Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 184258 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Retno Sawitri
"Pemeriksaan toksikologi forensik terdiri dari pemeriksaan kualitatif dan kuantitatif. Pemeriksaan menggunakan metode Biochip Array Technology merupakan metode baru dengan teknologi nano digunakan untuk pemeriksaan toksikologi forensik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui nilai diagnostik pemeriksaan morfin dan benzodiazepin menggunakan metode tersebut. Penelitian ini menggunakan desain penelitian potong lintang (Cross sectional), dengan sampel penelitian adalah seorang laki-laki atau perempuan berusia diatas 18 tahun sejumlah 20 orang yang diambil dengan cara Consecutive sampling pada bulan September 2014 di Puskesmas Johar Baru, Jakarta Pusat. Dari sampel tersebut yang diperiksa dengan GC/MS, 4 sampel terdeteksi positif morfin, dan 3 sampel terdeteksi benzodiazepin. Pemeriksaan dengan metode Biochip Array Technology, 4 sampel positif morfin, dan 6 sampel terdeteksi positif benzodiazepin. Hasil analisa uji diagnostik menunjukkan bahwa pemeriksaan morfin menggunakan metode tersebut memiliki sensitivitas sebesar 100 %, spesifisitas 100 %, nilai duga positif 100 % dan nilai duga negatif 100 %. Hasil uji diagnostik pemeriksaan benzodiazepin menggunakan metode tersebut adalah sensitivitas 100 %, spesifisitas 82,35%, nilai duga positif 50 % dan nilai duga negatif 100 %. Dapat disimpulkan bahwa metode ini sangat baik digunakan untuk pemeriksaan morfin sedangkan untuk pemeriksaan benzodiazepine kurang baik.

Forensic toxicology examination consists of a qualitative and quantitative examination. Biochip Array Technology is a new method with nanotechnology used for Forensic toxicology examination. The aim is to know the identificcation value of Biochip Array Technology diagnostic test to forensic toxicology examination of Morphine and benzodiazepine in urine. Cross Sectional diagnostic study was applied to those who are male or female aged over 18 years old, 20 samples were taken consecutively in Agustus 2014 from primary health centres of Johar Baru, Jakarta Pusat. From these samples using the GC/MS, 4 samples are positive morphine, 3 samples are positive benzodiazepine. From Biochip Array Technology Examination, 4 samples are positive morphine, 6 samples are positive benzodiazepine. Diagnostic test analysis in morphine examination showed that Biochip Array Technology revealed 100 % sensitivity, 100 % specificity, 100 % positive predictive value, and 100 % negative predictive value. Diagnostic test analysis in benzodiazepine examination showed that Biochip Array Technology revealed 100 % sensitivity, 82,35 % specificity, 50 % positive predictive value and 100 % negative predictive value. It can be concluded that this method is reliable in morphine examination but only if the sample is controlled, while for benzodiazepine examination, this method is not reliable.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Sawitri
"Pemeriksaan toksikologi forensik terdiri dari pemeriksaan kualitatif dan kuantitatif. Pemeriksaan menggunakan metode Biochip Array Technology merupakan metode baru dengan teknologi nano digunakan untuk pemeriksaan toksikologi forensik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui nilai diagnostik pemeriksaan morfin dan benzodiazepin menggunakan metode tersebut.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian potong lintang (Cross sectional), dengan sampel penelitian adalah seorang laki-laki atau perempuan berusia diatas 18 tahun sejumlah 20 orang yang diambil dengan cara Consecutive sampling pada bulan September 2014 di Puskesmas Johar Baru, Jakarta Pusat. Dari sampel tersebut yang diperiksa dengan GC/MS, 4 sampel terdeteksi positif morfin, dan 3 sampel terdeteksi benzodiazepin. Pemeriksaan dengan metode Biochip Array Technology, 4 sampel positif morfin, dan 6 sampel terdeteksi positif benzodiazepin.
Hasil analisa uji diagnostik menunjukkan bahwa pemeriksaan morfin menggunakan metode tersebut memiliki sensitivitas sebesar 100 %, spesifisitas 100 %, nilai duga positif 100 % dan nilai duga negatif 100 %. Hasil uji diagnostik pemeriksaan benzodiazepin menggunakan metode tersebut adalah sensitivitas 100 %, spesifisitas 82,35%, nilai duga positif 50 % dan nilai duga negatif 100 %. Dapat disimpulkan bahwa metode ini sangat baik digunakan untuk pemeriksaan morfin sedangkan untuk pemeriksaan benzodiazepine kurang baik.

Forensic toxicology examination consists of a qualitative and quantitative examination. Biochip Array Technology is a new method with nanotechnology used for Forensic toxicology examination. The aim is to know the identificcation value of Biochip Array Technology diagnostic test to forensic toxicology examination of Morphine and benzodiazepine in urine.
Cross Sectional diagnostic study was applied to those who are male or female aged over 18 years old, 20 samples were taken consecutively in Agustus 2014 from primary health centres of Johar Baru, Jakarta Pusat. From these samples using the GC/MS, 4 samples are positive morphine, 3 samples are positive benzodiazepine. From Biochip Array Technology Examination, 4 samples are positive morphine, 6 samples are positive benzodiazepine.
Diagnostic test analysis in morphine examination showed that Biochip Array Technology revealed 100 % sensitivity, 100 % specificity, 100 % positive predictive value, and 100 % negative predictive value. Diagnostic test analysis in benzodiazepine examination showed that Biochip Array Technology revealed 100 % sensitivity, 82,35 % specificity, 50 % positive predictive value and 100 % negative predictive value. It can be concluded that this method is reliable in morphine examination but only if the sample is controlled, while for benzodiazepine examination, this method is not reliable.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Manela
"Latar belakang: Pemakaian heroin masih cukup tinggi di Indonesia. Tesis ini membahas tentang pengaruh penambahan natrium florida pada penyimpanan sampel darah yang mengandung heroin ( 6 monoacetylmorphine dan morfin ) di kulkas suhu 5°C - 15°.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik eksperimental dalam lingkungan yang terkontrol. Terhadap 8 subjek penelitian diambil darahnya sebanyak 9 ml yaitu yang menggunakan heroin 30 menit hingga 3 jam sebelum pengambilan darah. Kemudian 9 ml darah dibagi menjadi 3 tabung, masing- masing tabung 3 ml. Tabung pertama langsung diperiksa kadar 6 monoacetylmorphine dan morfin menggunakan Gas Choromatography Mass Spectrometry. Tabung kedua yaitu darah dengan natrium florida dan tabung ketiga darah tanpa natrium florida disimpan dikulkas suhu 5°C - 15°C selama 3 hari.
Hasil: Pada pemeriksaan sampel hari pertama terhadap zat 6 monoacetylmorphine tidak ditemukan adanya zat tersebut. Karena pada kedelapan sampel , 6 monoacetylmorphinenya telah berubah menjadi morfin. Tetapi 6 monoacetylmorphine ini tetap ada hingga hari ketiga pada 50% sampel yang disimpan dengan natrium florida. Rata-rata kadar morfin hari pertama adalah 860,2 ± 669,5 ng/ml menurun pada hari ketiga menjadi 656,6 ± 425,8 ng/ml ( sampel dengan penambahan natrium florida) , 448,2 ± 270,7 ng/ml ( sampel tanpa penambahan natrium florida). Rata-rata perbedaan antara sebelum dan sesudah penyimpanan pada sampel yang ditambahkan natrium florida adalah 203,6 ± 252,4 ng/ml dengan signifikansi (p) = 0,057. Rata-rata perbedaan antara sebelum dan sesudah penyimpanan pada sampel tanpa penambahan natrium florida adalah 411,9 ± 475,2 ng/ml dengan signifikansi (p) = 0,044. Kesimpulan Dengan penambahan natrium florida dapat mencegah perubahan 6 monoacetylmorphine menjadi morfin pada 50% sampel penelitian. Pada sampel yang disimpan dengan natrium florida, tidak ada perbedaan bermakna antara kadar morfin sebelum dan sesudah penyimpanan selama 3 hari dikulkas suhu 5°C - 15°C. Pada sampel yang disimpan tanpa natrium florida , terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar morfin sebelum dan sesudah penyimpanan selama 3 hari dikulkas suhu 5°C - 15°C.

Background: Heroin consumption is still quite high in Indonesia. This study is to discuss the effect of adding sodium fluoride to the storage of blood samples containing heroin (6 monoacetylmorphine and morphine) in a refrigerator with a temperature of 5°C to 15°C.
Methods: This study is an experimental analysis in a controlled environment. To the 8 subject of study, 9 ml of blood was drawn who was using heroin 30 minutes to 3 hours before blood sampling. This 9 ml of blood were then saved into 3 tubes of 3 ml each. The first tube was directly examined for the levels of 6 monoacetylmorphine and morphine using Gas Choromatography-Mass Spectrometry. The second tube of blood with sodium fluoride and the third tube of blood without sodium fluoride were stored in refrigerator of 5°C to 15°C for 3 days.
Results: On the first day examinations, 6 monoacetylmorphine were not found, because all of the samples, 6 monoacetylmorphine has changed to morphine. But this 6 monoacetylmorphine remains until the third day in 50% of samples stored with sodium fluoride. Average concentration of morphine in the first day was 860.2 ± 669.5 ng/ml and decreased to 656.6 ± 425.8 ng/ml on the third day (samples with the addition of sodium fluoride), and to 448.2 ± 270.7 ng / ml (sample without the addition of sodium fluoride). The average difference between before and after storage in the samples added with sodium fluoride is 203.6 ± 252.4 ng/ml with significance of (p) = 0.057. The average difference between before and after storage in the samples without the addition of sodium fluoride was 411.9 ± 475.2 ng/ml with significance (p) = 0.044.
Conclusion The additions of sodium fluoride prevent changes of 6 monoacetylmorphine into morphine in 50% of the study sample. In samples stored with sodium fluoride, there is no significant difference between the levels of morphine before and after storage for 3 days in refrigerator with temperature of 5°C to 15°C. In the samples stored without sodium fluoride, while there is a significant difference between the levels of morphine before and after storage for 3 days in refrigerator temperature of 5°C to 15°C.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Syauqi
"Telah dilakukan penelitian untuk membandingkan keefektifan penambahan morfin 0.05 mg intratekal dan morfin 0.1 mg intratekal dalam hal kekerapan pruritus yang ditimbulkan oleh efek samping morfin intratekal dengan efek analgesia pasca bedah-nya tetap sama pada kasus bedah sesar dengan tehnik analgesia spinal.
Disain : uji klinis acak tersamar ganda.
Metode : 84 pasien yang menjalani bedah sesar dibagi 2 kelompok. Kelompok A sebanyak 42 orang mendapat 0.05 mg morfin dan kelompok B sebanyak 42 orang mendapat 0.1 mg morfin pada suntikan bupivakain 0.5% 10 mg intratekal. Selanjutnya dilakukan pemantauan nyeri menggunakan skor VAS, tekanan darah, laju nadi dan laju nafas pada jam ke 2, 4, 6, 8, 16 dan 24 pasca operasi. Selama pemantauan juga diamati kekerapan dan derajat pruritus. Penilaian pruritus dengan menggunakan skor VAS.
Hasil : Pada kelompok A memberikan efek analgesia paska bedah yang tidak berbeda bermakna dengan kelompok B dalam 24 jam (p X0.05 ). Sedangkan kekerapan pruritus pada kelompok A dan kelompok B masing-masing 16.7% dan 40.5% (p<0.05). Derajat pnuitus ringan dan sedang pada kelompok A didapat 7% dan 0%. Sedangkan pada kelompok B pruritus ringan 35,7 % dan pruritus sedang 4.8 %. Dan kedua kelompok tidak ada yang mengalami pruritus berat.
Kesimpulan : morfin 0.05 mg intratekal lebih efektif menurunkan kekerapan pruritus dibanding morfin 0.1 mg intratekal tetapi menghasilkan efek analgesia pasca bedah yang sama pada bedah sesar dengan analgesia spinal.

This study compared the quality of analgesia and the incidence and degree of pruritus of 0.1 mg morphine intrathecally to 0.05 mg intrathecal morphine in patients undergoing Caesarean section.
Design: randomized and double-blinded study
Method: 84 patients who underwent Caesarean section were divided randomly into two groups. 42 patients in group A received intrathecal morphine 0.05 mg and group 13, 42 patients, received 0.1 mg morphine intrathecally in addition to a standard intrathecal dose of 10 mg bupivacaine 0.5% heavy. The quality of analgesia was assessed using Visual Analogue Score ( VAS) and the incidence and degree of pruritus were recorded during the first-24 hour postoperatively.
Result: there was no statistically significant difference in the quality of analgesia between the two groups (p > 0.05 ). The incidence of pruritus in group A and group B was 16.7% and 40.5% respectively (p<0.05 ). The degree of pruritus in group A were mild : 7% and moderate : 0% while in group B mild : 35.7% and moderate 4.8%. There was no severe pruritus in the two groups.
Conclusion : 0.05 mg intrathecal morphine significantly reduced the incidence of pruritus compared to 0A mg intrathecal morphine while there was no significant difference statistically in the quality of analgesia in the two groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunyun Setiawan
"Latar Belakang: Prevalensi gangguan penggunaan benzodiapin (GPB) di dunia meningkat setiap tahun. Prevalensi GPB di Indonesia pada tahun 2022 adalah sebesar 11,8% dari seluruh jenis zat yang digunakan dan merupakan urutan ke-3 zat yang sering disalahgunakan, terutama pada usia produktif 30-40 tahun. GPB berdampak negatif bagi kehidupan pasien, keluarga dan lingkungan. GPB berhubungan dengan psikopatologi individu dan dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan GPB dan psikopatologi serta faktor sosiodemografi yang memengaruhi pada pasien di RSJ Provinsi Jawa Barat.
Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan menggunakan metode potong lintang. Pengambilan sampel menggunakan consecutive sampling pada pasien yang dengan GPB sesuai kriteria DSM-5 dan pemeriksaan psikopatolgi berdasarkan MINI ICD-10 serta pengambilan data faktor sosiodemografi pada pasien yang berobat di RSJ Provinsi Jawa Barat
Hasil penelitian: Dari 96 pasien yang memenuhi krieria inklusi untuk penelitian ini 99% laki-laki, 90,6% usia dewasa, 56,% tidak memiliki pasangan, 63,5% berpendidikan sedang (SLTA sederajat), 57,3% karyawan swasta, berdasarkan tingkat keparahan 93,8% berat, 32,3% memiliki 2 komorbid psikopatologi dan 1 komorbid gangguan cemas menyeluruh 21,9%, 98,96% menggunakan multi zat alprazolam dengan benzodiazepin yang lain, 44,79% menggunakan 2 zat alrazolam dan clonazepam. Terdapat hubungan yang signifikan antara status pasangan dengan tingkat keparahan penggunaan benzodiazepin p=0.044 dengan RR=1.11 dan OR=7.16, kelompok yang tidak berpasangan 11% lebih tinggi untuk mengalami gangguan penggunaan benzodiazepin dan 7 kali lebih mungkin untuk mengalami gangguan penggunaan benzodiazepin. Dosis rata-rata penggunaan benzodiazepin jenis alprazolam 3,7mg/hari. Clonazepam 5,43mg/hari. Lorazepam 3,12mg/hari, nitrazepam 5mg/hari dan diazepam 10mg/hari
Simpulan: Berdasarkan penelitian ini tingkat keparahan gangguan penggunaan benzodiazepin berisiko pada individu yang tidak memiliki pasangan, memiliki komorbid psikiatri dan diperlukan kehati-hatian pada peresepan alprazolam melebihi dosis 3,7mg/hari.

Background: The world’s prevalence of benzodiapine use disorders (BUD) increases every year. The prevalence of BUD in Indonesia in 2022 was 11.8% of all types of substances used and is the third most frequently abused substance, especially in the productive age group of 30-40 years. BUD has a negative impact on the lives of patients, families and the environment. BUD is related to individual psychopathology and is influenced by sociodemographic factors. This study aims to determine the relationship between GPB and psychopathology as well as sociodemographic factors that influence patients at The West Java Mental Hospital.
Method: This research is an analytical observational study using a cross-sectional method. Sampling used consecutive sampling on patients with BUD according to DSM-5 criteria and psychopathology examination based on MINI ICD-10 as well as data collection on sociodemographic factors on patients seeking treatment at The West Java Mental Hospital.
Result: Of the 96 patients who met the inclusion criteria for this study, 99% were men, 90.6% were adults, 56.% did not have a partner, 63.5% had moderate education (high school equivalent), 57.3% were private employees , based on severity level 93.8% severe, 32.3% had 2 comorbid psychopathology and 1 comorbid generalized anxiety disorder 21.9%, 98.96% used multi-substance alprazolam with other benzodiazepines, 44.79% used 2 alrazolam substances and clonazepam. There was a significant relationship between partner status and the severity of benzodiazepine use p=0.044 with RR=1.11 and OR=7.16, the non-partnered group was 11% more likely to experience benzodiazepine use disorders and 7 times more likely to experience benzodiazepine use disorders. The average dose of benzodiazepine alprazolam is 3.7mg/day. Clonazepam 5.43mg/day. Lorazepam 3.12mg/day, nitrazepam 5mg/day and diazepam 10mg/day.
Conclusion: Based on this study, the severity of benzodiazepine use disorders is a risk in individuals who do not have a partner, have psychiatric comorbidities and caution is needed when prescribing alprazolam exceeding a dose of 3.7 mg/day.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Sovilawati
"Senyawa Benzodlazepin dalain bidang pengob.atan biasariya digunakan
untuk anti ansietas, hipnotik sedatif, anti konvulsi, dan lain—lain.
Tetapi sering kali obat-obat senyawa mi pemakaiannya disalah gunakan,
mlssinya digunakan dalam takaran yang berlebihan, sehingga menimbulkan
keracunn,, dan kadang—kadang kematian.
*
Karena sering kali terjadl penyalah gunaan obat golongan ml, maka
kami inencoba untuk mencarl cara Isolasi yang terbaik dan sederhana dan
obat dalam unin, dilanjutkan dengan penentuan secara kualitatif dan
kuantitatif, yang dapat rnemberikan hasil yang memuaskan.
Cara—cara isolasi yang dicoba diarnbh1 dari 4 bush pustaka, •dhrnana
tercantum cars isolasi, balk untuk senyawa Benzodiazepin, inaupun untuk
senyawa lain yang sifatnya sama.
Dari percobaan—percobaan yang dilakukan, ternyata cars isolasi
dengan menggunakan alat Extrelut dan cars isolasi dengan menggu.nakan
sedlaan Charcoal dapat digunakan untuk penetapan kualltatif. Untuk penetapan
kuantitatii' beluin dapat dilakukan, karena obat dalam urin pads
percobaan ml tidak terdeteksl pada pemeriksaan secara spektrofotornetri,
sementara pads pexneriksaan senyawa Benzodiazepin yang digunakan sebagal
zat standart, seperti Diazepanmm dan Chiordiazepoxydufli dapat terdeteksi
dengan balk secara spektrofotometri."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1984
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nindya Nisita
"Ketergantungan benzodiazepin merupakan kondisi yang berhubungan dengan kejadian hendaya kognitif. Hendaya kognitif pada pasien ketergantungan benzodiazepin merupakan fenomena multifaktorial, kerap dikaitan dengan karakteristik sosiodemografik, pola penggunaan benzodiazepin dan komorbiditas. Hendaya kognitif pada individu yang menggunakan benzodiazepin ditemukan pada berbagai ranah kognitif, mencakup ranah verbal, memori, visuospasial, atensi dan fungsi eksekutif. Hendaya kognitif merupakan masalah yang penting karena berhubungan dengan penurunan fungsi dan respon tatalaksana ketergantungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi profil ranah kognitif pada pasien ketergantungan benzodiazepin. Penelitian dilakukan secara potong lintang pada sampel yang diterima secara konsekutif dari berbagai jenis layanan kesehatan mencakup rumah sakit, rehabilitasi dan puskesmas. Pengambilan data meliputi proses wawancara menggunakan instrumen MINI-ICD 10 dan Addiction Severity Index serta pemeriksaan profil ranah kognitif menggunakan Cognistat Bahasa Indonesia. Pasien ketergantungan benzodiazepin dalam penelitian ini sebagian besar mengalami hendaya kognitif. Hendaya kognitif yang paling banyak ditemukan pada pasien ketergantungan benzodiazepin adalah hendaya memori. Terdapat hubungan antara penggunaan benzodiazepin sebelum usia 18 tahun terhadap kejadian hendaya memori pada pasien ketergantungan benzodiazepin (p<0,05). Penggunaan benzodiazepin sebelum usia 18 tahun dibandingkan dengan lebih dari 18 tahun berisiko 4,4 kali lipat mengalami hendaya memori (RO=4,397). Terdapat hubungan antara penggunaan jenis benzodiazepin terhadap kejadian hendaya kalkulasi pada pasien ketergantungan benzodiazepin (p<0,05). Penggunaan benzodiazepin kerja lambat dibandingkan dengan benzodiazepin kerja menengah berisiko 0,2 kali lipat mengalami hendaya kalkulasi (RO=0,192). Terdapat faktor-faktor yang ditemukan berhubungan dengan kejadian hendaya kognitif pada pasien ketergantungan benzodiazepin. Temuan ini penting untuk diimplementasikan dalam layanan kesehatan termasuk upaya pencegahan hendaya kognitif maupun tatalaksana pasien ketergantungan benzodiazepin.

Benzodiazepine dependence associated with cognitive impairment. Cognitive impairment among benzodiazepine dependent patients is a multifactorial phenomenon, often associated with sociodemographic characteristics, patterns of benzodiazepin use and comorbidities. Impairments were found on various cognitive domains including verbal, memory, visuospacial, attention and executive function. Cognitive impairment is an important matters due to its concequences such as psychosocial dysfunction and treatment response. This study aims to find factors associated with profiles of cognitive domains among benzodiazepin dependent patients This is a cross-sectional study conducted in patients with benzodiazepin dependence from hospital, drug rehabilitation and primary health care. Data collections includes MINI-ICD 10 and Addiction Severity Index interview, followed by cognitive domains assessment using Cognistat. Cognitive impairments found on majority of benzodiazepine dependent patients, distinctly on memory function. Memory impairment significantly associated with benzodiazepine use under the age of 18 (p<0,05). Risk of memory impairment is 4.4 times on first time benzodiazepine use under the age of 18, compared with above the age of 18 (OR=4,397). Calculation imparment significantly associated with types of benzodiazepine (p<0,05). Risk of calculation impairment is 0,2 times on long-acting benzodiazepin use, compared with moderate-acting benzodiazepine (OR=0,192). Factors associated with cognitive impairments among benzodiazepin dependent patients were identified in this study. Implication of the result should be address on health care system. This includes cognitive impairment preventions and treatments of benzodiazepine dependence."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jejen Nugraha
"PT. Kimia Farma, Tbk, merupakan perusahaan BUMN Farmasi yang sudah lama berdiri di Indonesia, memiliki hak monopoli dalam importasi, produksi dan distribusi produk Tablet Morfin, produk ini merupakan produk yang wajib ada untuk kebutuhan pengobatan. Sangatlah penting bagi perusahaan untuk dapat mengamankan serta menganalisis rantai pasoknya, agar memiliki sistem rantai pasok yang baik. Tesis ini mempelajari dan mengevaluasi rantai pasok dan proses bisnis PT Kimia Farma, Tbk, dalam melakukan pasokan Tablet Morfin, dengan menggunakan analisis Focus Group Discussion (FDG), dan Fishbone, hasil analisis menunjukkan terjadinya ketidaksesuaian rantai pasok yang terjadi pada distributor Majapahit (Jakarta Pusat), yang memasok RS Kanker Dharmais, ketidaksesuaian berupa kekosongan produk dikarenakan beberapa akar penyebab, yaitu Lead Time yang lama, tidak adanya sistem Standard Operating Procedure (SOP) yang terintegrasi, tidak adanya sistem Teknologi Informasi terintegrasi, pengetahuan SDM mengenai regulasi kurang, dan perencanaan distribusi yang tidak tepat.

PT. Kimia Farma Tbk, a pharmaceuticals state-owned company has established in Indonesia for many years, has a monopoly in the importation, production and distribution of Morphine tablets, this product is compulsory product for medication. It is important for companies to secure and analyze the supply chain, in order to have a good supply chain system. This thesis studied and evaluated supply chain and business process at PT Kimia Farma Tbk, in delivering Morphine Tablets to the customer, by using Focus Group Discussion (FDG), and Fishbone analysis, the results of the analysis showed the occurrence of mismatch of supply chain happens at distributor Majapahit (Jakarta Pusat), which supplies Dharmais Cancer Hospital, a mismatch in the form of zero stock because some of the root causes, some of the root causes are, Long Lead Time, lack of integrationsystem in the Standard Operating Procedure (SOP), No Integration on Information Technology systems, poor human resources knowledge on regulation, and improper distribution planning."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa
"Latar belakang: Nyeri pascabedah ortopedi ekstremitas bawah masih menjadi masalah yang berkaitan dengan risiko pascabedah dan lama perawatan di rumah sakit. PCA intravena morfin dan oxycodone masih belum dikaji lebih jauh sebagai analgesia pascabedah ortopedi ekstremitas bawah.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar ganda untuk menilai efektivitas PCA intravena morfin dengan oxycodone untuk analgesia pascabedah ortopedi ekstremitas bawah. Subjek penelitian berjumlah 50 orang yang didapatkan dengan consecutive sampling selama Januari-April 2019. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok, dirandomisasi menjadi kelompok morfin dan kelompok oxycodone. Efektivitas dinilai dengan banyaknya konsumsi opioid dalam 24 jam pascabedah dan efek samping antara 2 kelompok. Penilaian derajat nyeri diam dan bergerak pada jam ke-0, 6, 12, dan 24 dengan menggunakan Visual Analogue Score (VAS) dan kepuasan pasien pada penggunaan PCA juga dinilai untuk komponen penilaian tambahan. Hasil dianalisis dengan SPSS.
Hasil: Seluruh subjek penelitian menyelesaikan penelitian dan tidak didapatkan perbedaan karakteristik yang signifikan antara 2 kelompok. Banyaknya konsumsi opioid dalam 24 jam pertama pascabedah antara 2 kelompok (p 0,574) dan kejadian efek samping antara 2 kelompok tidak berbeda. Derajat nyeri istirahat dan bergerak juga tidak didapatkan hasil yang berbeda bermakna (p 0,109 ; 0,163). Kepuasan pasien pada penggunaan PCA juga tidak berbeda bermakna, namun secara umum pasien puas dengan penggunaan PCA, dan kepuasan pasien pada PCA oxycodone (76%) lebih banyak dibanding PCA morfin (52%)
Simpulan: PCA intravena oxycodone tidak lebih efektif dibandingkan PCA intravena morfin untuk analgesia pascabedah ortopedi ekstremitas bawah pada penelitian ini. Pasien yang setuju dengan penggunaan PCA sebanyak 30 subjek, tidak ada perbedaan signifikan antara 2 kelompok.

Background: Postoperative pain after lower extremity orthopedic surgery may increase morbidity after surgery and prolong the length of hospitalization. The study investigating effectiveness intravenous PCA morphine and oxycodone has not been extensively studied for managing pain after lower extremity orthopedic surgery.
Methods: This study is a double-blind randomized study clinical trial to evaluate effectiveness intravenous PCA morphine and oxycodone for post-operative analgesia after lower extremity orthopedic surgery. Total of 50 subjects were enrolled with consecutive sampling within January-April 2019. Subjects were randomly allocated into 2 groups, received intravenous PCA morphine or intravenous PCA oxycodone. Post-operative opioid consumption in 24 hours and side effects were considered the primary efficacy variable. Pain scores were measured using Visual Analogue Score (VAS) at time 0, 6, 12, and 24 after surgery. Patient satisfaction in both groups was also evaluated. Data was analyzed statistically using SPSS.
Results: All the subjects done this study. There were no differences in the characteristics of both groups. Opioid consumption between two groups no significantly different (p 0,574) and incidence of side effects between two groups were similar. Pain scores during rest and move also no significant differences (p 0,109 ; 0,163). Patient satisfaction no significant difference, but almost patient satisfied with using PCA, while group oxycodone (76%) higher than group morphine (52%).
Conclusion: Intravenous PCA oxycodone had no more effective than intravenous PCA morphine for post-operative analgesia after lower extremity orthopedic surgery in this study. Patient satisfaction was higher in group oxycodone than in group morphine.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Riva Mahfuzhah Saphira
"Penelitian ini membahas mengenai penggunaan Dekstrometorfan yang merupakan produk turunan Morfin, dimana telah terdapat inkonsistensi terhadap legalitas penggunaannya dalam obat batuk. Obat Legalization batuk yang mengandung Dekstrometorfan yang merupakan produk turunan Morfin dapat menimbulkan efek mabuk apabila dikonsumsi dengan dosis berlebih. Sehingga, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI mengeluarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI Nomor HK.04.1.35.06.13.3534 Tahun 2013 tentang Pembatalan Izin Edar Obat yang Mengandung Dekstrometorfan Sediaan Tunggal untuk melakukan penarikan izin edar terhadap obat batuk tersebut. Kemudian, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI kembali mengeluarkan peraturan, yakni Peraturan BPOM No. 28 Tahun 2018 tentang Pedoman Obat – Obat Tertentu yang Sering Disalahgunakan dengan tujuan untuk pengawasan yang lebih ketat. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan penggunaan zat Dekstrometorfan dengan benar. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dengan tipe penelitian deskriptif serta data yang diperoleh dari studi kepustakaan dan wawancara. Hasil penelitian menunjukan bahwa perlu adanya kepastian hukum terhadap legalitas dari penggunaan obat batuk tersebut yang mengandung Dekstrometorfan untuk mencegah terjadinya inkonsistensi terhadap penerapan regulasi serta terjadinya penarikan izin edar, dimana pengkajian dapat dilakukan dengan menggunakan teori serta peraturan hukum yang berlaku selama tidak bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Penarikan izin edar obat batuk pada dasarnya dapat berdampak pada masyarakat yang mengalami sakit batuk kering karena dapat mengganggu hak atas kesehatannya, sehingga perlu ketegasan dalam penerapan kebijakan oleh pihak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI terhadap penggunaan Obat Batuk yang mengandung Dekstrometorfan untuk dapat mencapai tujuan dari hukum kesehatan.

This study discusses the use of Dextrometorphan which is the derivative product of Morphine, where an inconsistencies has occur in the legality of its use in cough medicine. Cough medicine that contains Dextrometorphan which is the derivative product of Morphine can cause hangover due to excess doses consumption. This has caused Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI released Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI Nomor HK.04.1.35.06.13.3534 Tahun 2013 tentang Pembatalan Izin Edar Obat yang Mengandung Dekstrometorfan Sediaan Tunggal to withdraw the distribution permit of the cough medicine. Then, BPOM RI again released another regulation namedly Peraturan BPOM No. 28 Tahun 2018 tentang Pedoman Obat – Obat Tertentu yang Sering Disalahgunakan for the purpose of a stricter monitoring. This study aims to describe the correct use of Dextrometorphan. The research method that used is judicial-normative, the research type is descriptive, and the data being obtained from literature studies and interviews. This study shows that there is a need for legal certainty regarding the legality of this medicine to prevent an inconsistencies in the application of the regulations and its distribution permit withdrawal. The study can be carried out using theories and applicable legal regulations as long as not conflicted with the higher legal rules. The withdrawal can basically gave an impact towards the right to health of the people with dry cough. So, BPOM RI should be firm in the application of the policies to achieve the goals of health law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>