Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 152291 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurrahmi Ika Aminy Putri
"[ABSTRAK
Ibu menyusui merupakan salah satu kelompok yang beresiko tinggi mengalami kekurangan gizi akibat perilaku pantang makanan. Perilaku pantang makanan masih banyak terjadi di daerah yang masih memiliki budaya yang kuat. Penelitian ini bertujuan untuk menggali informasi lebih mendalam terkait perilaku pantang makanan pada ibu menyusui di desa Duwet Kedampul Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang Jawa Timur. Desain studi yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dengan menggunakan metode FGD pada ibu menyusui dan kader posyandu dan wawancara mendalam dengan anggota keluarga dan bidan desa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu menyusui masih mematuhi pantang makanan yang telah diturunkan antargenerasi. Faktor pencetus antara lain pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan sikap. Ibu menyusui dan anggota keluarga memiliki sikap positif terkait perilaku pantang makanan tersebut. Sebaliknya, bidan dan kader posyandu memiliki sifat negatif terhadap pantang makanan pada ibu menyusui. Pantang makanan pada ibu menyusui didasarkan pada kepercayaan bahwa dengan menghindarkan makanan yang dipantang dapat mencegahkan ibu dan bayi terhadap bahaya (magis). Faktor pendukung antara lain yakni sarana berupa akses informasi yang didapat dari orang terdekat ibu menyusui, bidan, ataupun media cetak. Faktor penguat yakni pengaruh dari keluarga dan pengaruh dari petugas kesehatan sehingga diperlukan penyuluhan terkait pantang makanan pada ibu menyusui.

ABSTRACT
;Breastfeeding mothers is one of the group with undernutrition risk because of food taboo practice. The food taboo is still exist in the community with strong culture. This research aimed to explain the food taboo behavior among breastfeeding mother in Duwet Kedampul Village, Tumpang sub District, Malang District, East Java. Study design is descriptive qualitative by using method FGD in breastfeeding mothers and kader and in-depth interviews with family members and midwife. The results showed that breastfeeding mothers still obey abdicated intergeneration food taboos. Predisposing factors such as knowledge, beliefs, values, and attitudes. Breastfeeding mothers and family members have a positive attitude toward food taboo. But, midwife and kader have negative attitudes toward food taboo among breastfeeding mother. Food taboo exist is based on the belief that by avoiding the food, mother and her baby can be saved from certain dangers (magical). Enabling factors consists of form of access to the information obtained from the nearest breastfeeding mothers such as her husband or parents, midwife, or flyers. Reinforcing factors consists of influence from family such as husband or parents and influence from health care workers such as kader and midwifes. So, the health care workers have to make education discussion about food taboo to breastfeeding mothers and her family., Breastfeeding mothers is one of the group with undernutrition risk because of food taboo practice. The food taboo is still exist in the community with strong culture. This research aimed to explain the food taboo behavior among breastfeeding mother in Duwet Kedampul Village, Tumpang sub District, Malang District, East Java. Study design is descriptive qualitative by using method FGD in breastfeeding mothers and kader and in-depth interviews with family members and midwife. The results showed that breastfeeding mothers still obey abdicated intergeneration food taboos. Predisposing factors such as knowledge, beliefs, values, and attitudes. Breastfeeding mothers and family members have a positive attitude toward food taboo. But, midwife and kader have negative attitudes toward food taboo among breastfeeding mother. Food taboo exist is based on the belief that by avoiding the food, mother and her baby can be saved from certain dangers (magical). Enabling factors consists of form of access to the information obtained from the nearest breastfeeding mothers such as her husband or parents, midwife, or flyers. Reinforcing factors consists of influence from family such as husband or parents and influence from health care workers such as kader and midwifes. So, the health care workers have to make education discussion about food taboo to breastfeeding mothers and her family.]
"
2015
S58932
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lini Anisfatus Sholihah
"Ibu hamil merupakan salah kelompok berisiko untuk kekurangan gizi karena tabu makanan. Tabu makanan masih banyak dijumpai pada masyarakat dengan etnis budaya yang kuat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku tabu makanan ibu hamil pada suku Tengger di Ngadas, Malang. Desain studi adalah kualitatif deskriptif dengan menggunakan metode FGD pada ibu hamil dan wawancara pendalam dengan tetua masyarakat, keluarga, serta petugas kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu hamil masih mematuhi tabu makanan yang telah diturunkan antargenerasi. Faktor pencetus antara lain pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan sikap. Baik ibu hamil, keluarga, kader kesehatan, dan tetua masyarakat memiliki sikap yang positif terkait tabu makanan kehamilan sedangkan bidan memiliki sikap negatif dan cenderung tertutup dengan permasalahan tabu yang ada. Tabu makanan yang ada didasarkan pada kepercayaan bahwa menghindarkan makanan tersebut dapat melindungi ibu dan janinnya dari bahaya tertentu dan adanya nilai suci untuk tidak saling membunuh sesama makhluk. Faktor pendukung antara lain adanya pitutur sebagai akses informasi mengenai pantangan makan dan keterbatasan fungsi Posyandu. Faktor penguat meliputi pengaruh orang tua, mertua, suami, dukun bayi (paraji), tetangga, dan bidan. Diperlukan adanya penyuluhan terkait tabu makanan kehamilan pada keluarga, dukun bayi, dan ibu hamil oleh bidan.

Pregnant woman is one of the group with undernutrition risk because of food taboo practice. Food taboo is still exist in the community with strong culture. This research aimed to explain the food taboo behavior among the pregnant woman of Tengger tribe live in Ngadas, Malang. Study design is descripive qualitative by using FGD with pregnant women and indepth interview with elders, family, and health care workers. The result shows that pregnant women still obey the abdicated intergeneration food taboos. Predisposising factors are knowledge, belief, value, and attitude. Pregnant woman, family, kader, and elders have positive attitudes toward food taboo while midwife has negative and covert attitudes. Food taboo exist is based on the belief that by avoiding the food, mother and fetus can be saved from certain dangers and also teach the value of not killing the living creatures. Enabling factors consist of utterance as the information access of food taboo and limitation of Posyandu. Reinforcing factors include the influence of parents, mother in law, husband, paraji, neighbor, and midwife. Midwife should give informations to family, paraji, and pregnant woman about the food taboo.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S46640
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ira Utami Agusputri
"Skripsi ini mengkaji mengenai pantangan makan di kalangan ibu hamil dan ibu masa nifas di sebuah pedesaan di Jawa Barat, yaitu Desa Ciganjeng. Melalui wawancara mendalam dan pengamatan terlibat saya berupaya memahami kebiasaan dan pantangan makan yang dilakukan para ibu hamil dan masa nifas sebagai bentuk upaya mereka dalam menjaga kehamilan, kelahiran dan masa nifas. Para ibu hamil dan masa nifas di Desa Ciganjeng memiliki kebiasaan makan tertentu yang tidak telepas dari adanya pantangan makan yang harus mereka jalani. Beberapa jenis makanan dilarang dikonsumsi oleh ibu hamil dan masa nifas di Desa Ciganjeng terkait dengan alasan-alasan kesehatan. Pengetahuan para ibu mengenai jenis dan alasan pantangan makan tersebut mereka peroleh dari orang yang berperan membantu perawatan kehamilan dan kelahiran yaitu paraji Mak Enok yang dapat dikatakan sebagai agen dalam penyebaran pengetahuan pantangan makan.Tulisan ini menjelaskan mengenai kapasitas agensi yang dimiliki oleh Mak Enok sehingga ia dapat disebut sebagai agen dalam penyebaran pengetahuan pantangan makan.

This research focuses on the food taboo for pregnant mothers post-pregnancy mothers in Ciganjeng village, West java. Through in-depth interviews, I seek to understand the eating habits and taboos by pregnant women during childbirth as a form of their efforts in maintaining pregnancy, birth and the postpartum period. In this village, both pregnant mothers and post-pregnancy mothers have a habbit to eat some specific food. It includes kind of food, time of eating, and method of eating. Those aforementioned items have something to do with the food taboo implemented by those pregnant mothers and post-pregnancy mothers. The food is considered a taboo due to health reasons. The knowledge possessed by those mothers is acquired from a ?paraji? (a shaman helping to deliver babies) called Mak Enok that can be called as an ?agent?.The agents are considered important in spreading the knowledge of food taboo in Ciganjeng village. Mak Enok as an agent has a capacity that affects knowledge and actions of mothers to obey the food taboo given to them.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S60852
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Annisa Permana
"Asupan makan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Kegagalan pertumbuhan pada anak-anak dalam waktu yang lama menyebabkan stunting. Anak stunting ditetapkan sebagai masalah kesehatan masyarakat yang utama. Penelitian sebelumnya menunjukkan anak stunting mempunyai asupan protein yang lebih rendah daripada normal. Selanjutnya, asupan dan konsentrasi serum asam amino pada anak stunting termasuk dalam kategori rendah. Literatur terbaru mengatakan bahwa pertumbuhan manusia dipengaruhi oleh jalur genetik berupa mTORC1. Manfaat peningkatan asupan protein dan asam amino dipercayai dapat mengatur sinyal anabolik asam amino melalui mechanistic target of rapamycin complex 1 (mTORC1). Tujuan dari penelitian ini untuk menentukan korelasi antara asupan protein dan asam amino dengan aktivasi mTORC1. Empat puluh anak usia 8-10 tahun dihitung asupan makan selama tiga hari dan dikumpulkan sampel darahnya. Sel lysat yang diambil dari buffy coat dalam darah untuk mengukur fosforilasi mTORC1 menggunakan ELISA kits. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setengah dari respondent memiliki kecukupan asupan energi tidak adekuat, namun untuk asupan protein dan asam amino, sebagian besar dari mereka mempunyai asupan yang adekuat. Fosforilasi mTORC1 diukur dari persamaan linear optical density (OD) positif control y = 6x10-6 x +0.032; r2: 0.998. Hasil dari fosforilasi mTORC1 pada sampel terletak pada rentang positif control, bahkan ada yang lebih tinggi dari positif control 1 (P1). Korelasi antaran asupan makan seperti energy, protein dan asam amino esensial (histidine, isoleucine, leucine, lysine, methionine, phenylalanine, threonine, tryptophan, and valine) dan fosforilasi mTORC1 menunjukkan tidak ada korelasi (p>0.05). Menariknya, leucine dan arginine dinyatakan memiliki peran dalam jalur mTORC1. Analisis multivariate pada semua potensial factor ditemukan tidak ada korelasi yang signifikan. Pengukuran konsentrasi asam amino dalam darah dapat menjadi saran untuk menyimpulkan jenis asam amino yang mempengaruhi mTOR.

Dietary intake affects children growth and development. Persistent growth failure in children can cause stunting. Stunted children remain as a major public health problem. Recent study showed that stunted children had lower dietary protein intake than normal children. Furthermore, intake and serum concentration of essential amino acid in stunted children was categorized as low. Recent studies found that human growth was regulated by mTORC1 pathway. Increasing protein and amino acid intake maintains amino acid anabolic signaling through the mechanistic target of rapamycin complex 1 (mTORC1). The purpose of study was to determine the correlation between protein and essential amino acid intake toward activation of mTORC1. Forty children aged 8-10 year old were assessed for their dietary intake in three days and collected blood sample. Lysate cells were collected from buffy coat to determine mTORC1 phosphorylation using ELISA kits. The result showed that half of the children had inadequate energy intake, however most of them had adequate protein and amino acids intake. mTORC1 phosphorylation was obtained from the linear equation of Optical Density (OD) positive control y = 6x10-6 x +0.032; r2: 0.998. Correlation between dietary intake as energy, protein, and essential amino acids (histidine, isoleucine, leucine, lysine, methionine, phenylalanine, threonine, tryptophan, valine, cysteine, tyrosine and arginine) and mTORC1 phosphorylation showed no correlation (p>0.05). Interestingly, leucine and arginine was known to have role in mTORC1 pathway based on literature. Multivariate analysis on all potential factors showed no significant correlation. The correlation of protein and amino acids intake with mTORC1 needs to be analyzed further. This study suggests assessing concentration of amino acid in the blood to determine specific type of amino acid that regulate mTOR activation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Suciyanti
"ABSTRAK
Anemia merupakan masalah gizi utama pada remaja putri dengan efek jangka panjang yaitu kurangnya fungsi kognitif dan rendahnya kemampuan akademik. Tujuan studi ini adalah membandingkan kadar hemoglobin dan fungsi kognitif setelah 20 minggu edukasi gizi PGS-LP. Metode intervensi yang dilakukan adalah edukasi gizi di sesi keputrian setiap minggu. Hasil studi ini menunjukkan bahwa edukasi gizi meningkatkan konsumsi makanan spesifik PGS-LP namun tidak cukup mencegah anemia yang mungkin disebabkan oleh kurangnya asupan zat besi. Dampak positif terhadap fungsi kognitif tidak ditemukan dalam studi ini.

ABSTRACT
Anemia is the major nutritional problem among adolescent girls which has long term negative consequences on cognitive function and academic performance. The aim was to compare hemoglobin level and cognitive performance between intervention and control group after 20 weeks nutrition education. The nutrition education was integrated into school rsquo s system with teachers as fasilitators. The result showed nutrition education improved dietary intake, but can not yet prevent decrease in hemoglobin which may be attributable to inadequate dietary iron intake. Positive effect on cognitive performance was not yet observed.
"
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Ika Kusumaningsih
"Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor buruh migran perempuan (BMP). Terjadinya migrasi kerja dikarenakan adanya tarik menarik antara permintaan buruh migran dari negera tujuan migrasi untuk memenuhi kekurangan dari pekerja domestik dan pekerja perawatan anak dengan penawaran angkatan kerja dari Indonesia. Peningkatan pengiriman BMP memberikan pemahaman bahwa bagi yang lajang akan meninggalkan keluarga. Bagi yang telah menikah akan meninggalkan suami dan anak. Semakin banyak ibu dan istri yang bekerja di luar negeri tinggal dengan jarak yang relatif jauh dalam jangka waktu yang relatif lama, maka akan memberikan pengaruh bagi ketahanan rumah BMP.
Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan teori pertukaran dan pilihan rasional sebagai teori utama untuk menganalisis perceraian yang terjadi pada keluarga BMP. Perceraian yang dialami oleh keluarga BMP secara umum dapat dikelompokkan dalam dua hal: relasi suami istri dan institusi sosial di masyarakat yang mendukung perceraian. Perceraian pada keluarga BMP terjadi karena reward dan cost yang tidak seimbang membuat pasangan merasakan ketidakpuasan kehidupan perkawinan akibat peran yang tidak dijalankan oleh salah satu pasangan. Kondisi ini didukung oleh tekanan dari keluarga luas terhadap perceraian, lembaga bantuan hukum yang membantu proses perceraian secara legal dan prosedur pengadilan agama (PA) yang memperbolehkan pasangan diwakilkan kuasa hukum. Ditambah lagi PA Kab Malang yang memperbanyak ruang sidang justru memberi kesan kesempatan untuk mengajukan perkara perceraian.

Indonesia is one of the country which exporting women migrant workers. This happens because there is a demand on migrant worker from the migrant destination countries to meet the domestic worker shortage and care workers along with labor supply in Indonesia. The increasing number of women migrant workers giving an understanding that for those who is single would leave the family. For those married has to leave their husband and children. The more mother and the wives working abroad, live in a distance, in a long period of time, would affects the migrant worker household resilience.
As a teoritical base, this research using exchange theory and rational choice as the main theories to analyze woman migrant worker divorce. The migrant worker divorcement could be classified as two: couple relation and social institution in society that support the divorce. The divorcement on women migrant worker family happens because of unbalance reward and cost, make a unsatisfied married life caused by a role that is not run correctly by one of the couple. This condition supported by extended family force toward the divorecement, legal aid institutions which processing the divorce it self in a legal term along with religious court procedures which allowing couple attendance can be replace by legal authority, both institutions accelerate the divorce process. In addition, religious court in Malang Village has open more room for trial even more impressed giving more chance to propose the divorcement.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S53403
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Yani
"ABSTRAK
Pembangunan nasional yang dilaksanakan Indonesia selama PJPT I telah banyak membawa kemajuan dan perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat juga ditunjukkan dengan mening katnya pendapatan perkapita penduduk. Dalam 15-20 tahun yang lalu, pendapatan perkapita penduduk Indonesia baru mencapai US$ 210, namun pada tahun 1994 telah meningkat menjadi US 720. Pembangunan yang selama ini dilaksanakan, telah pula mengubah struktur ekonomi Indonesia yang menggeser peran sektor pertanian dalam produksi nasional. Dalam tahun 1989 peran sektor pertanian dalam produksi nasional sebesar 23,2 % telah turun menjadi 21,8 % pada tahun 1994. Sementara pada periode yang sama, peran sektor Industri meningkat dari 14,4 % menjadi 16,9 %.
Sejalan dengan terjadinya perubahan dalam struktur ekonomi, telah terjadi pula perubahan dalam struktur ketenagakerjaan, yang ditandai dengan terjadinya perubahan dalam distribusi jenis pekerjaan. Perubahan distribusi pekerjaan yang cukup tajam terutama terhadap tenaga kerja kepemimpinan dan ketatalaksanaan yang mencapai 177 %. Perubahan tersebut memberikan isyarat adanya peningkatan skill (ketrampilan) masyarakat, yang juga menunjukkan nilai-nilai kerja dengan mengutamakan profesionalisme cenderung semakin dihargai. Perubahan bentuk distribusi jenis pekerjaan yang berlangsung dalam arus perubahan dari masyarakat tradisional pertanian menuju masyarakat industri modern sebagai salah satu akibat keberhasilan pembangunan ekonomi yang selama ini dilaksanakan, telah melahirkan lapisan sosial ekonomibaru yang sering disebut sebagai kelas menengah.
Fenomena munculnya lapisan kelas menengah telah mengundang perhatian banyak kalangan ahli. Salah satu fenomena yang menarik adalah bahwa perilaku sosial ekonomi kelas menengah menampilkan refleksi yang berbeda dibandingkan dengan kelas sosial ekonomi lainnya.
Adanya suatu kecenderungan bahwa kelas menengah mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial yang muncul. Terhadap isu-isu lingkungan, kelas menengah memberikan kepedulian yang tinggi terutama dalam hal perlindungan lingkungan. Misalkan kebutuhan terhadap air dan udara bersih menurut kelas menengah adalah merupakan kebutuhan umum (publik) dan merupakan kebutuhan sosial. Dalam kaitan ini, penelitian ini mencoba untuk menelaah perilaku konsumsi rumah tangga terhadap kebutuhan lingkungan yang bersih dan sehat, dengan mengambil kasus kelas menengah.
Penelitian mengenai Perilaku Konsumsi Rumah Tangga Dalam Memenuhi Kebutuhan Lingkungan yang bersih dan sehat (kasus kelas menengah), merupakan studi kasus yang lokasinya di Kompleks Perumahan Pondok Timur Indah I, Desa Mustika Jaya, Kecamatan Bantar Gebang, Kabupaten Bekasi.
Jumlah populasi dalam penelitian ini sebanyak 1.123 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan Simple Random Sampling, dengan teknik penentuan Jumlah sampel menggunakan Teknik Estimasi Proporsi. Dari 1.123 populasi yang termasuk dalam kelompok kelas menengah adalah sebanyak 141 orang. Sedang yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah kepala rumah tangga kelas menengah.
Tujuan dari penelitian ini adalah pertama, untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran terhadap kebutuhan lingkungan yang bersih dan sehat. Kedua, mencari bentuk fungsi permintaan (melalui pendekatan pengeluaran) terhadap lingkungan yang bersih dan sehat. Ketiga, mengukur besarnya elastisitas pengeluaran terhadap kebutuhan lingkungan yang bersih dan sehat. Dalam penelitian ini lingkungan yang bersih dan sehat menyangkut dua aspek, pertama; kebutuhan akan kesehatan, kedua; kebutuhan akan rekreasi.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat hubungan yang cukup kuat antara beberapa variabel independen yaitu pendapatan, pendidikan, jumlah anggota rumah tangga, jenis pekerjaan, umur responder dan Crowding Index, dengan besarnya pengeluaran untuk kesehatan. Hal ini dibuktikan oleh angka koefisien korelasi (r) sebesar 0.84. Di samping itu koefisien determinasi memperlihatkan angka sebesar (r2) sebesar 0.85. mni berarti bahwa variasi besar kecilnya pengeluaran kesehatan 85 % disebabkan oleh beberapa variabel independen tersebut, sedangkan 15 % disebabkan oleh faktor lain.
Namun di antara beberapa variabel indpenden, ternyata variabel pendapatan, jumlah anggota rumah tangga dan umur responden mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan pengeluaran kesehatan. Hal ini ditunjukkan oleh hasil perhitungan koefisien korelasi Pearson yang menghasilkan masing-masing r = 0,92, 0,75 dan 0,43.
Terhadap pengeluaran untuk rekreasi, terdapat hubungan yang cukup kuat antara beberapa variabel independen yaitu pendapatan, pendidikan, jumlah anggota keluarga dan jenis pekerjaan dan umur responden dengan besarnya pengeluaran untuk rekreasi. Hal ini diperlihatkan oleh koefisien korelasi (r) sebesar 0.91. Sedang koefisien determinasi (r2) menunjukkan angka sebesar 0.92. ini berarti bahwa variasi besar kecilnya pengeluaran untuk rekreasi, 92 % disebabkan oleh variabel independen tersebut, sedangkan 8 % dipengaruhi oleh faktor lain.
Di antara variabel tersebut, variabel pendapatan, jumlah anggota rumah tangga dan umur responden mentpunyai hubungan yang sangat kuat dengan pengeluaran untuk rekreasi, yaitu dengan koefisien korelasi Pearson masing-masing sebesar 0,96, 0,71 dan 0,45.
Di samping itu, hasil perhitungan elastisitas pengeluaran kesehatan mendapatkan angka sebesar 1.64 (elastis). Angka ini berarti bahwa jika pengeluaran berubah sebesar 10 persen, maka menyebabkan terjadinya perubahan pengeluaran kesehatan sebesar 16.4 persen. Hal yang sama terlihat pula, angka elastisitas pengeluaran rekreasi sebesar 1.60. Hal ini berarti apabila pendapatan berubah 10 persen, maka terjadi perubahan pengeluaran rekreasi sebesar 16 persen.
Aspek lain yang ditemui dalam penelitian ini, terlihat rumah tangga kelas menengah mempunyai keinginan mengalokasikan pengeluaran untuk kesehatan ketika pendapatan sudah mecapai Rp 335.000,-. Sedang keinginan mengalokasikan pengeluaran untuk rekreasi, pada saat pendapatan mencapai Rp 275.000,-. Dapat disimpulkan bahwa rumah tangga kelas menengah cenderung lebih memperhatikan kegiatan rekreasi dibandingkan dengan upaya-upaya memperhatikan kesehatan.

ABSTRACT
The national development conducted by Indonesia as long as the first stage of development long term (PJPT T) has took change and progress society, i.e. increasing of a society welfare. For fifteen or twenty years ago, the income per capita of Indonesia has reached around US$ 210, but in 1994 has increased around US$ 720.
The development has also changed the contribution of agriculture and industries sector in GDP. The contribution of agriculture sector decline from around 23,3 % in 1989 to around 21,8 % in 1994. In the meantime the contribution of industries sector has increased from around 14,1 % to around 16,9 0.
In the line with changing in economic structure has took change in labor structure. It has been indicated by increasing distribution of type of job, i.e. leadership and management around 177 %. The chaning in distribution of type of job has resulted in a new social structure, i.e. the middle class.'
The middle class has pay more attention to environmental protection. In this context, the research tries to study on Household Consumption Behaviour Toward The Need for Healthy and Clean Environment. Case study of this research search is the middle class.
The research on Household Consumption Behavior In Fulfilling the need Toward a Clean and Healthy Environment (case study the middle class) was conducted at Pondok Timur Indah I Housing, Mustika Jaya Village, Bantar Gebang Sub-District, Bekasi District, West Java.
141 samples used in this research were taken out from 1123 population, using Simple Random Sample i.e Proportional Estimation Technique. Out of 1.123 population, 141 were of middle class. The respondent in this re-search were heads of middle class families.
The purposes of this research are: firstly to recognize the factors affecting the expenses to meet a clean and healthy environment. Secondly, to seek the form of request function (through expense approach) toward a clean and healthy environment. Thirdly, to measure the expense elasticity toward the need of a clean and healthy environment, in this research, the clean and healthy environment were connected to two aspect, i.e the need of health and recreation. Result of this re-search show a strong relationship between some independent variables i.e income, education, number of family members, type of job, age of respondent and crowding index, compared to health expense. This was proven by coefficient correlation figure of 0.84. Beside that the determination coefficient (r2} shows a rate of 0.85. This means the variation of big/small health expense was 85 percent resulted from said independent variables, while the remaining 15 percent was resulted from other factors.
In fact, among some independent variables, the income, number of family members and age of respondent variables have very strong relationship. This was shown by the result of Pearson Correlation Coefficient Calculation of those variables respectively are r= 0.92, 0.76 and 0.43.
On recreation expense, there was a relatively strong relationship between some independent variables, i.e income, education, number of family members, type of job and age of respondent with recreation expense. This was shown by correlation coefficient of 0.91. The determination coefficient (r2} showed an index of 0.92. This means that the variation of big/small recreation expense was 92 % resulted from said independent variables, while remaining 8 % was resulted from other factors.
Between the above mentioned variables, the income, number of family members and age of respondent variables have a very strong relationship with recreation expense, namely with Pearson correlation coefficient respectively are r 0.96, 0.71 and 0.45
Beside that, the result of health expense elasticity was 1.64 (elastic). This means that if expense change by 10 % the health expense will change by 16.4 %. The same case was also seen on recreation expense which have an elasticity rate of 1.60. This means that if the income change by 10 %, the recreation expense will respectively change by 16 %.
Another aspect found in this research was the middle class families willing to allocate health expense when their income reach Rp 335.000,- while willingness to allocate recreation arise at the time their income reach Rp 275.000,-. It can be concluded that the middle class families tend to pay more attention to recreation activities compared to efforts for health aspect.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triashtra Lakshmi
"ABSTRAK
Latar Belakang: Praktek ASI eksklusif mengalami trend penurunan dari 40%
tahun 2002/2003 menjadi 32% di tahun 2007 (SDKI). Mercy Corps Indonesia
menginisiasi intervensi berbasis masyarakat dengan nama Kelompok Pendukung
Ibu (KP Ibu) untuk meningkatkan pengetahuan dan perilaku ASI Eksklusif. KP
Ibu merupakan kegiatan diskusi semi-terstruktur yang rutin diadakan 2 minggu
sekali dengan jumlah peserta ibu menyusui atau Ibu hamil 8- 10 orang untuk
saling berbagi pengalaman, ide atau informasi seputar menyusui. Diskusi
difasilitasi oleh motivator, seorang Ibu yang telah dilatih sebelumnya untuk
memfasilitasi kelompok.Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui hubungan murni
KP Ibu dalam meningkatkan perilaku ASI eksklusif (recall 24 jam) Metoda:
Rancangan studi potong lintang menggunakan data sekunder Knowledge Practice
Coverage (KPC) Healthy Start Yogyakarta Survey tahun 2009 dan 2010 di
Kelurahan Banguntapan Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul DI
Yogyakarta. Data dikumpulkan di bulan Juni 2009 (sebelum program) dan May
2010 (sesudah program) pada populasi sumber yang sama; 25 dusun terpapar,
yaitu terdapat set-up KP Ibu dan 25 dusun tidak terpapar, yaitu non set-up KP Ibu.
Responden merupakan Ibu menyusui dengan anak kandung usia 0 - 6 bulan.
Hasil: Terdapat 57 responden yang berada di dusun terpapar dan aktif mengikuti
KP Ibu dari total 636 responden sesudah program. Responden yang mengikuti
kegiatan KP Ibu lebih dari 3 kali memiliki peluang untuk memberikan ASI
eksklusif hampir dua kali lipat dibandingkan yang tidak mengikuti KP Ibu
(PORadj=1.87; CI95% 1.02 ? 3.43) (p value 0.044) setelah dikontrol oleh variabel
paritas, status pekerjaan dan cara persalinan. Responden yang mengikuti KP Ibu 1
? 3 kali tidak memberikan peluang yang signifikan (PORadj=0.81; CI95% 0.33 ?
2.00) p value (0.638). Hasil lainnya: Peningkatan perilaku ASI eksklusif lebih
tinggi di dusun set-up KP Ibu (17%, p value < 0.0005) dibandingkan dusun non
set-up KP Ibu (8.8%, p value 0.001). Proporsi ASI eksklusif meningkat di semua
kelompok usia pada dusun set-up KP Ibu sebelum dan sesudah program (1 bulan
56% VS 71.2%; 2 bulan 43.9% VS 59%; 3 bulan 39% VS 65.6%; 4 bulan 28.8%
VS 60%; 5 bulan 32.6 VS 45%; 6 bulan 20.9% VS 28.6%) Kesimpulan: KP Ibu
dapat meningkatkan perilaku ASI Eksklusif. Seorang Ibu minimal harus
mengikuti kegiatan KP Ibu 4 kali dalam periode 6 bulan untuk bisa memberikan
ASI secara eksklusif. KP Ibu mudah untuk di replikasi dan harus didukung
sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan perilaku ASI eksklusif di
komunitas

Abstract
Background: Exclusive breastfeeding rates decrease from 40% in 2002/2003 to
32% in 2007 (IDHS). Mercy Corps Indonesia initiated community-based
intervention called mother-to-mother support group (MSG) to increase knowledge
and exclusive breastfeeding behavior. MSG is a semi-structured discussion which
routinely held once every two weeks with 8 ? 10 pregnant or lactating mothers to
share experience, ideas or information around breastfeeding. Discussion is
facilitated by a person, called motivator, a lactating mother who was trained
beforehand to facilitate a group. Objective: To study association MSG activity in
increasing exclusive breastfeeding (24 hour recall). Method: This cross-sectional
design use a secondary data from Knowledge Practice Coverage Healthy Start
Yogyakarta Survey in 2009 & 2010 in Banguntapan villages, Banguntapan subdistrict,
Bantul district Yogyakarta. Data collected in June 2009 (before program)
and May 2010 (after program) on a same source population; 25 exposed hamlets;
where there are MSG set-up and 25 non-exposed hamlets; where there are no set
up of MSG. Subjects are lactating mothers with 0 ? 6 months children. Result:
There are 57 mothers who live in exposed hamlet and actively participate in MSG
from total 636 subjects after program. Subjects who participate in MSG meeting
more than 3 times have almost twice chance to exclusively breastfeed
(PORadj=1.87; CI95% 1.02 ? 3.43) (p value 0.044) after controlled by
confounders: parity, work status and birthing method. Subjects who participate in
MSG meetings 1 to 3 times do not give a significant result in increasing exclusive
breastfeeding (PORadj=0.81; CI95% 0.33 ? 2.00) p value (0.638). Other results:
Exclusive breastfeeding increment is higher in exposed hamlets (17%, p value
<0.0005) compare to non-exposed hamlets (8.8%, p value 0.001). Proportions of
exclusive breastfeeding in baby aged 0 ? 6 months are higher in exposed hamlets
before and after program (1 month 56% VS 71.2%; 2 months 43.9% VS 59%;
3 months 39% VS 65.6%; 4 months 28.8% VS 60%; 5 months 32.6 VS 45%;
6 months 20.9% VS 28.6%) Conclusions: Mother-to-Mother Support Group
activity increase exclusive breastfeeding behavior. A mother must at least
participate 4 times within 6 months period to sustain exclusive breastfeeding
practice. MSG is easy to replicate and must be supported as one of the strategy to
increase exclusive breastfeeding behavior in community."
2012
T31004
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hafizul Ikram
"ABSTRAK
Industri pertambangan emas di Kawasan Tumpang Pitu diharapkan dapat membawa kesejahteraan masyarakat dan memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi. Namun, pada praktiknya kehadiran industri pertambangan justru mengancam kehidupan masyarakat yang tinggal dekat lokasi pertambangan. Hal ini ditandai oleh kehancuran dan kerusakan ekologis, hilangnya lahan pekerjaan, mengancam keberlangsungan sistem ruang budaya, dan kriminalisasi di Kawasan Tumpang Pitu. Tugas Karya Akhir ini mengidentifikasi masalah ini sebagai kajian kekerasan menggunakan teori State Corporate-Crime, untuk menganalisis bagaimana negara dan perusahaan turut serta menimbulkan korban dalam aktivitas pertambangan di Kawasan Tumpang Pitu. Pada akhirnya, penelitian ini menemukan bahwa telah terjadi berbagai bentuk kekerasan yaitu kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan lambat. Tidak terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan terjadinya berbagai bentuk kekerasan merupakan sebuah kejahatan negara-perusahaan.

ABSTRACT
The gold mining industry in the Tumpang Pitu area is expected to bring prosperity to the community and contribute to economic growth. However, in practice the presence of the mining industry actually threatens the lives of people who live near mining sites. This is marked by ecological destruction and damage, loss of employment, threatening the sustainability of the cultural space system, and criminalization in the Overlapping Area. This Final Project identifies this problem as a study of violence using the theory of State Corporate-Crime, to analyze how countries and corporate participate in causing casualties in mining activities in the Overlapping Area. In the end, this research found that various forms of violence have occurred, namely direct violence, structural violence, and slow violence. The absence of public welfare and the occurrence of various forms of violence is a state-corporate crime.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tiffany Cornelia Angelin
"Kejadian stunting pada masa anak-anak masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013) prevalensi stunting pada anak usia 5-12 di Indonesia sebesar 30,7%. Faktor nutrisi telah diketahui sebagai penyebab kejadian stunting. Namun, beberapa penelitian menemukan adanya kontribusi genetik terhadap penyerapan kalsium yang akan mempengaruhi pertumbuhan, yaitu gen vitamin D receptor (VDR). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara faktor genetik dan nutrisi terhadap height-for-age Z-core (HAZ) pada anak sekolah dasar di kabupaten Malang, Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang dan dilakukan pada tahun 2018. Penelitian ini melibatkan 142 anak sekolah dasar berusia 8-10 tahun. Pengukuran tinggi badan dilakukan untuk menghitung HAZ pada anak-anak. Asupan energi, protein, kalsium dan vitamin D diperoleh dengan 24-hour dietary recall selama 4 hari. Dua SNP yang terletak pada daerah promoter dari gen VDR dipilih (rs11568820 dan rs4516035); dan distribusi genotipnya dianalisis menggunakan Real Time PCR. Faktor lain seperti karakteristik sosiodemografi, riwayat penyakit menular dan skor paparan sinar matahari diperoleh dengan kuesioner terstruktur, dan kuesioner paparan sinar matahari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi stunting sebesar 21,8%. Asupan makan sebagian besar kurang terpenuhi, khususnya asupan kalsium dan vitamin D. Distribusi genotip rs11568820 adalah TT (19%), CT (43,7%) dan CC (37,3%). Sedangkan distribusi genotip rs4516035 adalah TT (90,8%) dan CT (9,2%). Analisis bivariat menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara asupan energi dan protein terhadap HAZ (p=0,030 dan p=0,016), tetapi tidak pada asupan kalsium dan vitamin D. Selain itu, tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara polimorfisme kedua SNP gen VDR dengan HAZ (p>0,05). Setelah disesuaikan dengan faktor-faktor lainnya, asupan protein secara signifikan berkolerasi dengan HAZ (β=0,034, 95% CI 0,016 – 0,053, p<0,001, adj. R2=0,077). Efek dari aktivitas gen VDR kemungkinan tidak terlihat karena rendahnya asupan vitamin D yang diperlukan untuk meningkatkan penyerapan kalsium yang kemudian akan mempengaruhi HAZ.

Childhood stunting remains as a major public health problem, especially in developing countries such as Indonesia. According to Indonesia Basic Health Research (Riskesdas, 2013) the prevalence of stunting among children aged 5-12 years old in Indonesia was 30.7%. Nutrition factors has been known as a predominant factors associated with stunting. However, some studies discovered a genetic contribution in calcium absorption that will affect growth of the children, known as vitamin D receptor (VDR) gene. The aim of this present study was to assess the association between genetic and nutritional factors related to height-forage Z-score (HAZ) of elementary school children in Malang District, East Java. The study design was a cross-sectional study which began on 2018. In this study, 142 children aged 8-10 years old were included. Height measurement was obtained to calculate HAZ of the children. Dietary intake consist of energy, protein, calcium and vitamin D intake were obtained using 4 days 24-hour dietary recall. Two SNPs located in the promoter region of VDR gene were selected (rs11568820 and rs4516035); its genotype distribution were analyzed using Real Time PCR system. Other factors such as sociodemographic characteristics, history of infectious diseases and sun exposure score were assessed using structured questionnaire and sun exposure questionnaire. The result showed that the prevalence of stunting was 21.8%. Dietary intake were mostly inadequate, especially for calcium and vitamin D intake. Genotype distribution of rs11568820 was TT (19%), CT (43.7%), and CC (37.3). While for rs4516035 the distribution was TT (90.8%) and CT (9.2%). Bivariate analysis showed a significant correlation between energy and protein intake with HAZ of the children (p=0.030 and p=0.016, respectively), but not with calcium and vitamin D intakes. There were no significant association between VDR gene polymorphism for both SNPs and HAZ of the children (p>0.05). Adjusted by other factors, protein intake was significantly correlated with HAZ (β=0.034, 95% CI 0.016 – 0.053, p<0.001, adj. R2=0.077). The effect of VDR gene promoter activity might not revealed due to very low vitamin D intake to stimulates intestinal calcium absorption which in turn affect HAZ.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>