Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 63748 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bethanny Putri Supriadi
"Meskipun fakta memperlihatkan bahwa pertukaran people-to-people dalam hubungan antar-selat yang terus meningkat secara signifikan nyatanya tidak juga mengakhiri kebuntuan politik diantara Cina dan Taiwan. Diplomasi koersif Cina dalam kebijakan antar-selat digunakan sebagai alat diplomasi Cina untuk memaksa Taiwan menerima prinsip one-China dan melakukan reunifikasi melalui formula one country, two systems. Dalam prakteknya, diplomasi koersif yang dilakukan Cina tidak selalu mengalami kesuksesan.
Tesis ini membahas kegagalan diplomasi koersif Cina terhadap Taiwan pada periode pemerintahan Lee Teng-hui (1995-2000) melalui analisa studi kasus komparasi yang difokuskan pada kegagalan diplomasi koersif Cina pada kasus krisis antar-selat 1995-96 dan keberhasilan penggunaan diplomasi koersif Cina terhadap Taiwan pada masa pemerintahan Chen Shui-bian pada kasus reformasi pro-kemerdekaan 2003-04.

Despite the fact showed that people-to-people exchanges on Cross-strait relation improved significantly it doesn?t easily end the political stalemate between China (PRC) and Taiwan (ROC). PRC's coercive diplomacy on Cross-strait relation policy used as a diplomatic tool to coerce Taiwan to accept the one-China principle and agree to unify with China through one country, two systems formula. In practice, China's use of coercive diplomacy not always experiencing a full success.
This Thesis discuss about the failure of PRC?s coercive diplomacy towards Taiwan on Lee Teng-hui administration period (1995-2000) through an analysis of comparative case study that focused on the failure of PRC?s coercive diplomacy towards Taiwan in Cross-strait Crisis 1995-96 and the success of PRC's coercive diplomacy towards Taiwan on Chen Shui-bian administration in pro-independence reform 2003-04.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lee, Teng-hui
Taipei: Goverment Information Office, 1992
320.951 249 LEE c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
M. Ganang Wira Pradana
"Penelitian ini berusaha menjawab penyebab kegagalan aksi diplomasi koersi Republik Rakyat Tiongkok terhadap Korea Selatan pasca keputusan Korea Selatan untuk menggelar sistem pertahanan udara THAAD (Terminal High Altitude Area Defense) yang dianggap mengancam keamanan nasional Tiongkok. Pihak pemerintah Tiongkok menggelar aksi retaliasi berupa sanksi informal dalam bentuk boikot tidak langsung terhadap berbagai aspek ekonomi Korea Selatan seperti pariwisata, usaha perdagangan, produk produk dan budaya Korea Selatan / Hallyu. Diplomasi koersi yang Tiongkok lakukan menggunakan strategi Try and See dan Gradual Turning of the Screw pada awal 2016 hingga 2017 agar pemerintah Korea Selatan menarik kembali sistem pertahanan THAAD tersebut. Dengan menerapkan teori efektifitas diplomasi koersi serta metode kualitatif, penelitian ini menemukan jawaban bahwa tidak berhasilnya aksi diplomasi koersi yang dijalankan Tiongkok pada periode 2016-2017 diakibatkan dari tidak terpenuhinya variabel efektifitas diplomasi koersi yakni legitimasi tujuan dan permintaan, kredibilitas ancaman, reputasi aktor, asimetri motivasi, serta insentif yang ada.

This study seeks analyze the causes of the failure of the People's Republic of China's coercive diplomacy against South Korea after South Korea's decision to deploy the THAAD (Terminal High Altitude Area Defense) air defense system which is considered a threat to China's national security. The Chinese government held a retaliation act in the form of informal sanctions of various aspects of the South Korean economy such as tourism, trade businesses, products and South Korean Hallyu culture. China's coercive diplomacy uses the Try and See and Gradual Turning of the Screw strategies in early 2016 to 2017 to get the South Korean government to withdraw the THAAD defense system. By using the theory of the coercive diplomacy effectiveness and qualitative methods, this study finds the answer that the failed coercive diplomacy attempt carried out by China in the 2016-2017 period resulted from the unfulfilled variables of the coercive diplomacy effectiveness, namely the legitimacy of goals and demands, credibility of threats, actor reputation, asymmetry of motivation, as well the incentives."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwijaya Kusuma
Jakarta: CCS, 2008
327.295 1 DWI c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Haryati
"Sejak berakhirnya perang saudara Cina antara pihak Komunis Cina (Gongchandang) dengan pihak Nasionalis (Kuomintang) pada tahun 1945-1949, maka Taiwan yang dikuasai pihak Nasionalis memisahkan diri dari kekuasaan Cina daratan yang dikuasai pihak Komunis. Akibatnya muncul dua pemerintahan Cina yang menguasai wilayah yang berbeda, yaitu Republik Cina (Zhonghua Minguo) di Taiwan, dan Republik Rakyat Cina (Zhonghua Renmin Gongheguo) di Cina daratan.
Dari keadaan tersebut, antara kedua negara Cina itu selalu terjadi konflik dan pertikaian mengenai siapa yang merupakan pemerintah Cina yang sah dan siapa yang merupakan wakil Cina di dunia internasional,hal tersebut Menimbulkan persaingan untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan bagi masing-masing pihak dari negara-negara lain.
Setelah melewati beberapa dekade hubungan yang semula membeku, berlahan-lahan mulai mencair dengan dibukanya hubungan dan dialog dalam bidang ekonomi dan sosial. Hubungan tersebut semakin meningkat dan berkembang, dan ditandai dengan dibangunnya dua badan non pemerintahan yang mengurus hubungan secara tak resmi dari kedua negara, yaitu SEF (Straits Exchange Foundation) dari pihak Taiwan dan ARATS (Association for Relations Across the Taiwan Straits) dari pihak RRC.
Masalah yang terjadi antara RRC-Taiwan juga tidak terlepas dari peran dan pengaruh Amerika Serikat yang sejak awal terlibat dalam pertikaian di Selat Taiwan tersebut. Sejak normalisasi hubungan AS-RRC dibuka, usulan mengenai reunifikasi damai mulai ditawarkan RRC pada Taiwan, sebagai upaya RRC mendapatkan Taiwan kembali ke pangkuannya. Tapi usulan tersebut ternyata menghadapi berbagai hambatan, terutama dari pihak Taiwan yang tidak menyetujui usulan tersebut yang dianggap merupakan usaha aneksasi dari pihak RRC. Kemudian RRC menawarkan formula satu negara dua sistem (yi guo Liang zhi) dan pemberian status SAR (Special Administration Region) bagi kembalinya Hong Kong, Macao, dan Taiwan ke pangkuan Cina daratan.
Perkembangan usaha reunifikasi Cina-Taiwan saat ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berkembang di dalam negeri masing-masing dan situasi internasional, serta perkembangan hubungan kedua negara baik di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Setelah Hong Kong kembali ke pangkuan RRC pada tahun 1997, dan menyusul Macao pada tahun 1999, akankah pembicaraan mengenai reunifikasi Cina-Taiwan akan diwujudkan di masa mendatang, semua ini tergantung pada perkembangan situasi yang ada sekarang baik di dalam negeri Cina dan Taiwan, serta situasi dunia internasional yang sedang mengarah kepada tatanan global."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1998
S12875
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahmi Islami
"Tugas karya akhir ini membahas mengenai kebijakan luar negeri yang diambil oleh Presiden Ma Ying-jeou pada masa kepresidenannya yang pertama dari tahun 2008-2012 dalam hubungan antar selat Taiwan dan Cina. Secara spesifik, kebijakan luar negeri yang dibahas merupakan kebijakan luar negeri di bidang keamanan, ekonomi, dan identitas. Di bawah Presiden Ma Ying-jeou, Taiwan berusaha memperbaiki hubungan antar-selat yang memburuk ketika Taiwan dipimpin oleh Presiden Chen Shui-bian. Beberapa kebijakannya, seperti pengakuan kembali Konsensus 1992, dimulainya kembali dialog antara SEF dan ARATS, serta pembentukan ECFA merupakan contoh bagaimana Taiwan mencoba memperbaiki hubungan antar-selat.
Menggunakan kerangka konsep Realisme Defensif di bidang keamanan, Neoliberal Institusionalisme di bidang ekonomi, dan konsep Identitas di bidang identitas, tugas karya akhir ini mencoba mencari mengapa Presiden Ma Ying-jeou mengambil kebijakan luar negeri yang bertujuan memperbaiki hubungan antar-selat tersebut.
Hasil yang didapatkan menunjukkan bagaimana kebijakan luar negeri Taiwan di bidang keamanan dan ekonomi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di level sistem, terutama dari reaksi Cina terhadap inisiatif yang diberikan oleh Taiwan. Pada bidang identitas, faktor eksternal memiliki pengaruh yang cukup besar, dan dilengkapi oleh faktor-faktor dalam negeri, ikut membentuk kebijakan di bidang identitas.

This final assignment discusses the foreign policy of Taiwan under President Ma Ying-jeou under his first term (2008-2012) in Cross-strait Relation between Taiwan and China. Specifically, the policies discussed are those in the aspect of security, economic, and identity. Under President Ma, Taiwan tries to repair the cross-strait relation that was worsening under the previous Taiwan President, President Chen Shui-bian. Some of President Ma's policies, such as the official recognition of 1992 Consensus, the resumption of SEF-ARATS dialogue, and the creation of ECFA, are examples of the effort Taiwan made to repair the relation between Taiwan and China.
Using three theoretical frameworks, which are Defensive Realism in security, Neoliberal Institutionalism in economy, and Identity Concept in identity, this final assignment tries to find why President Ma created foreign policy that tries to repair the cross-strait relation.
The discussion concludes that foreign policy of Taiwan in Security and Economic aspect is shaped by factors in systemic level, especially from the reaction of China to initiatives given by Taiwan. In identity aspect, external factors play a big role, and complemented by domestic factors, in shaping the policy in identity aspect.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Febriandi
"ABSTRAK

Arab Saudi bersama Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Mesir secara tiba-tiba memutus hubungan diplomatik dengan Qatar. Tuduhan akan keaktifan Qatar dalam mendukung terorisme berujung pada keputusan ini. Kedekatan Qatar dengan Iran dan Turki juga menjadi salah satu faktor penyebab pemutusan diplomatik ini. Arab Saudi dan sekutu juga melakukan blokade darat, laut, dan udara lalu mengajukan 13 syarat kepada Qatar agar terbebas dari blokade. Qatar dengan tegas menolak untuk patuh terhadap tuntutan Arab Saudi. Umumnya negara kecil akan patuh terhadap negara besar terutama di kawasan. Akan tetapi Qatar sebagai negara kecil di wilayah Timur Tengah berani untuk menolak dan tunduk pada Arab Saudi. Tulisan ini membahas tentang faktor-faktor kegagalan diplomasi koersif yang dilakukan oleh Arab Saudi terhadap Qatar. Tujuan dari penulisan penelitian ini adalah menghadirkan suatu elaborasi kajian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan diplomasi koersif Arab Saudi terhadap Qatar. Peningkatan kemampuan militer dan ekonomi Qatar tampaknya menjadi faktor kegagalan tersebut. Pola aliansi yang dibangun dengan Iran dan Turki juga menguatkan Qatar dalam menghadapi tuntutan Arab Saudi ini. Adapun untuk mendukung analisis penulis, tulisan ini menggunakan konsep coercive diplomacy dari Alexander L. George melalui pendekatan kualitatif. Dalam konsep tersebut terdapat lima faktor yang mempengaruhi kesuksesan diplomasi koersif, yaitu legitimasi tuntutan, tuntutan di masa depan, kredibilitas ancaman, kredibilitas tenggat waktu, dan motivasi pelaku. Konsep yang dikemukakan oleh George tersebut dinilai penulis sangat cocok untuk menjabarkan faktor-faktor kegagalan diplomasi koersif Arab Saudi terhadap Qatar. Penulis menemukan bahwa Arab Saudi gagal memenuhi kriteria kesuksesan diplomasi koersif berdasarkan konsep George tersebut, sehingga membuat blokade yang dilakukan Arab Saudi terhadap Qatar menjadi sia-sia.


ABSTRACT

 


Saudi Arabia along with Bahrain, the United Arab Emirates and Egypt cut off their diplomatic relations with Qatar. Allegations of the activeness of Qatar in supporting terrorism motivated in this decision to be taken. The close relation between Qatar with Iran and Turkey is one of the factors causing the diplomatic termination. Saudi Arabia and allies also made a blockade of land, sea and air and then submitted 13 conditions to Qatar to follow. Qatar firmly refused to comply with Saudi demands. Generally small countries will obey large countries, especially in the region. However, Qatar as a small country in the Middle East region dares to reject and comply to Saudi Arabia. This paper will discuss the factors of failure of coercive diplomacy carried out by Saudi Arabia and allies against Qatar. The purpose of writing this research is to present an elaboration of studies regarding the factors that influence the failure of Saudi Arabia's coercive diplomacy towards Qatar. Qatar`s military and economic capacity were the factors that made coercive diplomacy failed. The alliances with Iran and Turkey also strengthened Qatar in facing the demands of Saudi Arabia. This paper will examine the concept of coercive diplomacy by Alexander L. George with a qualitative approach. There are five factors that influence the success of coercive diplomacy: legitimacy of the demands, future demands, credibility of the threats, credibility of time pressures, and motivation of the coercer. The concept put forward by George is considered by the author to be very suitable to describe the factors of failure of Saudi Arabia`s coercive diplomacy towards Qatar. The author found that Saudi Arabia failed to meet the criteria of success of coercive diplomacy from George, so that the Saudi Arabia`s blockade made against Qatar was in vain.

 

"
2019
T54243
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tompodung, Pricilya D.Z.
"Taiwan adalah situasi "dua Cina" yang terjadi antara Taiwan dan Cina Daratan. Selama ini Taiwan telah mengalami begitu banyak tantangan dalam menjalankan roda pemerintahannya sehubungan dengan situasi dua Cina ini, bahkan hal yang paling menyolok adalah interaksi dan komunikasi yang terjadi diantara kedua negara tersebut dapat dikatakan tidak terjalin dengan baik. Sampai saat ini Taiwan belum memberikan kesempatan bagi Cina Daratan untuk melakukan negosiasi mengenai status Taiwan. Terlebih setelah pemilihan presiden tahun 2000 yang dimenangkan oleh Chen Shui Bian, telah terjadi perubahan besar dalam agenda politik Taiwan yang kalau sebelumnya memiliki peluang untuk meramu negosiasi kearah "satu Cina",beralih menjadi kebijakan yang mengarah pada "Kemerdekaan" Taiwan.
"Kemerdekaan" Taiwan. Sikap Taiwan ini sangat memprovokasi Cina untuk melakukan ancaman karena merasa kebijakannya untuk melakukan negosiasi melalui diplomasi tidak efektif. Akhirnya Cina memutuskan untuk memberikan ancaman secara koersif (militer) agar pemimpin Taiwan tidak dengan mudah menjalankan agendanya bahkan diharapkan akan tunduk pad a Beijing. Namun hal ini tidak mudah dijalankan, terbukti Cina tidak dapat serta-merta melaksanakan agresi militernya mengingat Taiwan sekarang memiliki kemampuan untuk menghadapi agresi Cina. Ancaman Cina kepada Taiwan ini nampaknya sangat serius karena dalam periode tahun 2000-2004 aktifitas militer Cina meningkat dengan tajam termasuk modernisasi dan pengembangan teknologi PLA, yang semata-mata ditujukan untuk menaklukkan Taiwan yang menentang adanya kebijakan "satu Cina".
Melihat gencarnya ancaman Cina ini, maka Taiwan pada awal tahun 2000 saat presiden Chen pertama kali terpilih, telah juga membuat sebuah kebijakan untuk mengatasi ancaman tersebut. Adapun kebijakan Taiwan ini bertumpu pada bidang pertahanan yang menjadi konsentrasi utama pemerintah untuk menangkal setiap ancaman koersif yang diberikan oleh Cina. Melihat situasi keberadaan negaranya maka Taiwan menggunakan operasi strategi pertahanan bertahan (defensive strategy) dalam menghadapi ancaman militer Cina yang sifatnya menyerang (Ofensive defense).
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Avina Nadhila Widarsa
"Setelah terlibat konflik politik selama lebih dari enam dekade, Cina mengambil sebuah kebijakan yang fenomenal dalam hubungannya dengan Taiwan. Pada tanggal 29 Juni 2010 disepakati suatu kerangka kerjasama ekonomi yang ditandatangani oleh Association for Relations Across Taiwan Straits (ARATS) yang mewakili pemerintah Cina dan Strait Exchange Foundation (SEF) yang mewakili pemerintah Taiwan. Penandatanganan Cross Strait Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) ini menandai babak baru dalam hubungan lintas selat. Walaupun perjanjian tersebut bertujuan untuk meningkatkan kerjasama ekonomi yang resiprokal dan setara, dalam isi perjanjian ECFA justru lebih menguntungkan Taiwan daripada Cina. Dalam ECFA disepakati kedua pihak sepakat untuk menurunkan tarif pada produk - produk ekspornya hingga 0%. Cina bersedia menurunkan tarif bagi 539 produk impor dari Taiwan, sementara Taiwan hanya bersedia menurunkan tarif bagi 267 produk impor dari Cina. Jelas terdapat ketidakseimbangan dalam kesepakatan ekonomi tersebut. Menjadi pertanyaan yang menarik, mengapa Cina tetap mau menandatangani perjanjian yang sudah jelas merugikan baginya secara ekonomi Melalui kerangka pemikiran economic statecraft, penelitian ini mengidentifikasi bahwa Cina memiliki memiliki kepentingan di balik penandatanganan ECFA. Adapun kepentingan politik Cina dalam penandatanganan ECFA adalah sebagai tahap awal untuk mencapai reunifikasi secara damai dengan Taiwan dan sebagaim pembuktian upaya peaceful development yang dilakukan Cina di kawasan Asia Timur. Selain itu, Cina juga memiliki kepentingan ekonomi untuk menjaga aliran dana investasi langsung dari Taiwan yang menjadi salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi Cina.

After six decades full of hostility and political tension, China took an extraordinary action regarding her relation towards Taiwan. On June 29, 2010, an economic cooperation framework agreement was signed between Association for Relations Across Taiwan Straits (ARATS) as a representative of government of China and Strait Exchange Foundation (SEF) as a representative of government of Taiwan. The signing of Cross Strait Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) was marking the new era of cross strait relations. While looking to improve economic cooperation reciprocally and equally, this agreement is more favor Taiwan instead of China. China agreed to reduce tariffs until 0% for 539 Taiwan export goods, while Taiwan only agreed to reduce tariffs for 267 China export goods. It is likely that China will face economic disadvantages because of this agreement. Then, the question is why China wants to sign this agreement although it doesn't give maximum advantages to her economy. Through the analysis from economic statecraft and economic cooperation as conceptual framework, this research pointed out that China has political and economic interest within this agreement. This research identified China's interest on ECFA as initial step to achieve peaceful reunification with Taiwan and as a way for China to prove the peaceful development strategy in East Asia region. Moreover, China also has economic interest towards ECFA which is to make sure Taiwan's FDI still come to China."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Goldstein, Steven M.
"Relations between Taiwan and the People's Republic of China have oscillated between outright hostility and wary detente ever since the Archipelago seceded from the Communist mainland over six decades ago. While the mainland has long coveted the island, Taiwan has resisted - aided by the United States which continues to play a decisive role in cross-strait relations today. In this comprehensive analysis, noted China specialist Steven Goldstein shows that although relations between Taiwan and its larger neighbor have softened, underlying tensions remain unresolved. These embers of conflict could burst into flames at any point, engulfing the whole region and potentially dragging the United States into a dangerous confrontation with the PRC Guiding readers expertly through the historical background to the complexities of this fragile peace, Goldstein discusses the shifting economic, political and security terrain, and examines the pivotal role played by the United States in providing weapons and diplomatic support to Taiwan whilst managing a complex relationship with an increasingly powerful China. Drawing on a wealth of newly declassified material, this compelling and insightful book is an invaluable guide to one of the world's riskiest, long-running conflicts.
"
Cambridge, UK Malden, MA : Polity Press, 2015
327.5 GOL c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>