Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175310 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Sulistia Gunawan Ganiswarna
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1985
S70307
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Selvinna
"Di Indonesia, dunia obat-obatan tidak terbatas pada bahan yang berasal dari zat kimia/obat modern. Besarnya kebutuhan akan obat menyebabkan meningkatnya penggunaan bahan atau senyawa dari bahan alam sebagai zat berkhasiat, di samping penggunaan obat dari bahan alam lebih ekonomis dan efek sampingnya lebih sedikit. Salah satu jenis obat dari bahan alam yang menguasai pasaran dan digemari masyarakat Indonesia adalah obat-obat tradisional Cina, yang dalam berbagai bentuk sediaan dan indikasi dijual secara bebas di hampir seluruh kota di Indonesia, baik dengan status terdaftar maupun tidak terdaftar. Obat-obat tradisional Cina telah digunakan sejak ribuan tahun yang lalu, dan dalam periode yang panjang ini masyarakat Cina telah menyusun farmakope raksasa yang berisi ribuan formula obat untuk berbagai penyakit yang dipercaya khasiatnya secara empiris. Obat tradisional Cina biasanya memiliki komposisi yang merupakan kombinasi dari beberapa bahan alami. Kombinasi ini bertujuan untuk meningkatkan kerja bahan utama dari komposisi tersebut, atau untuk mengurangi efek samping bahan utama tersebut. Obat tradisional Cina telah dipercaya memiliki efek antitumor, memperbaiki sistem kardiovaskuler dan hemostasis, antipiretik, dan sebagai imunomodulator. Sayangnya, hingga kini data kimia dan biologi dari komposisi obat tradisional tersebut masih sangat terbatas sehingga sulit menentukan zat mana yang merupakan zat aktif utama yang menyebabkan efek terapi. Demikian pula, sulit menentukan zat mana yang dapat menyebabkan efek samping dan toksisitas, sehingga memang tidak mudah menentukan efektivitas dan keamanan obat tradisional Cina. Salah satu dari sekian banyak obat tradisional Cina yang tersedia luas di pasaran adalah Pien Tze Huang, yang dipercaya memiliki khasiat dalam mengatasi penyakit hati, keganasan, dan berbagai penyakit inflamasi seperti gingivitis, abses, dan sebagainya. Hingga kini terdapat beberapa publikasi percobaan hewan yangmembuktikan efek protektif Pien Tze Huang pada sel hati, namun di Indonesia belum pemah dilakukan penelitian obat ini pada manusia. Di Indonesia terdapat kebiasaan pada sebagian pasien untuk menggunakan Pien Tze Huang setelah operasi agar luka operasi cepat sembuh dan tidak infeksi. Walaupun kebiasaan ini telah dijalankan selama puluhan tahun tanpa menimbulkan efek yang tidak diinginkan, belakangan terdapat laporan terjadinya perdarahan pada pasien pasca bedah yang menggunakan Pien Tze Huang. Namun hubungan antara terjadinya perdarahan dengan penggunaan Pien Tze Huang tersebut masih belum jelas, sehingga penelitian ini dilakukan untuk menilai efek Pien Tze Huang terhadap parameter hemostasis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T 16200
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Ali Hanafiah
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57285
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhti Okayani
"Di Indonesia, malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian.Obat malaria yang digunakan dalam program Nasional di Indonesia yaitu kombinasi Artesunat dengan Amodialuin, di laboratorium amodiakuin sudah terbukti bereaksi silang dengan klorokuin sehingga dikhawatirkan kombinasi artesunat-amodiakuin penggunaannya tidak akan bertahan lama di Indonesia. Hal ini didukung dengan data di lapangan yang memperlihatkan variasi efektifitas artesunat-amodiakuin di berbagai daerah malaria. Laporan uji efikasi artesunat-amodiakuin di Lampung memperlihatkan efektifitasnya 80% terhadap P.falciparum. karena itu diperlukan kombinasi artemisinin lain yang aman, efektif, murah, dapat digunakan balk Untuk P.falciparum dan P.vivax serta tidak mengandung komponen yang bereaksi silang dengan klorokuin_ Untuk itu digunakan alternatif kombinasi Dihidroartemisinin --- Piperakuin sebagai pilihan.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan risiko kejadian yang tidak diitiginkan pada terapi dengan pengobatan kombinasi dihidroartemisinin-piperakuin dibandingkan terapi Artestinat-Amodiakuin untuk penderita malaria P.falciparum tanpa komplikasi. Penelitian dilakukan di Puskesmas Hanura, Kabupaten Lampung Selatan, propinsi Lampung. Desain penelitian yang digunakan merupakan penelitian Uji Klink Acak terkontrol atau Randomized Controlled Trial (RCT), Uji klinis terbuka (open trial) . Penelitian dilakukan mulai September 2005 sampai November 2006. Dengan pertimbangan waktu, tenaga dan biaya, pada penelitian ini menggunakan jumlah sampel sebanyak 106 orang (55 orang untuk dihidroartemisinin-piperakuin dan 51 orang untuk artesunat-amodiakuin). Analisis statistik yang dilakukan adalah analisis univariat, bivariat dengan Chi Square dan multivariat dengan logistic regression dengan backward elimination.
Proporsi kejadian yang tidak diinginkan yang timbul dengan pemakaian obat malaria DHA-Piperakuin , yaitu Sakit kepala, lesu dan lemah, gangguan pada sistim gastro intestinal, dan Gangguan lain pada hari 1-3 adalah 69%, 67%, 60%, 67% berurutan, dan untuk Artesunat-Amodiakuin 67%, 67%, 76,5%, 67% berturutan. Pada hari 7-28 kejadian yang tidak diinginkan yang timbul dengan pemakaian obat malaria DHA-Piperakuin seperti disebutkan diatas, yaitu 24%, 7%, 9%, 24% berurutan, dan untuk Artesunat-Amodiakuin 24%, 18%, 14%, 23,5% berturutan. Perbandingan proporsi terjadinya kejadian yang tidak diinginkan dengan penggunaan obat DHA-Piperakuin mempunyai risiko relatif lebih sedikit atau hampir sama dibandingkan penggunaan obat Artesunat-Amodiakuin.

Malaria needs to be taken into consideration in Indonesia, in particular in Eastern part, as its incidence rate is still high thereby causing high mortality rate amongst the children under five years of age and bearing women. To date, a drug combination of Artesunate-Amodiaquine is widely used by the Indonesia National Program. However, this combination seems unlikely to be chosen in the future as Amodiaqume was experimentally proven to cause a cross-reaction to Chloroquine. Moreover, several data from the field showed a wide diversity of the effectivity of this drug combination, In example, an efficacy trial performed in Lampung has shown the 80% effectivity of this combination drug administration. Consequently, another drug combination,.e.g. Dihydroartemisinine (DHA) - Piperaquine to be considered as an alternate drug of choise.
This study aims to investigation the risk discrepancies of Adverse Event (AEs) between DHA-Piperaquine and Artesunate-Amodiaquine administration during therapy in P.falciparum malaria patients without complication. This study uses a randomized Controlled Trial (RCT), open trial was conducted at health district Hanura, South Lampung from September 2005 to November 2006. 106 subjects (55 with DHA-Piperaquine and 51 with Artesunate Amodiaquine administration) were included due to time, financial and energy constraints in this study. Findings were analyzed using linivariate, Bivariate with the Chi Square test and the logistics regression with backward elimination (Multivariate analysis).
This study result shows that on day 1 to 3, the AEs due to DHA - Piperaquine administration were headache, weakness, gastrointestinal disturbance, an others of 69%, 67%, 60%, 67% respectively, while those of Artesunate - Amodiaquine were of 67%, 67%, 76,5%, 67% respectively. On day 7 to 28, the AEs due to DHA Piperaquine administration were definitely similar to above mention AEs of 24%, 7%, 9%, 24% respectively, while AE rate after Artesunate-Amodiaquine administration were 24%, 18%, 14%, 23,5% respectively. The DHA-Piperaquine appeared to have less or almost the same the mild AEs of Artesunate-Amodiaquine administration."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19034
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hema Novita Rendati
"Rifampisin dan isoniazid merupakan regimen pengobatan tuberkulosis utama yang memerlukan pengukuran kadar dalam darah untuk mengoptimalkan proses pengobatan dan mencegah resistensi. Metode biosampling yang sering digunakan memiliki keterbatasan terkait kenyamanan pasien. Volumetric Absorptive Microsampling (VAMS) hadir untuk mengatasi keterbatasan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan mengaplikasikan teknik biosampling VAMS untuk analisis rifampisin dan isoniazid pasien tuberkulosis menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi-photodiode array. Sampel VAMS diekstraksi menggunakan 1 mL asetonitril dengan baku dalam cilostazol dan dianalisis menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi pada suhu kolom 40°C yang terdeteksi pada 261 nm. Fase gerak yang digunakan terdiri dari 50mM buffer amonium asetat pH 5,0-asetonitril-metanol (40:30:30) dengan laju alir 0,5 mL/menit selama 15 menit. Metode ini telah memenuhi persyaratan parameter validasi yang ditetapkan oleh FDA tahun 2018 yaitu selektivitas, carry-over, batas bawah kuantifikasi, linearitas, akurasi, presisi, perolehan kembali, integritas pengenceran, dan stabilitas. Analisis dilakukan dengan kurva kalibrasi pada kisaran 1,0–30 μg/ml untuk rifampisin dan 0,4-20 μg/ml untuk isoniazid. Hasil analisis dari 21 pasien tuberkulosis RSUD dr. Chascullah Abdulmadjid Kota Bekasi menunjukkan bahwa 52,38% pasien memiliki konsentrasi darah yang rendah pada setidaknya salah satu obat, 28,57% pasien berada dalam kisaran terapeutik, dan 23,81% memiliki konsentrasi isoniazid yang tinggi dalam darah. Penyesuaian dosis diperlukan untuk sebagian besar pasien yang memiliki konsentrasi subterapetik. Metode ini efektif untuk mendukung pemantauan terapi rifampisin dan isoniazid terkait kenyamanan dan keamanan pasien.

Rifampicin and isoniazid are anti-tuberculosis drugs that require measurement of blood levels to optimize the treatment process and prevent resistance. The conventional biosampling technique often used has limitations related to patient comfort. Volumetric Absorptive Microsampling (VAMS) exists to overcome it. This study aims to develop and apply the VAMS technique for the analysis of rifampicin and isoniazid in tuberculosis patients using a high-performance liquid chromatography-photodiode array. VAMS samples were extracted using 1 mL of acetonitrile with internal standard cilostazol and analyzed using high-performance liquid chromatography at a column temperature of 40°C detected at 261 nm. The mobile phase used consisted of 50 mM ammonium acetate buffer pH 5.0, acetonitrile, and methanol (40:30:30) with a flow rate of 0.5 mL/minute for 15 minutes. This method has met the validation parameter requirements set by the FDA in 2018, namely selectivity, carry-over, lower limit of quantification, linearity, accuracy, precision, recovery, dilution integrity, and stability. Analysis was carried out with a calibration curve in the range of 1.0–30 μg/ml for rifampicin and 0.4–20 μg/ml for isoniazid. The results from 21 tuberculosis patients of RSUD Dr. Chascullah Abdulmadjid Bekasi showed that 52.38% of patients had low blood concentrations of at least one of the drugs, 28.57% of patients were in the therapeutic range, and 23.81% had high concentrations of isoniazid. Dosage adjustments are necessary for most patients who have subtherapeutic concentrations. This method is effective in supporting the monitoring of rifampicin and isoniazid therapy regarding patient comfort and safety."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suci Purnama
"ABSTRAK
Cidera hati yang di induksi obat atau drug induced liver injury DILI adalah kerusakan hati yang ditimbulkan oleh obat atau metabolitnya. Isoniazid INH dan Rifampisin RMP merupakan salah satu obat yang menimbulkan DILI. Terapi DILI hanya bersifat suportif. Deteksi dini dan penarikan obat yang di curigai merupakan langkah penting dalam pencegahan kegagalan hati yang lebih berat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek protektif dari tindakan akupunktur terutama antioksidan Glutathione pada tikus dengan DILI. Penelitian ini dilakukan pada 24 ekor tikus Sprague Dawley, yang di bagi 4 kelompok yaitu kelompok akupunktur, kelompok sham, kelompok kontrol dan kelompok kontrol sehat. Pada kelompok akupunktur dan sham dipasang press needle pyonex, selama 5 hari di stimulasi dan 2 hari dilepas, terapi dilanjutkan sampai 21 hari. Kelompok akupunktur dipasang press needle pada titik GB34 Yanglingquan, ST36 Zusanli dan BL18 Ganshu, kelompok sham pada daerah diluar titik akupunktur. Efek akupunktur pada DILI diperiksa melalui kadar serum glutamate pyruvate kinase SGPT , serum glutamate oxaloasetat transaminase SGOT , antioksidan glutathione GSH plasma dan jaringan. Hasil penelitian didapatkan penurunan kadar SGPT pada kelompok akupunktur dengan p

ABSTRACT<>br>
Drug-induced liver injury (DILI) is liver damaged caused by drugs or its metabolites. Isoniazid(INH) and Rifampicin (RMP)are among the drugs that caused DILI. The therapy for DILI is only supportive. Early recognition and prompt withdrawal of the drug is essential in preventing serious hepatic failure. This study aims to see the protective effects of acupuncture, through antioxidants Glutathione on liver injury. This study was conducted on 24 Sprague Dawley rats which were divided into 4 groups: acupuncture group, sham group, control group and healthy control group. In acupuncture and sham group was needling with press needle pyonex for 5 consecutive days and release needle for 2 days, the treatment continues for 21 days. Acupuncture effect for DILI was investigated from serum glutamate pyruvate kinase (SGPT), serum glutamate oxaloacetate transaminase (SGOT), plasma and tissue glutathione (GSH) antioxidant levels. The result showed significant decrease in SGPT levels in the acupuncture group (p <0.001) and no decrease in SGOT level with (p=0.321). There was no significant increase in GSH levels of tissue with (p=0.321). There was no significant increase in plasma GSH levels (p=0.021). Acupuncture have a protective effect on the liver with a significant decrease in SGPT levels, but antioxidant GSH plasma and GSH tissue did not showed a significant increase."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58855
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farhan Ramadhan
"

Pasien pediatri merupakan golongan yang rentan terkena tuberkulosis. Kompleksnya regimen terapi serta masih minimnya sediaan yang ramah pasien pediatri menjadi suatu tantangan dalam pengobatan tuberkulosis. Hal tersebut memberikan potensi pengembangan suatu sediaan yang dapat menyederhanakan regimen terapi serta ramah bagi pasien pediatri. Film berlapis cepat hancur kombinasi dosis tetap menjadi solusi dari tantangan-tantangan yang dihadapi dalam proses pengobatan tuberkulosis pada pasien pediatri. Penelitian bertujuan untuk memperoleh film cepat hancur berlapis kombinasi dosis tetap yang mengandung rifampisin dan isoniazid dengan metode solvent casting. Terdapat tujuh formula film lapis rifampisin dan tujuh formula film lapis isoniazid dengan masing-masing formula memiliki variasi konsentrasi HPMC dan PVA yakni R1 (100:0); R2 (75:25); R3 (60:40); R4 (50:50); R5 (40:60); R6 (25:75); R7 (0:100). Ketujuh formula dari masing-masing film lapis dikarakterisasi dengan tujuan menentukan formula film terbaik yang nantinya akan dikombinasikan menjadi sediaan utuh. Karakterisasi tersebut mencakup evaluasi organoleptis, kekuatan peregangan, waktu disintegrasi dan persentase kelembapan. Setelah ditentukan formula terbaik dari masing-masing film, kedua film dikombinasikan dan diuji kembali. Uji yang dilakukan diantaranya uji yang telah dilakukan pada proses karakterisasi ditambah dengan uji penetapan kadar serta uji disolusi. Hasil karakterisasi menunjukkan formula R6 dari masing-masing formula film lapis memiliki karakteristik terbaik dari segi organoleptis dan waktu disintegrasi dengan waktu disintegrasi sebesar 49,94 ± 3,38 detik untuk film lapis rifampisin dan 38,84 ± 4,27 detik untuk film lapis isoniazid. Film lapis rifampisin R6 memiliki nilai tensile strength sebesar 0,7478 ± 0,0233 N/mm2 dan persentase kelembapan 15,29 ± 1,36%. Sedangkan film lapis isoniazid R6 memiliki nilai tensile strength sebesar 0,8136 ± 0,0612 N/mm2 dan persentase kelembapan 15,60 ± 1,23%. Film cepat hancur kombinasi dosis tetap yang diperoleh memiliki organoleptis yang baik, waktu disintegrasi yang cepat yakni 52,82 ± 2,76 detik namun tidak memenuhi kriteria uji penetapan kadar dan uji disolusi yang diinginkan.


Pediatric patients are vulnerable group susceptible to tuberculosis. The complexity of the treatment regimen and the limited availability of pediatric-friendly formulations pose challenges in tuberculosis treatment. This presents an opportunity for the development of a formulation that can simplify the treatment regimen and be patient-friendly for pediatric patients. Fast-disintegrating multilayer films with fixed-dose combinations offer a solution to the challenges faced in the tuberculosis treatment process in pediatric patients. The research aimed to obtain fast-disintegrating multilayer films with fixed-dose combinations containing rifampicin and isoniazid using the solvent casting method. There were seven formulations of rifampicin films and seven formulations of isoniazid films, each with variations in HPMC and PVA concentrations, namely R1 (100:0); R2 (75:25); R3 (60:40); R4 (50:50); R5 (40:60); R6 (25:75); R7 (0:100). The seven formulations of each film were characterized to determine the best film formulation that would later be combined into a complete formulation. The characterization included organoleptic evaluation, tensile strength, disintegration time, and moisture content. After determining the best formulation for each film, the two films were combined and retested. The tests conducted included the previously performed characterization tests, as well as assay and dissolution testing. The characterization results showed that formulation R6 of each film had the best characteristics in terms of organoleptic properties and disintegration time, with a disintegration time of 49.94 ± 3.38 seconds for rifampicin film and 38.84 ± 4.27 seconds for isoniazid film. Rifampicin film R6 had a tensile strength of 0.7478 ± 0.0233 N/mm2 and a moisture content of 15.29 ± 1.36%. Meanwhile, isoniazid film R6 had a tensile strength of 0.8136 ± 0.0612 N/mm2 and a moisture content of 15.60 ± 1.23%. The obtained fast-disintegrating multilayer films with fixed-dose combinations had good organoleptic properties and fast disintegration time of 52.82 ± 2.76 seconds but did not meet the criteria for assay and desired dissolution testing.

"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nababan, Rodiah
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S31461
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>