Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 112503 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irvin Sianka Thedean
"Pencucian Uang (Money Laundering) merupakan suatu terminologi yang tidak asing dalam masyarakat dewasa ini. Pencucian Uang yang kita ketahui kerapkali dilakukan oleh pejabat negara lazimnya dengan tujuan untuk mengaburkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh secara melawan hukum. Salah satu Tindak Pidana Asal (predicate crime) yang dilakukan pejabat negara adalah tindak pidana korupsi, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU No 8/2010. Pihak yang dirugikan dalam hal ini adalah negara dengan jumlah uang hingga puluhan milyar rupiah. Pada mulanya perbankan dipergunakan oleh pelaku pencucian uang untuk melakukan pencucian uang, dengan tahapan placement, layering, dan integration. Namun seiring dengan semakin ketatnya sistem perbankan di Indonesia, pelaku pencucian uang mencari sarana lain sebagai alat untuk melakukan pencucian uang.
Notaris merupakan profesi yang memiliki kedudukan sangat terhormat dengan tugas yang sangat mulia. Kewenangan Notaris yang diberikan oleh undang-undang adalah membuat akta otentik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang Jabatan Notaris. Sehubungan dengan kewenangan notaris tersebut, pelaku pencucian uang memanfaatkan akta-akta notaris dalam transaksi jual beli sehingga uang haram dapat dirubah menjadi aset-aset tertentu. Notaris memiliki kewajiban untuk memahami dan mematuhi Kode Etik Notaris, Undang-undang Jabatan Notaris dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif, dimana melakukan analisa terhadap norma-norma hukum yang berlaku dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran atas permasalahan yang diteliti.

Money Laundering is a terminology which is quite familiar in the society recently. Money laundering that we have known is often done by state officials with a purpose to obscure the origin of the assets acquired unlawfully. One of the predicate crimes which is often done by state officials is corruption crime, in accordance with Article 2 paragraph (1) of Law No 8/2010. In this case, the damaged party is the State with the amount of money up to tens of billions rupiah. Formerly, bank is used by the money laundering doer to commit money laundering, with the stages of placement, layering, and integration. But, along with the banking system in Indonesia which is more stricted in regulations, money laundering doer looks for another way to commit money laundering.
Notary is a proffesion which has a very respectable with a noble duty. Notary`s authority granted by law, is making an authentic deed, as provided in Article 1870 Indonesia Civil Code and Law regarding Notary. In connection with such Notary`s authority, money laundering doer makes benefit of such notarial deed in some sale and purchase transactions so that illegal money could be converted into certain assets. Notary has an obligation to understand and comply with the Code Conduct of Notary, Law regarding Notary, and other related regulations. The method used in this research is yuridical-normative method, where we do an analysis of the applicable law with the purpose to obtain the subjects of the problem.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T43198
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Citra Nugraheni
"Tindak pidana pencucian uang adalah suatu kejahatan yang disamping dapat sangat merugikan masyarakat juga sangat merugikan negara karena dapat merusak stabilitas perekonomian nasional serta dapat meningkatkan berbagai kejahatan lainnya. Penegakan hukum terhadap kegiatan pencucian uang ini selain dengan telah ditetapkannya undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang mana diubah dengan undang-undang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan kemudian saat ini telah diganti dengan undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, juga dilakukan dengan proses penyidikan, penuntutan dan persidangan di pengadilan yang pada akhirnya berujung pada sebuah putusan hakim. Penelitian ini adalah penelitian penelitian hukum doktrinal (normatif) dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa Putusan Pengadilan (hakim) dianggap penting bagi para pencari keadilan, masyarakat, korban, pelaku dan juga bagi negara. Dalam bidang perekonomian penegakan hukum melalui putusan Pengadilan (hakim) ini sangat berpengaruh, putusan pengadilan (hakim) yang dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat dan para pihak dapat mempengaruhi minat para investor yang ingin menanamkan modalnya di suatu negara. Penegakan hukum melalui putusan hakim ini dibuat berdasarkan penafsiran yang berbeda-beda antara hakim yang satu dengan yang lainnya, perbedaan ini disebabkan banyaknya faktor-faktor (internal dan eksternal) yang dapat mempengaruhi hakim dalam membuat sebuah putusan, khususnya masalah tindak pidana pencucian uang.
Pada hakikatnya hakim memiliki kemandirian yang penuh dalam menjatuhkan putusan namun kemandirian tersebut haruslah dengan mengusahakan menjalankan profesinya dengan baik agar walaupun tidak dapat menciptakan suatu keadilan seratus persen mutlak tetapi setidaknya ia dapat memuaskan para pencari keadilan dengan alasan dan pertimbangan yang rasional dan bijaksana. Perbedaan penafsiran beserta faktorfaktor yang mempengaruhi hakim tersebut mengakibatkan pula terjadinya disparitas hukuman dalam putusan hakim yang mana sampai saat ini menjadi suatu permasalahan. Masalah disparitas ini tidak dapat dihilangkan, yang dapat dilakukan adalah meminimalisir disparitas tersebut agar tercipta keadilan yang dianggap serasi bagi masyarakat, pencari keadilan, korban dan pelaku itu sendiri.

Money Laundering is a crime which injures not only the society, but also injures the state interest because it could undermine the stability of national economy and could give birth to another crimes. The law enforcement on money laundering has been done by promulgating The Law No. 15 Year 2002 concerning Money Laundering, which had been revised by The Law No. 25 Year 2003 and the latest by The Law No. 8 Year 2010 concerning The Prevention and The Elimination on Money Laundering, investigating, prosecuting, and commencing trial by the court on Money Laundering which later ended up with a court decision. This research is a doctrinal (normative) research which takes qualitative-descriptive analysis.
This research concludes that court (judges) decisions are considered importantly by justice seekers, societies, victims, offenders, and also the state. In the economic sector, the law enforcement through Court (judges) Decisions are influential significantly, court decisions which are considered unreflective of the sense of justice of the society and the concerned parties could affect the pretension of the investors to invest in a country. The law enforcement through court decisions are made by varying interpretations among the judges. These variations are caused by some factors (internal and external) which can affect judge in decision making process, this also occurs in money laundering cases.
Fundamentally, a judge is at full independent when making a decision, even though his independent must be taken coherently to the noble profession of the judge so that he can satisfy the justice seekers, rationally and wisely. Different interpretation along with the judge affecting factors also constitute disparities of sentence on court decisions, which until now still remain a problem. This problem cannot be eliminated, but can be minimized so that a harmonious justice for the societies, justice seekers, victims, and the offenders themselves, can be achieved.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35433
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Refki Saputra
"Kriminalisasi aktivitas pencucian uang, pada dasarnya merupakan respon atas sulitnya mengungkap kejahatan terorganisir. Hal ini dilakukan karena pelaku menggunakan teknik-teknik pencucian uang untuk menyembunyikan harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut. Melalui pendekatan anti-pencucian uang, proses penegakan hukum diarahkan tidak hanya sekedar menemukan pelaku kejahatan, melainkan juga mencari harta kekayaan hasil kejahatan. Rezim anti-pencucian uang kemudian dianggap sebagai strategi baru dalam memberantas kejahatan dengan merampas hasil kejahatannya. Tatkala para pelaku kejahatan dihalangi untuk menikmati hasil kejahatannya, maka diharapkan motivasi untuk melakukan kejahatan juga menjadi sirna. Regulasi anti-pencucian uang di Indonesia, sejauh ini sudah cukup memberikan panduan kepada institusi yang terlibat dalam implementasi rezim anti-pencucian uang sebagai bagian dari upaya memberantas kejahatan (tindak pidana asal). Hal ini misalnya tampak dari ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan upaya penelusuran hasil kejahatan. Misalnya terkait dengan ketentuan pelaporan dan analisis transaksi keuangan, upaya mengamankan aset hasil kejahatan dalam ketentuan terkait dengan penundaan, penghentian transaksi, pemblokiran, penyitaan, hingga upaya perampasan hasil kejahatan. Agar dapat memaksimalkan pemberantasan kejahatan, maka perlu adanya kesamaan persepsi diantara penegak hukum, bahwa kriminalisasi aktivitas pencucian uang merupakan pintu masuk dalam mengungkap kejahatan. Proses pembuktian harus dilakukan secara efisien dengan menggunakan mekanisme pembuktian terbalik. Selain itu juga, proses peradilan tindak pidana pencucian uang harus selalu diarahkan untuk menemukan hasil kejahatan untuk kemudian dirampas atau dikembalikan kepada yang berhak.

The criminalization of money laundering activities, essentially a response to the difficulty of uncovering organized crime. This is done because the perpetrators use techniques of money laundering to conceal wealth obtained from the crime. Through the anti-money laundering approach, law enforcement process directed not only to find the perpetrators, but also to seek the proceeds of crime. Anti-money laundering regime is then considered as a new strategy to fight against crime by seizing the proceeds of crime. When the perpetrators are prevented from enjoying the proceeds of crime, it is expected that the motivation to commit crimes also be annihilated. Anti-money laundering regulation in Indonesia, so far is sufficient to provide guidance to the institutions involved in the implementation of anti-money laundering regime as part of efforts to combat crime (predicate offenses). It can be seen from the provisions relating to the search effort of criminal proceeds. For instance associated with the provision of financial transaction reporting and analysis, to secure the assets of criminal proceeds in the provisions relating to delays, termination of the transaction, blocking, seizure, up to confiscation of proceeds of crime. In order to maximize efforts to fight crime, we need a shared understanding among law enforcement agencies, that the criminalization of money laundering activity is an entry point to uncovering crime. Trial process must be done efficiently by using the reversal of burden of proof. In addition, the judicial process of money laundering should always be directed to locate the proceeds of crime, to be seized or returned to those entitled."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43825
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sahetapy, Athilda H.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T37586
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Arfi Pramusintho
"Penelitian ini mengkaji keberlakuan asas non-retroaktif dalam kewenangan penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) terkait tindak pidana asal pencucian uang yang baru diberikan kewenangan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 15/PUU-XIX/2021. Asas non-retroaktif merupakan prinsip dalam hukum pidana yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dikenakan sanksi pidana jika pada saat dilakukan belum diatur sebagai tindak pidana oleh peraturan perundang-undangan. Akan tetapi belum secara jelas menerangkan apakah penerapan asas non-retroaktif dapat pula berlaku terhadap kewenangan PPNS. Skripsi ini bertujuan untuk memahami dan mengevaluasi penerapan asas tersebut, khususnya dalam konteks tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Metode penelitian yang dilakukan adalah metode penelitian doktrinal yang merupakan kumpulan dan analisis dari aturan, asas, norma, atau panduan penafsiran, dan nilai-nilai. Penelitian ini dimulai dengan identifikasi sumber hukum yang akan diteliti, kemudian dilanjutkan dengan penafsiran dan analisis terhadap sumber hukum tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asas nonretroaktif dapat diterapkan terhadap PPNS berdasarkan ketentuan yang ada dalam KUHP dan KUHAP. Selain itu, penelitian ini mengungkapkan adanya tantangan dalam penerapan asas non-retroaktif bagi PPNS dan juga saran membangun dalam penerapan asas non-retroaktif secara teori maupun praktik.

This research examines the applicability of the non-retroactive principle in the authority of Civil Servant Investigators (PPNS) related to the predicate crime of money laundering, which has just been given authority based on the Constitutional Court Decision (MK) Number 15/PUU-XIX/2021. The principle of non-retroactivity is a principle in criminal law which states that an act cannot be subject to criminal sanctions if at the time it is committed it has not been regulated as a criminal offense by statutory regulations. However, it has not been clearly explained whether the application of the non-retroactive principle can also apply to the authority of PPNS. This thesis aims to understand and evaluate the application of this principle, especially in the context of money laundering crimes in Indonesia. The research method conducted is doctrinal research method which is a collection and analysis of rules, principles, norms, or guidelines for interpretation, and values. This research begins with the identification of legal sources to be studied, then continued with the interpretation and analysis of the legal sources. The results show that the principle of non-retroactivity can be applied to PPNS based on existing provisions in the Criminal Code and Criminal Procedure Code. In addition, this research reveals the challenges in applying the non-retroactive principle for PPNS and also constructive suggestions in applying the non-retroactive principle in theory and practice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dastie Kanya
"Pencucian uang merupakan fenomena yang aktual di industri perbankan hingga saat ini. Tindakan yang tidak pernah terlepas dari tindak pidana asalnya ini pun telah dikriminalisasi di Indonesia. Dengan begitu berarti masyarakat mulai menyadari akan bahaya dan kerugian yang diakibatkan dari tindakan ini. Guna mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, Indonesia telah membentuk suatu lembaga independen yang bernama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau yang dikenal dengan PPATK.
Tulisan ini membahas mengenai peran dan fungsi dari PPATK dalam melakukan penegakan hukum atas adanya tindak pidana pencucian uang dengan mengambil contoh kasus pencucian uang yang diduga dilakukan oleh oknum pegawai Citibank Indonesia. Pokok permasalahan tersebut dijawab dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang meliputi studi kepustakaan dan wawancara dan kemudian menghasilkan kesimpulan bahwa peran dan fungsi PPATK dalam kasus ini lebih mengarah kepada peran yang bersifat represif yakni penanganan atas tindak pidana pencucian uang itu sendiri. Peran dari PPATK ini juga membantu aparat penegak hukum untuk membuktikan bahwa memang benar oknum pegawai Citibank tersebut dapat dijerat dengan Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Money laundering is recently an actual phenomenon in banking industry. The action that has never been apart from the predicate crime has been criminalized in Indonesia. Therefore, the society begins to recognize the danger and losses caused by this action. To prevent and expel the money laundering, Indonesia has established an independent agency called The Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Center known as INTRAC.
This paper discusses the role and function of INTRAC in enforcing the law of money laundering by taking samples of suspected cases, carried out by individual employees of Citibank Indonesia. The principal problem is answered by using normative juridical research method, which includes literature studies and interviews. It leads to the conclusion that the role and function of INTRAC in this case is more directed to the repressive role of the handling on money laundering itself. The role of INTRAC has also helped law enforcement officials to prove that the individual employees of Citibank might be entangled with Article 3 of Law Number 8 Year 2010 concerning The Prevention and Eradication of The Crime of Money Laundering.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S555
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Imanuel Arinatio
"Pencucian uang merupakan upaya yang dilakukan seseorang untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang berasal dari kejahatan, oleh sebab itu perbuatan tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana. Dalam tesis ini, penulis membahas mengenai dua konsep penanganan tindak pidana pencucian uang yang berlaku di Indonesia saat ini. Di awal pembahasan, Penulis menjelaskan tentang kedua konsep tersebut beserta dengan pengaturannya menurut hukum positif di Indonesia. Selain itu Penulis juga menjelaskan mengenai kelebihan dan kekurangan dari penerapan masing-masing konsep tersebut dan dilanjutkan dengan penjelasan mengenai sudut pandang dan penerapan pada di lapangan oleh aparat penegak hukum (Jaksa, Advokat, dan Hakim) terkait penerapan kedua konsep tersebut. Selanjutnya, Penulis juga menggunakan Putusan Pengadilan untuk melihat bagaimana salah satu konsep tersebut diterapkan dan mencari kemungkinan timbulnya permasalahan dengan diberlakukannya kedua konsep tersebut. Kesimpulan pada penelitian ini, pertama, konsep follow up crime menyebutkan bahwa pencucian uang merupakan tindak pidana lanjutan, sedangkan konsep independent crime menyebutkan bahwa pencucian uang merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. Adapun kedua konsep tersebut mendapatkan pengaturan dalam UU PP-TPPU. Kedua, konsep tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Diadopsinya kedua konsep tersebut dalam UU PP-TPPU perbedaan sudut pandang antar penegak hukum dan adanya diversifikasi di lapangan yang mengakibatkan ketidakpastian hukum dalam penanganan tindak pidana pencucian uang. Ketiga, dalam putusan yang digunakan, terhadap penanganan pencucian uang seperti yang ada pada putusan berpotensi menimbulkan masalah ketika harta dari pencucian uang berasal dari suatu tindak pidana yang bukan lingkup dari tindak pidana asal dalam UU PP-TPPU.

Money laundering is the act which the proceeds of crime are made to appear legitimate. As such, it is categorized as a criminal offense. In this thesis, the author discusses two concepts for handling money laundering offenses. The author explains these concepts, their advantages and disadvantages, and how they are regulated under Indonesian law. The discussion also includes an analysis of the perspectives and applications in the field by law enforcement officials (prosecutors, advocates, and judges) regarding the implementation of these concepts. Furthermore, the author examines court decisions to see how one of the concepts is applied and to identify potential problems in the application of both concepts. In conclusion, the first concept defines money laundering as a continuing criminal offense, while the second concept treats it as an independent criminal offense. Both are regulated in Law number 8 of 2010. The adoption of these two concepts has led to differing viewpoints among law enforcers and inconsistencies in the field, resulting in legal uncertainty. Additionally, in the court decisions analyzed, the handling of money laundering has the potential to cause problems when the proceeds of money laundering originate from criminal acts that fall outside the scope of the original criminal act as defined in the PP-TPPU Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunus Husein
"Money Laundering it considered as a transnational organized crime. T he logic of elimination money laundering it to omit the criminal motivation to enjoy their proceed of crime. The efforts to eliminate money laundering is much related to the issues of national jurisdiction. Thus, it requires international cooperation among countries, where international law is needed Even though there is still no specifyc convention about money laundering, but regulation about money laundering is* partially arranged in some conventions such os Wanna Convention l988 and in UN Convention on Transnational Organized Crimes 2000. ,indonesia has enected a regulation about money laundering that is' UU no. I5 year of.2000, which is amended by no. 25 year of 2003. This article will describe the implementation of international law on money laundering in Indonesia and the reason why Indonesia it still included in the list of non-cooperatives countries and territories (NCCI)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
JHII-1-2-Jan2004-342
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Gani Jaya
"Kejahatan kerah putih (white color crime), layaknya dunia bisnis, sudah tidak lagi mengenal batas negara. Bahkan uang hasil kejahatan dari sebuah negara dapat ditransfer ke negara lain dan diinvestasikan ke dalam berbagai bisnis yang sah. Kegiatan ini disebut sebagai praktik pencucian uang (money laundering). Dengan dimungkinkannya praktik pencucian uang maka memberi peluang bagi pelaku kejahatan untuk terus melakukan tindakan kejahatannya. Untuk mencegah ini maka setiap negara diharapkan mempunyai aturan yang melarang uang hasil kejahatan untuk ditanamkan di berbagai bidang usaha yang sah. Indonesia menjadi salah satu negara yang dari para pelaku kejahatan kerah putih untuk melakukan pencucian uang. Hal ini disebabkari karena pertama, Indonesia selama ini belum memiliki ketentuan yang mengatur larangan bank atau pelaku bisnis untuk menerima uang hasil kejahatan. Tidak ada ketentuan yang membolehkan pelacakan dari mana uang tersebut diperoleh tetapi justru memiliki sistem kerahasiaan perbankan yang ketat, dan kedua, para pelaku kejahatan melihat banyaknya peluang bisnis yang sah yang mereka dapat masuki. Apalagi dengan keterpurukan perekonornian Indonesia belakangan ini dan kebutuhan Indonesia untuk mendatangkan investor asing yang telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang menarik untuk dimasuki. Praktik kejahatan pencucian uang selalu dikaitkan atau dihubungkan dengan institusi perbankan dan proses pencucian uang ini dilakukan melalui tiga fase, yaitu: placement, layering, dan integration. Fase pertama, placement, dimana pemilik uang tersebut menempatkan dana haramnya ke dalam sistem keuangan (financial system), melalui bank. Dan satu bank kemudian dipindahkan ke bank yang lain (acount to acount}, dan dari satu negara ke negara yang lain (state to state) maka uang haram tersebut telah menjadi bagian dalam satu jaringan keuangan global (global finance). Dengan demikian bank merupakan pintu utama dari fase pertama tindak kejahatan money laundering. Fase kedua, layering, dimana pemilik dana telah memecah uang haramnya ke dalam beberapa rekening dan antar negara. Hal dilakukan untuk menghindari kecurigaan otoritas moneter mengenai jumlah uang yang demikian besar menjadi beberapa rekening dengan nilai nominal yang relatif, tidak mencurigakan juga diatasnamakan beberapa nasabah yang tidak saling mengenal satu sama lain. Pemecahan ke dalam beberapa lapis nasabah melalui beberapa lapis rekening antarbank antarnegara maka tindakan ini disebut pelapisan dengan maksud menyamarkan atau menyembunyikan asal-usul dana tersebut. Fase ketiga integration, dilakukan setelah proses layering berhasil mencuci uang haram tersebut menjadi uang bersih (clean money), untuk selanjutnya dapat digunakan dalam kegiatan bisnis atau kegiatan membiayai organisasi kejahatan (crime organization) yang mengendalikan uang tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
T17285
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Santoso
"

Prosedur penyitaan menjadi gagasan baru yang dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam upaya mengembalikan kerugian korban, khususnya dalam kasus money laundering. Umumnya, penyitaan dilakukan oleh POLRI pada tahap penyidikan. Namun, karena adanya batas waktu dalam penyidikan, maka pada prakteknya seringkali tidak efektif dalam melakukan penyitaan aset. Oleh karena itu, Jaksa Penuntut Umum dapat membantu penyitaan tersebut apabila terdapat aset yang ditemukan dan belum disita. Selain itu, penyitaan juga menjadi salah satu faktor dalam pemulihan aset. Diharapkan pemulihan aset tersebut dapat dikembalikan kepada korban. Salah satu kasus yang melakukan penyitaan pada tahap proses persidangan adalah kasus perkara Indosurya atas putusan nomor 2113K/Pid.Sus/2023. Penelitian ini dikaji dengan menggunakan metode penelitian normatif-yuridis. Lalu, penelitian ini bersifat deskriptif dengan didukung data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan analisis penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, penyitaan terhadap aset hasil Money Laundering tidak hanya dilakukan oleh Penyidik POLRI, namun juga dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum pada saat proses persidangan. Pasal 81 UUU TPPU memberikan kewenangan aktif kepada hakim untuk memerintahkan jaksa melakukan penyitaan, tetapi pada praktiknya seringkali kurang dimanfaatkan. Kedua, putusan nomor 2113K/Pid.Sus/2023 menunjukkan isu keabsahan penyitaan oleh Jaksa Penuntut Umum, terutama ketidakmampuan POLRI dalam menyita aset. Meskipun hakim tidak menggunakan Pasal 81 UU TPPU, Jaksa tetap mengajukan penyitaan pada tahap kasasi untuk mencapai keadilan hukum. Selanjutnya, prosedur penyitaan aset selama persidangan menunjukkan pengakuan hakim terhadap langkah Jaksa Penuntut Umum yang memperjuangkan dan memberikan dasar untuk pemulihan aset korban.


The confiscation procedure is a new idea that can be carried out by the Public Prosecutor in an effort to recover victims’ losses, especially in money laundering cases. Generally, confiscation is carried out by the Indonesian National Police at the Investigation stage. However, due to time limits in investigations, in practice it is often not effective in confiscating assets. Therefore, the Prosecutor can assist with the confiscation if there are assets found that have not been confiscated. Apart from that, confiscation is also a factor in asset recovery. It is hoped that the recovery of these assets can be returned to the victims. One of the cases involving confiscation at the trial stage was the Indosurya case regarding decision number 2113K/Pid.Sus/2023. This research was studied using normative-juridical research methods. Then, this research is descriptive in nature, supported by secondary data in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials which are analyzed qualitatively. Based on the analysis of this research, several conclusions can be drawn. First, confiscation of assets resulting from money laundering is not only carried out by POLRI investigators, but can also be carried out by the Prosecutor during the trial process. Article 81 of UU TPPU gives active authority to judges to order prosecutors to carry out confiscations, but in practice it is often underutilized. Second, decision number 2113/K/Pid.Sus/2023 shows the issue of the legality of confiscation by the Prosecutor, especially the inability of the POLRI to confiscate assets. Even though the judge did not use Article 81 of the UU TPPU, the prosecutor still proposed confiscation at the cassation stage to achieve legal justice. Furthermore, the asset confiscation procedure during the trial shows the judge’s recognition of the Public Prosecutor’s steps in fighting for and providing a basis for the recovery of the victim’s assets.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>