Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 111082 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Togatorop, Benny TM
"Latar belakang. Ablasi frekuensi radio pada atrioventricular nodal reentrant tachycardia (AVNRT) memiliki tingkat keberhasilan berupa tidak tercetusnya takikardia pada lebih dari 97 %. Secara elektrofisiologis, takikardia tidak tercetuskan dapat terjadi pada dua keadaan, yaitu eliminasi/hilangnya jaras lambat atau modifikasi jaras lambat (masih ada jaras lambat residual, tetapi tidak dapat menimbulkan takikardia lagi). Pada pengamatan jangka panjang ditemukan bahwa modifikasi jaras lambat memiliki tingkat rekurensi yang lebih tinggi dibanding eliminasi jaras lambat. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara durasi AH jump dengan status keberhasilan ablasi pada AVNRT.
Metoda. Penelitian ini merupakan suatu penelitian kohort retrospektif. Evaluasi dilakukan pada 56 pasien yang menjalani ablasi di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dari bulan Januari 2013 hingga bulan April 2014. Data klinis dan elektrofisiologis diambil dari catatan medis dan database divisi aritmia Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita. Selanjutnya dilakukan analisis statistik untuk menilai hubungan antar variabel.
Hasil. Pasien yang menjalani ablasi memiliki rerata usia 44,2 ± 15,1 tahun dengan proporsi perempuan lebih tinggi daripada laki-laki (64 %). Analisis bivariat maupun multivariat menunjukkan bahwa durasi AH jump merupakan prediktor independen eliminasi jaras lambat (RR 1,015 dengan IK 1,004 ? 1,026; p < 0,05). Kurva ROC menunjukkan bahwa durasi AH jump > 96 milidetik memberikan nilai sensitivitas 81 %, spesifisitas 65 %, PPV 77%, NPV 71 %. Selanjutnya, analisis multivariat memberikan nilai risiko relatif 13,3 (IK 2,9 ? 60,9; p < 0,05) pada pasien dengan durasi AH jump ≥ 96 milidetik dibanding pasien dengan durasi AH jump < 96 milidetik.
Kesimpulan. Penelitian ini membuktikan bahwa durasi AH jump merupakan prediktor independen eliminasi jaras lambat pada ablasi AVNRT. Durasi AH jump ≥ 96 milidetik memberi peningkatan keberhasilan eliminasi jaras lambat sebesar 13,3 kali dibanding dengan durasi AH jump < 96 milidetik.

Background. Radiofrequency ablation in atrioventricular nodal reentrant tachycardia (AVNRT) has a success rate of non inducible tachycardia more than 97%. In electrophysiology, non inducible tachycardia can occur in two circumstances, namely elimination / loss of slow pathway or modification (still have residual slow pathway, but can not cause tachycardia anymore). Some long term observations found that the modification of the slow pathway has a higher recurrence rate than the elimination of the slow pathway. This study aimed to assess the relationship between the duration of AH jump with success status in AVNRT ablation.
Method. This is a retrospective cohort study. The evaluation was done on 56 patients who underwent ablation at the National Cardiovascular Center Harapan Kita Hospital and fulfill the inclusion and exclusion criterias from January 2013 until April 2014. Clinical and electrophysiological data were collected from medical records and electrophysiology database from Division of arrhythmia National Cardiovascular Center Harapan Kita Hospital. Furthermore, statistical analysis was performed to assess the relationship between variables.
Results. Patients who underwent ablation had a mean age of 44.2 ± 15.1 years with a higher proportion of women than men (64%). Bivariate and multivariate analysis showed that the duration of the AH jump is an independent predictor of slow pathway elimination (RR 1.015 with CI 1.004 - 1.026, p <0.05). ROC curves showed that the duration of the AH jump > 96 milliseconds gave sensitivity of 81%, specificity of 65%, PPV of 77%, NPV of 71%. Furthermore, multivariate analysis gives the value of the relative risk of 13.3 (CI 2.9 - 60.9, p <0.05) in patients with AH jump duration ≥ 96 milliseconds compared with patients AH jump < 96 milliseconds.
Conclusion. This study proved that AH jump duration is an independent predictor of slow pathway elimination in AVNRT ablation. An AH jump duration of ≥ 96 milliseconds increased the successful rate of slow pathway elimination of 13.3 times compared with an AH jump duration of < 96 milliseconds.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Damba Dwisepto Aulia Sakti
"Latar Belakang : Blok atrio-ventrikular AV derajat dua tipe dua mobitz tipedua atau blok AV total merupakan komplikasi yang sering dijumpai pada pasiendengan infark miokard akut IMA . Pada pasien IMA dengan elevasi segmen ST IMA-EST yang datang dengan awitan >12 jam disertai blok AV derajat tiga atauderajat dua tipe dua, peran intervensi koroner perkutan IKP masih kontroversi. Tujuan : Menilai pengaruh intervensi koroner perkutan terhadap lama rawat padapasien IMA-EST awitan >12 jam disertai blok AV derajat tiga atau derajat dua tipedua. Metode : Dilakukan studi kohort retrospektif pada pasien IMA-EST awitan >12jam disertai blok AV derajat tinggi selama periode Januari 2011 hingga Januari2017 di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Tindakan IKP menjadivariabel independen yang diperkirakan memiliki pengaruh terhadap lama rawatpasien IMA-EST awitan >12 jam disertai blok AV derajat tinggi. Variabeldependen pada penelitian ini adalah lama rawat. Hasil : Total sampel penelitian ini adalah 91 sampel, terdiri dari 52 orang yangmenjalani IKP dan 39 orang tanpa IKP. Pada kelompok IKP, didapatkan sebanyak40 subjek 76,9 memiliki lama rawat le; 8 hari, sedangkan pada kelompok tanpaIKP sebanyak 9 subjek 23,1 memiliki lama rawat le; 8 hari. Dari hasil analisismultivariat, variabel yang mempengaruhi lama rawat yaitu variabel IKP [OR 3,75 IK 95 1,06 - 13,26 ; nilai p=0,04], dan lama konversi irama sinus [OR 8,83 IK95 2,52 ndash; 30,89 ; nilai p=0,001]. Kesimpulan : Intervensi koroner perkutan memperpendek lama rawat pasiendengan IMA-EST awitan >12 jam yang disertai dengan blok AV derajat tiga atauderajat dua tipe dua.
Background : High degree atrio ventricular AV block is a common complicationin patients with ST elevation myocardial infarction STEMI. In late presentationSTEMI patients 12 hours onset with high degree AV block, the effect ofpercutaneous coronary intervention PCI in converting the rhythm and shorten thelength of stay is still debatable. Objective : To assess the effect of PCI on length of stay in patients with stemi lateonset with high degree av block. Method : We conducted a retrospective cohort study in late onset STEMI patientswith high degree AV block during the period of January 2011 until January 2017 in National Cardiovascular Center Harapan Kita. Percutaneous coronaryintervention is the independent variable which expected to have an influence on thelength of stay. The dependent variable was the length of stay. Result : There were 91 subjects in this study, that consist of 52 subjects in thepercutaneous coronary intervention PCI group and 39 subjects in the non PCIgroup. There were 40 subjects 76,9 with length of stay le 8 days in PCI groupand 9 subjects 23,1 with length of stay le 8 days in the non PCI group. From multivariate analysis, the significant variables to determine the length of stay werePCI OR 3,75 IK 95 1,06 13,26 p value 0,04 , and duration of rhythm conversion OR 8,83 IK 95 2,52 ndash 30,89 p value 0,001. Conclusion : Percutaneous coronary intervention may shortening the length of stayof patients with STEMI 12 hours who had third or second degree type two AVblock."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rusydi
"Latar Belakang : Deteksi adanya penyakit jantung koroner PJK pada pasien bradikardi simptomatik yang memerlukan pemasangan pacu jantung permanen perlu diketahui secara dini. Saat ini penggunaan modalitas canggih seperti kateterisasi jantung dan CT kardiak menjadi pilihan utama dalam deteksi adanya PJK pada pasien blok nodus atrioventrikular AV total namun dengan risiko dan biaya yang masih relatif mahal. Gambaran fragmentasi kompleks QRS fQRS pada elektrokardiografi berkaitan dengan adanya jaringan parut atau iskemia pada miokard, namun belum ada studi sebelumnya yang menghubungkan fQRS dengan PJK pada pasien blok nodus AV total yang akan dilakukan pemasangan pacu jantung permanen. Tujuan : Mengetahui hubungan antara fragmentasi kompleks QRS dengan penyakit jantung koroner pada pasien dengan blok nodus AV total yang memerlukan pemasangan pacu jantung permanen. Metode : Penelitian ini merupakan studi analitik kasus kontrol dengan menggunakan data sekunder rekam medis pasien blok nodus AV total yang sudah dilakukan tindakan pemasangan pacu jantung permanen dan angiografi koroner di Rumah Sakit PJN Harapan Kita. Penelitian dilakukan pada bulan April-Agustus 2017. Dilakukan pencatatan karakteristik pasien, faktor-faktor yang diketahui mempengaruhi kejadian PJK serta hasil pemeriksaan ekokardiografi dan angiografi koroner. Pembacaan ekg dilakukan oleh dua orang spesialis jantung dan pembuluh darah konsultan di divisi aritmia. Hasil : Total sampel penelitian ini adalah 46 sampel yang terdiri atas 23 kasus dan 23 kontrol. Gambaran fQRS pada pasien blok nodus AV total menunjukkan kecenderungan 2,4 kali mengalami PJK dibandingkan dengan yang tanpa fQRS, walaupun secara statistik memperlihatkan hasil yang tidak bermakna OR = 2,4; p = 0,236 . Hasil uji Kappa menunjukkan kesepakatan yang baik kedua observer dengan nilai Kappa inter-observer 0,487 serta intra-observer 0,737 dan 0,783. Kesimpulan : Fragmentasi kompleks QRS pada pasien blok nodus AV total memiliki kecenderungan 2,4 kali untuk prediksi PJK namun tidak bermakna secara statistik.Kata Kunci : Fragmentasi kompleks QRS, penyakit jantung koroner, blok nodus AV total, pacu jantung permanen

Background Detection of coronary artery disease CAD in symptomatic bradycardia patients requiring permanent pacemaker implantation should be known early. Currently the use of advanced modalities such as cardiac catheterization and cardiac CT are the primary choice in detection of CAD in total atrioventricular blok patients with relatively high cost and risk. The description of fragmented QRS complex fQRS in electrocardiography associated with the presence of ischemia or scar in the myocardium that can be an alternative detection of CAD in patients with total AV block requiring permanent pacemaker implantation. Objectives To determine the relationship between fragmented QRS complex and coronary artery disease in patients with complete atrioventricular AV nodal block requiring permanent pacemaker implantion. Methods This study is an analytic study of case control using secondary data of medical record of complete AV block patients who have performed permanent pacemaker and coronary angiography at PJN Harapan Kita hospital. The study was conducted in April Agustus 2017. Recorded patient characteristics, factors known to influence CAD events as well as results of echocardiography and coronary angiography. The EKG readings were performed by two cardiologist consultants in the arrhythmia division. Results The total sample of this study was 46 consisting of 23 case and 23 control. The description of Fqrs in patients with total AV nodal block showed a trend of 2.4 times for CAD prediction compared with those without Fqrs, although statistically showed a non significant OR 2.4 p 0.236 . Kappa test results showed good agrreement both observers with Kappa inter observer value 0.487 and intra observer 0.737 and 0.783. Conclusion Fragmented QRS complex in patients with complete AV nodal block had a tendency of 2.4 times for CAD prediction but statistically not significant. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Larasati
"Latar Belakang. Pada pasien katup mitral yang disertai fibrilasi atrium (FA), bedah ablasi dapat dilakukan bersamaan dengan bedah katup mitral. Dalam penelitian ini kami melakukan evaluasi keberhasilan jangka pendek terhadap pasien-pasien katup mitral yang dilakukan bedah ablasi FA di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta. Kami mempunyai hipotesis bahwa indeks volume atrium kiri pra-bedah dan pasca-bedah berhubungan dengan keberhasilan bedah ablasi FA jangka pendek.
Metodologi. Merupakan studi retrospektif. Semua pasien yang dilakukan bedah ablasi bersamaan dengan koreksi katup mitral dengan kriteria standard pada periode bulan Maret 2012-Januari 2015 dimasukkan dalam penelitian ini. Data pasien diambil dari catatan medik rumahsakit, termasuk data klinis, EKG, laboratorium, echocardiografi sebelum dan sesudah bedah ablasi. Evaluasi keberhasilan jangka pendek dilihat ada tidaknya FA selama masa hospitalisasi sampai 1 bulan pasca-bedah.
Hasil. Selama periode penelitian, sebanyak 46 pasien ikut dalam penelitian ini {laki-laki 19 (41,3%) dan wanita 27 (58,7%)}.Rerata umur 42,7 ± 9,6 tahun. Lima orang meninggal segera setelah bedah ablasi (8,7%). Tiga puluh pasien tetap dalam irama sinus pada akhir bulan pertama sesudah tindakan bedah (65,2%). Rerata indeks volume atrium kiri pra-bedah pada pasien yang tetap dalam irama sinus pada akhir bulan pertama lebih kecil dibanding dengan yang tetap dalam irama FA, tetapi secara statistik tidak bermakna (156,83 ± 84,3 vs 189,4 ± 92 ml/m2, p=0,256). Rerata indeks volume atrium kiri pasca-bedah pada kelompok pasien yang tetap dalam irama sinus lebih kecil dibanding dengan pasien dalam irama FA pada akhir bulan pertama ( 95,2 ± 55,4 vs 126 ± 43,9 ml/m2, p=0,029) secara statistik berbeda bermakna. . Sembilan belas pasien menggunakan obat penyekat beta (41,3%) ternyata 3 pasien menjadi FA (15,8%) sedang yang tidak menggunakan obat penyekat beta (27 pasien, 58,7%) ternyata 13 pasien (48%) yang secara statistik bermakna (p=0,023). Analisis multivariat dengan menggunakan analisis regresi logistik menunjukkan bahwa indeks volume atrium kiri pasca-bedah adalah berpengaruh terhadap kejadian FA jangka pendek yang secara statistik bermakna (OR 1,02 (IK 95% 1,001-1,04, p=0,043)). Demikian pula penggunaan obat penyekat beta (OR 0,02 (IK 95% 0,001-0,364, p=0,008)).
Kesimpulan. Angka keberhasilan jangka pendek bedah ablasi FA pada pasien katup mitral adalah 65,2 %. Indeks volume atrium kiri pasca bedah berpengaruh terhadap keberhasilan jangka pendek bedah ablasi FA. Temuan tambahan lain dalam penelitian ini yaitu penggunaan penyekat beta pasca bedah berpengaruh terhadap keberhasilan jangka pendek bedah ablasi FA.

Background. Surgical ablation is commonly done in patients with chronic atrial fibrillation (AF) undergo mitral valve surgery. This study was designed to identify the relationship between pre-operative and post-operative left atrial volume indices (LAVi) and short term success of restoration sinus rhythm after surgical AF ablation concomitant with mitral valve surgery.
Methods. Data were collected retrospectively from our hospital medical record . These included electrocardiograms, laboratory, echocardiography before and after surgical ablation in all patients. Each patient was evaluated at the outpatient hospital clinic. The AF recurence was evaluated from the ECG recording within 1 month after surgery. Left atrial volume was calculated using modified Simpson's method. Volume was corrected by surface area.
Results: From March 2012 through January 2015, there were 46 patients who underwent surgical AF ablation concomitant with mitral valve surgery. The mean age was 42.7 ± 9,6 year-old. {males were 19 (41.3%) and females were 27 (58.7%)} Early mortality was found in 5 patients (8.7%). Sinus rhythm (SR) was restored and maintained within first month in 30 patients (65.2%) of the 46 patients. The pre-operative LAVi was smaller in patients who was successfully restored in SR compared with those who was unsuccessfully restored in sinus rhythm, but statistically insignificant (156.83 ± 84.3 vs 189.4 ± 92 ml/m2, p=0.256). However, post-operative LAVi was smaller and statistically significant in those patients who was successfully restored in SR compared with those who was unsuccessfully restored in SR (95.2 ± 55.4 vs 126 ± 43.9 ml/m2, p=0,029). Multivariate analysis using logistic regression analysis showed post-operative LAVi (OR was 1.02 (CI 95% 1.001-1.04, p=0.043) and beta blocker usage early post hospitalization (OR was 0.02 (CI 95% 0.001-0.364, p=0.008) were independent predictor of maintaining SR after surgical AF ablation concomitant with mitral valve surgery.
Conclusions: Short term success rate of the surgical AF ablation in patients with chronic AF and concomitant mitral valve surgery was 65,2%. Post-operative LAVi and post operative beta blocker therapy was independent predictor of maintaining SR after surgical AF ablation concomitant with mitral valve surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zakiya Ulya Fawnia
"Hipertensi pulmonalis adalah kondisi hemodinamik yang ditandai dengan peningkatan tekanan arteri pulmonalis rata-rata (mPAP) lebih dari 20mmHg saat istirahat, yang dapat menyebabkan gagal jantung kanan, ventrikel takikardi, hingga syok kardiogenik. Penatalaksanaan awal pada pasien ventrikel takikardi dan syok kardiogenik meliputi pemeriksaan EKG, laboratorium, tirah baring, kolaborasi medikasi, kardioversi, dan stabilisasi hemodinamik. Hipertensi pulmonalis dapat menurunkan curah jantung dan memicu iskemia sistemik, menyebabkan gejala penurunan saturasi oksigen dan peningkatan laju pernapasan. Evaluasi dilakukan menggunakan pulse oximetry, perhitungan laju pernapasan selama satu menit, dan perasaan subjektif terhadap keluhan sesak klien. Karya ilmiah ini bertujuan menggambarkan asuhan keperawatan pada pasien syok kardiogenik, ventrikel takikardi, dan hipertensi pulmonalis dengan penerapan posisi semi fowler untuk memperbaiki oksigenasi dan menurunkan laju pernapasan. Metode yang digunakan berupa analisis asuhan keperawatan gawat darurat dan kritis. Implementasi perawatan jantung, oksigenasi, dan pemberian posisi semi fowler selama 4 hari menunjukkan peningkatan saturasi oksigen dan penurunan laju pernapasan.  Posisi semi fowler direkomendasikan sebagai salah satu intervensi mandiri keperawatan untuk memperbaiki status oksigenasi pasien, bersama dengan intervensi lainnya.   

Pulmonary hypertension is a hemodynamic condition characterized by an increase in mean pulmonary artery pressure (mPAP) greater than 20 mmHg at rest, which can lead to right heart failure, ventricular tachycardia, and cardiogenic shock. Initial management of patients with ventricular tachycardia and cardiogenic shock includes ECG examination, laboratory tests, bed rest, medication, cardioversion, and hemodynamic stabilization. Pulmonary hypertension can reduce cardiac output and trigger systemic ischemia, causing symptoms such as decreased oxygen saturation and increased respiratory rate. Evaluation is performed using pulse oximetry, respiratory rate calculation over one minute, and subjective assessment of the client’s dyspnea complaints. This study aims to describe nursing care for patients with cardiogenic shock, ventricular tachycardia, and pulmonary hypertension with the application of the semi-Fowler position to improve oxygenation and reduce respiratory rate. The method used is an analysis of emergency and critical nursing care. Implementation of cardiac care, oxygenation, and semi-Fowler positioning over four days showed improvements in oxygen saturation and reductions in respiratory rate. The semi-Fowler position is recommended as an independent nursing intervention to improve oxygenation status, in conjunction with other interventions. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Miranti Verdiana Azra
"Beberapa penelitian menunjukkan bahwa parentification dapat bersifat konstruktif dan destruktif, dipengaruhi oleh pemberian bimbingan dan dukungan dari keluarga. Pada remaja dengan status sosial ekonomi (SES) rendah, parentification merupakan kondisi yang tidak bisa dihindari, sehingga mereka perlu mengembangkan kemampuan positif yang ada di dalam diri, salah satunya resiliensi, untuk menghindari terjadinya parentification yang bersifat destruktif. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara parentification dan resiliensi pada remaja SES rendah. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Parentification diukur menggunakan alat ukur Parentification Inventory yang disusun oleh Hooper (2009) dan telah diadaptasi ke dalam konteks Indonesia. Resiliensi diukur menggunakan Resilience Scale (RS-14) yang disusun oleh Wagnild dan Young (1993) dan telah diadaptasi ke dalam konteks Indonesia. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 183 orang remaja dari keluarga dengan status ekonomi sosial (SES) rendah. Hasil utama penelitian menunjukkan parentification berkorelasi positif signifikan dengan resiliensi (r=0.320; p=0.000, signifikan pada L.o.S 0.01). Dapat diartikan bahwa semakin tinggi parentification seseorang maka semakin tinggi pula resiliensinya.

Some researchers have shown that parentification can be constructive and destructive, influenced by the provision of guidance and support from family. In adolescents with low socioeconomic status (SES), parentification is a condition that can not be avoided, so they need to develop positive capabilities that exist within their, one of resilience, to avoid destructive parentification. This research was conducted to find the relationship between parentification and resilience. This research used the quantitative approach. Parentification was measured using Parentification Inventory (PI) which was constructed by Hooper (2009) and had been adapted to Indonesian context. Resilience was measured using Resilience Scale (RS-14) which constructed by Wagnild and Young (1993) and had been adapted to Indonesian context. The participants are 183 adolescences with low socioeconomic status. The main result of this research showed that parentification positive correlated significantly with resilience (r=0.320; p=0.000, significant at L.o.S 0.01). That mean, the higher parentification of one’s own, the higher his/her resilience."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S53611
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noer Widyanti Nurdin
"Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara karakteristik anak (jenis kelamin dan berat badan lahir), status gizi orangtua, pekerjaan ibu, asupan zat gizi makro (asupan energi total, karbohidrat, lemak dan protein), frekuensi makan dalam sehari serta durasi menonton TV dan bermain games dengan status gizi (kegemukan) pada anak di TK Islam Al-Azhar 03 Cirebon. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional. Uji statistik yang digunakan yaitu Chi Square. Besar sampel dalam penelitian ini adalah 134 anak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 32,1% anak mengalami kegemukan. Variabel yang memiliki hubungan bermakna yaitu status gizi ibu, pekerjaan ibu, asupan energi, asupan karbohidrat, asupan lemak, durasi menonton TV dan bermain games. Peneliti menyarankan agar orangtua menerapkan pola makan yang teratur dengan porsi cukup disertai gizi yang seimbang kepada anak serta melakukan aktivitas fisik secara rutin.

The aim of this study was to understand the relations between child's characteristics (sex and birthweight), nutritional status of parents, mothers?s occupation, macronutrients intake (total energy, carbohydrates, fat and protein), frequency of eating in a day, duration of watching television and duration of playing games with nutritional status (overweight/obese) among children at Al-Azhar 03 Islamic Kindergarten Cirebon 2012. Cross Sectional design was used in this study. Statistic test Chi Square was also used in this study. Total samples of this study were 134 children.
Results showed that 32,1% children were overweight/obese. Variables that significantly related were mother?s nutritional status, mother's occupation, total energy intake, carbohydrates intake, fat intake, duration of watching television and playing games. Author suggests that parents have to regulate child?s food pattern with sufficient portions and balance nutrition and also do physical activity regularly.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yoga Atha Andhika
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara preferensi pakaian dan status identitas pada remaja laki-laki dan perempuan. Dalam mencapai kejelasan identitas diperlukan eksplorasi dan komitmen. Perbedaan individu dalam melakukan kedua hal tersebut selanjutnya dikenal sebagai status identitas. Salah satu sarana yang dapat digunakan untuk melakukan eksplorasi adalah pakaian. Walaupun demikian, belum ada penelitian yang membahas hubungan dari preferensi pakaian dan status identitas. Dalam penelitian ini terdapat 82 partisipan laki-laki dan 104 partisipan perempuan yang dilibatkan. Alat ukur preferensi pakaian digunakan untuk menggambarkan preferensi pakaian partisipan dan Extended Version of the Objective Measureof Ego-Identity Status (EOM EIS II) digunakan untuk mengukur status identitas. Hasil utama penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara preferensi pakaian dan status identitas pada remaja laki-laki dan perempuan. Sementara, hasil yang sama juga terjadi pada pengujian hubungan antara status identitas dan subtahap usia remaja.

This study aimed to examine the relationship between clothing preference and identity status in adolescent boys and girls. In achieving identity, exploration and commitment is necessary. Individual differences in doing both of these are known as identity status. One of the tools that can be used to carry out exploration is clothing. However, no studies have addressed the relationship of clothing preferences and identity status. In this study, 82 male participants and 104 female participants were included. The clothing preference measuring tool used to describe clothing preference of the participants and EOM EIS II used to measure identity status. The main result of the study showed that there is no significant relationship between clothing preference and identity status in boys and girls adolescent. Meanwhile, the same result also occurs in testing the relationship between identity status and adolescence substages"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S63804
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muammar Emir Ananta
"Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi insiden TB terbanyak di dunia, dengan prevalensi TB sekitar 0,24%. Tingginya kasus TB di Indonesia disebabkan oleh iklim Indonesia yang tropis, serta lingkungan yang padat, kotor, basah, kumuh, dan miskin sehingga memudahkan bakteri Mycobacterium Tuberculosis untuk tumbuh. Jenis TB yang banyak ditemukan di Indonesia adalah TB paru. Anemia penyakit kronis adalah salah satu komplikasi tersering dari TB paru. Berdasarkan beberapa penelitian, anemia ini dapat meningkatkan kejadian komplikasi dan mortalitas pada pasien TB paru sehingga perlu diteliti lebih mendalam. Jadi, dilakukan penelitian tentang hubungan anemia dengan durasi gejala TB.
Penelitian ini menggunakan desain studi studi potong lintang. Sampel penelitian dikumpulkan dari rekam medis pasien RSUP Persahabatan melalui teknik. Pasien TB paru dikelompokan menjadi tiga kelompok berdasarkan durasi gejala tuberkulosis yang dialam, dengan jumlah subjek pada setiap kelompok adalah 49, 57, dan 44 subjek. Data dianalisis dengan uji ki kuadrat, kemudian dikur Odds Ratio Prevalensi anemia pada 150 subjek penelitian. Tidak terdapat perbedaan bermakna kejadian anemia pada pasien TB paru dengan durasi gejala. Namun, terdapat perbedaan bermakna kejadian anemia antara pasien TB paru kelompok durasi gejala lebih dari 3 bulan terhadap < 1 bulan.
Tingginya prevalensi anemia pada pasien TB paru disebabkan oleh beberapa mekanisme. Pertama, TNF-alfa dan IL-6 pada infeksi TB paru menyebabkan disregulasi homeostasis ion Fe2+ melalui peningkatan hepcidin dan DMT 1, serta penurunan ferroportin 1. Hal ini menyebabkan malabsorpsi ion Fe2+ dan peningkatan oleh makrofag. Kedua, penurunan produksi eritropoetin akibat inhibisi oleh IFN-gamma. Ketiga, penurunan respon CFU terhadap eritropoetin. Akibatnya, terjadi penurunan produksi Hb yang semakin memburuk pada pasien dengan durasi gejala lebih panjang. Selain itu, terjadi penurunan IMT yang memperburuk anemia. Prevalensi anemia pada pasien TB paru termasuk tinggi. Pada kelompok durasi gejala yang lebih panjang, proporsi kejadian anemia meningkat. Oleh karena itu, edukasi pada masyarakat perlu dilakukan untuk meningkatkan pemahaman tentang gejala TB paru dan pentingnya datang ke rumah sakit sesegera mungkin apabila mengalami gejala TB paru.

Indonesia is the country with the second highest incidence of tuberculosis (TB) in the world, with an approximate prevalence of 0,24%. The high number of TB cases in Indonesia is due to its tropical climate and its dense, dirty and humid environment, which makes it easier for Mycobacterium tuberculosis (MTB) bacteria to grow. Lung tuberculosis is the most common form of TB in Indonesia. One of the most frequent complications of lung TB is anemia, which can increase the occurrence of complications and mortality among TB patients according to several studies. Therefore, a study about the relationship between anemia occurrence and duration of TB symptoms in lung TB patients in conducted.
This is a cross-sectional study that uses consecutive sampling. The data was taken from medical records of patients diagnosed with lung TB in Persahabatan Central General Hospital during the year 2014-2018. Lung TB patiens were grouped according to their duration of symptoms. The number of subjects enrolled in each group were 49, 57 and 44 respectively. The data was analysed with chi-square test and the Odds Ratio (OR) was calculated for each group. The prevalence of anemia in lung TB patiens in the study is 58,67%. The proportion of lung TB patients who had anemia in each group were 83,67%, 54,39% and 36,36% respectively. There is no significant relation between the duration of symptoms and anemia occurrence between the 1-3 month group and the <1 month group. However, there is a significant relation between the duration of symptoms and anemia occurrence.
The high prevalence of anemia in Lung TB patiens can be caused by several mechanism. The first mechanism is iron homeostasis dysregulation due to the high levels of TNF-alpha and IL-6. These cytokines increase hepcidin levels and DMT 1 transporter expression and decrease ferroportin 1 expression, which cause iron malabsorption and macrophage iron retention. The second mechanism is decreased erythropoetin production due to inhibiton by IFN-gamma. The third mechanism is decreased CFU response to erythropoetin. As a result, Hb production is decresed in lung TB patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vilia Wibianty
"Latar belakang: Populasi lanjut usia (lansia) Indonesia diperkirakan akan terus meningkat. Kerapuhan dan penyakit periodontal merupakan kondisi kronis yang umum terjadi pada populasi lansia. Keduanya juga diketahui memiliki kesamaan dalam beberapa faktor risiko yang ada. Keterbatasan individu lansia dalam merawat diri sendiri merupakan dasar dari hubungan kerapuhan lansia dengan kondisi kesehatan periodontal. Tujuan: Menganalisis hubungan antara kerapuhan dengan status periodontal pada lansia. Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi cross-sectional. Pengambilan data dilakukan pada subjek lansia berusia ≥60 tahun. Pemeriksaan tingkat kerapuhan menggunakan kuesioner kerapuhan berdasarkan resistensi, aktivitas, penyakit, usaha berjalan, dan kehilangan berat badan. Status periodontal yang diperiksa berupa skor plak, indeks kalkulus, bleeding on probing (BoP), jumlah gigi, dan stage periodontitis. Hasil Penelitian: Total 60 subjek penelitian dengan 46,6% subjek mengalami kerapuhan. Terdapat korelasi bermakna antara kerapuhan dengan skor plak, indeks kalkulus, BoP, jumlah gigi, dan stage periodontitis pada lansia (p<0,05). Terdapat perbedaan bermakna pada skor plak antara kelompok subjek rapuh dengan normal (p=0,000), pada BoP antara kelompok subjek rapuh dengan normal (p=0,003) dan kelompok subjek prarapuh dengan rapuh (p=0,003), serta pada jumlah gigi antara kelompok subjek rapuh dengan normal (p=0,011) dan kelompok subjek prarapuh dengan rapuh (p=0,023). Kesimpulan: Tingkat kerapuhan berhubungan dengan status periodontal pada lansia.

Background: Population of elderly in Indonesia is expected to continue to increase. Frailty and periodontal disease are chronic conditions that are common in the elderly population. Both are also known to have similarities in several existing risk factors. The limitations of elderly individuals in taking care of themselves are the basis of the relationship between frailty of elderly and periodontal health conditions. Objective: To analyze the relationship between frailty and periodontal status in the elderly. Method: This research is a cross-sectional study. Data collection was carried out on elderly subjects aged ≥60 years. Examination of frailty using a frailty questionnaire based on resistance, activity, disease, effort to walk, and weight loss. Periodontal clinical parameters examined were plaque score, calculus index, bleeding on probing (BoP), number of teeth, and stage of periodontitis. Results: A total of 60 research subjects with 46.6% of subjects experiencing frailty. There was a significant correlation between frailty and plaque score, calculus index, BoP, numbers of teeth, and stage of periodontitis in the elderly (p<0.05). There were significant differences in plaque scores between frail and normal subject groups (p=0.000), in the BoP between the frail and normal subject groups (p=0.003) and the pre-frail and frail subject groups (p=0.003), and in the number of teeth between the subject groups. frail to normal (p=0.011) and pre-frail subjects to frail (p=0.023). Conclusion: Frailty is associated with periodontal status in the elderly."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>