Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 103363 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mutiara
"Makalah ini membahas Fremdheit (keasingan) dan eksotisme Sumatra tahun 1911 yang ditemukan oleh Hermann Hesse dan tertulis pada roman "Aus Indien". Fremdheit dan eksotisme Sumatra muncul dari posisi Hermann Hesse sebagai das Eigene (The Self) yang berasal dari Jerman. Kedua hal ini akan mempengaruhi proses verstehen antara Hermann Hesse dan lingkungan Sumatra sebagai das Fremde (The Other).
Hasil analisis proses verstehen dalam penelitian adalah bergantinya posisi antara das Eigene dengan das Fremde dan bertambahnya cakrawala Hermann Hesse tentang Sumatra. Analisis menggunakan konsep Fremdheit dalam hermeneutik interkultural dan konsep eksotisme dalam wacana poskolonialisme.

The focus of this study is Fremdheit (strangeness) and the exotics of Sumatra in 1911 which was discovered by Hermann Hesse and written on the novel "Aus Indien". Fremdheit and the exotics of Sumatra emerged from Hermann Hesse's position as das Eigene (The Self) who comes from Germany. Both of these will affect the understanding process (verstehen) between Hermann Hesse and Sumatra's environment as das Fremde (The Other).
The results of the analysis in the verstehen (understanding) process are the alternation of position between das Eigene with Sumatra as das Fremde and the expanding of Hermann Hesse's horizon about Sumatra. The analysis uses the concept of Fremdheit in intercultural hermeneutics and exotism concept in postcolonial discourse.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara
"Skripsi ini membahas Fremdheit (keasingan) dan eksotisme Sumatra tahun 1911 yang ditemukan oleh Hermann Hesse dan tertulis pada roman ?Aus Indien?. Fremdheit dan eksotisme Sumatra muncul dari posisi Hermann Hesse sebagai das Eigene (The Self) yang berasal dari Jerman. Kedua hal ini akan mempengaruhi proses verstehen antara Hermann Hesse dan lingkungan Sumatra sebagai das Fremde (The Other). Hasil analisis proses verstehen dalam penelitian adalah bergantinya posisi antara das Eigene dengan das Fremde dan bertambahnya cakrawala Hermann Hesse tentang Sumatra. Analisis menggunakan konsep Fremdheit dalam hermeneutik interkultural dan konsep eksotisme dalam wacana poskolonialisme.

The focus of this study is Fremdheit (strangeness) and the exotics of Sumatra in 1911 which was discovered by Hermann Hesse and written on the novel "Aus Indien". Fremdheit and the exotics of Sumatra emerged from Hermann Hesse's position as das Eigene (The Self) who comes from Germany. Both of these will affect the understanding process (verstehen) between Hermann Hesse and Sumatra?s environment as das Fremde (The Other). The results of the analysis in the verstehen (understanding) process are the alternation of position between das Eigene with Sumatra as das Fremde and the expanding of Hermann Hesse?s horizon about Sumatra. The analysis uses the concept of Fremdheit in intercultural hermeneutics and exotism concept in postcolonial discourse."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S56224
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Asmarani
"Hermeneutika merupakan salah satu cabang ilmu dalam sastra. Melalui hermeneutika, sebuah teks ditafsirkan dan dikaji dengan cermat agar mendapatkan makna yang tepat. Di samping itu, hermeneutik juga dapat digunakan untuk memperluas cakrawala pengetahuan manusia. Dengan metode hermeneutik ini, penulis mengkaji salah satu bab dalam buku Eine Ärztin im Dschungel von Sumatra karya Inge Schubart.
Buku ini merupakan buku jenis autobiografi, yakni pengarang berperan sebagai tokoh utama. Buku yang bedasarkan kisah nyata ini menarik untuk ditelaah karena pembaca akan mendapatkan wawasan baru mengenai sudut pandang, yang dikemukakan oleh Gadamer sebagai Horizont. Eine Ärztin im Dschungel von Sumatra bercerita tentang seorang dokter wanita yang ditugaskan ke Desa Tjurup, Sumatera Selatan.
Buku ini mengajak pembaca untuk melihat secara jelas isi kepala pengarang yang mengalami gegar budaya karena kepindahannya ke daerah yang berbeda budaya. Peristiwa-peristiwa lintas budaya yang dialami oleh tokoh ich tersebut akan dianalisis melalui hermeneutika Gadamer beserta teori-teori yang terkait seperti interkultural dan unsur toleran oleh S. Yagi."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Darmaji
"Secara umum hermeneutik dimengerti sebagai teori penafsiran makna. Berdasarkan persoalan yang menjadi perhatian dalam hermeneutik, Josef Bleicher membagi hermeneutik menjadi tiga yaitu Teori Hermeneutik, Filsafat Hermeneutik, dan Hermeneutik Kritis. Hermeneutik Gadamer dimasukkan dalam kelompok Filsafat Hermeneutik. Filsafat Hermeneutik bertujuan untuk menerangkan dan membuat deskripsi fenomenologis atas Dasein dalam kaitan dengan temporalitas dan historisitasnya. Dengan demikian, pemikiran hermeneutik Gadamer dapat diringkaskan dengan istilah hermeneutik linguistik-ontologis daripada hermeneutik linguistik-epistemologis.
Dalam Truth and Method, Gadamer tidak bertujuan memberikan perangkat praktis untuk memahami dan menafsirkan teks, tetapi ingin menganalisis secara filosofis hakekat proses pemahaman dan penafsiran. Bagi Gadamer, hermeneutik lebih bersifat ontologis ketimbang epistemologis. Ia mengawali dengan analisis hermeneutis pengalaman estetis. Analisis tersebut mendasari analisis hakekat pemahaman hermeneutik. Baginya, pemahaman selalu terikat dengan aspek historisitasnya dan tidak melakukan usaha pemahaman dari kesadaran kosong. Aspek kesejarahan dan unsur-unsur subjektik penafsir menjadi prasyarat usaha pemahaman. Alih-alih mengejar objektivisme absolut-universal ditekankan sifat perspektif-kontekstual dalam usaha pemahaman seraya mengakui adanya otonomi pada subjek dan objek dalam proses tersebut, yang diistilahkan dengan cakrawala pemahaman. Pemahaman terjadi dalam peleburan cakrawala melalui percakapan dengan struktur pertanyaan-jawaban dan bahasa sebagai medium yang bersifat spekulatif dan terbuka. Meskipun bahasa menjadi kunci pemahaman pemikiran hermeneutiknya, namun Gadamer mengingatkan keterbatasan bahasa yang tidak mampu menghadirkan ada dari realitas yang ingin ditunjukkan.
Bahasa yang mempunyai ciri spekulatif dan keterbukaan tersebut menggarisbawahi bahwa Bahasa selalu ada dalam proses mejadi (becoming). Bahasa mempunyai dinamika otonom untuk menyingkapkan realitas dari ada (the being of reality). Bahasa bukan hasil aktivitas metodis subjek, melainkan pekerjaan dari realitas itu sendiri. Pekerjaan dari realitas itu sendiri merupakan gerakan spekulatif yang sesungguhnya, yang menggerakkan pembicara. Pergeseran arah yang ditegaskan Gadamer, yaitu dari realitas itu sendiri, dari proses membahasanya makna, menunjukkan suatu struktur ontologis-universal. Atas dasar hal ini pemahaman dapat mengarahkan diri."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hani`ah
"Sebuah karya fiksi tidak hanya dihidupkan oleh imajinasi pengarang, tetapi juga oleh daya imajinasi dan penalaran pembacanya.
Hermeneutik Ricoeur tidak terlepas dari tujuan Ricoeur berfilsafat, yaitu memahami eksistensi manusia. Konfrontasinya dengan strukturalisme memaksanya pindah dari hermeneutik simbol ke hermeneutik teks. Dan teks yang sesuai dengan tujuan filsafatnya adalah teks sastra. Untuk itu, usaha Ricoeur mula-mula adalah membenahi bahasa yang sudah terlanjur 'diilmiahkan' oleh strukturalisme dengan jalan menyusun filsafat wacana. Dengan filsafat wacana, bahasa dikembalikan pada fungsinya yang sejati, yaitu alat komunikasi. Bahasa bukan objek melainkan mediasi, yaitu sarana untuk mengatakan sesuatu tentang sesuatu kepada orang lain. Jadi, wacana tidak didasarkan pada sistem bahasa, melainkan pada parole. Wacana adalah makna karena bertolak dari bahasa sebagai peristiwa. Dengan demikian kita baru dapat berbicara tentang sastra. Namun, perlu dicatat bahwa, menurut Ricoeur, hermeneutik mulai ketika dialog berakhir. Ini berarti, hermeneutik hanya dapat diterapkan pada teks tertulis, seperti novel atau drama.
Sastra adalah seni bahasa, sedangkan seni adalah alat untuk menyempurnakan keberadaan manusia. Seni bertugas menyempurnakan apa yang ditinggalkan oleh alam secara tidak sempurna. Jadi, seni memberi pengertian yang lebih baik dan lebih luas tentang diri kita sendiri dan benda-benda di sekitar kita. Dengan kata lain, seni membebaskan manusia dari ketertutupan dunia.
Pada seni sastra 'dunia teks' atau dunia fiktif yang terdapat di dalamnya itulah yang akan membebaskan manusia dari ketertutupan dunia tersebut. Dunia teks adalah dunia imajinasi yang bersifat hipotetis, dunia yang mungkin untuk diaktualisasikan, dunia di mana kita dapat merealisasikan potensi kita, dunia yang dapat kita huni sebagai alternatif dunia kehidupan kita yang konkret ini. Oleh sebab itu, dalam menghadapi karya sastra, kita-pembaca--diharapkan tidak memperlakukannya sebagai objek, melainkan sebagai mediasi. Kita berhubungan dengan tokoh-tokoh di dalam karya itu sebagaimana kita berkomunikasi dengan manusia biasa. Agar dengan demikian kita memahami tokoh-tokoh itu dan serentak memahami diri kita melalui empati kita dengan tokoh-tokoh itu. Inilah yang disebut verstehen yang merupakan ciri utama metode hermeneutik.
Langkah-langkah metode hermeneutik adalah: distansiasi, interpretasi, dan apropriasi. Momen distansiasi memberi otonomi semantik teks, yang meliputi otonomi makna teks dad intensi penulisnya, dari pembaca awal, dan dari situasi budayanya. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan objektif sangat diutamakan. Dengan pemberian otonomi itu, makna teks harus ditafsirkan, yaitu dijelaskan menurut hubungan internalnya dan mencari konstitusi yang terbuka di depan teks, yaitu konstitusi yang mengacu ke dunia yang mungkin. Interpretasi mula-mula berupa pemahaman naif yang melihat karya secara utuh meliputi komposisi, genre, dan gaya. Di sini tugas kita membuat tebakan, yang dapat disejajarkan dengan hipotesis, dan validasi sebagai pembuktian yang dilakukan berdasarkan gramatika dunia teks. Tahap berikutnya pemahaman kritis yang diawali dengan eksplanasi, yaitu menjelaskan teks melalui analisis struktur teks (semiotik) untuk meradikalkan apa yang dicapai dalam pemahaman naif, dan diakhiri dengan apropriasi, yaitu mengembalikan apa yang semula diasingkan. Apropriasi mencakup sikap menerima (reseptif), mengecam (kritis), dan transformasi. Dengan apropriasi, pemahaman diri (katarsis) tercapai karena pembaca memperoleh makna berkat teks yang dibacanya. Makna seperti juga keindahan tidak terletak pada kata-kata di halaman buku, tetapi pada mata si pengamat. Metode ini dicoba diterapkan pada novel Pengakuan Pariyem (Linus Surjadi Ag.) yang mengisahkan kehidupan Pariyem, seorang wanita Jawa yang patuh pada nilai budayanya. Kehidupan yang dijalaninya dengan benar itu ternyata kini digugat. Hal ini membuat tokoh kita menjadi bingung. Dia tidak mengerti mengapa keberhasilan hidup yang diraihnya dianggap hina.
Dalam menghadapi novel dengan pendekatan objektif, momen distansiasi sudah kita lewati sehingga kita bisa langsung masuk ke momen interpretasi, yang mencakup tebakan dan validasi. Tebakan terhadap novel Pengakuan Pariyem adalah bahwa si pelaku yang berhasil mengangkat derajatnya dari babu menjadi selir itu adalah seorang pelacur. Dengan analisis deskriptif fenomenologis terhadap struktur intensional novel itu--validasi--kita mengetahui dan sekaligus memahami bahwa Pariyem bukan pelacur karena ia tidak menjual kehormatannya dan sepak terjangnya yang bebas itu adalah hasil internalisasinya terhadap nilai kejawen yang diyakininya. Akhirnya, pembaca dihadapkan dengan dua pilihan makna: setuju atau menolak perilaku Pariyem (momen apropriasi), yang selanjutnya bermuara pada transformasi diri bahwa ada yang lebih penting daripada menjadi bahagia, yaitu memahami situasi di mana kita hidup agar kita bisa menjalani hidup dengan benar.
Hermeneutik meletakkan tekanan pada aktivitas pembaca sastra. Membaca sastra adalah mengadakan dialog dengan karya sastra. Dengan dialog itu pembaca akan memperoleh pencerahan atau katarsis sehingga mampu memahami dirinya, jika ia berhasil memetik makna dari karya itu bagi dirinya. Dialog dengan karya sastra pada hakikatnya adalah dialog dengan hati nurani karena seni adalah penjelmaan budaya batin suatu bangsa. Kesediaan untuk mau berdialog dengan karya sastra berarti mengapresiasi sastra.
Formalisme yang menjadi subjek pengajaran sastra adalah teori sastra yang membombardir bentuk menjadi seni, tanpa mempedulikan isinya. Sebaliknya, pendidikan sastrayang sasarannya_ apresiasi--tidak terbatas pada bentuk saja karena keindahan mengharuskan adanya harmoni dalam hubungan bentuk dan isi. Jadi, pengajaran sastra hanya berguna sebagai suplemen bagi pendidikan sastra. Pendidikan bukan masalah pemberian pengetahuan, tetapi memberi keteladanan agar si terdidik memiliki kedewasaan jiwa. Sebagai potensi kreatif, sastra punya dunia imajinatif yang akan memindahkan pembacanya ke dunia itu sehingga terjadi fusi horison antara dunia teks dan dunia pembaca.
Akhirnya, perlu digaris bawahi bahwa metode hermeneutik ini mendukung teori resepsi, yaitu teori sastra di mana pembaca sendiri yang hares memberi makna pada karya yang dihadapinya bagi dirinya. Dengan teori resepsi, pengajaran sastra akan dituntut untuk memberi perhatian yang lebih kepada apresiasi sastra."
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Pusat Pengkajian Reformed bagi Agama dan Masyarakat , 2019
200 SODE 6:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Harsono Viery
"Tulisan ini bertujuan untuk rekonstruksi Gedanke Frege yang dapat diperluas pada analisis seperti sastra, humaniora, dan bahasa sehari-hari. Dalam tulisan ini, Gedanke diinterpretasikan sebagai potensialitas kebenaran dalam setiap pernyataan, di mana semua pernyataan dapat dimungkinkan benar dan dapat diserap per kalimatnya tanpa terlebih dahulu menuntut jalinan kalimat lainnya atau konteks eksternal yang memotivasi kalimat tersebut. Potensialitas tersebut mensyaratkan adanya korelasi antara Gedanke dengan `ada` sebagai penunjuk bahwa kalimat selalu merepresentasikan `ada` dalam konteks kalimat itu sendiri. Hal tersebut memerlukan sebuah interpretasi baru, karena kecenderungan komentator Frege yang cenderung mengatribusikan Gedanke dengan Being as such. Dari sana, potensialitas kebenaran berkorelasi dengan informasi yang kita miliki, sehingga ada proses saling merefleksi antara informasi dari konteks kalimat sendiri dengan kita, di mana yang benar adalah menjadi fakta. Dapat dikatakan, informasi bukan saja melebur, tetapi menjadi komparasi. Terakhir, fakta digunakan kembali untuk dikomunikasikan melalui pernyataan. Lingkaran interpretasi Gedanke tersebut saya sebut sebagai `hermeneutik analitik`. Sebuah konsep yang inheren dalam tradisi hermeneutika sekaligus analitik dalam perdebatan bahasa dan kebenaran. Hal tersebut merupakan perdebatan yang dimungkinkan dalam tulisan ini, sekaligus konsekuensi lebih luas dari aplikabilitas Gedanke dalam ranah bahasa yang lebih luas dari bahasa matematis. Metode yang dipakai adalah refutasi terhadap definisi gedanke seperti dari Dummet paralel dengan interpretasi Gedanke secara stipulatif, serta mengkonstruksi definisi stipulatif dari kalimat dan demonstratif teori John Perry dan Gareth Evans.

This paper aims to reconstruct Frege`s Gedanke which can be extended to analyzes literature, humanities, and everyday language. In this paper, Gedanke is interpreted as the potentiality of truth in each statement, in which all statements can be possibly true and can be absorbed per sentence without first demanding other interlacing sentences or the external context that motivates the sentence. This potential requires a correlation between Gedanke and being as a pointer that the sentence always represents being in the context of the sentence itself. This requires a new interpretation, because of the tendency of Frege commentators who tend to attribute Gedanke to Being as such. From there, the potentiality of truth correlates with the information we have, so that there is a process of mutual reflection between information from the context of our own sentence, where the truth is fact. It can be said, information is not only fused, but becomes a comparison. Finally, the facts are reused to be communicated through statements. I call the Gedanke circle of interpretation "herhemeutic analytic." A concept inherent in the hermeneutic tradition as well as analytic in language and truth debates. This is the debate that is possible in this paper, as well as wider consequences of the applicability of Gedanke in the wider realm of language than mathematical language. The method used is the refutation of the definition of gedanke as from Dummet parallel with the stipulative interpretation of Gedanke, as well as constructing the stipulative definition of the sentence and demonstrative theories of John Perry and Gareth Evans"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Fakhri Iwansyah
"Tesis ini adalah penelitian terhadap apa itu hakikat realitas menurut Slavoj Zizek. Penelitian ini menggunakan metode refleksi kritis dan fenomenologi-hermeneutika Gadamer untuk menganalisis teori yang ditawarkan oleh Slavoj Zizek. Menggabungkan Psikoanalisis Lacanian dengan Idealisme Jerman, pemikiran Zizek penuh dengan kontradiksi dan paradoks karena memang realitas itu ternyata sarat dengan kontradiksi. Realitas simbolik ternyata hanyalah fiksi yang menyembunyikan di belakangnya suatu void yang memberikan dimensi performatif. Temuan penelitian ini adalah tidak ada sesuatu yang konsisten akan dirinya sendiri; dan dengan demikian realitas simbolik tidak lengkap, tidak selesai, dan berkontradiksi secara internal. Dalam pemikiran Zizek tidak ada sesuatu yang tidak cacat secara ontologis; tidak ada substansi yang bukan merupakan kegagalan representasi namun justru kegagalan representasi ini adalah konstitutif akan esensi substansi. Akan tetapi, sejauh realitas itu tidak utuh dan terbelah dari dalam, subjek memiliki potensi untuk bebas secara radikal: subjek dapat membangun dunia lain, realitas simbolik yang lain.

This thesis is a research on what is reality according to Slavoj Zizek. This study uses critical reflection and Gadamer's phenomenology-hermeneutics methods to analyze the theory offered by Slavoj Zizek. Combining Lacanian Psychoanalysis with German Idealism, Zizek's thinking is full of contradictions and paradoxes because reality is indeed full of contradictions. Symbolic reality turns out to be just a fiction that hides behind it a void that gives a performative dimension. The findings of this study are that nothing is self-consistent; and thus symbolic reality is incomplete, inconsistent, and internally contradictory. In Zizek's thinking there is nothing that is not ontologically flawed; there is no substance which is not a failure of representation but rather that this failure of representation is constitutive of the substance’s essence. However, in as much as reality is incomplete and divided from within, the subject has the potential to be radically free: the subject can construct another world, another symbolic reality."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Emma Wandhita
"Artikel ini membahas tentang sudut pandang imigran terhadap kehidupan di kedua wilayah Berlin yakni Berlin Barat dan Berlin Timur sebelum dan setelah tembok Berlin diruntuhkan dalam cerpen. Karya ini juga menampilkan kota Istanbul sebagai kota yang nasibnya hampir mirip dengan berlin. Makalah ini akan menarik persamaan dan perbedaan untur ekstrinsik dan intrinsik dalam cerpen Mein Berlin, Ulis Weinen dan Mein Istanbul. Saya menganalisis ketiga cerpen tersebut dengan teori Hermenuetik.

This paper discuss about immigrant?s prespective of live in West and East Berlin, before and after the Fall of the great Berlin Wall. The city of Istanbul is showed tooas the twin of Berlin from the East whose had same fate. This work will pull out some similarities and differences of extrinsic and intrinsic elements from three stories; Mein Berlin, Ulis Weinen and Mein Istanbul using Hermeneutic theory."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Masykur
"Dewasa ini hermeneutika menjadi permasalahan yang menarik untuk dieksplorasi dan dianalisis. Hermeneutika pertama muncul berkaitan dengan kata hermeneia yang diungkapkan oleh Plato, Aristoteles, dan Philo. Signifikansi dan urgensi hermeneutika diperlukan sekali ketika ingin menjelaskan dan memahami realitas yang berkaitan dengan mitos dan agama. Untuk keperluan itu, interpretasi teks Ricoeur ini memberikan alternatif yang berbeda dengan hermeneutika Romantis dan hermeneutika ontologis-eksistensial.
Dengan permasalahan di atas, penulis mengambil judul Interpretasi Teks dalam Hermeneutika Paul Ricoeur. Dengan judul ini, ada tiga masalah dalam bentuk pertanyaan, yaitu: Pertama, apa yang dimaksud dengan interpretasi teks Ricoeur tersebut? Kedua, apa yang dimaksud dengan teks Ricoeur tersebut? Ketiga, bagaimana penerapan interpretasi teks Ricoeur dalam hubungannya dengan hermeneutika Romantis dan hermeneutika ontologis-eksistensial? Kerangka teori yang digunakan adalah bahwa teori interpretasi teks Ricoeur haaya dapat dipahami dengan memahami teks yang difiksasi dengan tulisan.
Tesis ini bersifat deskriptif-analitis yang tampak pada metode-metode yang digunakan. Tesis ini merupakan studi pustaka. Pustaka primer yang digunakan adalah The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus Meaning, dan From Text to Action: Essays in Hermeneutic. Sedangkan, pustaka sekunder yang digunakan adalah pustaka yang menjelaskan hermeneutika dan interpretasi teks Ricoeur. Persoalan interpretasi teks dalam hermeneutika Ricoeur dideskripsikan, dianalisis, dan diinterpretaslkan dengan metode deskripsi, metode pemahaman,dan metode hermeneutika Ricoeur yang didasarkan pada interpretasi teks.
Pada akhir pembahasan, penulis berefleksikan secara kritis dengan metode refleksi kritis. Inti sari dari tesis ini membahas pemikiran hermeneutika fenomenologis Ricoeur yang meletakkan interpretasi teks sebagai dasar metode hermeneutikanya. Interpretasi teks Ricoeur dapat digunakan untuk membaca makna yang tersembunyi dalam teks yang mengandung makna yang tampak. Interpretasi teks Ricoeur ini merupakan distingsi antara hermeneutika Romantis dan hermeneutika ontologis-eksistensial. Distingsi antara kedua hermeneutika itu tampak pada ontonomi teks dengan konsep apropriasi-distansiasi, erklaren-verstehen, dan tindakan penuh makna sebagai teks. Dengan demikian, sebagai refleksi kritis ada dua temuan dalam tesis ini. Pertama, bahwa interpretasi teks Ricoeur merupakan mediasi antara hermeneutika Romantis sebagai kutub obyektif dan hermeneutika ontologis-eksistensial sebagai kutub subyektif. Kedua, bahwa hermeneutika fenomenologis Ricoeur merupakan mediasi antara fenomenologi Husserl dan strukturalisme Saussure."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11823
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>