsi lain masih mengakomodasi bentuk bilateral relationship yang merupakan bentuk dalam tindak pidana suap. Dalam perdagangan pengaruh pejabat tidak perlu memperdagangkan pengaruhnya, cukup dilihat bahwa pejabat tersebut menyalahgunakan kewenangannya. Perdagangan pengaruh sulit untuk dilihat bentuknya dan sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia karena menganggap menggunakan pengaruh seseorang adalah hal yang wajar. Hal ini dapat terlihat dari praktik perdagangan pengaruh yang semakin marak terjadi dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan. Dalam praktiknya penuntut umum sering kali menggunakan Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) juncto Pasal 64 ayat (1) untuk menjerat pelaku perdagangan pengaruh, tetapi dalam pembuktiannya tidak semua unsur dalam pasal tersebut terpenuhi secara sah dan meyakinkan. Berbanding terbalik dengan unsur-unsur dalam Pasal 18 UNCAC yang mengakomodasi perbuatan perdagangan pengaruh. Agar pemberantasan tindak pidana korupsi berjalan lebih baik dan maksimal pengaturan norma untuk menjerat pelaku perdagangan pengaruh harus menjadi prioritas utama agar segera dibentuk undang-undang atau peraturan mengenai perbuatan memperdagangkan pengaruh dalam hukum positif di Indonesia.

In this paper, the author will analyze and criticize the trading of influence and the urgency of criminalization. One of the norms regulated in the United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) is trading in influence. Indonesia has ratified this anti-corruption convention, but it has not yet been enacted into positive law. Trading in influence has a strong correlation with corruption which must involve three parties (trilateral relationships), namely parties with interests, people with influence or access to power, and officials or public authorities. However, the formulation of the UNCAC article and other anti-corruption conventions still accommodates the form of a bilateral relationship which is a form of bribery. In trading the influence of an official, it is not necessary to trade his influence, it is sufficient to see that the official is abusing his authority. Trading in influence is difficult to see in its form and is deeply rooted in Indonesian society because it is considered normal to use someone's influence. This can be seen from the practice of trading in influence which is increasingly prevalent and is carried out by people who have power. In practice, public prosecutors often use Article 11 of Law no. 20 of 2001 concerning the Eradication of Corruption in conjunction with Article 55 paragraph (1) in conjunction with Article 64 paragraph (1) to ensnare the perpetrators of influence trading, but in proving not all elements in the article are legally and convincingly fulfilled. In contrast to the elements in Article 18 UNCAC which accommodates acts of trading in influence. For the eradication of criminal acts of corruption to run better and optimally, regulation of norms to ensnare influence trading actors must be a top priority so that laws or regulations are immediately formed regarding acts of trading in influence in positive law in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anindita Kusuma Listya
"Upaya perlawanan terhadap korupsi yang merupakan tindak kejahatan lintas batas (transnational organized crime), kini menjadi salah satu agenda global penting yang membutuhkan kerjasama internasional untuk menanggulanginya. UNCAC merupakan sebuah institusi internasional yang menyasar isu korupsi, disahkan pada tahun 2003 dan hingga kini dianggap sebagai kerangka kerjasama internasional paling penting yang memberikan pilar-pilar utama dalam pemberantasan korupsi – pencegahan, penegakan hukum, kerjasama internasional, serta asset recovery.
Penelitian ini secara khusus berupaya untuk melihat efektivitas UNCAC dalam proses asset recovery hasil korupsi Indonesia yang berada di Swiss, melalui kerangka Mutual Legal Assistance yang merupakan salah satu ketentuan di dalamnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa UNCAC tidak berhasil menjamin proses asset recovery melalui MLA antara Indonesia dan Swiss, karena: 1) Lemahnya proses dan mekanisme pengawasan, 2) Tertutupnya kemungkinan aksi kolektif negara-negara anggota, serta 3) Ketidakmampuan UNCAC dalam memfasilitasi proses negosiasi secara reguler dan terukur antara kedua belah pihak.

International efforts in the fight against corruption–which is considered as the transnational organized crime-has become an important global agenda that requires international cooperation. UNCAC is an international institution that focus on the corruption issues. Passed in 2003 and entered into force in 2005, UNCAC regarded as the most important international framework which provides four main pillars in the fight against corruption - prevention, law enforcement, international cooperation, and asset recovery.
This research specifically sought to measure the effectiveness of UNCAC in the asset recovery process between Indonesia and Switzerland through one of the the provisions in the convention, Mutual Legal Assistance (MLA) framework.
The results showed that UNCAC does not succeed to ensure the asset recovery process through MLA between Indonesia and Switzerland, because: 1) The lack of control mechanism process, 2) The lack of possibility of collective action among member states, and 3) the inability of UNCAC in facilitating the negotiation process on a regular basis between the two parties.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S57984
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indriyanto Seno Adji
"Dalam hukum pidana, khususnya tindak pidana korupsi, telah terjadi terobosan baru dimana perbuatan melawan hukum yang semula diartikan secara "formil" ("wederwettelijk") mengalami pergeseran, karena sifat dari perbuatan itu kini diartikan juga secara "materiel" yang meliputi setiap pembuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat. Perubahan arti menjadi "wederrechtelijk", khususnya perbuatan melawan hukum materil dalam hukum pidana ini (ederrechtelijk) mendapat pengaruh yang kuat sekali dari pengertian secara luas ajaran perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata melalui arrest Cohen-Lindenbaum tanggal 31 Januari 1919.
Pembaharuan Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya pasal 2 ayat 1 maupun Penjelasan pasalnya berkaitan antara penerapan ajaran perbuatan melawan hukum materiel dengan arrest Cohen-Lindenbaum. Semula dalam hukum pidana, ajaran perbuatan melawan hukum materiel dibatasi penggunaannya melalui fungsi Negatif sebagai alasan peniadaan pidana, hal ini dimaksudkan untuk menghindari pelanggaran Asas Legalitas maupun penggunaan analogi yang dilarang dalam hukum pidana.
Perkembangan multi-tipologi kejahatan baru yang dianggap koruptif/tercela dan merugikan Masayarakat/Negara dalam skala yang sangat besar seringkali tidak terjangkau oleh peraturan perundang-undangan tertulis yang ada sanksi pidananya, sehingga pelaku dapat bertindak secara bebas dengan berlindung dibalik Asas Legalitas. Dari aspek /pendekatan sejrah pembentukan undang-undang, norma kemasyarakatan, yudikatif dan legislatif, terdapatlah kecenderungan pergeseran kearah fungsi positif dari perbuatan melawan hukum materil, dengan kriteria yang tegas dan limitatif serta kasuistis, yaitu apabila perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/negara dibandingan dengan keuntungan dari perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik itu. Tentunya unsur melawan hukum materiel melalui fungsi positif ini diartikan dalam konteks komprehensif secara menyeluruh terhadap unsur-unsur lainnya dalam suatu delik."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
D660
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>