Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 86501 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Santi Ayu Lestari
"Peningkatan jumlah lansia disertai dengan peningkatan masalah kesehatan dan kesejahteraan seperti penyakit kronis dan abuse pada lansia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan penyakit kronis dengan risiko abuse pada lansia. Desain penelitian ini berupa analisis deskriptif dengan metode cross sectional dan teknik cluster sampling pada 100 responden lansia dengan penyakit kronis di Matraman, Jakarta. Wawancara tatap muka, observasi fisik, dan pemeriksaan darah (tekanan darah, gula darah, asam urat) dilakukan dalam penelitian ini. Berdasarkan analisis univariat 50% lansia yang dicurigai berisiko abuse dengan variabel sosiodemografi yaitu perempuan (55,8%), tidak bekerja (54,4%), tidak berpenghasilan (55,3%), berpendidikan rendah (65,9%), duda/janda (58,3%), tinggal bersama keluarga besar (50,6%), dan memiliki lebih dari satu penyakit kronis (83%). Terdapat hubungan bermakna antara jumlah penyakit kronis dan risiko abuse dengan nilai p<0,05 (p=0,0001). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah penyakit kronis dapat meningkatkan risiko pada lansia. Penelitian ini menyarankan dikembangkannya sistem deteksi dini risiko abuse pada lansia di puskesmas.

An increasing populations of elderly was accompanied with an increasing amount of health and welfare problems, such as chronic disease and abuse in elderly. This study aimed to determine the relationship between the chronic disease and the risk of abuse in elderly. This study used descriptive analysis with cross-sectional survey methode and cluster sampling which evaluated 100 respondents elderly with chronic disease at Matraman, Jakarta. A face-to-face interview, physical observation, and blood examination (blood pressure, blood glucose, uric acid) was carried out. Using univariat analysis, it was showed that there was 50% elderly who was suspected abuse with sociodemographic variables were female (55,8%), jobless (54,4%), no income (55,3%), low education (65,9%), widowhood (58,3%), living in extended family (50,6%), and multiple chronic disease (83%). This findings revealed that there was a significant relationship between a number of chronic disease and risk of abuse with p value 0,000 (p<0,05; 95% CI=0,01-0,91). These result indicated that the increasing number of chronic disease could increase risk of abuse in elderly. This study suggested to develop early detection system for fisk of elder abuse in primary heath care."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
S59718
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Septiani
"Penyakit ginjal kronis merupakan masalah yang cukup serius baik di dunia maupun di Indonesia. Prevalensi penderita penyakit ginjal kronis di dunia tahun 2017 mencapai 9,1 % berdasarkan populasi. Sedangkan di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,2%.  Di Jawa Tengah pada tahun 2013-2018 mengalami kenaikan prevalensi sebesar 0,12%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko penyakit ginjal kronis pada lansia di Jawa Tengah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah nested case control.Sumber data yang digunakan pada penelitian ini adalah Riskesdas 2018. Sebanyak 67 responden termasuk ke dalam kelompok kasus dan 201 responden termasuk ke dalam kelompok kontrol. Berdasarkan analisis didapatkan bahwa responden yang menderita diabetes mellitus terdapat 6%, hipertensi 32,8%, dan obesitas 15,3%, memiliki perilaku merokok 44,8% , memiliki aktivitas fisik buruk 31%, memiliki tingkat pendidikan rendah 87,3%, dan berjenis kelamin perempuan 45,5%. Diabetes mellitus yang memiliki hubungan signifikan dengan OR sebesar 3,27 dengan 95%CI (1,18~9,09).  Untuk itu, penting dilaksanakannya deteksi dini mengenai Diabetes Mellitus dan Penyakit Ginjal Kronis dengan menambahkan tes dipstik urin pada program Posbindu PTM. Sedangkan, lansia yang menderita diabetes mellitus diharapkan untuk melakukan tes fungsi ginjal minimal setahun sekali. Selain itu, promosi kesehatan mengenai hidup sehat perlu ditingkatkan kembali
Chronic kidney disease is a serious problem both in the world and in Indonesia. The prevalence of chronic kidney disease sufferers in the world in 2017 reached 9.1% based on population. While in Indonesia in 2013 it was 0.2%. In Central Java in 2013-2018 there was an increase in prevalence of 0.12%. This study aims to determine the risk factors for chronic kidney disease in the elderly in Central Java. The method used in this study is nested case control. The data source used in this study is Riskesdas 2018. A total of 67 respondents belong to the case group and 201 respondents belong to the control group. Based on the analysis, it was found that 6% of respondents who suffer from diabetes mellitus, 32.8% hypertension, and 15.3% obesity, have smoking behavior 44.8%, have poor physical activity 31%, have a low level of education 87.3%, and 45.5% female. Diabetes mellitus had a significant relationship with the OR of 3.27 with 95% CI (1.18~9.09). For this reason, it is important to carry out early detection of Diabetes Mellitus and Chronic Kidney Disease by adding a urine dipstick test to the PTM Posbindu program. Meanwhile, the elderly who suffer from diabetes mellitus are advised to have a kidney function test at least once a year. In addition, health promotion regarding healthy living needs to be improved again."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Santi Ayu Lestari
"ABSTRAK
Masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler semakin meningkat pada lansia yang tinggal di area perkotaan. Lansia di institusi perawatan jangka panjang termasuk populasi yang memiliki risiko tinggi terhadap masalah kardiovaskuler. Studi kasus ini bertujuan untuk menggambarkan hasil intervensi swedish massage yang dilakukan pada lansia dengan masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. Pemberian intervensi swedish massage dilakukan sebanyak 12 sesi selama 5 minggu dalam durasi 10 menit. Hasil intervensi menunjukkan terjadi penurunan pada tekanan darah sistolik dan diastolik sebanyak 6 dan 5,8 mmHg. Hal ini menunjukkan bahwa swedish massage merupakan intervensi yang efektif, aplikatif, berbiaya efisien, dan aman yang dapat digunakan dalam menurunkan tekanan darah pada lansia dengan risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. Studi ini menyarankan untuk pengaplikasian swedish massage dalam mengoptimalkan perawatan lansia dengan hipertensi di institusi perawatan jangka panjang.

ABSTRACT
The risk for impaired cardiovascular function increased in elderly in urban areas. Elderly in long term care institutions including populations at high risk for cardiovascular problems. This case study aims to describe the results of swedish massage interventions conducted in the elderly with the risk of impaired cardiovascular function. This intervention performed a total of 12 sessions over 5 weeks in duration of 10 minutes. The results of the intervention showed a decrease in systolic and diastolic blood pressure by 6 and 5.8 mmHg. This findings revealed that the swedish massage is an effective, applicable, cost efficient, and safe intervention, which can be used to lower blood pressure in older adults with risk for impaired cardiovascular functions. This study suggested for the application of swedish massage in optimizing treatment for the elderly with hypertension in long-term care institutions."
2016
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Beningtyas Kharisma Bestari
"ABSTRAK
Kecemasan merupakan perasaan takut atau khawatir yang disebabkan oleh berbagai peristiwa yang bersifat subjektif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan jumlah penyakit kronis yang dimiliki terhadap kecemasan lansia dengan penyakit kronis di wilayah binaan UPF Puskesmas Pabuaran Indah, Kecamatan Cibinong. Desain penelitian adalah deskriptif korelatif dengan pendekatan cross sectional. Sampel berjumlah 105 lansia dengan penyakit kronis, berusia 60 tahun atau lebih yang dipilih dengan teknik cluster sampling. Instrumen yang digunakan adalah Depression Anxiety Stress Scale (DASS) skala kecemasan dan kuesioner karakteristik responden. Hasil penelitian menemukan terdapat hubungan antara jumlah penyakit kronis yang dimiliki terhadap kecemasan lansia dengan penyakit kronis, (p= 0,004) dengan kekuatan hubungan (odd ratio) 3.549. Lansia yang memiliki lebih dari satu penyakit kronis memiliki risiko 3 kali lebih besar untuk merasa cemas. Pelayanan kesehatan disarankan untuk memberikan edukasi kesehatan dan meningkatkan peran keluarga untuk mengurangi kecemasan."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
610 JKI 19:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Rebekka
"Latar belakang: Tromboemboli vena (TEV) dapat bermanifestasi sebagai trombosis vena dalam (TVD) ataupun emboli paru (EP). EP sebagai komplikasi TVD dapat berakibat fatal. TVD umumnya terjadi disebabkan multipel faktor risiko seperti penyakit penyerta (komorbid), faktor provokasi, gangguan hemostasis dll. Gangguan fungsi hemostasis berupa keadaan protrombotik sudah dimulai dari awal stadium penyakit ginjal kronik (PGK). Menurunnya laju filtrasi glomerulus berkolerasi dengan peningkatan TEV. Mekanisme pasti bagaimana terjadinya TVD pada penderita PGK sampai saat ini masih belum jelas.
Tujuan: Untuk mengetahui profil hemostasis dan faktor risiko yang berhubungan dengan TVD pada pasien PGK.
Metode : Penelitian potong lintang retospektif dengan memakai data sekunder pada pasien PGK stadium 3-5 yang dirawat inap selama 1.5 tahun antara Oktober 2011- April 2013. Faktor risiko TVD yang diteliti meliputi DM, CHF, stroke iskemik, faktor provokasi, usia lanjut dan penurunan LFG. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan dengan regresi logistik untuk mendapatkan faktor risiko yang paling berhubungan dengan terjadinya TVD pada pasien PGK. Adanya perbedaan proporsi pada kedua kelompok dinilai dengan analisis bivariat.
Hasil: Proporsi TVD kasus baru yang telah dikonfirmasi dengan USG Doppler ditemukan sebesar 8% (91 dari 1115 pasien). Subyek penelitian sebanyak 160 pasien terdiri atas kelompok TVD 75 orang dan kelompok Non TVD 85 orang, subyek juga terbagi dalam kelompok Dialisis 77 orang dan Non Dialisis 83 orang. Pada pemeriksaan hemostasis ditemukan persentase rasio APTT <0.8 (1.9%), rasio PT <0.8 (0%), INR <0.8 (0%), fibrinogen >400 mg/dl (56.2%) dan D-Dimer >500 μg/l (87.5%) pada keseluruhan pasien PGK. Kadar fibrinogen lebih tinggi pada kelompok TVD daripada Non TVD. Tidak ada perbedaan hemostasis antara kelompok Dialisis dan Non Dialisis. Dari beberapa faktor risiko TVD yang diteliti, DM merupakan faktor risiko yang bermakna sesuai p <0.001, OR 4.5 (95% KI 2.3-8.8).
Kesimpulan: Sebagian besar pasien PGK cenderung mengalami hiperkoagulasi. Pasien PGK dengan DM berisiko untuk mengalami TVD. DM bersama faktor risiko lain dapat menjadi predisposisi terjadinya TVD pada PGK.

Background: Venous thromboembolism (VTE) may manifest as deep vein thrombosis (DVT) or pulmonary embolism (PE). PE as a major complication of DVT and can lead to potentially fatal. DVT can occur as the result of multiple risk factors such as comorbidities, provoked factors, abnormal hemostasis functions and others. Chronic kidney disease (CKD) is typically associated with a prothrombotic tendency in the early stages of the disease. The declining of glomerular filtration rate (GFR) is correlated with increasing of VTE. The exact mechanism of how DVT develops in CKD patients remains unclear.
Aim: To determine the hemostasis profiles and risk factors associated with DVT in CKD patients.
Methods: Retrospective cross sectional study was hold by review the medical records from stage 3-5 CKD patients that hospitalized during 1.5 years (October 2011 - April 2013). Multiple risk factors for TVD such as CHF, stroke ischemic, provoked factors, elderly and decreasing of eGFR were examined. Bivariate and multivariate analysis with logistic regression performed to obtain the most risk factors associated with the occurrence of TVD in CKD patients. The differences of proportion between both groups were assessed by bivariate analysis.
Results: The proportion of first DVT confirmed by doppler ultrasound was 8% (91 of 1115 patients). 160 patients were divided into groups. 75 and 85 patients comprised the group with DVT-Non DVT as well as 77 and 83 patients comprised the group with Dialysis-Non Dialysis. We found the APTT ratio <0.8 (1.9 %), PT ratio <0.8 (0 %), INR <0.8 (0 %), fibrinogen level >400 mg/dl (56.2 %) and DDimer level >500 μg/l (87.5 %) in all CKD patients. The level of fibrinogen was higher when DVT group compared to Non DVT group. There was no significant differences of hemostasis functions between Dialysis and Non Dialysis group. Multivariate analysis demonstrated that diabetes mellitus (p<0.001, OR: 4.5; 95% CI: 2.3 to 8.8) was associated with DVT in CKD patients among all risk factors.
Conclusion: Most CKD patients tend to have hypercoagulation. Diabetes was associated with DVT risk in CKD patients. Diabetes with other risk factors could be as predispotition factors for DVT in CKD in this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anindya Miranda Dewi
"[ABSTRAKbr
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara self perception of aging dan death anxiety pada lansia dengan penyakit kronis. Studi ini memiliki hipotesis bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara self perception of aging dan death anxiety. Alat ukur Attitudes Toward Own Aging (ATOA) digunakan untuk mengukur self perception of aging dan alat ukur Fear of Personal Death Scale (FPDS) digunakan untuk mengukur death anxiety. Penelitian ini dilakukan pada 123 lansia dengan penyakit kronis di Jabodetabek. Melalui penghitungan statistik dengan teknik korelasi Pearson, ditemukan bahwa death anxiety berkorelasi secara negatif dan signifikan dengan self perception of aging (r= -0,274, p<0.01), artinya semakin positif self perception of aging lansia maka semakin rendah tingkat death anxiety yang dimilikinya. ;The purpose of this study was to find out if there is a correlation between self perception of aging and death anxiety among older adults with chronic illness. This study hypothesized that death anxiety correlates negatively and significantly with self perception of aging. Self perception of aging is measured with Attitudes Toward Own Aging (ATOA) and death anxiety is measured with Fear of Personal Death Scale (FPDS). There are 123 older adults with chronic illness in Jabodetabek involved in this study. The Pearson Correlation indicates that death anxiety correlates negatively and significantly with self perception of aging (r= -0,274, p<0.01), meaning the more positive older adults? self perception of aging, the lower the death anxiety.;The purpose of this study was to find out if there is a correlation between self perception of aging and death anxiety among older adults with chronic illness. This study hypothesized that death anxiety correlates negatively and significantly with self perception of aging. Self perception of aging is measured with Attitudes Toward Own Aging (ATOA) and death anxiety is measured with Fear of Personal Death Scale (FPDS). There are 123 older adults with chronic illness in Jabodetabek involved in this study. The Pearson Correlation indicates that death anxiety correlates negatively and significantly with self perception of aging (r= -0,274, p<0.01), meaning the more positive older adults? self perception of aging, the lower the death anxiety., The purpose of this study was to find out if there is a correlation between self perception of aging and death anxiety among older adults with chronic illness. This study hypothesized that death anxiety correlates negatively and significantly with self perception of aging. Self perception of aging is measured with Attitudes Toward Own Aging (ATOA) and death anxiety is measured with Fear of Personal Death Scale (FPDS). There are 123 older adults with chronic illness in Jabodetabek involved in this study. The Pearson Correlation indicates that death anxiety correlates negatively and significantly with self perception of aging (r= -0,274, p<0.01), meaning the more positive older adults’ self perception of aging, the lower the death anxiety.]"
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S59025
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Utri Triana
"Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi yang terus meningkat, tercatat berdasarkan Riskesdas tahun 2013 prevalensi PGK adalah 0,2% dan pada Riskesdas tahun 2018 meningkat menjadi 0,38%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi PGK dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian PGK di Indonesia. Data yang dianalisis adalah data Indonesian Family Life Survey (IFLS) 5 dan dianalisis untuk menghitung prevalence ratio (PR) dengan batas kepercayaan 95%. PGK didefinisikan berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan. Dari hasil analisis didapatkan prevalensi PGK di Indonesia sebesar 1,7%. Faktor risiko yang berhububungan secara signifikan dengan kejadian PGK diantaranya adalah kelompok umur 52-60 tahun (PR=2,159; 95% CI=1,368–3,406), kelompok umur 43-51 tahun (PR=2,186; 95% CI=1,454–3,287), kelompok umur 31-42 tahun (PR=2,150; 95% CI=1,463–3,160), laki-laki (PR=0,653; 95% CI=0,504–0,845), merokok PR=1,356 (95% CI=1,048–1,755), aktivitas fisik sedang (PR=1,399; 95% CI=1,015–1,929), hipertensi (PR=1,420; 95% CI=1,051–1,918), diabetes melitus (PR=2,631; 95% CI=1,666–4,156), kolesterol tinggi (PR=3,357; 95% CI=2,388–4,721), dan obesitas (PR=1,467; 95% CI=1,134–1,897). Kolesterol tinggi dan diabetes melitus merupakan variabel yang memiliki kemungkinan terbesar terhadap kejadian PGK.

Chronic kidney disease (CKD) is a health problem with increasing prevalence, recorded based on Riskesdas 2013 the prevalence of CKD was 0,2% and it increased to 0,38% in Riskesdas 2018. This study aims to determine the prevalence of CKD and factors associated with the occurrence of CKD in Indonesia. This analysis used The Indonesian Family Life Survey (IFLS) 5 and analyzed to calculate the prevalence ratio (PR) with a 95% confidence interval. CKD was defined based on the diagnosis of health workers. The analysis shows that the prevalence of CKD in Indonesia is 1,7%. Risk factors that significantly associated with CKD are the age group 52-60 years (PR=2,159; 95% CI=1,368–3,406), age group 43-51 years (PR=2,186; 95% CI=1,454–3,287), age group 31-42 years (PR=2,150; 95% CI=1,463–3,160), males (PR=0,653; 95% CI=0,504–0,845), smoking PR=1,356 (95% CI=1,048–1,755), moderate physical activity (PR=1,399; 95% CI=1,015–1,929), hypertension (PR=1,420; 95% CI=1,051–1,918), diabetes (PR=2,631; 95% CI=1,666–4,156), high cholesterol (PR=3,357; 95% CI=2,388–4,721), and obesity (PR=1,467; 95% CI=1,134–1,897). High cholesterol and diabetes are the variables that have the biggest possibility of CKD.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathia Amalia Faizal
"Latar belakang: Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan penyakit paru yang menyebabkan 60% kematian di Indonesia. Terjadi peningkatan prevalensi frailty pada pasien PPOK hingga dua kali lipat dibandingkan pada pasien tanpa PPOK. Frailty merupakan sindrom lansia terkait perubahan fisiologis dan morfologis pada berbagai sistem tubuh akibat penuaan. Pada PPOK terjadi inflamasi sistemik yang ditandai dengan penanda inflamatori. Rasio neutrofil-limfosit (RNL) merupakan penanda inflamatori yang cukup stabil, terjangkau, dan banyak digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan RNL dengan frailty pada pasien lansia dengan PPOK. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang. Penilaian frailty dilakukan berdasarkan kuesioner FRAIL dan hitung jenis darah perifer melalui data rekam medis RSCM dari bulan Oktober 2021–Oktober 2022. Hasil: Terdapat 103 subjek dengan prevalensi yang mengalami frail sebanyak 63 orang (61,2%). Pada analisis bivariat, didapatkan hasil bahwa RNL memiliki hubungan yang signifikan dengan frailty (p = 0,017). Median RNL pada kelompok frail sebesar 2,30 (1,27 – 7,03) dan kelompok non-frail sebesar 2,01 (0,72 – 4,56). Pada analisis kelompok kuartil, didapatkan hasil yang signifikan antara RNL dengan frailty (p = 0,009). Sebanyak 33,3% pasien frail berada pada kuartil keempat (> 3,060) dan sebanyak 42,2% pasien non-frail berada pada kuartil kesatu (<1,870). Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara RNL dengan frailty pada pasien lansia dengan PPOK.

Introduction: Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is a lung disease that causes 60% of deaths in Indonesia. There was an increase in the prevalence of frailty in COPD patients up to two times compared to patients without COPD. Frailty is an elderly syndrome related to physiological and morphological changes in various body systems due to aging. In COPD, there is systemic inflammation characterized by inflammatory markers. Neutrophil to Lymphocyte ratio (NLR) is an inflammatory marker that is relatively stable, affordable, and widely used. This study aims to determine the relationship between NLR and frailty in elderly patients with COPD. Method: This cross-sectional study was conducted on elderly patients with COPD. Subjects performed frailty assessment based on the FRAIL questionnaire and peripheral blood type count through RSCM’s patient medical record from October 2021 – October 2022. Result: There were 103 subjects with a prevalence of frailty in 63 patients (61.2%). In bivariate analysis, results found that RNL had a significant relationship with frailty (p = 0.017). The median RNL in the frail group was 2.30 (1.27 – 7.03), and the non-frail group was 2.01 (0.72 – 4.56). In the quartile group analysis, RNL and frailty obtained significant results (p = 0.009). A total of 33.3% of frail patients were in the 4th quartile (> 3.060), and 42.2% of non-frail patients were in the 1st quartile (<1.870). Conclusion: There is a significant relationship between NLR and frailty in elderly patients with COPD. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kirana Andyan Pinasthi
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai hubungan antara
psychological well-being dan self-perception of aging pada lansia dengan penyakit kronis.
Psychological well-being didefinisikan sebagai kesejahteraan yang terdiri dari selfacceptance,
personal growth, purpose in life, positive relations with others, environmental
mastery, dan autonomy (Ryff & Keyes, 1995), sedangkan self-perception of aging
merupakan pandangan individu terhadap penuaan yang mereka alami dan persepsi serta
sikap subjektif lansia terhadap penuaan mereka sendiri (Lawton, 1975 dalam Kim, Jang &
Chiriboga, 2012). Banyak penelitian sebelumnya yang berasumsi bahwa self-perception of
aging merupakan salah satu prediktor dari psychological well-being. Namun, belum ada
penelitian yang melihat hubungan antara keduanya pada lansia dengan penyakit kronis,
khusunya di Indonesia. Penelitian dilakukan pada 110 lansia dengan penyakit kronis
dengan menggunakan alat ukur Ryff’s Scale of Psychological Well-Being (RSPWB) dan
sub skala Attitudes Toward Own Aging dari Philadelphia Geriatric Center Morale. Dalam
penelitian ini ditemukan adanya hubungan positif signifikan antara psychological wellbeing
dan self-perception of aging (r = 0,203) pada LoS 0,05.

ABSTRACT
This study aims to investigate the relationship between psychological well-being and selfperception
of aging on elderly with chronic illness. Psychological well-being is defined as
welfare that consists of self-acceptance, personal growth, purpose in life, positive relations
with others, environmental mastery, and autonomy (Ryff & Keyes, 1995), whereas selfperception
of aging is an individual perspective towards the aging process they experience
and the subjective attitude of elderly regarding their own aging process (Lawton, 1975 in
Kim, Jang & Chiriboga, 2012). Previous studies assumed self-perception of aging as one
of the predictor of psychological well-being, but there is not much of attention to see the
correlation between them especially in Indonesian older adults with chronic illness. 110
older adults with chronic illness are involved in this study using Ryff’s Scale of
Psychological Well-Being (RSPWB) and Attitudes Toward Own Aging sub scale of
Philadelphia Geriatric Center Morale and it is found that psychological well-being and
self-perception of aging correlates positively and significantly (r = .203; p<.05)."
2015
S59132
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Rokhani
"Terbukanya ruang demokrasi dalam dunia peburuhan ditandai dengan diundangkannya Undang-undang No. 21 tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh serta diratifikasinya Konvensi ILO No. 87 tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi. Dengan adanya lebih dari satu serikat buruh, dapat muncul konflik antar SB. Tidak saja antara SB yang baru dengan SB yang lama akan tetapi juga antar SB yang Iahir pada masa sesudah orde baru runtuh. Perbedaan-perbedaan dalam bebagai bidang misalnya strategi perjuangan, rekruitmen anggota, pola kepemimpinan dan idologl, ditambah dengan kemungkinan adanya-friksi yang terus menerus, dan dengan dimungkinkannya SB-SB ini berada dalam satu perusahaan, sehingga friksi tersebut pada tingkatan tertentu dapat berubah menjadi konfIik. Meskipun telah ada undang-undang yang mengatur perselisihan antar SB, studi tentang konflik antar SB sangat menank mengingat serikat buruh sebagai kekuatan politik masyarakat yang seharusnya dapat menjadi kekuatan yang satu dalam mengatasi masalah yang mereka hadapi.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mencliskripsikan syarat-syarat kondisional yang mendorong timbulnya Iebih dari satu SB dalam satu perusahaan. Mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya konflik antar SB. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi pendorong integrasi bagi SB dalam satu perusahaan. Menganalisis peranan pemerintah dalam konflik antar SB dikaitkan dengan hak kebebasan berserikat sebagimana diatur dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja Serikat Buruh. Ditinjau dari jenisnya, studi ini termasuk penelitian kualitatif dengan spesifikasi studi kasus Karena yang akan dituiiskan dalam studi ini bersifat penyelidikan, maka yang diperlukan adalah kecukupan informasi unluk dianalisis. Yaitu berbagai persoalan yang mewarnai adanya konflik antar SB. Sedangkan komunitas yang akan menjadi perhatian adalah tiga perusahaan yang memiliki dua serikat buruh, yang berada di Kota dan Kabupaten Tangerang. Dalarn hal ini dipilih adalah perusahaan yang sudah dipastikan mempunyai dua SB dengan pasangan yang cukup variatif. Kepastian ini diperoleh berdasarkan informasi awal yang dikumpulkan oleh penulis pada saat persiapan pembuatan proposal. Pada saal sudah ditetapkan tiga perusahaan yang akan diteliti, ketiga perusahaan adalah penghasil sepatu dengan label intemasional yang cukup ternama yaitu Adidas. Nike dan Reebok. Adapun tiga perusahaan dan nama-nama SB yang dipilih adalah PT. Adis Dimension lndustry footwear (ADF) produsen sepatu Nike, PT. Panarub lndustry Ltd. produsen sepatu Adids dan PT. Dong Joe Indonesia produsen sepatu Reebok. Ketiga perusahaan berlokasi di Kabupaten dan Kota Tangerang.
Dari studi ini disimpulkan bahwa a) Adanya lebih dari satu SB dalam satu perusahaan, selalu diawali adanya salu SB terlebih dahulu. Kemudian karena adanya faktor-faktor pendorong berdirinya SB maka terbeniuk SB yang baru. b) Syarat-syarat kondisional terjadinya perubahan dari kelompok semu menjadi kelompok kepenlingan sebagaimana yang dikemukan oleh Dahendorf, meliputi kondisi teknis organisasi, kondisi politis organisasi dan kondisi sosial orgnisasi dapat dipenuhi oleh SB yang diteliti, disebabkan adanya perubahan secara politis dilingkat kenegaraan. Yaitu adanya kebebasan berserikat yang dijamin oleh undang-undang. c) Masing-rnasing SB berbeda dalam menyikapi konflik antar SB. Untuk dapat menurunkan intensitas konflik antar SB, peranan SB yang dominan dalam jumlah sangat panting dengan mernbangun komunikasi anlar SB dan menjaga agar konflik tetap pada posisi yang fungsional. d) Perbedaan cara berhubungan sosial SB dalam satu perusahaan berpengaruh pada cara mengatasi konflik antar SB. Pada SB yang memiliki profil sosial yang sama, seperti di PT. ADF lebih dapat mengatasi konflik, jika dibandingkan dengan SB yang memiliki profil sosial yang berbeda Seperti yang terjadi di PT. Panamb dan PT. Dong Joe. e) Konflik-konflik yang terjadi antar SB lebih pada konflik emosi dibanding konflik subslansi. Dengan demikian, penyelesaian melalui jalur hukum tidak akan menyelesaikan masalah yang dihadapi. f) Sebagian pengurus SB mampu memanfaatkan konflik unluk membangun kinerja dalam intem orgnisasi, seperti yang terjadi pada SPN dan Perbupas di PT. Panarub. Konflik menyebabkan keduanya berusaha unluk bekerja maksimal guna mempertahankan jumlah anggota bagi SPN dan menambah jumlah anggota bagi Perbupas. Sedangkan yang terjadi di PT. ADF beiusaha meredam konflik dengan cara mengajak kerja sama serikat bumh lainnya dengan cara yang maksimal. Demikian yang terjadi di PT. Dong Joe, konflik antar SB juga mendorong masing-masing serikat berusaha Iebih balk. Dari sisi pengamh antar serikat boleh dikatakan bahwa konflik antar SB yang lerjadi pada ketiga perusahaan adalah konflik yang fungsional khususnya lagi yang terjadi di PT Adis Dimension Footwear (ADF). Akan tetapi tidak demikian halnya jika dilihat dari sisi manajemen mereka cukup kerepotan dalam menghadapi konflik yang terjadi antar serikat pekerja serikat buruh. g) Para pengurus SB di tingkat cabang dan tingkat nasional menganggap konflik antar SB di tingkat pabrik adalah persoalan para pengurus SB tingkat pabrik, sehingga tidak ada petunjuk khusus dari organisasi unluk menghadapi masalah ini. Kalaupun ada keterlibatan para pimpinan serikat buruh hanya dalam bentuk nasihat jika telah terjadi konflik, dan tidak ada strategi khusus yang ditawarkan unluk mengatasi konflik yang terjadi. Sehingga kehadiran pimpinan serikat pekerja tingkat cabang kurang dirasakan manfaatnya khususnya yang dirasakan oleh SPN PT. Panarub sehingga Iebih merasa yakin meminta bantuan penyelesaian pada pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja Kota Tangerang. i) Tahapan terjadinnya konflik antar SB yang diteliti tidak melalui tahapan yang seperti terjadi pada konflik sosial yang lain, yang dapat meningkat pada krisis karena adanya tindak kekerasan dan pada akibat konflik. Akan tetapi hanya pada tahap I yaitu oposisi atau ketidak cocokan potensial dan tehap ll yaitu konfrontasi. Namun demikian pola dan tahapan konflik antar SB tidak dapat ditetapkan secara ketat, mengingat kondisinya bisa terus bergerak dari tahap I meningkat menjadi tahap ll dan dapat kembali menajdi tahap I. j) Penye|esaian konflik antar SB juga telah disiapkan peraturan perundangaannya melalui Undang-Undang No. 2 tahun 2004. k) Peran pemerintah dalam di bidang ketenagakerjaan dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten/Kota. Dalam persoalan konflik antar SB peran pemerintah diwujudkan daiam 4 fungsi yaltu sebagai pencatat, Pembina, pengawas dan penyidik. Peran-peran ini diatur dalam tiga Undang-undang yaitu Undang-undang No. 21 tahun 2000 tentang SPISB, Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) l) Sikap manajemen pada umumnya sangat berhati-hati dalam memperlakukan dua SB di perusahaannya. Mengingat ke tiga perusahaan memproduksi sepatu denga merk internasionai yaitu Nike, Reebok dan Adidas, sehingga mereka harus menjaga reputasinya agar tidak dianggap menentang kebebasan berserikat (terkait dengan isu HAM), di sisi lainnya mereka harus menjaga suasana ketenangan berusaha sebagai jaminan bagi partner bisnis mereka. Sehingga para manajemen perusahaan yang diteliti, bertindak sebagai fasilitator/mediator dalam setiap konflik antar SB yang terjadi di perusahaannya. m) meskipun konflik-konflik yang terjadi antar SB dengan intensitas yang tinggi, seperti terjadi di PT. Panarub dan PT. Dong Joe, namun potensiai integrasi antar SB tetap ada mengingat faktor-faktor pendorong terjadinya konflik adalah bukan suatu yang sangat prinsip seperti ideologi atau perbedaan tujuan, akan tetapi lebih pada masalah perbedaan pendapat, perbedaan pandangan, ketidaksesuaian pencapaian tujuan, ketidakcocokan periiaku, pemberian pengaruh negatif dari pihak Iain pada apa yang akan dicapai oleh pihak iainnya, persaingan, kurangnya kerjasama, adanya usaha mendoniinasi dan tidak taat pada tata tertib dan peraturan kerja organisasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22134
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>