Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105991 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Kepadatan populasi Ae.aegypti meningkat di musim hujan, dan dapat diukur dengan angka rumah, angka wadah, angka brito dan landing rate. Nyamuk ini mengalami metamorfosis lengkap dan memerlukan waktu 10 hari untuk pertumbuhan dari telur sampai nyamuk dewasa. Ae.aegypti dan Ae.albopictus sepintas lalu sulit dibedakan, karena keduanya berwarna dasar hitam dengan belang-belang putih pada bagian badannya; namun perbedaan terlihat pada mesonotum yang membentuk gambaran lire (Ae.aegypti) dan garis tebal putih yang memanjang (Ae.albopictus). Pemerintah telah memilih dan menganjurkan untuk melaksanakan pengendalian vektor DBD dengan PSN. "
MPARIN 6 (1-2) 1993
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muchlis Adenan
"ABSTRAK
Sejak pertama kali dilaporkan adanya penderita DBD tahun 1974 dari Palembang, jumlah penderita DBD di Sumatera Selatan terus menunjukkan kecenderungan untuk meningkat dan merupakan suatu masalah kesehatan yang sulit ditanggulangi. Khusus untuk Kotamadya Palembang, menunjukkan bahwa angka penderita DBD didaerah ini selalu merupakan jumlah, prosentase maupun Incidence Rate DBD tertinggi dibandingkan daerali tingkat II lain yang terdapat di Sumatera Selatan.
Cara mencegah penularan demam berdarah dengue adalah dengan memutuskan rantai penularannya. Kebijaksanaan maupun strategi yang dianggap paling efektif oleh Departemen Kesehatan RI untuk memutuskan rantai penularan tersebut dewasa ini adalah dengan pengendalian vektor utama penular DBD di Indonesia yaitu Aedes Aegypti. Pengendalian vektor tersebut sangat berkaitan erat dengan perilaku manusia, terutama perilaku pencegahan penyakit DBD.
Survey yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI cq Proyek P2M Propinsi Sumatera Selatan tahun 1990 menunjukkan bahwa pengetahuan, sikap dan perilaku penduduk Kotamadya Palembang mengenai hal yang berhubungan dengan penyakit DBD ternyata menunjukkan suatu tingkat pengetahuan yang baik dan tinggi. Dilain pihak hasil survey index vektor di Kotamadya Palembang menggambarkan tingkat index yang tinggi atau jelek.
Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana hubungan dan pengaruh perilaku pencegahan DBD yang dilaksanakan penduduk Palembang terhadap index vektor DBD sendiri. Dengan metode survey analitik dan deskriptif serta pendekatan cross sectional, dilakukan pengumpulan data primer dengan menggunakan kuesioner wawancara untuk memperoleh data perilaku dan formulir survey index vektor untuk mengetahui index vektor disaat penelitian.
Lokasi penelitian Kotamadya Palembang dengan sample dipilih seiumlah kelurahan yang dianggap memenuhi kriteria sample yang telah ditentukan. Sedangkan responden adalah kepala keluarga atau yang mewakili.
Data diberi skor hingga berbentuk skala interval, lalu diolah dengan uji statistik parametrik secara univariate (deskriptif), bivariate ( korelasi) dan multivariate (multiple regressi), menggunakan piranti lunak SPSS/PC+ dan EPI INFO versi 5.
Hasil penelitian membuktikan secara statistik bahwa perilaku PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) dan Proteksi mempunyai hubungan bermakna dan berpengaruh terhadap tingkat index vektor yangdiukur dengan CI (Container Index) dan HI (House Index). Sedangkan perilaku Abatisasi secara statistik tidak mempunyai hubungan dan pengaruh terhadap CI dan HI. Secara keseluruhan perilaku pencegahan penyakit DBD mempunyai hubungan dan pengaruh terhadap index vektor CI dan HI. Khususnya beberapa perilaku spesifik seperti menanam sampah bekas yang bisa terisi air, membersihkan saluran air limbah hujan, PSN secara massal dan mengurangi pakaian tergantung mempunyai peranan penting dalam hubungan dan pengaruh terhadap CI dan HI.
Beberapa saran antara lain untuk memperhatikan peranan "social support" dan perilaku spesifik daerah agar perilaku pencegahan DBD bisa ditingkatkan sehingga dapat mengendalikan vektor penular DBD. Perencanaan pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD hendaknya juga dikaitkan dengan geiala sosial yang ada disuatu daerah selain angka insidens dan kematian."
Depok: Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dania, Ira Aini
"Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penyakit dan vektor Demam Berdarah (DBD) dengan menggunakan metode tinjauan literatur (library research). Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa sejauh ini dikenal dua jenis vektor DBD yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus. Siklus normal infeksi DBD terjadi antara manusia - nyamuk Aedes - manusia. Dari darah penderita yang dihisap, nyamuk betina dapat menularkan virus DBD setelah melewati masa inkubasi 8-10 hari yang membuat virus mengalami replikasi (perbanyakan) dan penyebaran yang berakhir pada infeksi saluran kelenjar ludah sehingga nyamuk menjadi tertular selama hidupnya. Sejauh ini karena DBD merupakan penyakit virus, maka tidak ada pengobatan untuk menghentikan atau memperlambat perkembangan virus ini. Pengobatan hanya dapat dilakukan dengan cara simptomatis yaitu menghilangkan gejala-gejala yang terlihat setiap penderita. Cairan bisa diberikan untuk mengurangi dehidrasi dan obat-obatan diberikan untuk mengurangi demam, serta mengatasi perdarahan."
Universitas Dharmawangsa, 2016
330 MIWD 48 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kavana Iman Ramadhan
"Demam berdarah dengue merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang masih menjadi permasalahan serius di seluruh daerah di dunia. DBD disebabkan oleh virus dengue yang di bawa oleh nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama dan aedes albopictus sebagai vektor sekunder dan ditularkan melalui gigitan nyamuk tersebut. Berdasarkan data BPS Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2019 Provinsi Kalimantan Timur mencatat terdapat 6723 kasus DBD dan Kota Balikpapan menjadi penyumbang terbesar dengan 1838 kasus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor iklim (suhu udara, kelembaban, dan jumlah hari hujan), sosio-demografi (kepadatan penduduk), dan upaya pengendalian vektor (Angka Bebas Jentik) dengan insidens DBD di Kota Balikpapan Tahun 2017-2021. Penelitian ini menggunakan desain studi ekologi dengan data sekunder yang bersumber dari Laporan DBD Dinas Kesehatan Kota Balikpapan dan Balikpapan dalam Angka oleh BPS Kota Balikpapan. Rata-rata IR DBD selama 5 tahun di Kota Balikpapan adalah 122 per 100.000 penduduk, paling tinggi di Kecamatan Balikpapan Tengah dan paling banyak dialami oleh kelompok umur <15 tahun. Variabel ABJ berhubungan signifikan secara statistik dengan insidens DBD (nilai p = 0,031) dan setiap kenaikan 1% ABJ akan menurunkan angka insidens DBD sebesar 7,795 per 100.000 penduduk (nilai b = -7,795). Penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan evaluasi untuk mengendalikan penyebaran DBD di Kota Balikpapan dengan aktif melaksanakan Pemberantasan Sarang Nyamuk terutama di lingkungan sekolah.

Dengue hemorrhagic fever is an environmental-based disease which is still a serious problem in all regions of the world. DHF is caused by the dengue virus which is carried by Aedes aegypti as the main vector and Aedes albopictus as the secondary vector and is spread through the bite of these mosquitoes. Based on BPS, in 2019 the Province of East Kalimantan recorded 6723 cases of DHF and Balikpapan City was the largest contributor with 1838 cases. This study aims to determine the relationship between climatic factors (air temperature, humidity, and number of rainy days), socio-demographics (population density), and vector control efforts (larva free index) with DHF incidence in Balikpapan City in 2017-2021. This study uses an ecological study design with secondary data sourced from the DHF report of Balikpapan City Health Offices and “Balikpapan dalam Angka” by Central Bureau of Statistics of Balikpapan City. The average DHF IR for 5 years in Balikpapan City is 122 per 100,000 population, the highest in Balikpapan Tengah District and most commonly experienced by the age group <15 years. The larva free index (LFI) variable has a statistically significant relationship with the incidence of DHF (p value = 0.031) and every 1% increase in ABJ will reduce the incidence of DHF by 7,795 per 100,000 population (b value = -7,795). This research is expected to be the basis for evaluation to control the spread of DHF in the City of Balikpapan by actively carrying out the Eradication of Mosquito Nests, especially in the school environment."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andini Striratnaputri
"Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia terutama di Jakarta. Pada tahun 2008 terdapat 4290 penderita dan banyak wilayah yang dinyatakan tergolong zona merah antara lain Kelurahan Paseban dengan jumlah penderita 135 orang. Untuk melakukan pemberantasan diperlukan data dasar antara lain tingkat pengetahuan warga mengenai DBD. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah mengetahui tingkat pengetahuan ibu rumah tangga (IRT) mengenai pemberantasan vektor DBD dan faktor yang berhubungan. Desain penelitian ini adalah cross sectional. Survei dilakukan menggunakan kuesioner pada tanggal 30-31 Mei 2009. Dipilih 100 IRT sebagai subyek penelitian dengan simple random sampling. Data dianalisis dengan uji chi-square menggunakan SPSS. Hasil penelitian menunjukkan jumlah IRT yang memiliki pengetahuan kurang 27 orang (27%), 38 orang (38%) cukup, dan 35 orang (35%) baik. Tidak ada perbedaan bermakna antara pengetahuan IRT mengenai pemberantasan vektor DBD dengan usia (p=0,918), pekerjaan (p=0,641), tingkat pendidikan (p=0,790), aktivitas yang diikuti di lingkungan rumah (p=0,285) dan jumlah sumber informasi IRT (p=0,541). Disimpulkan tingkat pengetahuan IRT mengenai pemberantasan vektor DBD tergolong cukup dan tidak berhubungan dengan usia, pekerjaan, pendidikan, aktivitas di lingkungan rumah dan jumlah sumber informasi.

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is one of Indonesia's health problems mainly Jakarta. There had been 4290 cases of DHF within 2008. Central Jakarta has few red zones and among them is Paseban village with 135 cases. The elimination of DHF requires few informations such as the society knowledge about DHF. Therefore, the objective of this research is to identify the knowledge about elimination of DHF’s vector and their associated factors among housewives. The design of this research is cross sectional. Survey was performed using questionnaire on May 30th – 31st 2009. The amount of subject was determined using simple random sampling with the result of 100 housewives. The data analysis is using chi-square facilitated by SPSS. The outcome shows that 27% of respondents are lack of knowledge, 38% of samples has adequate knowledge, and 35% has good knowledge about DHF. There is no significant difference between respondent’s knowledge about DHF and their age (p=0,918), their work (p=0,641), their formal education (p=0,790),their activity in the environment (p=0,285) and the number of information’s sources they received (p=0,541). In conclusion, mostly the level of knowledge about elimination of DHF’s vector among housewives in Paseban is adequate and has no significant difference with age, work, formal education, activity in the environment, and the number of information’s sources they received."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anggara Gilang Dwiputra
"Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia terutama di Jakarta. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu rumah tangga (IRT) mengenai vektor DBD dan faktor yang berhubungan.
Desain penelitian ini adalah cross sectional. Data dianalisis dengan uji chi-square menggunakan SPSS. Hasil penelitian menunjukkan jumlah IRT yang memiliki pengetahuan kurang 44 orang (44%), 24 orang (24%) cukup, dan 32 orang (32%) baik.
Tidak ada perbedaan bermakna antara pengetahuan IRT mengenai vektor DBD dengan usia (p=0,484), pekerjaan (p=0,634), dan tingkat pendidikan (p=0,301), sedangkan terdapat perbedaan bermakna dengan aktivitas yang diikuti di lingkungan rumah (p=0,019) dan jumlah sumber informasi (p=0,028).
Disimpulkan tingkat pengetahuan IRT mengenai vektor DBD kurang, berhubungan dengan aktivitas di lingkungan rumah dan jumlah sumber informasi, tetapi tidak berhubungan dengan usia, pekerjaan dan pendidikan.

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is one of Indonesia's health problems mainly Jakarta. The objective of this research is to identify the knowledge about vector of DHF and its associated factors among housewives.
The design of this research is cross sectional. The data analysis is using chi-square facilitated by SPSS. The outcome shows that 44% of respondents are lack of knowledge, 24% of samples has adequate knowledge, and 32% has good knowledge about DHF.
There is no significant difference between respondent?s knowledge about vector of DHF and their age (p=0,484), work (p=0,634), and formal education (p=0,301), but there is significant difference between respondent?s knowledge about vector of DHF and their activity in the environment (p=0,019) and the number of information?s sources they received (p=0,028).
In conclusion, mostly the level of knowledge about DHF symptoms among housewives in Paseban is poor and has an association with activity in the environment, and the number of information?s sources they received, but doesn?t have association with age, work, and formal education.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Diana D. Inderajao Hidajat
"Tesis ini mengkaji kegagalan Program Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue. Sebagai bahan tesis, adalah hasil penelitian tentang kehidupan warga masyarakat di Kelurahan Mampang Prapatan, khususnya di RW 04, RT 07, RT 013 dan RT 016. Keadaan lingkungan tempat hidup, keadaan penduduk, dan keadaan nyamuk Aedes aegypti, sebagai vector penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), di wilayah tempat tinggal ini telah membentuk daerah penelitian sebagai tempat yang sangat baik bagi penyebaran penyakit DBD. Terbukti daerah penelitian merupakan daerah endemis penyakit DBD, yaitu daerah yang dalam tiga tahun terakhir, setiap tahun terjangkit penyakit DBD.
Dalam tesis ini diuraikan bagaimana Program Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue, yang dirancang pemerintah untuk mengatasi serangan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), pada kenyataannya belum mampu menurunkan jumlah angka kejadian dan mempersempit luas wilayah penyebaran penyakit di daerah penelitian. Hal ini berhubungan erat dengan tidak adanya peran serta warga masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan aktivitas-aktivitas program, disebabkan dalam perencanaan dan pelaksanaannya program ini belum mempertimbangkan cara-cara yang dimiliki oleh warga masyarakat untuk mencegah dan memberantas penyakit ini, dimana cara-cara tersebut di atas ditentukan oleh pengetahuan mereka mengenai penyakit DBD ini.
Untuk menemukan pola hubungan antara sistem pengetahuan warga masyarakat dengan peran serta mereka dalam program digunakan pendekatan kualitatif. Untuk mendapatkan data yang selengkap dan sedalam mungkin mengenai kedua hal di atas maka diteliti kasus pelaksanaan program di daerah penelitian. Metode pengambilan data yang digunakan adalah observasi partisipasi dan wawancara mendalam. Selain itu juga dilakukan Survai Jentik untuk mendapatkan data mengenai keadaan nyamuk Aedes aegypti di daerah penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidak-berhasilan Program Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue dalam mencegah dan menurunkan tingginya angka kejadian penyakit DBD di daerah penelitian berhubungan erat dengan belum adanya peranserta warga masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan aktivitas-aktivitas program. Warga masyarakat di daerah penelitian tidak memiliki akses langsung kepada informasi dan pengetahuan mengenai program, yang merupakan prakondisi bagi berperan sertanya warga masyarakat dalam suatu program Hal ini disebabkan penyuluhan, yang merupakan saluran penyampaian informasi dari para pelaksana program di lapangan kepada warga masyarakat, belum berjalan dengan baik; karena adanya berbagai kendala pada pelaksana program di lapangan.
Lepas dari Program Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue, sebagian warga masyarakat setempat telah melakukan Cara-cara pencegahan dan pemberantasan nyamuk. Sebagian warga masyarakat setempat lainnya secara khusus melakukan cara-cara pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD, sebagai tanggapan terhadap terserangnya salah satu atau beberapa orang anggota keluarga mereka oleh penyakit ini.
Cara-cara yang dilakukan warga masyarakat setempat untuk mencegah dan memberantas penyakit DBD berhubungan erat dengan sistem pengetahuan mereka mengenai penyakit ini. Bervariasi dan kurang akuratnya pengetahuan warga masyarakat setempat mengenai penyakit ini mengakibatkan mereka melakukan caracara pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD yang kurang akurat pula. Hal ini merupakan penyebab selalu ditemukannya kasus DBD di daerah penelitian.
Apa yang perlu dilakukan menurut saya adalah rnemberikan kepada warga masyarakat setempat pengetahuan yang lebih akurat mengenai ancaman penyakit DBD di lingkungan tempat tinggal mereka, mengenai manifestasi klinis, etiologi dan proses penularan penyakit DBD serta mengenai aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan Program Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue. Pengetahuan ini harus benar-benar mereka pahami dan yakini sehingga bisa membentuk suatu perilaku yang mempunyai fungsi preventif dengan mengurangi eksposur terhadap organisme pembawa penyakit.
Mengingat para warga sendirilah yang paling mengetahui keadaan lingkungan tempat hidupnya, dan para pelaksana program di lapangan pada kenyataannya belum mampu melaksanakan pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD ini, maka perlu dicari satu institusi lokal yang bertugas untuk merancang dan melaksanakan aktivitasaktivitas kolektif untuk pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD, termasuk membentuk prakondisi yang dibutuhkan agar warga masyarakat mau melibatkan diri dalam aktivitas-aktivitas tersebut. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simarmata, Riana Julida
"Penyakit Demam Berdarah Dengue masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting di Asia Tenggara karena penyebab utama perawatan di rumah sakit dan kematian anak. Di Indonesia, penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) juga masih menjadi masalah kesehatan masyarakat karena angka insidens DBD cenderung meningkat. Dan Kabupaten Muara Enim sebagai daerah endemis DBD, angka insidens tahun 2002 berada di alas target nasional yaitu 20,57 per 100.000 penduduk sementara target nasional sampai tahun 2010 angka insidens DBD 5 per 100.000 penduduk untuk daerah endemis DBD.
Program pemberantasan vektor intensif yang meliputi fogging massal sebelum musim penularan, pemeriksaan jentik berkala dan abatisasi selektif masih dilaksanakan sampai tahun 2002 di Kabupaten Muara Enim. Sementara Depkes RI sejak tahun 1998 telah menganjurkan untuk menangguhkan fogging massal sebelum musim penularan serta mengalihkan kegiatan fogging massal sebelum musim penularan menjadi bulan bakti gerakan 3M (menguras, menutup dan mengubur) sebelum musim penularan. Dan tahun 2002 ditegaskan bahwa fogging massal sebelum musim penularan tidak lagi menjadi kebijaksanaan nasional dalam program pemberantasan penyakit DBD.
Penelitian ini menggunakan rancangan studi korelasi tentang pengaruh pelaksanaan program pemberantasan vektor intensif (fogging massal sebelum musim penularan, pemeriksaan jentik berkala dan abatisasi selektit) dan ketersediaan sumber daya (pendidikan petugas, lama kerja petugas, yang pernah diikuti petugas, pelatihan peralatan, bahan insektisida dan dana) terhadap angka insidens DBD selama 3 tahun (1999-2001). Unit analisis adalah kelurahan endemis DBD yang berjumlah 14 kelurahan. Data yang dikumpulkan dianalisis secara simple regression linier analysis dan multiple regression linier analysis dengan software Stata 6.0 dengan melihat nilai p (p-value).
Dari analisis diperoleh hasil bahwa ada pengaruh pelaksanaan program pemberantasan vektor intensif terhadap angka insidens DBD, dimana pelaksanaan program pemberantasan vektor intensif yang tidak sesuai petunjuk meningkatkan angka insidens DBD sebesar 10,25 per 100.000 penduduk (p=0,036) untuk tahun 1999 dan untuk tahun 2001 meningkatkan angka insidens DBD sebesar 4,89 per 100.000 penduduk (p=0,047).
Petugas yang sudah dilatih akan menurunkan angka insidens DBD sebesar 18,32 per 100.000 penduduk (p=0,048) untuk tahun 1999. Tabun 2000, ketersediaan bahan insektisida malathion yang tidak mencukupi kebutuhan akan meningkatkan angka insidens DBD sebesar 1,34 per 100.000 penduduk (p=0,024). Sedangkan petugas yang sudah lama bekerja akan menurunkan angka insidens DBD sebesar 2,74 per 100.000 penduduk (p=0,022) di tahun 2000. Ketersediaan Jana yang tidak mencukupi kebutuhan tahun 2001 akan meningkatkan angka insidens DBD sebesar 23,51 per 100.000 penduduk (p=0,025).
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah bahwa sebaiknya kegiatan fogging massal sebelum musim penularan tidak dilaksanakan lagi kecuali bila terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB), karena membutuhkan biaya yang besar untuk operasional dan tidak efektif lagi untuk menurunkan angka insidens DBD. Terbukti bahwa angka insidens DBD terus meningkat setiap 3 tahun, sehingga sejak tahun 2002 dianjurkan untuk diganti menjadi kegiatan bulan bakti gerakan 3M selama sebulan penuh pada saat sebelum musim penularan, pemeriksaan jentik berkala 4 kali setahun dan abatisasi selektif sebanyak 4 kali setahun.

Effect of intensive vector eradication program implementation against incidence rate of Dengue Haemorrhagic Fever in Muara EnimDengue Hemorrhagic Fever (DHF) still constitutes an important public health problem in South East Asia due to the principle cause of treatment in hospital and infant mortality. In Indonesia, DHF is also a public health problem because DHF incidence rate has the tendency to go up. Muara Enim District as a DHF endemic region, the annual incidence rate for 2002 stands above the national target at 20.57 per 100,000 inhabitants, while the national target up to 2010 for DI-IF incidence rate is 5 per 100,000 inhabitants for DHF endemic region.
The intensive eradication program covering mass fogging prior to contamination season, periodic larva inspection and selective abatitation is still being implemented 'up to year 2002 in Muara Enim District. Meanwhile, Ministry of Public Health since 1998 has already suggested to postpone mass fogging prior to contamination season and to transfer mass fogging activities prior to contamination season to become "activites of 3M monthly action" (to clean by draining, to cover and to bury) before contamination season. Furthermore, in 2002 it was confirmed that the mass fogging prior to contamination season is no longer a national policy in DHF eradication program.
The study employs a correlation study plan concerning intensive vector eradication program implementation (mass fogging prior to contamination season, periodic larva inspection and selective abatitation) as well as the availability of resources (education of officers, work duration of officers, type of training followed by officers, insecticide material and funds) vis-a-vis DHF incidence rate during a period of '3 years (1999-2001). The analyzed unit is a DID endemic village consisting of 14 counties. The collected data are analyzed by simple regression linear analysis and multiple regression linear analysis using Stata 6.0 software by considering the p-value.
Results obtained from the analysis revealed that there is an impact of intensive vector eradication program implementation vis-a-vis DHF incidence rate, where the intensive vector eradication program implementation is no longer compatible with the guidelines to enhance DHF incidence rate of 10.25 per 100,000 inhabitants (p--0.036) for year 1999 and for year 2001 to raise the DEF incidence rate to 4.89 per 100,000 inhabitants (p= 0.047).
Officers that have undergone training will lower DI-IF incidence rate by 18.32 per 100,000 inhabitants (p=0.048) for year 1999. In year 2000, where the supplies of malathion insecticides are not sufficient to meet the needs will raise DHF incidence rate by 23.51 per I00,000 inhabitants (p=0.025).
The conclusion that can be drawn from the study results is that it would be better if mass fogging activities prior to contamination season be discontinued except in outbreak or a case of emergency, cause it requires large expenses to operate while it is no longer effective to lower DHF incidence rate. Evidence show that DHF incidence rate continou to increase every 3 years, thus for year 2002 it is recommended to replace this to become activities of 3M monthly actions during one full month at a time before eradication season, periodic larva inspection 4 times a year and selective abatitation 4 times a year.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12641
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Sugirilyati
"Penyakit Demam Berdarah Dengue (DED) merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia yang cenderung semakin luas penyebarannya, sejalan dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk, serta sering menimbulkan KLB dan kematian.
Pemerintah telah mengembangkan program untuk mengatasinya melalui Penatalaksanaan Kasus dan Pemberantasan nyamuk penyebar penyakit DBD.Program pemberantasan vektor intensif merupakan upaya dalam memperkecil wilayah ter-Jangkit DBD. yaitu dalam bentuk kegiatan; a. Fogging Massal, b. Abatisasi Selektif. c_ Pemberantasan Sarang Nyamuk.
Kodya Dati II Bogor dengan kondisi lingkungan yang sangat mendukung perkembangan vektor serta lokasi yang bertetangga dengan DKI Jakarta yang mempunyai insiden DBD tertinggi di Indonesia, sedangkan mobilitas penduduk ke DKI Jakarta sangat tinggi, memerlukan kecermatan dan ketepatan program untuk dapat menekan Insiden DBD.
Studi ini bermaksud mengetahui; 1. Kecenderungan masalah penvakit DBD. 2. Perkembangan kegiatan pemantauan vektor, 3. Masalah dalam pelaksanaan program P2.DBD. 4. Dampak program P2 DBD di Kodva Dati II Bogor.
Hasil studi ini diharapkan dapat memberi masukan dan dasar pertimbangan pemerintah untuk merencanakan metode terbaik guna meningkatkan efektivitas program P2.DBD. khususnya upaya pengendalian vektor Intensif DBD.
Pendekatan yang dipergunakan ialah observasional. dengan masa pengamatan selama empat tahun, yaitu seiak dilaksanakannya program Pemberantasan Vektor Intensif tahun 1991 sampai tahun 1994.
Analisa yang dipergunakan adalah menghitung Cumulatif Incidence Difference dart Incidence Rate (IR) DBD serta House Index (HI) Jentik vektor DBD sebelum dan sesudah perlakuan. Hubungan Curah Hujan dan Jumlah Hari Hujan terhadap kasus DBD dan HI Jentik vektor DBD, serta hubungan HI jentik vektor DBD dengan IR DBD dengan cara melihat korelasinya.
Karena keterbatasan sumber daya Kodya Dati II Bogor tidak melakukan tindakan lengkap kepada seluruh daerah endemic, tetapi memilih daerah perlakuan berdasarkan tingginya insiden. Dengan demikian Kodva Dati II Bogor masuk dalam kategori cakupan program tidak adekuat.
Dari tahun 1991 - 1993 setiap tahun dua Kelurahan mendapat perlakuan lengkap (FM + AS + PSN). tiga Kelurahan mendapatkan perlakuan (FM + PSN). dan 17 Kelurahan lainnva hanya melaksanakan PSN dengan pengawasan melalui kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB). Tahun 1994 tiga Kelurahan mendapat perlakuan lengkap, satu Kelurahan mendapat perlakuan (FM + PSN) sedangkan lB Kelurahan lainnva melaksana kan PSN saja.
Dari hasil studi ini terlihat kesan dari tahun 1991-1994 setiap tahunnya pemberantasan vektor intensif tidak berhubungan bermakna secara statistik dengan IR DBD tetapi berhubungan bermakna secara statistik dengan HI Jentik Vektor DBD. Secara konsisten PSN menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik dengan HI jentik vektor DBD sebaliknya FM + AS + PSN selalu tidak berhubungan bermakna secara statistik. FM + PSN sate kali (tahun 1993) menunjukkan hubungan yang tidak bermakna secara statistik. Curah Hujan dan Jumlah Hari Hujan tidak ada hubungan linier yang bermakna dengan kasus DBD tetapi berhubungan linier bermakna dengan HI jentik vektor DBD. Antara HI jentik vektor DBD dengan Insiden DBD tidak terlihat adanya hubungan linier yang bermakna.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa program pemberantasan vektor Intensif mempunyai peranan dalam upaya pencegahan DBD melalui pemberantasan jentik vektor. Namun seberapa besar peranan dalam menurunkan insiden DBD perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menyertakan. variabel Fogging Focus dan Penatalaksanaan Penderita. dalam kawasan yang lebih luas. Selain itu perlu diteliti kegiatan mana diantara Fogging Massal, Abatisasi Selektif atau PSN yang paling besar kontribusinya dalam pemberantasan vektor Intensif. Upaya untuk menggerakkan masyarakat agar terlibat secara lebih aktif dalam pemberantasan penyakit DBD perlu lebih dioperasionalkan. Namun pemberantasan vektor dengan insektisida masih belum dapat ditinggalkan.

Dengue Haemorhagic Fever is one of the health problem in Indonesia. This disease has increased as rapidly as population density and mobilization. It also often causes an outbreak and high case fatality rate.
Additional note:Example: acceptance note from the faculty.DateCreated*:Example: publishing date, writing date. Format YYYY-MM-DDSourceURL:Internet address from where this document is taken.From where this document was taken:Example: Third Meeting of IndonesiaDLN.LanguageSelect language*:The Indonesian Government has developed a program to deal with ?Casses management and eradication of the vector causes Dengue Haemorhagic Fever (DHF)". Intensive vector eradication programme is an effort to decrease the number of areas infected by Dengue Haemorhagik Fever (DHF). Including in this program are : a. Massal Fogging, b.Selective Abatisation (SA). c. Mosquito's nests Eradication (MNE).
Kodya Dati II Bogor is one of the places that has a big problem in DHF. The environment condition in this area are supporting for vectors to spread rapidly: as well as the location is near by DKI Jakarta, which has the highest incidence of DHF in Indonesia_ Moreover Bogor' s population's mobility is very high, so that we need a punctual and accurate programme to decrease the incidence of DHF.
The purposes of this study are : 1. to measure the inclination of DHF. 2. to monitor vector of DHF by using unfolding activity . 3. to anticipate some problems in DHF eradication programme. 4. to know the impact of DHF Vector Eradication programme especially in Kodya Dati II Bogor.
The result of this study will give a positive input and basic consideration to the government in planning the best method for increasing DHF Eradication programme effectivity. Especially the effort of DHF Vector Eradication programme.
The approach of this study is observational study, which is started in 1991, the time when the intensive vector eradication programme is applied.
In analyzed the study we counted the cumulative Incidence Difference. Incidence Rate (IR) and House Index (HI) of the DHF vector's larva. We looked also the connection between rain pours and the number of rainy days to HI of the DHF vector's larva and IR of DHF. as well as the relationship between HI of the DHF vector's larva to IR of DHF by their correlation. Because of resource limitation. Kodya Dati II Bogor could not run the complete treatment to all of the endemic areas. But they only chose the area that has the highest incidence rate.
From 1991-1993, there were two of the villages that have completed all three treatments which are (MF + SA + NNE). and other three villages only use MF + MNE treatments. However there were 17 villages only use EMN treatment , with temporer monitoring larva inspection. In 1994. only one villages that have completed treatments. Three Villages got MF + MNE treatment. and other 18 villages have EMN treatment only.
From the study we got some results ,that the intensive vector eradication program is not significantly related to the IR of DHF. but there is significant relationship between intensive vector eradication and HI of the vector's larva DHF. Consistently. MNE showed a significant relation-ship to the HI of the DHF Vector's larva. MF + SA + MNE have an insignificant relationship, also in 1993. MF + ,EMN showed an insignificant relationship.
Rainpours and the number of rainy days do not have a significant linear relation to the IR of DHF. but they have a significant linear relation to the HI of DHF vector's larva. There is no significant relation between HI of the DHF Vector's larva. and DHF incidence Rate.
Therefore, we can conclude that Intensive Vector Eradicating Programme is apart of the effort to prevent DHF. However. we need further research. in order to know how useful this program in decreasing DHF incidence by enclosing Fogging Focus variable and patient management in more width area. It is also important to examine which method has a bigger contribution in Intensive Vector Eradication Program me. Whether Massal Fogging, SA or NME. An effort to mobilize the community to join actively in eradicating DHF can also be done. However vector eradication using insecticide still can not be abandoned vet.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aspas Aslim
"Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Di Jawa Barat pada tahun 1995 terjadi 3140 kasus DBD dengan Cale Fatality Rate (CFR) 3,9%. Di Kabupaten Indramayu setama 5 tahun terakhir (1992 - 1996), jumlah kasus DBD makin tinggi dan wilayah endemis DBD makin luas.
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kerawanan DBD di Kabupaten Indramayu, serta mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhinya. Berdasarkan hasil analisis tersebut kemudian dibuat rencana pengendalian DBD di Kabupaten Indramayu.
Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kerawanan DBD dilakukan dengan memetakan wilayah endemis DBD tahun 1992-1996 dan menguji hubungan antara kerawanan DBD dengan kepadatan penduduk.
Hasil analisis menunjukkan bahwa wilayah kerawanan DBD menyebar menyusuri jaringan jalan propinsi, yang kemudian diikuti dengan penyebaran di sepanjang jalan kabupaten. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan antara kerawanan DBD dengan mobilitas penduduk. Dengan uji X2 terbukti bahwa kepadatan penduduk berhubungan secara bermakna. dengan tingkat kerawanan DBD. Ditinjau dari segi pelayanan kesehatan, terlihat bahwa pelayanan promotif dan preventif (fogging, abatisasi, pemberantasan sarang nyamuk) untuk mengendalikan DBD masih belum memadai.
Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan justru setelah terjadi suatu kasus DBD, sehingga tidak berfungsi sebagai tindakan promotif dan preventif.
Disimpulkan bahwa 1). tingkat kerawanan DBD di Kabupaten Indramayu tahun 1992-1996 semakin meningkat, meskipun masih ada 68 desa yang selama 5 tahun tersebut tetap berstatus sebagai desa potensial DBD; 2). tingkat kerawanan DBD berhubungan dengan mobilitas dan kepadatan penduduk; dan 3). upaya promotif dan preventif belum dilaksanakan secara memadai, sehingga tidak menghasilkan efek promotif dan preventif.
Disarankan untuk mengupayakan pengendalian DBD dengan 3 strategi utama yaitu 1). meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan masyarakat akan masalah DBD 2). meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan vektor DBD, terutama melalui kegiatan pemberantasan sarang nyamuk; dan 3). memanfaatkan berbagai institusi kemasyarakatan yang ada untuk menggerakkan masyarakat dalam pengendalian DBD di Kabupaten Indramayu.
Sebagai langkah tindak lanjut akan dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Menyampaikan hasil analisis yang telah dilakukan kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Indramayu.
2. Membuat rencana kerja operasional yang rinci, serta mengusulkannya kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Indramayu.
3. Meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan masyarakat terhadap DBD dengan memanfaatkan berbagai jalur komuikasi, yaitu radio daerah, dan pertemuan-pertemuan lintas sektoral atau R.apat Koordinasi Kabupaten yang dilaksanakan pada setiap tanggal 17.
4. Mengintensifkan dan memperluas cakupan fogging masal sebelum masa penularan (SMP) di semua desa endemis.
5. Melakukan abatisasi nasal setiap tiga bulan sekali di semua desa.
6. Mengintensifkan pelaksanaan fogging fokus segera setelah dilaporkan adanya kasus DBD.

Assessment of Dengue Hemorrhagic Fever's Endemicity at the Village Level in Indramayu District 1992-1996 and Development of Strategy and Plan of Action for Controlling Dengue Hemorrhagic Fever in Indramayu DistrictDengue Hemorrhagic Fever (DHF) is one of the public health problems in Indonesia. In 1995, there was 3140 DHF cases in West Java with the case fatality rate of 3.9%. During the last 5 years (1992-1996) there was an increased case in Indramayu District, as well as a wider endemic areas.
This study aimed to assess the endemic of DHF in Indramayu District, and identify its potential related factors. Based on the results, a strategy and plan of action for controlling DHF in Indramayu District will be developed.
It was found that the endemic areas spread out along the province road, and followed by its spread along the district road. This result indicated that the people's mobility had some association with the DHF's endemic. The X2 tests showed a significant association between the DHF's endemic and the population density. Through a qualitative assessment, it was also found that promotive and preventive measures (fogging, abatisation, vector control) were not applied adequately, so that their function as promotive and preventive measures were not met.
It was concluded that 1). during 1992-1996 the DHF's endemic in Indramayu District was worse; 2). the DHF's endemic associated with the people's mobility and population density; and 3). promotive and preventive measures for controlling DHF's vector were not applied adequately.
It was suggested to control DHF in Indramayu District through 3 main strategies, i.e. 1). to improve the community's knowledge and awareness on DHF; 2). to improve community participation in controlling DHF's vector, and 3). to use any community's institution in controlling DHF.
Several follow up activities were planned to be done:
1. To report the result of this assessment to the governmental head of Indramayu District (Bupati).
2. To make a detail and comprehensive plan of action for controlling DHF in Indramayu District.
3. To improve the community's knowledge and awareness on DHF by using any means of communication such as district's radio and regular monthly intersectoral coordination meeting.
4. To intensify and extensity mass fogging in all endemic areas.
5. To do a mass abatisation in all villages.
6. To intensify focal fogging soon after a DHF case is reported.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>