Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 230482 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Inne Yuliawati
"Latar belakang: Kelelahan penerbang sipil termasuk pada penerbangan jarak dekat dapat mempengaruhi fungsi kognisi penerbang sehingga membahayakan keselamatan penerbangan. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi faktorfaktor yang mempengaruhi kelelahan penerbang sipil pada penerbangan jarak dekat di Indonesia.
Metode: Desain penelitian potong lintang dengan purposive sampling dilakukan di antara penerbang jarak dekat dengan rating Boeing 737 series yang melaksanakan pengujian kesehatan di Balai Kesehatan Penerbangan selama periode 5-26 Mei 2014. Kelelahan diukur dengan Self-Reporting Questionnaire, Fatigue Severity Scale (FSS). Data dikumpulkan dengan pengisian kuesioner oleh subyek, meliputi demografi, pekerjaan, kehilangan waktu tidur (Epworth Sleepiness Scale - ESS), faktor personal, dukungan manajemen, dan FSS. Analisis regresi linear dipakai untuk menganalisis faktor-faktor berkaitan kelelahan.
Hasil: Di antara 785 penerbang yang melaksanakan pengujian kesehatan, 382 bersedia berpartisipasi, dan 239 subyek memiliki rating Boeing 737 series. Ratarata skala kelelahan adalah 4,66 (standar deviasi 1,202). Faktor-faktor dominan yang mempertinggi skala kelelahan adalah jumlah sektor 24 jam terakhir, jam terbang penugasan di luar jadwal, dan kehilangan waku tidur. Setiap penambahan 1 sektor dalam 24 jam terakhir meningkatkan 0,371 skala kelelahan [koefisien regresi (β) = 0,371; P = 0,000]. Selanjutnya setiap penambahan 1 jam terbang penugasan di luar jadwal memepertinggi 0,033 skala kelelahan (β = 0,033; P = 0,000). Sedangkan setiap penambahan 1 nilai ESS mempertinggi 0,043 skala kelelahan (β = 0,043; P = 0,008).
Simpulan: Jumlah sektor 24 jam terakhir, kehilangan waktu tidur, dan jam terbang penugasan di luar jadwal mempertinggi risiko kelelahan di antara penerbang sipil pada penerbangan jarak dekat di Indonesia.

Background: Fatigue could impair pilots’ cognitive function which may lead to accidents in short-haul flight. The aims of this study were to investigate the risk factors of short-haul commercial pilots fatigue in Indonesia.
Methods: Cross-sectional study with purposive sampling was directed to Boeing 737 series typed-rating pilots who were taking medical examination at the Civil Aviation Medical Center, Jakarta from May 5-26th 2014. Fatigue was measured with Self-Reporting Questionnaire, Fatigue Severity Scale (FSS). Data were collected by completing an anonymous questionnaire on demographics, workload, sleep restriction (Epworth Sleepiness Scale-ESS), personal factors, and managerial support. Risk factors and fatigue were analyzed using linear regression.
Results: During data collection, 785 pilots were taking medical examination, 382 pilots were willing to participate and 239 Boeing 737 series typed-rating pilots were chosen as subjects. Mean of FSS was 4.66 ± 1.202. Dominant factors of fatigue were number of sectors in 24 consecutive hours, flight times of unplanned flights in 30 consecutive days, and sleep restriction. Each additional sector correlated significantly to a 0.371 increase on the FSS [regression coefficient (β) = 0,371; p=0,000] and each additional value of ESS correlated significantly to a 0,043 on the FSS (β = 0,043; p = 0,008), while each additional flight times of unplanned flights correlated significantly to a 0,033 on the FSS (β = 0,033; p = 0,000).
Conclusions: Number of sectors in 24 consecutive hours, flight times of unplanned flights in 30 consecutive days, and sleep restriction correlated significantly to higher FSS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Vinianti
"Latar belakang: Kelelahan yang dialami oleh pramugari dapat mempengaruhi sebagian besar kemampuan dalam melaksanakan tugas. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kelelahan pada pramugari sipil di Indonesia.
Metode: Desain potong lintang dengan sampling purposif pada pramugari yang melaksanakan pengujian kesehatan di Balai Kesehatan Penerbangan dan Garuda Sentra Medika, tanggal 27 April?13 Mei 2015. Kelelahan diukur dengan Fatigue Severity Scale (FSS). Data dikumpulkan menggunakan kuesioner , meliputi demografi, pekerjaan, kehilangan waktu tidur , beban kerja mental dan kelelahan.
Hasil: Di antara 512 pramugari yang melaksanakan pemeriksaan kesehatan, 373 subyek termasuk kriteria inklusi, dengan prevalensi kelelahan 36,2%. Jumlah sektor, kehilangan waktu tidur, perubahan jadwal terbang dan kadar hemoglobin merupakan faktor yang berhubungan dengan kelelahan. Jumlah sektor lebih dari enam memiliki risiko 37% menyebabkan kelelahan [risiko relatif suaian (RRa)=1,37;p=0,095]. Kehilangan waktu tidur berisiko dua kali lebih besar menyebabkan kelelahan (RRa=2,07;p= 0,000).Perubahan jadwal terbang dan kadar hemoglobin rendah memiliki risiko 44%(RRa=1,41;p=0,011) dan 33%(RRa=1,33;p=0,042) menyebabkan kelelahan.
Simpulan: Jumlah sektor 7-9 dalam 24 jam terakhir, kehilangan waktu tidur, perubahan jadwal terbang dan kadar hemoglobin rendah meningkatkan risiko kelelahan pada pramugari sipil di Indonesia.

Background: Fatigue among flight attendants could affect the capabilities in performing duties. The aim of this study were to investigate factors on fatigue among female flight attendant in Indonesia.
Methods: Cross-sectional study with purposive sampling was directed to female flight attendant who were taking medical examination at Balai Kesehatan Penerbangan and Garuda Sentra Medika, from April 27th-May 13th 2015. Fatigue was measured with Fatigue Severity Scale (FSS). Data were collected by completing an questionnaire on demographics, workload, sleep restriction, mental workload and fatigue.
Results: Among 521 flight attendant were taking medical examination, 373 were choosen as subject and the percentage of fatigue was 36.2%. Number of sector, sleep restriction, changed of duty schedule and hemoglobin level were the factors related to fatigue. Subject with number of sector more than six had 37% increase risk to have fatigue [adjusted relative risk(RRa)=1.37;p=0.095]. Subject with sleep restriction had 2-fold risk to have fatigue(RRa=2.07;p= 0.000). Subject with changed of duty schedule and low hemoglobin levels have 41%(RRa=1.41;p=0.011) and 33%(RRa=1.33;p=0.042) increase risk to have fatigue.
Conclusions: Number of 7-9 sectors in the last 24 hours, sleep restriction, changed of duty schedule and low hemoglobin level have increased risk of fatigue among flight attendant in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Khrisnapandit
"Latar belakang: Nyeri pinggang bawah (NPB) sering dialami oleh pramugari yang dapat membatasi tugas dan tanggung jawab pramugari. Tujuan penelitian ialah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan NPB pada pramugari sipil penerbangan jarak dekat dan menengah di Indonesia.
Metode: Studi potong lintang dengan sampling purposif dilakukan di antara pramugari sipil penerbangan jarak dekat dan menengah yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan tanggal 5-26 Mei 2014. Data demografi, pekerjaan dan NPB dikumpulkan menggunakan kuesioner. Definisi NPB ialah nyeri anamnesis yang pernah atau masih dirasakan pada pinggang bawah 1 bulan terakhir, non-neural, tidak terkait cedera akut yang tidak berhubungan pekerjaan. Analisis regresi Cox digunakan untuk mengidentifikasi faktor risiko yang berhubungan NPB.
Hasil: Di antara 333 pramugari yang melaksanakan pengujian kesehatan, 292 orang bersedia berpartisipasi, dan 292 orang yang bersedia mengikuti penelitian, dan 245 di antaranya memenuhi kriteria inklusi. Sebanyak 37,6% pramugari menderita NPB. Faktor dominan yang mempertinggi risiko NPB ialah jam terbang dan jumlah sektor 24 jam terakhir. Pramugari dengan jam terbang 9 jam atau lebih dibandingkan dengan yang kurang dari 9 jam berisiko 84% lebih tinggi mengalami NPB [risiko relatif suaian (RRa = 1,84; p = 0,000]. Ditinjau dari jumlah sektor dalam 24 jam terakhir, pramugari dengan 4 sektor atau lebih dibandingkan yang kurang dari 4 sektor berisiko 49% lebih tinggi mengalami NPB (RRa = 1,49; p = 0,047).
Simpulan: Jam terbang 24 jam terakhir selama 9 jam atau lebih dan jumlah sektor 24 jam terakhir sebanyak 4 sektor atau lebih meningkatkan risiko nyeri pinggang bawah.

Background: Low back pain (LBP) often experienced by flight attendants could limit their duties and responsibilities. Aim of this study was to determine the correlation between flight time and other factors with LBP among short and medium haul commercial female flight attendants in Indonesia.
Methods: Cross-sectional study with purposive sampling among short and medium haul commercial female flight attendants who conducting medical examination on May 5-26th 2014 at Civil Aviation Medical Center. Demographic, job and LBP data collected using questionnaire and physical examination. Definition of LBP was historically pain that ever or still felt in lower back in the last month, non-neural, and no non-working related acute injury. Cox regression analysis used to identify risk factor associated LBP.
Results: Among 333 female flight attendants who were conducting medical examination, 292 attendants willing to participate, and 245 meet inclusion criteria. There were 37.6% flight attendants experienced LBP. The dominant factors increasing LBP risk were flight time and number of sectors in the last 24 consecutive hours. Female flight attendant with 9 hours or more flight time compared with less have 84% higher LBP risk [adjusted relative risk (RRa) = 1.84; p = 0.000]. Review from number of sectors in the last 24 consecutive hours, female flight attendant with 4 sectors or more compared with less have 49% higher LBP risk (RRa = 1.49; p = 0.047).
Conclusion: Nine hours or more flight time and 4 sectors or more in the last 24 consecutive hours have higher risk of LBP.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Wibawanti
"Latar belakang: Pilot dapat mengalami obes yang berkaitan dengan jam terbang total atau faktor risiko lainnya. Oleh karena itu, perlu diidentifikasi kaitan jam terbang total dan faktor lainnya terhadap risiko obes pada pilot sipil di Indonesia.
Metode: Studi ini memakai metode potong lintang dengan sampel purposif pada pilot yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan tanggal 14-24 Mei 2013. Data yang dikumpulkan yaitu karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan makan dan olahraga, tinggi dan berat badan serta lingkar pinggang. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara dan pemeriksaan fisik. Analisis menggunakan regresi Cox dengan waktu yang konstan. Subjek dikategorikan menjadi obes (indeks massa tubuh (IMT) 25 atau lebih untuk ras Asia, dan 30 atau lebih untuk ras Kaukasia), dan normal (IMT 18.5-22.9)
Hasil: Di antara 612 pilot yang berusia 18-61 tahun, diperoleh 133 subjek obes dan 41 subjek normal. Faktor-faktor dominan yang berkaitan dengan obes adalah jam terbang total dan lingkar pinggang. Faktor kebiasaan makan makanan berlemak dan cepat saji tidak terbukti mempertinggi risiko obes. Dibandingkan subjek dengan lingkar pinggang normal, subjek dengan lingkar pinggang besar memiliki kemungkinan 77% lebih tinggi untuk obes [risiko relatif suaian (RRa) = 1,77; 95% interval kepercayaan (CI) =1,41-2,14]. Dibandingkan subjek dengan jam terbang kurang dari sama dengan 1000 jam, subjek dengan jam terbang total lebih dari 1000 jam memiliki risiko obes 33% lebih tinggi (RRa = 1,77; 95% CI = 1,11-1,59)
Kesimpulan: Jam terbang total 1001-29831 dan lingkar pinggang besar mempertinggi risiko obes di antara pilot sipil di Indonesia.

Background: Pilot may obese which is related to total flight hours and other risk factors. This study aimed to identify the relationship between total flight hours and other factors related to obese in civil pilots in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study with purposive sampling among pilot undergoing periodic medical check up in 14-24 Mei at Aviation Medical Center (Balai Kesehatan Penerbangan). Data collected were demographic and work characteristics, eating habit, exercise habit, height, weight and waist circumference, high fat diet and fast food consumption were not found to increase the risk of obese. Subject were classified into obese (Body Mass Index = BMI) was 25 or more for Asians and 30 or more for Caucasian) and normal (BMI 18.5-22.9).
Results: A number of 612 pilots, aged 18-61 years old, 133 available for this study which consisted of 133 obese pilots and 41 normal body weight. Subjects with large waist circumference than normal waist circumference had 77% increased risk of obese [relative risk adjusted (RRa) = 1.77; 95% confidence interval (CI) = 1.41-2.14]. Total flight hours 1001 or more, than less 1000 hours had 33% increased risk to be obese (RRa = 1.33; 95% CI =1.11-1.59).
Conclusions: Total flight hours of 1001-29831 hours and large waist circumference increased the risk of obese in civil pilots in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniawan Pratama
"Latar belakang: Kelebihan berat badan pada penerbang dapat berkaitan dengan jam terbang total dan faktor risiko lainnya. Oleh karena itu perlu diidentifikasi kaitan jam terbang total dan faktor lainnya terhadap risiko tersebut.
Metode: Studi potong lintang dengan sampel purposif diantara penerbang yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan Jakarta dari 27 April-13 Mei 2015. Data dikumpulkan dengan cara wawancara dan pemeriksaan antropometri. Data terdiri dari karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan makan dan olahraga. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh(IMT) berdasarkan standar WHO Asia Pasifik. Analisis dengan regresi Cox dengan waktu yang konstan.
Hasil: Diantara 690 penerbang yang berusia 19-65 tahun, diperoleh 428 penerbang yang beresdia mengikuti penelitian ini. Penerbang yang sesuai dengan kriteria berjumlah 220 orang (145 kelebihan berat badan dan 75 normal). Faktor dominan berkaitan dengan kelebihan berat badan adalah jam terbang total dan kebiasaan makan makanan berlemak. Dibandingkan penerbang dengan jam terbang total 40-2000, subjek dengan jam terbang total 2001-15000 dan 15001-30000 masing-masing mempunyai 58% risiko lebih besar untuk mempunyai kelebihan berat badan.[masing-masing risiko relatif suaian (RRa)=1,58 ; p=0,000] Dibandingkan subjek yang hampir tidak pernah makan makanan berlemak, subjek dengan kebiasaan makan makanan berlemak 3-4x/minggu mempunyai 48% risiko lebih besar untuk mempunyai kelebihan berat badan (RRa=1,48; 95% CI=1,24-1,76; p=0,000).
Kesimpulan: Jam terbang total lebih dari 2000 jam dan kebiasaan makan makanan berlemak 3-4x/minggu mempertinggi risiko kelebihan berat badan di antara penerbang sipil Indonesia.

Background: Overweight at risk on pilots can be related to the total flying hours and other risk factors. This study aimed to identify the relationship between total flight hours and other factors related to overweight at risk in Indonesian civil pilot.
Methods: A cross-sectional study with a purposive sampling was conducted among pilots undergoing periodic medical check up on April 27th-May 13th 2015 at Aviation Medical Centre (Balai Kesehatan Penerbangan) The collected data were demographic and characteristics, eating and exercise habits. Data were collected through interviews and anthropometric measurements. Subjects were classified normal and overweight at risk according to WHO Asia Pacific. Analysis was using Cox regression with constant time.
Results: A number of 690 pilots who conducted medical examinations, 428 subjects agreed to join the study. A number of 220 subjects were available for this study, which consisted of 145 overweight at risk pilots and 75 normal. Pilots who had 2001-15000 and 15001-30000 total flight hours, compared to pilots who had 40?2000 total flight hours had 58% increased risk to be overweight [adjusted relative risk (RRa)= 1.58; p = 0.000]. Pilots who had eating fatty food habit 3-4 times a week had 48% increased risk to be overweight at risk (RRa = 1.48; 95% CI= 1.24 to 1.76; p = 0.000).
Conclusion: Flying hours total 2000 or more and eating fatty foods habit increase the risk of overweight at risk civilian pilot in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Febi Arya Hidayat
"Latar Belakang: Dalam dunia penerbangan, fatigue dapat menyebabkan inkapasitasi penerbang dan mengakibatkan kecelakaan pesawat. Jam terbang merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan risiko fatigue. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan jam terbang 7 hari dan beberapa faktor lain terhadap risiko fatigue pada penerbang sipil di Indonesia.
Metode: Sebuah studi cross sectional dengan consecutive sampling dilakukan pada penerbang sipil yang sedang melakukan medical check-up di Balai Kesehatan Penerbangan di Jakarta pada Juni 2016. Karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan dan jam terbang diperoleh melalui kuesioner dan wawancara. Data fatigue diperoleh melalui pemgisian self-questionnaire fatigue dan dihitung dengan Fatigue Severity Scale (FSS) yang telah dikalibrasi. Fatigue dikategorikan menjadi “Tidak Fatigue” (skor FSS <36) dan “Fatigue” (skor FSS ≥36). Analisis menggunakan risiko relatif dengan regresi Cox dan waktu yang konstan.
Hasil: Penelitian ini mencakup 542 penerbang, 50,2% mengalami fatigue, dan 49,8% tidak fatigue. Subyek yang memiliki jam terbang lebih dari 30 jam dalam 7 hari dibandingkan dengan yang kurang sama dengan 30 jam dalam 7 hari, memiliki risiko fatigue 1,39 kali lebih tinggi [risiko relatif disesuaikan (RRA)= 1,39; CI=1,16-1,68; p = 0,001]. Subjek yang memiliki lisensi tipe ATPL dibandingkan dengan yang CPL memiliki risiko fatigue 1,31 kali lebih tinggi (RRa= 1,31; CI=1,11-1,54 p= 0,001). Selanjutnya subyek yang berolahraga secara appropriate memiliki risiko fatigue 32% lebih kecil (RRa=0.68; CI=0,43-1,06; p=0.094).
Kesimpulan: Penerbang sipil di Indonesia yang memiliki jam terbang lebih dari 30 jam dalam 7 hari dan penerbang dengan lisensi tipe ATPL mengalami peningkatan risiko fatigue. Kebiasaan olahraga secara appropriate menurunkan risiko fatigue pada penerbang sipil di Indonesia.

Background: In aviation world, fatigue may cause the pilot incapacitation and can lead to the aircraft accidents. Flight hours is believed to be one of the factors related to the risk of fatigue. The purpose of this study is to identify relationship between flight hours in seven day and other factors to the risk of fatigue among civilian pilot in Indonesia.
Methods: A cross sectional study with consecutive sampling was conducted among civilian pilots who attended medical check-up at Aviation Medical Center in Jakarta on June 2016. Demographic characteristics, employment related factors, habits and flight hours were obtained through questionnaire and interviews. Fatigue data were obtained through fatigue self-questionnaire form and measured with Fatigue Severity Scale which had been validated. Fatigue was categorized into non-fatigue (FSS score <36) and fatigue (FSS score ≥36). Risk relative was computed using Cox regression with a constant time.
Results: This study included 542 pilots, 50,2% had fatigue and 49,8% were normal (non-fatigue). The subjects who have flight hours >30 hours/week compared to ≤30 hours/week, had 1.37-fold higher risk of fatigue [adjusted relative risk [RRa=1.37; CI=1,14-1,65; p=0.001]. The subject with ATPL license compared to CPL license, had 1.28-fold higher risk of fatigue [RRa=1.31; CI=1,11-1,54; p=0.001). Furthermore, subjects who have appropriate exercise, had 32% lower risk of fatigue (RRa=0.68; CI=0,43-1,06; p=0.094).
Conclusions: Civilian pilots in Indonesia who had more than 30 hours flight time in 7 days and ATPL type pilots have an increased risk of fatigue. Appropriate exercise decreased the risk of fatigue on civilian pilots in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Devrizal Hendry
"Latar belakang: Gangguan pendengaran sensorineural pada pilot merupakan masalah kesehatan yang dapat menyebabkan inkapasitasi pada saat pilot menjalankan tugas terbangnya dan berdampak terhadap keselamatan penerbangan. Tujuan penelitian ini mengidentifikasi jam terbang total dan faktor dominan lainnya terhadap risiko gangguan pendengaran sensorineural di antara pilot sipil di Indonesia.
Metode: Desain penelitian potong lintang dengan purposive sampling pada tanggal 4-20 Mei 2015 terhadap pilot laki-laki berusia 20-60 tahun dan pilot memiliki lisensi Commercial Pilot License (CPL) atau Air Transport Pilot License (ATPL) yang sedang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala (medex) di Balai Kesehatan Penerbangan, Jakarta. Gangguan pendengaran yaitu subyek memiliki ambang dengar 25 dB atau lebih. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara memakai kuesioner. kemudian data diambil dari rekam medis pada hari pemeriksaan. Risiko gangguan pendengaran sensorineural dianalisis menggunakan risiko relatif (RR) dengan regresi Cox.
Hasil: Selama 3 minggu masa pengumpulan data terdapat 681 pilot yang melakukan medex di Balai Kesehatan Penerbangan, didapatkan 314 pilot yang memenuhi kriteria penelitian. Sebanyak 15,9% mempunyai gangguan pendengaran sensorineural. Pilot dengan jam terbang total lebih 5000 jam dibandingkan kurang 5000 jam berisiko gangguan pendengaran sensorineural 4,7 kali lipat [risiko relatif suaian (RRa)=4,73; p=0,137]. Pilot dengan usia 45-60 tahun dibandingkan usia 20-44 tahun berisiko gangguan pendengaran sensorineural 6,8 lipat (RRa=6,87; p=0,000).
Simpulan: Jam terbang total 5000 jam atau lebih serta usia 45-60 tahun meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural pada pilot sipil di Indonesia.

Background: Sensorineural hearing loss in civil pilots could interfere pilots? performance to safely operate an aircraft thus could cause incapacitation on board. This study aimed to identify risk factors of sensorineural hearing loss among civil pilots in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study design with purposive sampling on 4-20 May 2015 was conducted on pilots of the male civilian. The inclusion criteria civilian pilots male 20-60 years old and had Commercial Pilot License (CPL) or Air Transport Pilot License (ATPL) who were taking medical examinations (medex) in Civil Aviation Medical Centre, Jakarta. Hearing impairment defined by hearing threshold of 25 dB or more. Demographic data were collected by interviewed pilots using questionnaires while audiometry and laboratory data were collected from medical records. Risk factors of sensorineural hearing loss were analyzed by Cox regression.
Results: Three weeks collecting data had 681 pilot conducted medex in Civil Aviation Medical Centre, among 314 commercial pilots were fulfilled the criteria?s. Percentage of sensorineural hearing loss from audiometry data were 15.9%. Subjects with 5000 flight hours or more had almost five times increased risk of sensorineural hearing loss compared to subjects with less than 5000 flight hours [adjusted relative risk (RRa) = 4.73; p = 0.137]. Subjects aged 45-60 year-old had almost seven times increased risk of sensorineural hearing loss compared to subjects aged 20-44 year-old (RRa= 6.87; p = 0.000).
Conclusion: Total flight hours 5000 hours or more and age of 45-60 years increased the risk of sensorineural hearing loss among civilian pilots in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tessa Apriestha
"Latar Belakang: Obesitas dapat menganggu kesehatan dan mempengaruhi penerbang dalam menjalankan tugasnya. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko obesitas pada penerbang sipil di Indonesia.
Metode: Studi potong lintang dengan sampel purposif pada penerbang sipil yang sedang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan pada tanggal 18-29 Mei 2015. Data yang dikumpulkan meliputi faktor demografi, pekerjaan, sosial, genetik, pengetahuan, sikap dan perilaku. Data dikumpulkan dengan wawancara dan pengukuran antropometri. Analisis menggunakan regresi Cox dengan waktu konstan.
Hasil: Dari 690 penerbang, 428 subjek bersedia menjadi responden. Subjek terpilih untuk dianalisis berjumlah 259 penerbang terdiri dari 184 obesitas dan 75 subjek dengan berat badan normal. Dibandingkan subjek dengan kebiasaan hampir tidak pernah makan makanan berlemak, subjek dengan kebiasaan makan makanan berlemak 3-4 kali per minggu berisiko obesitas 6,3 kali lipat [risiko relatif suaian (RRa)=6,28; 95% interval kepercayaan (CI)=1,55-25,46; p=0,010], sedangkan pada subjek dengan kebiasaan makan makanan berlemak hampir setiap hari berisiko obesitas 6 kali lipat (RRa=6,04; CI=1,43-25,54; p=0,014). Selanjutnya, jika dibandingkan dengan subjek yang memiliki 16-1499 jam terbang total, subjek yang memiliki 1500-4999 jam terbang total berisiko 18% lebih tinggi obesitas (RRa=1,18; 95% CI=1,01-1,39; p=0,038) dan subjek yang memiliki 5000-28000 jam terbang total berisiko 39% lebih tinggi obesitas (RRa=1,39; 95% CI=0,99-1,93; p=0,052).
Simpulan: Kebiasaan makan makanan berlemak 3 kali atau lebih per minggu dan jam terbang total 1500 jam atau lebih meningkatkan risiko obesitas pada penerbang sipil di Indonesia.

Background: Obesity can interfere and affect the health of pilots in performing their duties. The purpose of this study was to identify factors associated with the risk of obesity among civilian pilots in Indonesia.
Methods: Cross-sectional study was done with purposive sampling among civilian pilots undergoing periodic medical examinations at Civil Aviation Medical Center on May 18-29th, 2015. Data collected were demographic, occupation, social, genetic, knowledge, attitudes and behavior factors. Data were collected through interviews and anthropometric measurements. Data analysis used Cox regression with constant time.
Results: There were 690 pilots eligible for this study, 428 subjects were willing to become respondents. The subject chosen for analysis amounted to 259 pilots, with 184 pilots were obese and 75 had normal BMI. Compared with pilots who rarely consumed fatty foods, pilots who ate fatty foods 3-4 times/week had 6.3-fold risk of obesity [adjusted relative risk (RRa)=6.28; 95% confidence interval (CI)=1.55-25.46; p=0.010], whereas the pilots who ate fatty foods almost everyday had 6-fold risk of obesity (RRa=6.04; CI=1.43-25.54; p=0.014). Furthermore, when compared to pilots with 16-1499 total flight hours, pilots with 1500-4999 total flight hours had 18% higher risk of obesity (RRa=1.18; 95% CI=1.01-1.39; p=0.038) and pilots with 5000-28000 total flight hours had 39% higher risk of obesity (RRa=1.39; 95% CI=0.99-1.93; p=0.052).
Conclusions: Eating fatty foods habit 3 times/week or more and 1500 or more of total flight hours increased the risk of obesity among civilian pilots in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pritha Maya Savitri
"Latar belakang: Orientasi ruang (spatial orientation) merupakan masalah utama untuk penerbang yang ditentukan dengan menggunakan persepsi penglihatan, vestibuler, dan propioseptif. Miopia merupakan kelainan refraksi yang paling sering terjadi. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya miopia ringan pada penerbang sipil di Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dengan pengambilan sampel secara purposif. Responden mengisi kuesioner sedangkan data tajam penglihatan dan kadar gula darah didapatkan dari rekam medis. Analisis data dengan regresi cox menggunakan Stata 10. Batasan miopia ringan pada penelitian ini adalah subyek yang mengalami penurunan tajam penglihatan dan menggunakan lensa koreksi -0,25 s/d -0,30.
Hasil : Subyek penelitian adalah penerbang pria dengan usia 21-45 tahun yang sedang melaksanakan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan Kementerian Perhubungan. Persentase miopia ringan dalam penelitian ini sebesar 36,1%. Faktor risiko dominan terhadap miopia ringan jam terbang [risiko relatif (RRa) = 1,23; 95% interval kepercayaan (CI) = 0,96-1,58; P = 0,108], riwayat orang tua miopia (RRa = 5,29; P = 0,000), gejala kelelahan visual kesulitan fokus (RRa = 1,30; 95% CI = 1,01-1,65; P = 0,039), dan gejala kelelahan visual huruf berkabut (RRa = 1,16 ; 95% CI = 0,89-1,48; P = 0,259).
Kesimpulan: Jam terbang total, riwayat orang tua miopia, adanya gejala kelelahan visual kesulitan fokus dan huruf berkabut merupakan faktor risiko yang berpengaruh terhadap miopia ringan pada penerbang sipil di Indonesia. Diperlukan koordinasi antara spesialis mata, spesialis kedokteran penerbangan dan balai kesehatan penerbangan dalam pencegahan miopia dan pengawasan kesehatan mata bagi penerbang sipil inisial dan reguler.

Background: Spatial orientation is the main problem to pilot that determined by visual, vestibuler and propioseptif. Myopia is more prevalent refraction error in civilian aviator and other populatian. This study aims to identify risk factors that affect the incidence of mild myopia in civilian pilot in Indonesia.
Method: This study using cross-sectional method with purposive sampling. Subjects answered the questionaire. The researcher using the medical record to get data about visual acuity and fasting blood glucose. Cox regression analyses using Stata 10. Mild myopia in this study is defect distant visual acuity with corrected lens power -0.25 s/d -0.30.
Result : Subject of this study are 21-45 years old male civilian aviators which performs scheduled medical check up at Civil Aviatian Medical Centre. Mild myopia percentage in this study is 36.1%. Dominant risk factor for mild myopia is total flight time (RRa 1.23; 95% CI 0.96-1.58; P 0.108), parental myopia (RRa 5.29; P 0,000), visual fatigue; difficulty in focusing (RRa 1.30; 95% CI 1.01-1.65; P 0.039), and visual fatigue foggy letters (RRa 1.16 ; CI 0.89-1.48 P 0,259).
Conclusion: Total flight time, parental myopia, visual fatigue; difficulty in focusing and foggy letters are influenced risk factors for mild myopia in civilian aviator in Indonesia. Suggested to have coordination among ophthalmologist, aviation medicine specialist, airline and Civil Aviation Medical Centre to preventing myopia and eye health surveillance for initial and reguler civilian pilot.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Teguh Pribadi
"Latar belakang : Hiperkolesterolemia antara lain menjadi faktor risiko penyakit jantung koroner dan komplikasinya dapat menyebabkan inkapasitasi pada pilot. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi hubungan kebiasaan makan lemak dan faktor lainnya terhadap risiko hiperkolesterolemia pada pilot sipil di Indonesia.
Metode : Penelitian menggunakan metode potong lintang dengan sampel purposif pada pilot sipil di Balai Kesehatan Penerbangan Jakarta tanggal 18-29 Mei 2015. Karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan diperoleh melalui wawancara. Data kolesterol total diperoleh dari laboratorium yang telah dikalibrasi. Kategori kolesterol total dibagi dua yaitu hiperkolesterolemia ( ≥ 240 mg/dl) dan normal (< 200 mg/dl). Analisis menggunakan risiko relatif yaitu regresi Cox dengan waktu konstan.
Hasil : Di antara 690 pilot yang melakukan pemeriksaan medis, 428 subjek bersedia mengikuti penelitian. Subjek yang diikutsertakan dalam analisis sebanyak 327 pilot, 12,3% memiliki hiperkolesterolemia dan 87,7% memiliki kadar kolesterol normal. Subjek dengan kebiasaan makan lemak hampir setiap hari dibandingkan hampir tidak pernah berisiko 3,8 kali lipat lebih besar hiperkolesterolemia [risiko relatif suaian (RRa)=3,78; p=0,223]. Subjek dengan usia 50-65 tahun dibandingkan dengan 19-34 tahun berisiko 1,8 kali lipat lebih besar hiperkolesterolemia (RRa=1,82; p=0,103). Selanjutnya subjek dengan riwayat hiperkolesterolemia dibandingkan tanpa riwayat hiperkolesterolemia berisiko 2,1 kali lipat lebih besar hiperkolesterolemia (RRa=2,13; p=0,118).
Simpulan : Kebiasaan makan lemak hampir tiap hari, usia 50 tahun atau lebih, riwayat keluarga hiperkolesterolemia dalam keluarga meninggikan risiko hiperkolesterolemia di antara pilot sipil di Indonesia.

Background : Hypercholesterolemia becoming one of a risk factor for coronary heart disease and complications may cause the pilots incapacitation. The purpose of this study was to identify eating fatty food habits and other factors and the risk of hypercholesterolemia in civilian pilots in Indonesia.
Methods : A cross sectional study with purposive sampling was conducted in civilian pilots at Indonesian Aviation Medical Center in Jakarta from 18-29 May, 2015. Demogrhapic characteristics, employment, habits was obtained through interviews. Total cholesterol data obtained from laboratory test had been calibrated. Category of cholesterol total was divided into hypercholesterolemia (≥ 240 mg/dl) and normal (<200 mg/dl). Analysis using risk relative by Cox regression with a constant time.
Result : Among the 690 pilots who conducted medical examination, 428 subjects agree to join the study. This analysis included 327 pilots, 12.3% had hypercholesterolemia, and 87.7% normal cholesterol levels. The subjects who had eating fatty food habits almost every day compared to almost never, had 3.8 fold higher risk to be hypercholesterolemia [adjusted relative risk (RRa)=3.78; p=0.223]. The subject aged of 50-65 years compared to 19-34 years, had 1.8 fold higher risk to be hypercholesterolemia (RRa=1.82; p=0.103). Furthermore, subjects with a family history of hypercholesterolemia compared with no family history, had 2.1 fold higher risk to be hypercholesterolemia (RRa=2.13; p=0.118).
Conclusions : Having eating fatty food habits almost every day, age 50 and over, history of hypercholesterolemia elevate the risk of hypercholesterolemia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>