Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 179016 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Atika Damayanti
"Latar belakang : Pruritus kronis adalah sensasi tidak menyenangkan yang mencetuskan keinginan untuk menggaruk, berlangsung enam minggu atau lebih. Pruritus sering dihubungkan dengan sejumlah kelainan sistemik. Salah satu kelainan sistemik tersering yang disertai pruritus kronis adalah kelainan hati hepatobilier kolestasis. Patofisiologi terjadinya pruritus kolestasis dihubungkan dengan peningkatan akumulasi mediator pruritogenik salah satunya yaitu asam empedu serum total (AEST) di darah perifer begitu juga di jaringan lunak termasuk kulit, yang secara normal diekskresikan ke empedu. Masih sedikit yang mengetahui kemungkinan peran peningkatan kadar AEST dengan kejadian pruritus.
Tujuan : mengetahui perbedaan rerata kadar AEST pada pasien geriatri tanpa dermatosis primer yang mengalami pruritus kronis dan tanpa pruritus kronis
Metode : penelitian ini merupakan penelitian potong lintang, dengan subyek penelitian sejumlah 80 orang, terdiri atas perempuan dan laki-laki usia ≥ 60 tahun. Subyek penelitian dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pruritus terdiri atas 40 pasien pruritus kronis, dan kelompok kontrol yang terdiri atas 40 pasien tanpa pruritus kronis. Kadar AEST dinilai menggunakan metode enzimatik kolorimetri, kemudian dianalisis perbedaan kadar AEST antar kedua kelompok.
Hasil: kadar AEST pada kelompok pruritus didapatkan median 4,5 μmol/L, dengan nilai minimum-maksimum yaitu 3-51 μmol/L. Kadar AEST pada kelompok non-pruritus didapatkan median empat μmol/L, dengan nilai minimum-maksimum 3-22 μmol/L, perbedaan ini tidak bermakna (p = 0,095).
Kesimpulan: Kadar AEST pada kelompok pruritus lebih tinggi dibandingkan kelompok non-pruritus, namun tidak bermakna secara statistik.

Background : Chronic pruritus is defined as an unpleasant sensation of the skin leading to the desire to scratch, which lasting six weeks or more. Pruritus is associated with numerous systemic disorders, and it is a common symptom of any cholestatic hepatobiliary disease. Its pathophysiology is attributed to progressive accumulation of pruritogenic mediators such as bile acid in the peripheral blood as well as in soft tissues including the skin, which are normally excreted into the bile. Little is known about the potential contribution of elevated total serum bile acids (TSBA) levels to pruritus.
Objective : to differentiate TSBA levels in geriatrics patients with chronic pruritus and without chronic pruritus.
Methods : this is a cross-sectional study comprising 80 patients men and women aged ≥ 60 years old, consist of 40 patients in chronic pruritic group, and 40 patients in non-pruritic group. The serum levels of bile acid were measured by enzymatic colorimetric methods, and the level TSBA were analyzed from the two groups.
Results : TSBA levels were detected higher in chronic pruritic group patients (median 4,5 μmol/L, minimum-maximum range 3-51 μmol/L), than in the non-pruritic group (median 4 μmol/L, range 3-22 μmol/L), the difference was insignificant (p = 0,095).
Conclusions : the serum bile acid levels are elevated in chronic pruritic patients but statistically insignificant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Era Mahyuli
"Latar Belakang : Salah satu dampak sistemik dari penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yaitu modifikasi tipe otot skeletal. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai tingkat kelelahan kaki dengan menilai skala Borg lelah dan asam laktat perifer sebagai penanda kelelahan kaki
Metode : Desain penelitian ini adalah studi potong lintang, terdiri dari 34 subjek PPOK dan 25 subjek kontrol sehat yang seusia dengan usia subjek PPOK. Subjek dinilai skala Borg kelelahan kaki lelah dan asam laktat perifer sebelum dan sesudah uji jalan 6 menit (UJ6M).
Hasil : Terdapat peningkatan lebih tinggi median asam laktat yang tidak bermakna (p > 0,05) secara statistik antara subjek PPOK (0,5) dibandingkan kontrol (0,45). Terdapat peningkatan median skala Borg lelah yang bermakna (p < 0,001) antara subjek PPOK (5,0) dibandingkan subjek kontrol (1,0). Terdapat jarak tempuh yang lebih besar secara bermakna pada subjek kontrol dibandingkan subjek PPOK (p < 0,05).
Kesimpulan : Kelompok PPOK memiliki peningkatan asam laktat yang tidak bermakna dibandingkan kelompok kontrol. Kelompok PPOK memiliki peningkatan skala Borg kaki lelah yang lebih besar dan berbeda bermakna dibandingkan dengan kontrol.

Background : One of systemic effects of COPD is a modification of skeletal muscle fiber types. The objective of this study is to determine the increase of leg fatigue by using Borg scale leg fatigue and lactic acid level.
Methods : This is a cross-sectional study design. The samples were 34 COPD patients and 25 healthy adults with the same age as COPD patients as the control. The lactic acid level and Borg leg fatigue scale were measured before and after six minute walking test (6MWT).
Results : There was an unsignificantly difference change of median of lactic acid level (p > 0,05) between COPD (0,5 mMol) compared to control (0,45 mMol). There was a statistically significant difference (p < 0,001) change of leg fatigue Borg scale between COPD (5,0) compared to control (1,0). There was a significantly (p < 0,05) higher mean of distance of 6MWT in control subjects (411,62 meters) compared to COPD (364 meters).
Conclusion : COPD patients had an unsignificantly increase of lactic acid level after the 6MWT compared to control subjects. COPD patients had a significantly higher leg fatigue Borg scale compared to control after the 6MWT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Putu Veny Kartika Yantie
"Latar Belakang: Saat ini masih terdapat perdebatan mengenai usia terbaik untuk dilakukan koreksi total pada tetralogi Fallot (TF). Koreksi lebih dini mempunyai keuntungan serta kerugian. Koreksi total TF saat usia yang terlambat dapat mengakibatkan disfungsi ventrikel kanan dan terkadang disfungsi ventrikel kiri. Parameter disfungsi ventrikel yaitu TAPSE, MPI, franksi ejeksi.
Tujuan: Untuk mengevaluasi durasi QRS, TAPSE, dan lama rawat ICU pasien TF yang dilakukan koreksi total ≤ 3 tahun lebih panjang dibandingkan koreksi total pada usia > 3 tahun.
Metode: Studi kohort retrospektif pada subjek pasien anak dan dewasa yang menjalani koreksi total, minimum pemantauan 6 bulan pasca-koreksi total. Analisis data menggunakan Mann Whitney U Test serta uji Chi square.
Hasil: Sebanyak 358 pasien TF telah menjalani koreksi total sejak 1 januari 2007 sampai 31 Juni 2013 dan sebanyak 52 subjek (18 subjek pada usia koreksi < 3 tahun dan 34 subjek dengan usia koreksi > 3 tahun) dengan median rentang lama pemantauan 24,5 dan 30 bulan. Rentang usia pada kelompok koreksi ≤ 3 tahun 1,8 (0,7-3) tahun dan kelompok koreksi > 3 tahun 5,2 (3,1-25,5) tahun. Rerata waktu PJP 79,1 (27,5) menit dibanding 78,8 (28,7) menit dan rerata aortic cross clamp 35,6 (13,2) dibanding 34,7 (19,1) menit tidak bermakna pada kedua kelompok. Penggunaan ventilator dengan median 1 hari, penggunaan chest tube dengan median 3 hari, lama penggunaan inotropik dengan median 2 hari tidak berbeda pada kedua kelompok. Terdapat abnormalistas rerata pengukuran RVMPI dan LVMPI pada kedua kelompok. Sebagian besar terdapat gangguan irama berupa complete RBBB, dan sekitar 50% didapatkan regurgitasi tricuspid. Residual stenosis pulmonal didapatkan pada 3/34 dan residual DSV pada 2/34 subjek pada koreksi > 3 tahun. Median lama rawat ICU [2 (1-9) hari dibanding 1,5 (1-46) hari, p=0,016] serta median durasi QRS [118 (78-140) ms dibanding 136 (80-190) ms, p=0,039] berbeda bermakna pada kedua kelompok, sedangkan tidak terdapat hubungan antara TAPSE dengan usia koreksi dengan RR 0,85; IK 95% 0,26-2,79 p=0,798.
Simpulan: Pasien TF yang dilakukan koreksi total ≤ 3 tahun memiliki durasi QRS lebih pendek, TAPSE yang tidak lebih baik dibandingkan dengan koreksi > 3 tahun, dan waktu rawat ICU lebih panjang.

Background: Timing for correction in patients with tetralogy of Fallot (TF) is controversial. Repair at < 3 years old shows good myocardial performance. Late repair can shows prolonged QRS duration, ventricular dysfunction with parameters myocardial performance index (MPI) and TAPSE, but longer intensive care unit (ICU) stays.
Aims: To evaluate QRS duration, right ventricle function measured by TAPSE, ICU length of stays (LOS) of patients after correction TF which is repaired in age ≤ 3 versus > 3 years old.
Methods: Cohort retrospective study was performed in children and adults who were underwent correction with minimal follow up was 6 months. The TAPSE and QRS duration was evaluated during follow up. We compared using Mann Whitney U test and Chi square test analyses.
Results: Among 358 children recruited, there were 52 subject completed the study, 18 in correction age ≤ 3 years old group and 34 at age > 3 years old group who underwent total correction since January 2007 – June 2013. Age when underwent total correction ranging from 7 months – 25 years old, with follow up data was took at 24-30 months after discharge. There were abnormalities at right ventricle and left ventricle MPI, but weren’t different between groups. There were a significant difference between ICU LOS [2 (1-9) days vs. 1.5 (1-46) days p=0.016] and QRS durations [118 (78-140) ms vs 136 (80-190) ms, p=0.039]. Aged repaired didn’t increase risk of having abnormality TAPSE (RR 0.85; 95% CI 0.26-2.79; p = 0.798).
Conclusion: TF total correction at ≤ 3 years old has shorter QRSdurations at follow up and longer ICU LOS. Correction at > 3 years old didn’t proven as a risk to have abnormality TAPSE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Rahma Wati
"Penyakit gagal ginjal kronis merupakan penyakit yang cukup kompleks dan menimbulkan beberapa tanda dan gejala yang membuat ketidaknyaman dan mempengaruhi kualitas hidup pasien. Pruritus merupakan salah satu gejala yang cukup sering terjadi pada pasien CKD terutama pasien dengan hemodialisis. Penyebab munculnya pruritus karena disregulasi kekebalan tubuh, xerosis, hiperparatiroidisme, akumulasi toksin uremik, disfungsi saraf, mekanisme histamin, dan mekanisme opioid. Masalah ini jika tidak diselesaikan maka akan menimbulkan masalah lain seperti ketidaknyamanan, gangguan tidur, luka bekas garukan, dan menurunkan kualitas hidup pasien. Masalah integritas kulit yang terjadi dapat ditangani dengan penerapan intervensi pemberian lotion pada pasien. Karya ilmiah ini akan menjelaskan terkait intervensi pemberian lotion berbasis ceramide pada pasien CKD dengan pruritus. Pemberian intervensi dilakukan setiap hari selama 7 hari rawat di ruang rawat inap secara rutin dan evaluasi dilakukan dengan Numeric Rating Scale setelah dilakukan perawatan penuh. Hasil intervensi menunjukkan perubahan skor gatal yang dirasakan pasien yaitu dari skala 10 menjadi skala 1. Kesimpulannya adalah penerapan lotion berbasis ceramide direkomendasikan untuk mengurangi pruritus pada pasien CKD dan meningkatkan kesejahteraan pasien selama masa perawatan.

Chronic kidney disease (CKD) is one of complex diseases which can cause signs and symptoms affecting the patient's comfort and quality of life. Pruritus is one of the most common symptoms of CKD patient undergoing hemodialysis. The causes of pruritus are for example immune system dysregulation, xerosis, hyperparathyroidism, toxic uremia accumulation, nervous dysfunction, histamine mechanism, and opioid use mechanism. This problem if left untreated can give rise to a number of other problems such as discomfort, sleep problems, wounded skin from scratching, and overall decease in quality of life. Skin integrity impairment can be treated with a lotion use intervention for the patient. This scientific paper will explain the intervention on the use of ceramide-based lotion for CKD patient with pruritus. The intervention is performed routinely every day for seven days in the inpatient ward with the evaluation using Numeric Rating Scale after intervention completion. The result of the intervention shows the reduction of itchiness score from 10 to 1. The conclusion is that the use of ceramide-based lotion is recommended to reduce pruritus in CKD patient to increase quality of life during hospitalization period.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ganot Sumulyo
"Latar Belakang: Kanker ovarium merupakan salah satu keganasan dengan kematian tertinggi pada wanita di seluruh dunia. Seringkali pasien dating dengan stadium lanjut dan memerlukan penanganan segera. Akan tetapi, terdapat berbagai penyebab terjadinya pemanjangan waktu tunggu operasi. Hal ini mungkin dapat menyebabkan perburukan klinis saat dilakukan tindakan operatif pada pasien.
Tujuan: Menentukan hubungan antara lama waktu tunggu operasi dengan perburukan klinis pada pasien kanker ovarium stadium lanjut.
Metode: Penelitian kohort retrospektif dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia pada Januari 2019 hingga Juni 2019. Pasien kanker ovarium stadium lanjut yang dilakukan tindakan operatif diikutsertakan pada penelitian. Pasien yang terbukti tidak memiliki kanker ovarium stadium lanjut pada pemeriksaan histopatologi atau memiliki penyakit komorbiditas berat lainnya dieksklusi dari penelitian. Karakteristik dasar, waktu tunggu, status performa berdasarkan ECOG score, kadar haemoglobin dan albumin dasar, status nyeri, dan indeks massa tubuh dikumpulkan dan dilakukan analisis secara statistik.
Hasil: Didapatkan 90 subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Didapatkan 25,6% subyek mengalami perburukan status performa, 11,1% mengalami perburukan haemoglobin, 61,1% mengalami perburukan albumin, 14,4% mengalami perburukan nyeri, 32,2% mengalami perburukan indeks massa tubuh, dan 77,8% mengalami perburukan klinis. Didapatkan nilai cutoff 73 hari untuk menentukan pemanjangan waktu tunggu operasi.
Kesimpulan Terdapat hubungan bermakna antara waktu tunggu terapi dengan perburukan klinis pasien kanker ovarium stadium lanjut.

Background: Ovarian cancer is one of the highest fatalities for cancer in women worldwide. Patients often come in an advanced stage and require immediate treatment. However, there are various causes for the extension of the waiting time for surgery. This might cause clinical deterioration during the operation.
Objective: To determine the relationship between the length of time waiting for surgery and clinical deterioration in patients with advanced ovarian cancer.
Methods: A retrospective cohort study conducted at the National Center General Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia from January 2019 to June 2019. Patients with advanced stages of ovarian cancer who performed operative measures were included in the study. Patients who were proven not having advanced ovarian cancer on histopathological examination or had other severe comorbidities were excluded from the study. Baseline characteristics, waiting time, performance status based on ECOG score, haemoglobin and albumin levels, pain status, and body mass index were collected and analyzed statistically.
Results: There were 90 study subjects who met the inclusion criteria and did not meet the exclusion criteria. A total of 25.6% of subjects experienced a worsening of performance status, 11.1% experienced worsening of hemoglobin, 61.1% experienced worsening of albumin, 14.4% experienced worsening pain, 32.2% experienced a worsening of body mass index, and 77.8% experiencing clinical deterioration. A cutoff value of 73 days is obtained in order to determine the lengthening of the operating waiting time.
Conclusion There is a significant relationship between the waiting time of therapy with clinical deterioration in patients with advanced ovarian cancer.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58865
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henny Meitri A. R. P.
"Latar belakang: Angka kematian akibat kanker ovarium mencapai 54%. Hal ini dikarenakan sebagian besar kasus kanker ovarium datang pada stadium lanjut dan membutuhkan kualitas pembedahan prima untuk mencapai sitoreduksi optimal. Prediksi luaran operasi menjadi penting sebagai bahan pertimbangan antara benefit operasi dan morbiditas perioperatifnya. Salah satu model yang memprediksi luaran operasi dikembangkan oleh Suidan dkk. Skor prediksi ini melibatkan berbagai senter ginekologi onkologi, dilakukan secara prospektif dengan akurasi 75.8%. Untuk itu, dibutuhkan validasi terhadap model prediksi ini.
Tujuan: Menilai sensitivitas dan spesifisitas skor prediksi luaran operasi yang dikembangkan oleh Suidan dkk. pada pasien-pasien dengan kanker ovarium stadium III dan IV dengan cut-off point 9 dan beberapa cut-off point lainnya.
Metode: Penelitian observasional non-eksperimental dilakukan secara kohort (prospektif Januari 2018 - Mei 2019 dan retrospektif Januari 2015 - Desember 2017) di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta-Indonesia. Subjek penelitian adalah pasien-pasien dengan kanker ovarium stadium lanjut (stadium FIGO III dan IV) yang dilakukan operasi debulking primer. Validasi eksternal dilakukan pada skor Suidan yang menggunakan 3 parameter klinis dan 8 parameter hasil CT-Scan. Selain itu, 3 kriteria klinis dan 5 gambaran CT-Scan/MRI yang juga dicatat sebagai data tambahan.
Hasil: Diperoleh 57 subjek, terdiri dari 28 operasi suboptimal dan 29 operasi optimal. Skor dengan cut-off point 7 memiliki nilai sensitivitas 60,71% dan spresifisitas 75,68% (OR 4,86; 95% CI 1,55-15,18) dan akurasi 68,42%. Cut-off point ini lebih baik dibandingkan cut-off point 9 pada penelitian aslinya (sensitivitas 53,56% dan spresifisitas 75,68% dan akurasi 64.91%). Berdasarkan analisis bivariat dan multivariat dikembangkan skor lokal menggunakan beberapa parameter; kadar albumin darah < 3,5 g/dL (skor 2), gambaran massa pada porta hepatis atau kantung empedu (skor 1), lesi pada subkapsular hepar atau intraparenkim hepar (skor 4), dan omental cake yang luas (skor 4). Hasil signifikan tampak pada analisis mean skor yang lebih tinggi pada operasi suboptimal (7,61 ± 3,19) dan nilai akurasi 86%. Pada cut-off point 7, sensitivitas dan spesifisitas yang dihasilkan adalah 85,71% dan 72,22% dengan akurasi 77,19%.
Simpulan: Skor Suidan dkk. belum dapat diterapkan di RSCM karena sensitivitas dan spesifisitas yang relatif rendah. Skor lokal dengan cut-off point 7 pada penelitian ini dapat dikembangkan untuk penggunaannya lebih lanjut.

Background: Optimal cytoreduction operation and chemotherapy are the cornerstone management of advanced stage ovarian cancer. The mortality of ovarian cancer is as high as 54%. Ovarian cancer is mostly present at late stage and in need of excellent cytoreductive surgery if not extensive surgery to reach optimal debulking. Prediction of cytoreduction outcome is necessary to be incorporated in advanced ovarian cancer management to aim for optimal cytoreduction with minimal morbidity. One of the predictive models established by Suidan et. al. (multicenter prospective trial with accuracy 75.8%) could act as an alternative non-invasive model and should be validated.
Objectives: To determine sensitivity and specificity score developed by Suidan et.al. on patients with stage III and IV ovarian cancer.
Methods: Observation non-experimental study was conducted (prospectively January 2018 – May 2019 and restrospectively January 2015 – December 2017) at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta-Indonesia after ethical clearance. Subjects are patients with ovarian cancer FIGO stage III and IV who underwent primary debulking surgery. External validation was performed for Suidan’s score which used 3 clinical parameters and 8 CT-scan parameters. Moreover, three other clinical features and five other advanced imaging results were included.
Results: Fifty-seven subjects were included, consist of 28 suboptimal debulking and 29 optimal debulking. Score with cut-off point 7 has sensitivity value 60.71% and specificity of 75.68% (OR 4.86; 95% CI 1.55-15.18) with accuracy 68.42%. They were better than original cut-off points 9 (sensitivity 53.56%, specificity 75,68%, and accuracy 64.91%). Based on bivariate and multivariate results, local score was developed and established with several parameters; blood albumin < 3.5 g/dL (score 2), image of mass on porta hepatis and gall bladder (score 1), lesion of subcapsular and intraparenchymal liver, and vast omental cake (score 4). Mean of the score was significantly higher on suboptimal debulking (7.61 ± 3.19) with accuracy 86%. Cut-off points 7 showed sensitivity value of 86.71% and specificity 0f 72.22% (accuracy 77.19%).
Conclusion: The Suidan’s prediction score could not provide good sensitivity and specificity to be used at RSCM. Local score should be developed to be used at RSCM, the local score in this study could be sat as a beginning.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58918
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Sudiyanto
"Kebugaran fisik yakni kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan secara efisien tanpa timbul kelelahan berlebihan sehingga masih dapat menikmati waktu luangnya. Tesis ini bertujuan untuk mengetahui gambaran status kebugaran dan hubungannya dengan kelelahan pada operator haul truck PT A kalimantan selatan. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan menggunakan desain penelitian cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan responden yang berstatus bugar sebesar 59,7 dan tidak bugar sebesar 40,3. Tidak ada hubungan antara usia, IMT, Kadar oksigen dalam darah, kebiasaan merokok, dan kebiasaan olahraga, namun terdapat hubungan signifikan antara obesitas sentral dengan kebugaran pada operator haul truck PT A Kalimantan Selatan. Penelitian ini menyarankan pengukuran kebugaran dengan YMCA 3 minutes step test agar hasil objektif dan melakukan evaluasi terhadap gizi kerja.

Physical fitness is the ability of a person to do the job efficiently without excessive fatigue so he can still enjoy his spare time. This thesis aims to find out the description of the fitness status and its relation to fatigue on haul truck operator PT A South Kalimantan. This research is analytical descriptive by using cross sectional research design. The result of the research shows that the respondent is in fitness condition 59,7 and not fitness for 40,3. There is no relationship between age, BMI, blood oxygen levels, smoking habits, and exercise habits, but there is a significant relationship between central obesity and fitness in haul truck operator PT A South Kalimantan. This study suggests fitness measurements with the YMCA 3 minutes step test for objective outcomes and evaluation of work nutrition.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T49935
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kuspuji Dwitanto Rahardjo
"Latar Belakang: Beberapa penelitian telah menunjukkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas yang diakibatkan oleh kongesti paru pada pasien hemodialisis. Pemeriksaan yang dilakukan selama ini untuk menentukan pasien telah bebas kongesti paru atau dianggap mencapai berat badan kering adalah dengan menggunakan pemeriksaan fisik. Penilaian kemampuan pemeriksaan fisik untuk deteksi kongesti paru belum jelas.
Tujuan: Untuk membandingkan kemampuan pemeriksaan fisik dengan ultrasonografi paru dalam menilai kongesti paru pada pasien hemodialisis.
Metode: Penelitian potong lintang terhadap data primer pasien hemodialisis yang menjalani dialisis kronik di RSCM antara Juni sampai Juli 2015. Analisis dilakukan untuk mendapatkan proporsi, sensitifitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif disertai dengan rasio kemungkinan positif.
Hasil: Jumlah sampel yang diteliti adalah 60 pasien. Pada pemeriksaan interobserver di 20 pasien didapatkan angka korelasi interobserver kappa 0,828. Pada pemeriksaan keseluruhan 63 pasien didapatkan kongesti paru pada 36 pasien (57,1 %), yaitu kategori ringan 24 (38,1 %) dan sedang 12 (19 %). Pada pemeriksaan DVJ dibandingkan dengan USG paru didapatkan angka Sensitivitas = 0,47 (IK95% 0,31-0,63), spesifisitas = 0,73 (IK95% 0,54-0,86), Nilai Duga Positif = 0,51 (IK95% 0,36-0,67), Nilai Duga Negatif = 0,70 (IK95% 0,49 - 0,84), Rasio Kemungkinan Positif = 1,75 (IK95% 0,88 - 3,47), Rasio Kemungkinan Negatif = 0,72 (IK95% 0,47 - 1,12). Sedangkan untuk pemeriksaan auskultasi paru didapatkan sensistivitas = 0,56 (IK95% 0,39 - 0,71), spesifisitas = 0,54 (IK95% 0,35 - 0,71), NDP = 0,61 (IK95% 0,44 - 0,76), NDN = 0,48(IK95% 0,31 - 0,66), RKP = 1,21 (IK95% 0,73 - 2,0) dan RKN = 0,82 (IK95% 0,49 - 1,38).
Simpulan: Akurasi pemeriksaan DVJ dan auskultasi paru fisik tidak baik dalam mendiagnosis kongesti paru. Proporsi kongesti paru pada pasien-pasien hemodialisis kronik yang telah mencapai berat badan kering di RSUPN CM adalah 57,1%.

Background: A few research has shown hemodialysis patient with lung congestion had a high morbidity and mortality. Patient was assumed to be lung congestion free if they had reached their dialysis dry weight. To achieve this usually physical examination were used. The accuracy of physical examination in detecting lung congestion has not been established yet.
Objective: To compare the capability of physical examination in compare with lung ultrasound in detection of lung congestion.
Methods: A cross sectional data collection was done in hemodialysis patients in RSUPN CM between June to July 2015. Analysis was done to obtain proportion,sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value and positive likelihood ration.
Results: Sixty patients were obtained as sample. From the inter observer of 20 patients we found the kappa was 0,828. From th all 60 patients, we found 36 patients (57,1 %) had lung congestion. Mild lung congestion were found in 24 (38,1 %) and 12 (19 %) had moderate degree. In the analysis comparing jugular venous pressure to lung ultrasound we found sensitivity = 0,47 (CI95% 0,31 - 0,63), specificity = 0,73(CI95% 0,54 - 0,86), Positive Predictive Value (PPV) = 0,51 (CI95% 0,36 - 0,67), Negative Predictive Value (NPV) = 0,70 (CI95% 0,49 - 0,84), Positive Likelihood Ratio (PLR) = 1,75 (CI95% 0,88 - 3,47), Negative Likelihood Ratio (NLR) = 0,72 (CI95% 0,47 - 1,12). For lung auscultation we found sensitivity = 0,56 (CI95% 0,39 - 0,71), specificity = 0,54 (CI95% 0,35 - 0,71), PPV = 0,61 (CI95% 0,44 - 0,76), NPV = 0,48 (CI95% 0,31 - 0,66), PLR = 1,21 (CI95% 0,73 - 2,0) and NLR = 0,82 (CI95% 0,49- 1,38).
Conclusions: Jugular venous distention and lung auscultation examination is not good in detection of lung congestion. The proportion of lung congestion in hemodialysis patients in RSUPN CM is 57,1%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Krishna Pandu Wicaksono
"Pruritus adalah salah satu komplikasi yang cukup sering ditemui pada pasien hemodialisis. Salah satu faktor yang berkontribusi untuk terjadinya pruritus adalah tingginya kadar kalsium serum. Kalsium dalam jumlah besar dapat berikatan dengan fosfat membentuk kristal. Kristal ini bila terdeposisi di kulit akan merangsang ujung saraf sehingga menimbulkan gatal. Penelitian kami mencari hubungan antara kadar kalsium serum dengan derajat pruritus dalam VAS.
Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dan dilakukan pada 108 pasien hemodialisis di Bangsal Hemodialisis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Februari 2009. Setiap pasien dianamnesis untuk dinilai derajat pruritusnya dan diambil data pemeriksaan kadar kalsium serumnya pada bulan Februari 2009. Berdasarkan kadar kalsium serumnya, pasien dibagi menjadi kelompok hiperkalsemia dan normal dengan batas 11 mg/dl. Lalu dilakukan uji statistik untuk menilai hubungan skor VAS pruritus dengan kadar kalsium serum pasien.
Dilakukan juga uji untuk menilai korelasi skor VAS pruritus dengan kadar kalsium serum. Pasien berumur rerata 50,48 ± 13,44 tahun, terdiri dari 57,4% pria dan 42,6% wanita, dan lama HD rerata 2,3 (0,3-17,5) tahun. Sebanyak 54 pasien (50%) mengeluhkan pruritus dengan berbagai derajat. Dengan uji Mann-Whitney didapatkan perbedaan yang bermakna antara skor VAS pruritus pada kelompok pasien yang kadar kalsiumnya normal dengan kelompok pasien hiperkalsemia (p<0,001). Dengan uji Spearman ditemukan korelasi positif sedang (r=0,495) yang bermakna (p<0,001) antara kadar kalsium pasien dengan skor VAS pruritus pasien. Disimpulkan bahwa kadar kalsium serum berpengaruh terhadap ada tidaknya dan derajat pruritus pada pasien hemodialisis kronik.

Pruritus is one of the most commonly found complication in hemodialysis patient. One factor that is proposed to be contributing in pruritus is the high serum calcium concentration. High numbers of calcium molecules in the blood may bond with phosphate to form crystals. These crystals, when aggravated in the skin, may stimulate nerve endings and cause pruritic sensation.
In this study, we try to find the association between the severity of pruritus, measured with Visual Analog Scale (VAS), with the concentration of serum calcium. We use croos sectional method for this study. A total of 108 hemodialysis patients in Bangsal Hemodialisis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo were studied in February 2009. Each patient was interviewed for assessment of the level of pruritus. We also noted their data of serum calcium concentration on February 2009. We categorized patients with calcium serum concentration >11 mg/dl into hypercalcemia group and those with calcium serum concentration <11 mg/dl into normal group. The patients have mean age of 50,48 ± 13,44 years and a mean duration of hemodialysis of 2,3 (0,3-17,5) years, 57,4% were male and 42,6% were female.
By Mann-Whitney analysis, there was strong difference between pruritus VAS score of the hypercalcemia groups and the normal group (p<0,001). Also, by Spearmann analysis, there was significant (p<0,001), moderate positive correlation (r=0,495) between serum calcium concentration with the pruritus VAS score. It was concluded that the calcium serum concentration has significant influence on the existence and degree of pruritus in hemodialysis patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sutrisno
"Tujuan: Mengetahui pengaruh mutasi patogenik BRCA1/2 tumor terhadap kesintasan pasien advanced stage-high grade serous epithelial ovarian cancer di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, RSUP Persahabatan, dan RS MRCCC Siloam Jakarta.
Metode: Sejumlah 68 sampel dari 144 pasien diagnosis high-grade serous epithelial ovarian cancer (HGSOC) stadium FIGO IIB-IV, periode 1 Januari 2015 sampai 31 Maret 2021, di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, RSUP Persahabatan, dan RS MRCCC Siloam Jakarta, menjalani pemeriksaan NGS mutasi patogenik BRCA1/2 tumor, dilibatkan dalam penelitian kohort historikal ini. Kami membandingkan karakteristik klinikopatologis pasien, dan hasil luaran kesintasan, setelah pasien menjalani tatalaksana primer, berdasarkan status mutasi patogenik BRCA1/2 tumor. Faktor terkait tatalaksana, yang diperkirakan berpengaruh terhadap hasil luaran kesintasan pasien, juga turut dianalisis dalam penelitian ini.
Hasil: Angka kejadian mutasi patogenik BRCA1/2 tumor diketahui sebesar 27,94% (19/68). Antara kelompok mutasi patogenik BRCA1/2 tumor, dengan kelompok tanpa mutasi patogenik, tidak terdapat perbedaan statistik signifikan berdasarkan usia, paritas, indeks massa tubuh (kg/m2), riwayat kanker payudara, stadium FIGO 2014, kadar CA125 serum pre operatif (U/mL), volume cairan ascites intra operatif (mL), lesi residual pasca laparotomi debulking, pemberian neoadjuvant chemotherapy (NACT), pemberian kemoterapi adjuvant. Riwayat kanker keluarga terkait HBOC, merupakan variabel paling berpengaruh terhadap mutasi patogenik BRCA1/2 tumor. Kelompok dengan riwayat kanker keluarga terkait HBOC, berisiko 5,212 kali lebih besar mengalami mutasi patogenik BRCA1/2 tumor, dibandingkan dengan kelompok tanpa riwayat kanker tersebut (RR adjusted 5,212; 95%CI 1,495-18,167; nilai p=0,010).
Pada kelompok mutasi patogenik BRCA1/2 tumor, kemungkinan meninggal 86% lebih rendah (RR adjusted 0,149; 95%CI 0,046-0,475; nilai p=0,001), dan median survival yang lebih baik (median 46 bulan; 95%CI 34,009-57,991; nilai p=0,001), apabila dibandingkan dengan kelompok tanpa mutasi patogenik (median 23 bulan; 95%CI 15,657-30,343; nilai p=0,001). Analisis multivariat menunjukkan mutasi patogenik BRCA1/2 tumor merupakan faktor prognostik independen yang baik terhadap hasil luaran kesintasan (RR adjusted 0,149; 95%CI 0,046-0,475; nilai p=0,001).
Kesimpulan: Pasien advanced stage-high grade serous epithelial ovarian cancer, dengan mutasi patogenik BRCA1/2 tumor, memiliki kesintasan lebih baik, dibandingkan pasien tanpa mutasi patogenik BRCA1/2 tumor.

Objective: To evaluate the impact of pathogenic BRCA1/2 tumor mutational status on advanced stage- high grade serous epithelial ovarian cancer survival outcome at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, RSUP Persahabatan, and RS MRCCC Siloam Jakarta.
Methods: A total 68 of 144 patients diagnosed with FIGO 2014 stage IIB-IV high grade serous epithelial ovarian cancer (HGSOC) between January 1st, 2015 until March 31st, 2021, at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, RSUP Persahabatan, and RS MRCCC Siloam Jakarta, underwent NGS tumor BRCA1/2 gene testing, and were included in this cohort hystorical study. We compared patients clinicopathological characteristics, and survival outcomes after primary treatment, according to pathogenic BRCA1/2 tumor mutational status. Treatment-related factors that might affect patients’ survival outcome were also investigated.
Results: The BRCA1/2 pathogenic tumor mutations prevalence was observed in this study 27.94% (19/68). There were no significant statistical differences in age, parity, body mass index (kg/m2), previous breast cancer history, FIGO 2014 staging, pre-operative serum CA 125 level (U/mL), intra operative ascites volume (mL), post cytoreductive surgery residual lesion, neoadjuvant chemotherapy (NACT), and adjuvant chemotherapy administration, between the pathogenic tumor BRCA1/2 mutation, and no pathogenic tumor BRCA1/2 mutation groups. The hereditary breast ovarian cancer family history (HBOC) variable has the strongest correlation with pathogenic tumor BRCA1/2 mutation. The group with a family history of HBOC-related cancer had a 5.212 times greater risk of developing pathogenic BRCA1/2 tumor mutations, compared with the group without a history of those cancer (RR adjusted 5.212; 95%CI 1.495-18.167; p value=0.010).
The pathogenic BRCA1/2 tumor mutation group displayed better survival outcome. In the pathogenic BRCA1/2 tumor mutation group, the likelihood of dying was 86% lower (RR adjusted 0.149; 95%CI 0.046-0.475; p-value=0.001), and the median survival was better (median 46 months; 95%CI 34.009- 57.991; p value=0.001), than without pathogenic BRCA1/2 tumor mutations group (median 23 months; 95%CI 15.657-30.343; p value=0.001). The multivariate analyses identified pathogenic BRCA1/2 tumor mutation as an independent favorable prognostic factor for survival outcome (RR adjusted 0.149; 95%CI 0.046-0.475; p-value=0.001).
Conclusions: In advanced stage-HGSOC, patients with pathogenic BRCA1/2 tumor mutations have a better prognosis with longer survival outcome than those without pathogenic BRCA1/2 tumor mutations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>