Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 162491 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mustaqim Prasetya
"Latar Belakang: Gangguan penglihatan adalah gejala kedua yang sering muncul pada tumor otak setelah nyeri kepala. Gejala gangguan penglihatan yang paling sering terjadi pada tumor otak adalah penurunan visus atau tajam penglihatan (low vision sampai kebutaan), sedang tanda yang paling sering dijumpai adalah atrofi n. optikus dan papilledema. Penurunan tajam penglihatan yang dialami penderita tumor otak dapat sangat berat hingga berupa kebutaan. Sampai saat ini belum terdapat data angka kejadian gangguan penglihatan sampai kebutaan pada tumor otak di Indonesia.
Metode: Sebagai studi potong lintang analitik, dikumpulkanlah data pasien penderita tumor otak di atas usia 6 tahun yang datang berobat ke poliklinik Bedah Saraf FKUIRSCM pasien September 2013 hingga Februari 2014 dari catatan rekam medis.
Hasil: Jumlah pasien tumor otak yang mengalami buta sebanyak 37 orang (34,6 %) dengan usia rata-rata 45,3 (SD 11,3 tahun). Sebesar 86,5 % penderita berada pada usia produktif 15-54 tahun. Dari 37 pasien tumor otak yang buta terlihat proporsi gejala penyerta terbesar adalah sefalgia (terutama sefalgia kronis), diikuti oleh gangguan oftalmologi lain. Data pemeriksaan funduskopi hanya ditemukan pada kurang dari 50 % penderita, dengan temuan yang terbanyak adalah papil atrofi.
Kesimpulan: Besar angka kebutaan pada pasien tumor otak menunjukkan bahwa kondisi ini tidak hanya menjadi masalah medis saja tetapi juga masalah sosial yang serius. Banyaknya jumlah pasien tanpa data funduskopi menandakan masih lemahnya standar pemeriksaan neurooftalmologi ataupun pencatatan yang ada saat ini, padahal pemeriksaan funduskopi berperan sangat penting mendeteksi dini kejadian tumor otak pada pasien dengan gangguan penglihatan.

Background: Vision impairment is the second most common symptom in brain tumor after headache, with decreased visual acuity or low vision as its most common manifestation, and optic nerve atrophy and papilledema as its most common sign. Blindness may be the final outcome of this impairment. Until now, there is no data regarding the prevalence of vision impairment in brain tumor patient in Indonesia.
Method: As a analytic cross-sectional study, data is collected from the medical record regarding brain tumor patient above the age of 6 years old who were seen in the neurosurgery facility in FKUI-RSCM from September 2013 to February 2014.
Result: As much as 37 patient (34,6%) brain tumor patient were found to be blind; mean age was 45,3 years old (SD 11,3 years old), with 86,5% patient was in the productive age 15-54 years old. The commonest related symptoms was headache (especially chronic headache), followed by other ophthalmologic symptoms. Funduscopy data was found only in less than 50% patient; the commonest finding was optic nerve atrophy.
Conclusion: Blindness rate in brain tumor patient is not just a medical issue, but also a social one. Funduscopy usage must be encouraged more to provide early detection for brain tumor patient with vision impairment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T58019
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raisa Zalfa Meutia Abubakar
"Pendahuluan: Lesi serebral intrakranial, khususnya tumor, awalnya dapat muncul sebagai gejala oftalmik akibat adanya massa dan/atau peningkatan tekanan intrakranial yang mengganggu jalur penglihatan, jaringan mata, dan saraf. Diagnosis dini tumor otak penting untuk mencegah gangguan penglihatan dan/atau kebutaan yang tidak dapat disembuhkan. Namun, rendahnya kesadaran pasien tentang pentingnya manajemen bedah saraf yang tepat waktu sering mengakibatkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional analitik untuk mengetahui kebutaan akibat tumor otak. Data dari 54 pasien pada tahun 2020, dikelompokkan berdasarkan karakteristik demografi, dianalisis untuk mengeksplorasi hubungan antara durasi dari timbulnya gejala hingga kunjungan medis pertama dan terjadinya kebutaan pada pasien tumor otak.
Hasil: 35 (64,81%) pasien tumor otak ditemukan mengalami kebutaan. Temuan penelitian ini mengungkapkan adanya hubungan antara kebutaan pada pasien tumor otak dan durasi dari timbulnya gejala hingga kunjungan medis pertama dan konsultasi bedah saraf. Pasien yang mengalami keterlambatan dalam berkonsultasi dengan dokter layanan primer dan/atau bedah saraf sejak gejala awal menunjukkan insiden kebutaan yang lebih tinggi, hal ini menunjukkan pentingnya mencari pertolongan medis segera.
Kesimpulan: Penelitian ini menggarisbawahi pentingnya intervensi medis yang tepat waktu dan konsultasi bedah saraf khusus untuk mengurangi kejadian kebutaan di antara pasien tumor otak. Hal ini menekankan perlunya peningkatan kesadaran masyarakat, sistem rujukan yang efisien, dan pertolongan medis yang cepat untuk meringankan beban kebutaan pada populasi pasien tumor otak.

Introduction: Intracranial cerebral lesions, particularly tumours, can initially present as ophthalmic symptoms due to masses and/or elevated intracranial pressure disturbing the visual pathway, ocular tissues, and nerves. Early diagnosis of brain tumours is crucial to prevent irreversible visual impairment and/or blindness. However, low patient awareness about the importance of timely neurosurgical management often results in delayed diagnosis and treatment.
Methods: This study utilized an analytic cross-sectional design to investigate blindness related to brain tumours. Data from 54 patients in 2020, stratified by demographic characteristics, were analyzed to explore the association between the duration from symptom onset to the first medical visit and the occurrence of blindness in brain tumor patients.
Results: 35 (64.81%) brain tumour patients were found to be blind. The study findings revealed an association between blindness in brain tumour patients and the duration from symptom onset to both the first medical visit and neurosurgery consultation. Patients experiencing delays in consulting a primary care physician and/or a neurosurgeon from the initial onset of symptoms exhibited a higher incidence of blindness, highlighting the importance of seeking prompt medical attention.
Conclusion: This study underscored the critical need for timely medical intervention and specialized neurosurgical consultation to mitigate the incidence of blindness among brain tumour patients. It emphasized the necessity for increased public awareness, efficient referral systems, and prompt medical attention to alleviate the burden of blindness in patients with brain tumour.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Starleen Ellexia
"Latar Belakang
Tumor otak adalah neoplasma intrakranial di dalam otak atau di kanal tulang belakang pusat. Tumor otak ganas primer mempengaruhi sekitar 200.000 orang di seluruh dunia setiap tahun. Tumor otak disebabkan oleh pembelahan sel yang abnormal dan tidak terkontrol. Penanganan tumor otak di Indonesia masih belum terintegrasi baik dari segi promotif, preventif, maupun kuratif. Tumor otak sendiri dapat menyebabkan berbagai komplikasi sampai kematian. Oleh karena itu, pada penelitian kali ini dilakukan studi mengenai keterkaitan jenis, letak, dan ukuran tumor dengan skor fungsional berupa skor KPS yang didapatkan pasien pre dan post tindakan serta hubungannya dengan tingkat resektabilitas tumor pasien saat dilakukan operasi. Skor KPS dapat berfungsi sebagai salah satu faktor prognosis kualitas hidup pasien.
Metode
Penelitian ini akan menggunakan metode kohort retrospektif dengan melihat rekam medis pasien tumor otak dari tahun 2021 sampai 2022 yang ditatalaksana di RSCM. Rekam medis akan diambil secara consecutive sampling.
Hasil
Terdapat hubungan antara jenis tumor dengan skor KPS pre operasi dimana nilai median untuk semua jenis adalah 80 namun, adenoma mendapatkan mean skor KPS tertinggi (84,59) dan jenis tumor lain mendapatkan mean skor KPS terendah (73,73). Ukuran tumor dan skor KPS pre operasi tidak didapatkan hubungan korelasi yang kuat yaitu hanya sebesar -0,194 (CI 95% -0,313 - -0,069). Letak tumor dengan skor KPS pre operasi didapatkan ada hubungannya dengan hasil tumor supratentorium memiliki median skor KPS pre operasi lebih tinggi dibandingkan tumor infratentorium. Hasil ini berbeda dengan studi-studi lainnya sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut. Demikian juga dengan tingkat resektabilitas dengan skor KPS post operasi dimana didapatkan hasil signifikansi sebesar p=0,107 sehingga hubungannya tidak signifikan. Namun jika dilihat mediannya, (Gross Total Resection) GTR memiliki skor KPS post operasi yang lebih baik dibandingkan dengan (SubTotal Resection) STR yaitu 85 dan 80 secara berurut.
Kesimpulan
Perbedaan jenis tumor mempengaruhi skor KPS pre operasi. Semakin besar ukuran tumor yang dialami pasien, maka semakin rendah skor KPS pre operasi yang didapatkan. Selain itu, skor KPS pre operasi juga berhubungan dengan letak tumor yang dialami pasien. Sedangkan, skor KPS post operasi pada penelitian ini tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan tingkat resektabilitas tumor pada pasien yang dioperasi.

Introduction
Brain tumors are intracranial neoplasms within the brain or in the central spinal canal. Primary malignant brain tumors affect around 200,000 people worldwide each year. Brain tumors are caused by abnormal and uncontrolled cell division. Management of brain tumors in Indonesia is still not integrated in terms of promotive, preventive and curative. Brain tumors themselves can cause various complications up to death. Therefore, In this study, an investigation was carried out to explore the correlation between the type, location, and size of the tumor and its impact on the functional score, measured by the KPS score, obtained from patients before and after surgery. Additionally, the study examined the association between the level of resectability and the type of tumor. KPS score can be used as one prognostic factor for patient quality of life.
Method
This study will use a retrospective cohort method by looking at the medical records of brain tumor patients from 2021 to 2022 who were treated at RSCM. Medical records will be taken by consecutive sampling.
Results
A correlation exists between tumor types and preoperative KPS scores, with a median value of 80 for all types. Adenomas achieve the highest mean KPS score (84.59), while other tumor types have the lowest mean KPS score (73.73). A weak correlation is observed between tumor size and preoperative KPS scores, with a coefficient of only - 0.194 (95% CI -0.313 to -0.069). There is a relationship between tumor location and preoperative KPS scores, as supratentorial tumors have a higher median preoperative KPS score compared to infratentorial tumors. These findings differ from other studies, suggesting the need for further research. Similarly, the level of resectability and postoperative KPS scores show a non-significant relationship with a p-value of 0.107. However, when looking at the medians, Gross Total Resection (GTR) is associated with a higher postoperative KPS score compared to Subtotal Resection (STR), namely 85 and 80, respectively.
Conclusion
The type of tumor affects preoperative KPS scores. The larger the tumor size, the lower the preoperative KPS score. Additionally, preoperative KPS scores are also associated with tumor location. However, postoperative KPS scores in this study do not show a significant relationship with the resectability of tumors in operated patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arry Setyawan
"ABSTRAK
Latar Belakang Peningkatan insidensi tumor metastasis intrakranial setiap tahunnya, juga diikuti oleh meningkatnya angka disabilitas dan mortalitas pada pasien. Terapi standar pada tumor metastasis otak adalah WBRT, SRS, operasi atau kombinasi dari ketiganya. Dengan semua pilihan terapi yang ada, sangat penting untuk memerhatikan prognosis pasien dengan tumor metastasis otak untuk menentukan jenis terapi yang sesuai, salah satunya dengan menggunakan indeks prognosis. Belum terdapat data yang menggambarkan profil demografis dan kesintasan pasien tumor metastasis otak di Indonesia dengan menerapkan indeks prognosis yang sudah ada.Tujuan dan Metode Penelitian ini merupakan studi cohort retrospektif untuk melihat kesesuaian hasil analisis kesintasan pasien tumor metastasis otak di Departemen Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo tahun 2012-2014 dengan data acuan indeks RPA, GPA, dan BSBM.Hasil Terdapat 62 subyek yang diikutsertakan dalam penelitian ini setelah mendapat persetujuan. Median kesintasan keseluruhan mencapai 9,16 bulan. Hasil analisis kesintasan berdasarkan indeks RPA memperlihatkan median kesintasan Kelas I, Kelas II dan Kelas III, secara berurutan 16.3 bulan, 11.2 bulan, dan 4.7 bulan. Karakteristik dan median kesintasan subyek pengamatan berdasarkan indeks GPA, secara berurutan mulai dari GPA 0-1 sampai GPA 3,5-4 adalah 4.3, 10.4, 12.4, dan 16.3 bulan. Hasil penerapan kedua indeks tersebut terlihat sesuai dengan data acuan penelitian pendahulunya. Namun indeks BSBM tidak mampu memperlihatkan hasil yang sesuai saat diterapkan pada populasi sampel penelitian.Kesimpulan Indeks RPA dan GPA dapat digunakan untuk memprediksi prognosis pasien tumor metastasis otak di RSUPN-CM karena memberikan karakterisitik yang sesuai dengan data acuan. Indeks GPA dianggap lebih baik karena menggunakan variabel yang lebih objektif.

ABSTRACT
Background The incidence of intracranial metastasis has increased annually, which also followed by the increased number of patient rsquo s disability and mortality. Standard therapy in brain metastasis are Whole Brain Radiotherapy WBRT , Stereotactic Radio Surgery SRS , surgery, or combination of all. With all these treatment options available, it is very important to consider the prognosis in order to decide which therapy is appropriate. One of the methods that can be used to determine the prognosis is by using the prognostic indices. Currently, there has been no data or report about the demographic and survival profile of patients with brain metastastis in Indonesia using the available index prognosis.Methods This is a retrospective cohort study to evaluate the survival analysis in patients with brain metastasis that are undergoing treatment in Radiotherapy Department, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo in 2012 2014 based on RPA, GPA, and BSBM index.Results Sixty two patients are included in this study after obtaining the approved consent. The median of survival rate is 9.16 months. Survival analysis based on RPA index showed median class I, II, and III are 16.3, 11.2, and 4.7 months, respectively. Characteristics and median observer based on GPA, from GPA 0 1 to GPA 3.5 4 are 4.3, 10.4, 12.4, and 16.3 months, respectively. These findings are similar with the previous studies. However, BSBM index does not able to illustrate the result that is appropriate when it is being applied to the subjects of this study.Conclusions RPA and GPA index can be used to predict the prognosis in patients with brain metastasis that are undergoing treatment in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo because it provides characteristics, which correspond to the reference data. GPA index is considered better because it uses more objective variables."
[, ]: 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Holiness Berti
"Program pendidikan ners spesialis keperawatan medikal bedah dilewati dengan mengikuti praktek ditatanan pelayanan dengan melakukan asuhan keperawatan (pengkajian, diagnosis, intervensi, implementasi dan evaluasi) yang menggunakan pendekatan teori model keperawatan. Selama proses praktik residensi yang dilakukan yaitu pengelolaan asuhan keperawatan pada gangguan sistem neurologi dengan kasus utama tumor otak dan dan 30 kasus resume yang menggunakan pengkajian dengan pendekatan model adaptasi Roy. Selain itu juga melakukan penerapan evidence based nursing tentang sit to stand training untuk meningkatkan keseimbangan pada pasien stroke dan penerapan proyek inovasi tentang tatalaksana perawatan pasien stroke terkini. Tumor otak merupakan jenis tumor yang paling banyak terjadi dari seluruh jenis tumor pada system saraf pusat. Sit to stand training dapat meningkatkan keseimbangan pada pasien stroke, dapat dilanjutkan dirumah secara berkelanjutan dirumah oleh pasien untuk membantu meningkatkan kemandirian pasien. Tatalaksana perawatan pasien stroke terkini dapat meningkatkan kemandirian pasien stroke serta mengurangi kecacatan akibat penyakit stroke serta menambah intervensi keperawatan berdasarkan evidence.

Nursing medical specialist nursing medical education programs are bypassed by following the practice of service settings by conducting nursing care (assessment, diagnosis, intervention, implementation and evaluation) using a theoretical approach to nursing models. During the residency practice process, the management of nursing care for neurological system disorders with the main cases of brain tumors and 30 cases of resumes using assessments with Roy's adaptation model approach. It also implements evidence based nursing on sit to stand training to improve balance in stroke patients and the application of innovative projects on the management of stroke patients. Brain tumors are the most common type of tumors of all types of tumors in the central nervous system. Sit to stand training can improve balance in stroke patients, it can be continued at home continuously at home by patients to help improve patient independence. Current stroke patient care can improve the independence of stroke patients and reduce disability due to stroke and increase evidence-based nursing interventions."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yuyun Yueniwati PW
"buku ini membahas tentang bahaya tumor otak dan peranan pencitraan dalam otak."
Malang: Universitas Brawijaya Press, 2017
616.99 YUY p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Trixie Putri Padita
"Tumor supresor gen p53 (TP53) merupakan salah satu marker yang digunakan untuk mendeteksi terjadinya mutasi pada sel kanker. Sampel Formalin-Fixed Paraffin-Embedded (FFPE) merupakan metode penyimpanan sampel untuk jangka panjang. Sampel FFPE mengandung materi genetik dan protein. Namun, DNA yang terkandung pada sampel FFPE sering mengalami degradasi yang menyebabkan rendahnya konsentrasi DNA yang dapat diamplifikasi dengan metode PCR. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi optimal PCR dalam amplifikasi gen target TP53 pada sampel FFPE yang telah tersimpan lebih dari satu tahun. Terdapat dua primer yang digunakan pada penelitian ini, yaitu primer referensi dari penelitian sebelumnya dan primer yang dirancang sendiri. Kemampuan deteksi dari primer referensi dievaluasi menggunakan satu kali PCR. Kemudian dilanjutkan dengan amplifikasi gen target TP53 menggunakan dua metode PCR yaitu nested PCR dan two round PCR. Selanjutnya dilakukan perbandingan ketebalan pita amplikon pada kedua metode tersebut. Evaluasi primer referensi menunjukkan bahwa primer dapat digunakan untuk mendeteksi ekson 2 hingga 11 dari gen TP53. Hasil visualisasi produk PCR dari metode nested PCR yang dibandingkan dengan metode two round PCR menunjukkan bahwa pita ekson gen TP53 lebih tebal apabila deteksi dilakukan dengan menggunakan metode two round PCR.

Tumor suppressor gene p53 (TP53) is one of the markers used to detect mutations in cancer cells. Formalin-Fixed Paraffin-Embedded (FFPE) samples are a method of storing samples for the long term. FFPE samples contain genetic material and protein. However, the DNA contained in FFPE samples is often degraded which causes a low concentration of DNA that can be amplified by the PCR method. This study was conducted to determine the optimal PCR conditions for the amplification of the TP53 target gene in FFPE samples that have been stored for more than one year. There were two primers used in this study, namely reference primers from previous studies and self-designed primers. The detectability of the reference primers was evaluated using one-time PCR. Then continued with the amplification of the TP53 target gene using two PCR methods, namely nested PCR and two round PCR. Furthermore, a comparison of the thickness of the amplicon tape in the two methods was carried out. Evaluation of the reference primers showed that the primers could be used to detect exons 2 through 11 of the TP53 gene. The results of visualization of PCR products from the nested PCR method compared with the two round PCR method showed that the exon band of the TP53 gene was thicker when the detection was carried out using the two round PCR method."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fetty Ismandari
"Pendahuluan, Glaukoma merupakan penyebab kebutaan nomor dua di Indonesia, kebutaannya bersifat permanen dan seringkali gejala glaukoma tidak disadari oleh penderita. Proporsi pasien baru glaukoma yang datang ke RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) dalam kondisi telah buta cukup tinggi sehingga perlu diteliti faktor yang berhubungan dengan kondisi tersebut.
Metode Penelitian, cross sectional, dengan populasi seluruh pasien glaukoma primer di poliklinik penyakit mata RSCM yang datang pada Januari 2007 - Oktober 2009 dan dilakukan analisis dengan Cox?s Proportional Hazard Model untuk mendapatkan nilai Prevalence Ratio(PR) dan mendapatkan model persamaan akhir.
Hasil Penelitian, Didapatkan hubungan yang bermakna antara antara kebutaan pada pasien baru glaukoma primer di RSCM dengan tekanan intraokular (PR 1,01 95% CI 1,01-1,02), jenis glaukoma, pengobatan sebelumnya dan interaksi antara jenis glaukoma dan pengobatan sebelumnya (PR 2,09 95% CI 1,36-3,22 untuk sudut terbukayang pernah mendapat pengobatan sebelumnya; PR 1,72 95% CI 1,20-2,46 untuk sudut tertutup yang belum mendapat pengobatan; PR 1,79 untuk sudut tertutup yang pernah mendapat pengobatan; dibandingkan sudut terbuka yang belum mendapat pengobatan) serta pendidikan (PR 1,49 95% CI 1,06-2,08 untuk pendidikan rendah dan 1,37 95% CI 0,97-1,92 dibandingkan dengan pendidikan tinggi).
Kesimpulan, Variabel yang bermakna secara statistik atau substansi dan dimasukkan dalam model akhir adalah umur, jenis kelamin, tekanan intraokular, jenis glaukoma, adanya pengobatan sebelumnya, interaksi antara jenis glaukoma dan pengobatan sebelumnya, dan tingkat pendidikan. Umur dan jenis kelamin secara statistik tidak bermakna namun dimasukkan dalam model karena secara substansi bermakna.

Introduction, Glaucoma is the second largest cause of blindness in Indonesia. Blindness caused by glaucoma is irreversible and most of the patients are unaware of the symptoms. The proportion of blindness in new glaucoma patients at RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) in that period was high, so that, the factors related to the blindness need to be explored.
Methods, cross sectional study, the population were all of new primary glaucoma patients at RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo's Eye Clinic from January 2007 to October 2009, and used Cox's Proportional Hazard Model Analysis to calculate Prevalence Ratio (PR) and find final equation model.
Results, variables those statistically significant associated with blindness in new patient with primary glaucoma at RSCM were intraocular pressure (PR 1,01 95% CI 1,01-1,02), glaucoma type, treated patients, interaction between glaucoma type and treated patients (PR 2,09 95% CI 1,36-3,22 for POAG-treated patients; PR 1,72 95% CI 1,20-2,46 for PACG-untreated patients; PR 1,79 for PACG-treated patiens; compared with POAG-untreated patients), and education level (PR 1,49 95% CI 1,06-2,08 for low level education and 1,37 95% CI 0,97-1,92 for no answer compared with high level education).
Conclusions, variables those statistically or substantively significant and included in final model were age, sex, intraocular pressure, glaucoma type, treated patients, interaction between glaucoma type and treated, and education level. Age and sex were not statistical significant and were included in the model because of substantive significance.
"
Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
T31719
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Jantika Djuarna
"Latar belakang: Malignant peripheral nerve sheath tumor MPNST, merupakan sarkoma jaringan lunak yang prognosis nya buruk karena tidak responsif terhadap kemoterapi. Epidermal growth factor receptor EGFR terlibat dalam transduksi sinyal mitogenik dan jalur proliferasi sel. Ekspresi EGFR yang tinggi pada tumor sudah dipakai untuk menentukan apakah tumor dapat diberikan terapi anti-EGFR. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan ekspresi EGFR pada MPNST derajat tinggi dan derajat rendah serta ekspresi EGFR sebagai faktor prognostik.
Metode: Penenelitian ini merupakan penelitian potong lintang, restrospektif, deskriptif. Sampel terdiri atas 20 kasus MPNST derajat rendah dan 20 kasus MPNST derajat tinggi yang telah didiagnosis selama periode 2007-2015. Dilakukan pulasan imunohistokimia dengan antibodi monoklonal EGFR. Selanjutnya dilakukan scoring berdasarkan persentase sel dengan membrane dan atau sitoplasma yang berwarna coklat pada 500 sel/5 LPB : 0 tidak terpulas, 1 terpulas 30. Perbedaan ekspresi EGFR pada MPNST derajat tinggi dan derajat rendah dianalisis menggunakan uji Chi-square. Selain itu di analisis hubungan antara ekspresi EGFR dengan umur, lokasi dan ukuran tumor.
Hasil: Ditemukan ekspresi EGFR yang lebih tinggi pada MPNST derajat tinggi dibandingkan dengan MPNST derajat rendah yang secara statisitk bermakna p=0,000. Tidak ditemukan hubungan antara ekspresi EGFR dengan umur, lokasi maupun ukuran tumor.
Kesimpulan: Ekspresi EGFR yang tinggi dapat digunakan untuk dasar memberikan terapi anti-EGFR pada MPNST derajat tinggi.

Background: Malignant peripheral nerve sheat tumor MPNST is a sarcoma that is difficult to differentiate with other spindle cell sarcomas, because of their similar morphology. The behavior of MPNST is aggressive, with a high recurrence and tend to metastases hematogenous, especially to lung. Histologic type and location are amongs factors that determine prognosis of MPNST. Combined therapies on MPNST which consist of complete resection, chemoterapy, and radiation do not increase the survival. Anti EGFR therapy has been used in epithelial tumor, while its use in sarcoma is still in research. The aim of this study is to see the correlation between expression of epidermal growth factor receptor and histopathology grading and other prognostic clinical variables.
Method: This was a retrospective cross sectional study, using consecutive sampling. The cases consist of 20 low grade MPNST and 20 high grade MPNST in Departement of Anatomical Pathology FKUI RSCM 2007 2015.MPNST was diagnosed by histopathology and confirmed by immunostaining.EGFR immunostaining was performed and scored semiquantitatively. Analysis the correlation between over expression of EGFR and histopathology grading and other clinical variables, such as age, sex, size, location of the tumor and margin of the tumor.
Result: Overexpression of EGFR was observed in 80 cases of high grade MPNST and 20 cases of low grade MPNST p 0,000. There is a significant correlation between EGFR over expression and histopathology grade. There is no correlation between EGFR expression and age, sex, size, location of the tumor and margin of the tumor.
Conclusion: High expression of EGFR is in parallel with high histologic grade, therefore it may be of additional use as prognostic factor.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Made Rahayu Maitri
"[Kanker prostat dan kanker otak adalah salah satu penyebab utama kematian pada penderita kanker. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivasi dan penurunan jumlah reseptor EphA2 dan X pada sel-sel kanker otak dan kanker prostat dapat mengurangi proliferasi sel dan pembentukan tumor. Reseptor EphA2 diekspresikan pada sel kanker prostat, PC-3, dan reseptor X diexpresikan pada sel kanker prostat, LNCaP. Reseptor EphA2 juga diekspresikan pada sel-sel kanker otak, U-251. Proyek ini ditujukan untuk melihat kemampuan ikatan antara sel kanker dan antibodi bispecific (BsAb), 4B3-X, yang disusun dengan cara menggabungkan fragmen antibodi 4B3-scFv (khusus mengikat pada reseptor EphA2) dengan fragmen antibodi X-scFv (khusus mengikat pada reseptor X). Pada susunan BsAb ini, satu sisi antibodi akan mengikat EphA2 dan sisi lainnya akan mengikat reseptor X. Studi ikatan ini dilakukan menggunakan flow cytometry dan hasil studi menunjukkan bahwa 4B3-X berhasil mengikat pada reseptor EphA2 dan X yang diekspresikan pada sel kanker. 4B3-X berhasil terikat pada sel kanker prostat PC-3 yang megekspresikan reseptor EphA2 dan sel kanker prostat LNCaP yang mengekspresikan reseptor X, juga pada sel kanker otak U-251 yang mengekspresikan reseptor EphA2. Yang menarik, fragmen antibodi X-scFv (yang khusus mengikat pada reseptor X) juga terbukti terikat pada sel kanker otak, U-251; ini menunjukkan bahwa sel-sel ini mengekspresikan reseptor X dan EphA2 secara bersamaan. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa 4B3-X berhasil mengikat pada kedua reseptor EphA2 dan X. Hal ini dapat menjadi sarana yang berpotensial untuk mengaktivasi reseptor ganda dan mengurangi jumlah reseptor EphA2 dan X pada sel kanker dan membunuh sel kanker tersebut.
;Prostate and brain cancers are among the leading causes of cancer-related deaths. Studies have revealed that the activation and subsequent reduction of the EphA2 and X receptors on advanced brain and prostate cancer cells reduce cell proliferation and tumourigenesis. EphA2 and X are overexpressed on prostate cancer cells PC-3 and LNCaP, respectively. EphA2 is also overexpressed in U-251brain cancer cells. This project assesses the binding of a bispecific antibody (BsAb), 4B3-X, which were created by separately combining the 4B3 scFv antibody fragments (targeting EphA2) with the X scFv fragment, targeting X. In the BsAb format, one arm binds EphA2 and the other binds X receptors. Binding studies using flow cytometry showed that 4B3-X BsAb binding to EphA2 and X receptors was maintained; 4B3-X BsAb successfully bound to EphA2 -expressing PC-3 cells and X-expressing LNCaP cells as well as U-251. Interestingly, the X scFv (specific for X) was shown to bind to U-251 cells, indicating that these cells express X, as well as overexpressing EphA2. In summary, the 4B3-X BsAb, that binds both EphA2 and X, may provide potential means of dual receptor activation and subsequent reduction of the EphA2 and X receptors in cancer cells.
, Prostate and brain cancers are among the leading causes of cancer-related deaths. Studies have revealed that the activation and subsequent reduction of the EphA2 and X receptors on advanced brain and prostate cancer cells reduce cell proliferation and tumourigenesis. EphA2 and X are overexpressed on prostate cancer cells PC-3 and LNCaP, respectively. EphA2 is also overexpressed in U-251brain cancer cells. This project assesses the binding of a bispecific antibody (BsAb), 4B3-X, which were created by separately combining the 4B3 scFv antibody fragments (targeting EphA2) with the X scFv fragment, targeting X. In the BsAb format, one arm binds EphA2 and the other binds X receptors. Binding studies using flow cytometry showed that 4B3-X BsAb binding to EphA2 and X receptors was maintained; 4B3-X BsAb successfully bound to EphA2 -expressing PC-3 cells and X-expressing LNCaP cells as well as U-251. Interestingly, the X scFv (specific for X) was shown to bind to U-251 cells, indicating that these cells express X, as well as overexpressing EphA2. In summary, the 4B3-X BsAb, that binds both EphA2 and X, may provide potential means of dual receptor activation and subsequent reduction of the EphA2 and X receptors in cancer cells.
]"
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
S60993
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>