Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97263 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dili Indriawati Hidayat
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan meneliti efektivitas dari pelatihan mengelola kemarahan
pada anak dengan Oppositional Defiant Disorders (ODD). Penanganan yang
dilakukan tergolong dalam program intervensi awal. Program pelatihan
merupakan modifikasi dari Anger Coping Program yang dikembangkan oleh
Lochman pada tahun 1984.
Pelatihan dilakukan pada satu orang anak laki-laki berusia 10 tahun yang
didiagnosis mengalami ODD. Tujuan dari pelaksanaan pelatihan ini yaitu agar
anak dapat mengelola kemarahan sehingga dapat menurunkan frekuensi
kemarahannya. Sasaran pelatihan adalah agar anak dapat mengenali perasaan,
mengetahui cara-cara mengelola kemarahan, dan mengetahui cara pemecahan
masalah sosial. Pelatihan dilakukan selama 9 sesi. Materi pelatihan yang diberikan
adalah penetapan aturan, mengenali emosi, mengelola kemarahan dan pemecahan
masalah sosial. Dalam mengelola kemarahan anak dilatih teknik relaksasi dan
anger coping self-talk. Metode pelatihan yang digunakan bervariasi yaitu
modeling, penjelasan singkat, simulasi dan bermain peran.
Hasil pelatihan memperlihatkan terjadinya perkembangan ketrampilan mengelola
kemarahan pada anak. Ketrampilan yang berkembang pada anak adalah
ketrampilan untuk mengenali emosi dan mengekspresikan emosi, mengelola
kemarahan dengan teknik relaksasi dan anger coping-self talk. Setelah pelatihan
terdapat penurunan frekuensi kemarahan pada anak dan anak lebih lebih banyak
menunjukkan ekspresi kemarahan dalam bentuk verbal daripada perilaku agresif.
Hasil penelitian menyarankan untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan
observasi perilaku anak sebelum dan setelah pelaksanaan pelatihan untuk
mendapatkan hasil evaluasi perkembangan ketrampilakan anak yang lebih akurat,
pengambilan data untuk evaluasi dalam rentang waktu yang lebih lama. Untuk
mendapatkan hasil yang lebih optimal pada pelatihan selanjutnya perlu adanya
pendalaman setiap topik materi dan penambahan sesi pelatihan, pelatihan dalam
bentuk kelompok dan melibatkan orang tua dalam sesi pelatihan dan kegiatan
lanjutan dari pelatihan."
2007
T38011
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Belinda Agustya Pawidya Putri
"Theraplay digunakan untuk mengatasi masalah insecure attachment yang termanifestasi melalui perilaku oposisi pada anak usia 5 tahun dengan diagnosis oppositional defiant disorder. Subyek mendapatkan pengalaman baru yang lebih positif, responsif, dan menyenangkan melalui aktivitas bermain dalam sesi theraplay bersama dengan peneliti.
Aktivitas bermain disusun berdasarkan dimensi-dimensi yang disesuaikan dengan kebutuhan subyek yang tergambar dari hasil MIM awal yaitu beberapa aktivitas yang dilakukan oleh ibu dan subyek. Interaksi menyenangkan yang awalnya tercipta antara peneliti dan subyek, kemudian berusaha dibentuk antara ibu dan subyek. Pelaksanaan treatment dilakukan dalam 9 sesi yang berlangsung ± 45 menit dalam setiap sesinya.
Hasil dari treatment ini adalah subyek merasa lebih secure yang terlihat dari perubahan perilaku ke arah yang lebih positif yaitu patuh terhadap figur otoritas dan terdapat penurunan frekuensi serta intensitas dalam perilaku memukul ketika marah. Subyek sudah lebih mudah ditenangkan ketika marah dan hanya menampilkan perilaku memukul ketika merasa terganggu oleh lingkungannya. Ibu juga merasa lebih nyaman ketika berinteraksi dengan subyek dan merasa lebih dekat dengan subyek.

Theraplay is applied to handle the problem of insecure attachment which manifests through behaviors in children aged 5 years with oppositional defiant disorder diagnosis. Subject get a new experience of subjects that are more positive, responsive, and fun through play activities in the theraplay session along with researchers.
Activity in the theraplay arranged by dimensions which made based on the needs of the subjects that are reflected from MIM result from the activities that done by mothers and subjects. Fun interaction that originally created between researchers and the subjects, then tried to be formed between mother and subjects. Implementation of the treatment is done in 9 sessions that lasted 45 minutes in each session.
Results of this treatment are subject feel more secure in sight of behavior change toward more positive that is obedient to authority figures and there is a decrease in frequency and intensity in the behavior of hitting when angry. The subject is more easily soothed when angry and displays hitting behavior only when he was annoyed by their surroundings. Mother of the subject also feel more comfortable when interacting with the subject and feel closer to the subject.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
T30651
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Munardyansih
"Orangtua sering mengalami kesulitan menanggulangi anak usia sekolah yang mudah marah, sering menentang dan menunjukkan reaksi emosi yang tak terkendali atau agresif. Tak jarang orangtua terjebak situasi konflik yang emosional dan terpancing melakukan tindak kekerasan yang menjadi model perlaku agresif pada anak sehingga masalah perilaku anak tak mudah diatasi. Kesulitan mengendalikan emosi demikian terjadi pada D (9 tahun) subyek penelitian ini yang terlihat sejak D memiliki adik pada usia 4 tahun dan orangtua lebih menaruh perhatian pada adiknya yang lahir dengan kelainan jantung bawaan. Pada masa usia sekolah frekuensi marah terjadi setiap hari, sering konflik dengan anggota keluarga dirumah, mengalami kesulitan dalam berteman dan kerap memperoleh hasil belajar yang kurang baik, sekalipun tergolong cerdas dan memiliki intelligensi diatas taraf rata-rata.
Kemarahan dan perilaku menentang yang maladaptif menunjukkan D kurang memiliki kemampuan pengendalian emosi sesuai taraf perkembangan anak usia sekolah, yang umumnya mampu mengontrol dan mengarahkan tindakannya untuk menjalin kerjasama dengan oranglain. Perilaku demikian sexing terjadi pada anak Oppositional Defiant Disorder (ODD) yaitu gangguan perilaku yang ditandai oleh pola perilaku menentang, menantang dan memusuhi (hostile) yang terutama ditujukan pada orangtua (APA, 2000).
D memenuhi kriteria diagnosa ODD. Kemarahan anak ODD disebabkan oleh proses kognitif yang disfungsi dan mengalami defisit kognitif yang herdampak pada keterbatasan kemampuan mengendalikan emosi dan mengatasi masalah sosial (Mash & Wolfe, 1999). Disfungsi dan defisit kognitif merupakan fokus masalah Cognitive Behavior Therapy (CBT). CBT merupakan intervensi kognitif yang secara emperis telah terbukti efektif untuk mengelola kemarahan dan menanggulangi anak yang mengalami masalah interpersonal (Stallard 2005)
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti bagaimana teknik CBT dapat diterapkan untuk mengendalikan marah pada anak ODD usia sekolah dengan menggunakan metode yang dikembangkan Stallard. Intervensi ditujukan untuk meningkatkan kesadaran diri, pemahaman lebih baik mengenai perasaan dan pemikiran negatif yang menimbulkan kemarahan, dan mengembangkan pengendalian din melalui ketrampilan kognisi dan perilaku yang sesuai.
Intervensi terbagi atas kegiatan untuk mengendalikan emosi dan kognisi. Fokus intervensi masing-masing melalui tahapan Identifikasi masalah (mengenali pencetus dan reaksi kemarahan D, pemikiran negatif yang disfungsi dan defisit kognitif), mengembangkan ketrampilan yang sesuai untuk mengendalikan marah (menurunkan ketegangan dengan latihan relaksasi, pengaturan pemahman dan mengganti pemikiran negatif dengan pemildran yang menenangkan atau menurunkan reaksi marah dengan 'self instructional ), mengenali dan menguji disfungsi kognisi yang mempengaruhi kehidupan anak.
Pada penelitian menunjukkan bahwa tehnik CBT yang digunakan memudahkan D untuk menyadari serta memahami kesulitannya dan mengetahui langkah untuk melakukan perubahan atau mengendalikan reaksi marahnya. Hasil penelitian menunjukkan perubahan pada D, dimana ia lebih mampu mengendalikan perasaannya ketika menyadari mulai timbul perasaan marah dengan berusaha menurunkan ketegangan dan menenangkan diri dengan pemikiran yang positif Selama periode penelitian frekuensi marah tidak terjadi setiap hari. Namun pada penelitian ini penerapan keterampilan bare yang dikuasai D belum menetap sehingga untuk mencegah terjadinya relaps diperlukan program untuk evaluasi berkala dan melibatkan peran aktif orangtua sebagai co-clinician.
Kelemahan lainnya dalam penelitian ini adalah pada desain penelitian yang belum meneakup pelatihan keterampilan pemecahan masalah dan keterampilan sosial. Kelemahan lainnya adalah jumlah perencanaan sesi dan jangka waktu pertemuan untuk dapat mempertahankan dan mengevaluasi keterampilan kognisi baru yang telah dipelajari. Saran dalam penelitian ini adalah terkait dengan perencanaan desain penelitian, perencanaan jumlah sesi dan peningkatan peran orangtua dalam program CBT."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T17815
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Listiyo Andini
"Pelatihan keterampilan memecahkan masalah dalam lugas akhir ini diberikan pada anak yang, cendemng menunjukkan perilaku opposi1iona1_ yaitu lidak menyukai peraturan, cenderung menampilkan respon ”Lidak” setiap mendapatkan perintah, terbatasnya kemampuan F dalam mencazi soiusi altemalif, dan tidak mempertimbangkan adanya konsekuensi alas respon yung dipilih. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan anak dalam memecahkan masalah sam menghadapi situasi sosial yang sulit dan memilih respon sosial yang tepai dengan menggmmakan pendekatan cognitive-behavior. Pelaksanaan intervensi clilakukan dalam 6 scsi penemuan, dengan durasi 45-60 menit. Hasil pelatihan ini adalah anak menganggap peraluran adalah hal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari, mengetahui adanya alternatif soiusi dalam menghadapi suatu masalah dan adanya konsekuensi pada setiap altematif solusi tersebut.

Problem solving skills training in this final task is applied to oppositional child; who dislike the rules, tends to say “No” to authority figure commands, incapable to End alternative solutions, and could not consider consequences of his inappropriate behavior. The aim of this intervention which uses cognitive- behavior approach is to improve the chi1d’s ability to solve social situation problems and show appropriate behavior. This intervention is conducted in 6 sessions; with the duration of each session is 45-60 minutes. The result of this intervention is considering that rules are regular things in daily life, capable to generate altemative solutions to solve problems in social situations, and knowing the consequences of his inappropriate behavior. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
T34128
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Farida Tantiani
"Oppositional Defiant Disorder (ODD) digambarkan sebagai perilaku anak yang melawan permintaan, arahan, serta larangan orang dewasa (Wenar, 1994). Pola perilaku ini berlangsung terus menerus (minimal 6 bulan) dan berlangsung pada taraf yang tidak sesuai dengan tingkat usia dan taraf perkembangan anak. (APA, 2000). Manifestasi dari gangguan ini lebih terlihat dalam lingkungan rumah atau sekolah. Karakteristik ODD biasanya tampak pada interaksi antara anak dan orang dewasa, terutama orangtuanya, atau teman-teman yang mereka kenal dengan baik. Ibu anak ODD digambarkan sebagai ibu yang terlalu memiliki kontrol dan agresif sedangkan ayah digambarkan sebagai seseorang yang pasif dan tidak memiliki hubungan emosional yang dekat. Penelitian-pcnelitian obyektif juga menunjukkan bahwa ibu-ibu ini lebih negatif dan penuh kritik terhadap sang anak dibandingkan dengan ibu anak-anak normal. Mereka juga menampilkan perilaku yang lebih mengancam, marah serta penuntut.
House-Tree-Person test (I-ITP) adalah tes proyeksi dengan teknik menggambar yang merupakan refleksi individu akan sikap atau perasaannya terhadap orang yang signiiikan dalam hidupnya; atau perasaan yang ditujukan terhadap dirinya. Pada HTP, individu diminta untuk menggambar rumah, pohon dan orang. Untuk beberapa individu, gambar rumah merefleksikan hubungan mereka dengan ibu, gambar pohon merefleksikan perasaan mereka terhadap ayah, dan gambar orang merefieksikan perasaan mereka terhadap diri mereka sendiri. Posisi gambar orang menggambarkan kedekatan individu tersebut dengan Salah satu orangtuanya seclangkan ukuran tiap gambar juga menunjukkan dominasi masing-masing tokoh (ayah, ibu, atau individu sendiri) (Marnat, 1934).
Diharapkan dengan menganalisis hasil gambar HTP anak-anak yang didiagnosis ODD dapat diketahui gambaran mengenai hubungan antam orangtua dan anak ODD. Hal ilu mengingat perilaku oposisional berhubungan dengan orang-orang yang signitikan dalam kehidupan anak, terutama Orangtua. Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan pendekatan kualitatif, yaitu menggunakan data yang sudah tersedia di Klinik Bimbingan Anak F. Psi UI. Subjek penelitian ini berjumlah 5 orang yang didiagnosis ODD dan berusia antara 6-11 tahun.
Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa dalarn memandang hubungannya dengan orangtua, empat subjek merasa lebih dekat dengan ibu sedangkan satu subjek lainnya merasa lebih dekat dengan ayah. Selain itu, empat subjek memsa bahwa ibu kurang berkomunikasi dan kurang membuka diri sedangkan satu subjek merasa bahwa ibu mau membuka komunikasi walaupun banyak aturan yang diterapkan.
Penelitian ini menggunakan data sekunder. Kelemahan dari data sekunder adalah adrninistrasi tes HTP tidak diketahui dengau jelas sehingga peneliti tidak mengetahui secara pasti proses pengarnbilan tes. Untuk lebih memperkaya pengetahuan mengenai penggunaan tes HTP dan masalah ODD, penelitian selanjutnya disarankan menggunakan data primer."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38507
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"he authors investigated whether sex-specific norms should be used to assess symptoms of attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) and oppositional defiant disorder (ODD) in girls. It was hypothesized that (a) there would be a group of girls who exhibit ADHD or ODD symptoms using sex-specific norms but not using Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (4th ed.; DSM-IV; American Psychiatric Association, 1994) criteria; (b) these girls would be significantly impaired relative to typically developing girls. These hypotheses were examined using behavior ratings completed by mothers and teachers of 1,491 elementary school students. Results showed that there was a small group of girls who did not meet DSM-IV criteria for ADHD or ODD but who had elevated ADHD and ODD scores when sex-specific norms were used. The same was not true for boys. The girls identified with sex-specific norms were more impaired than other girls. These results suggest that there may be a small number of girls who have behaviors and impairment that are consistent with ADHD and ODD, but they are not currently being identified by DSM-IV criteria."
JCCP 74 (1-3) 2006
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tanjung, Sulfina
"Elkind (Papalia, Olds & Feldman 2004) mengemukakan istilah "hurried child" untuk anak-anak yang hidup dengan banyaknya tekanan di zamzm modem ini, mereka oenderung dinmtut untuk lehih oepat dewasa dari usia mereka sebenamya. Adapun bentuk tekanan yang dihadapi berupa situasi stres seperti peroeraian, kemiskinan, penyakit dan lain-lain. Akibat dari tckanan yang dihadapi, fcnomena bunuh diri semakin sering kita jumpai tenltamadi kalangan anak dan remaja.
Melihat begitu kompleksnya tekanan hidup, cara pcncegaharmya pun harus dilakukan secara bertahap. Pencegahan primer dalam aspek psiko-edukatifamat penting karena merupakan sarana meletakkan dasar-dasar perkembangan kognitii Salah satu peneegahan primer Psiko-edukatif yang dapat dilakukan adalah mengembangkan kemampuan resiliensi yang dimiliki. Resiliensi ini mengacu pada proses dinamis individu dalam mengcmbangkan kemampuan diri untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat dan mentransfonnasi pengalaman-pengalaman yang dialarni pada situasi suiit menuju pencapaian adaptasi yang poswf (Grotberg, 1999).
Penelitian ini mcnggunakau satu orang subyek yang dipilih berdasarkan karakteristik subyek yang berisiko cukup tinggi. Sebelum mengikuti pelatihan ini, subyek terlcbih dahulu telah mengikuti pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan, ditemul-can subyek memiliki sejumlah faktor risiko yaitu : meninggalnya salah sam orangma, penyakit yang diderita orangmaniumlah orang dewasa yang terlalu sedikit nmtuk mengawasi perilaku anak dan kurangnya dukungan dari keluarga besar.

Elkind (Papalia, Olds & Feldman 2004), called ?huuried child? because of pressures of modem life such as : divorce, poverty, illness are forcing them to grow up too soon. Consequence of high presurcs result in high suicide incidence. Based on complexity ofpressurcs, prevention should made. Primary prevention such as Psycho-education very important to put cognitive developmental foundations.
One of psycho-education primary prevention is developing resiliency capacity Resiliency is individual dynamic process to develop capacity for facing, overcome, strengthened by, and even be transformed by experiences of adversity to reach positive adaptation.
This research use one subject which has high risk characteristic. Before a subject participate, she followed series of examination. Based on the examination, subject has some risk factors such as : death of parents, illness of parents, few adults to monitor children behaviors, less support tram extended family.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T34065
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Herlina Limyati
"ABSTRAK
Salah satu gangguan klinis yang dapat terjadi pada masa perkembangan adalah Attention-Deficit Hyperactmty Disorder (ADHD). Terdapat lebih dari separuh populasi anak dengan ADHD yang mengalami kesulitan dalam hubungan interpersonalnya dengan anak lain, orang tua, dan guru. Perilaku anak-anak tersebut menimbulkan respons negatif dari lingkungan teman sebayanya yang mengakibatkan munculnya tingkat penolakan yang tinggi terhadap mereka. Mereka dianggap mengganggu, sebagai penyebab keributan, sulit menyesuaikan diri, dan mudah
tersinggung. Hal itu dikaitkan dengan karakteristik perilaku mereka yang bersifat
inatentif, hiperaktif, dan impulsif.
Intervensi dini terhadap anak yang menunjukkan simtom ADHD penting untuk dilakukan guna mengurangi kemungkinan munculnya perilaku agresif, oposisional, dan perilaku hiperaktif-impulsif di tahapan usia selanjutnya. Intervensi tersebut diharapkan dapat membantu mengembangkan interaksi yang positif antara orang tua dengan anak serta meningkatkan fungsi adaptasi anak di lingkungan keluarga dan sekolah. Pelatihan keterampilan sosial merupakan salah satu penanganan yang dapat membantu anak dengan ADHD dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas rancangan program pelatihan keterampilan sosial, dalam ha! ini dipilih keterampilan mengikuti instruksi (following
histruction) sebagai sasaran perilaku. Keterampilan mengikuti instruksi ini dipilih
karena merupakan keterampilan yang mendasar untuk dikuasai oleh anak agar dapat
terlibat aktif dalam kegiatan sehari-hari serta merupakan prasyarat untuk menguasai
keterampilan yang lebih kompleks.
Berdasarkan analisis, rancangan program pelatihan ini perlu memusatkan perhatian pada satu aspek perilaku yang lebih spesifik. Selain itu, generalisasi penguasaan keterampilan yang dilatihkan memerlukan waktu yang lebih lama dan perlu dilakukan secara bertahap pada setting yang berbeda-beda."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T38126
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ami Pusparini
"ABSTRAK
Marah merupakan emosi yang paling sering terlibat di dalam suatu konflik
(Johnson, 1997). Dengan demikian, kemarahan seringkali dianggap negatif karena
berhubungan dengan agresi dan kekerasan, yang dianggap negatif pula oleh
masyarakat (Strongman, 2003). Namun, jika ekspresi kemarahan dapat
dikendalikan, justru dapat memperkuat hubungan pihak-pihak yang terlibat (Izard
dalam Strongman, 2003).
Untuk mengendalikan kemarahan, dibutuhkan suatu keterampilan sosial.
Keterampilan sosial ini bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir atau muncul
tiba-tiba ketika dibutuhkan, namun bisa dipelajari (Johnson, 1997, ’’Anger
Management”, 2005). Ekspresi kemarahan, sebagai salah satu bentuk
keterampilan sosial, juga dapat dipelajari, misalnya dengan cara modeling.
Seseorang dengan tingkat inteligensi borderline memiliki kesulitan untuk
melakukan abstraksi, tidak mampu memodifikasi suatu konsep, dan kesulitan
untuk mempertimbangkan suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda (Masi,
Marcheschi, &Pfanner, 1998), sehingga mereka seringkali mengalami kesulitan
dalam membangun hubungan sosial. Dengan demikian, anak borderline perlu
diberi semacam program pelatihan khusus untuk mengajarinya keterampilan
sosial yang tepat. Dalam program intervensi ini, keterampilan sosial yang
dilatihkan akan dikhususkan pada pengendalian kemarahan, agar ekspresinya
tepat dan tidak menjadi agresi, terutama bagi orang di sekelilingnya.
Menurut Hershom (2003), ada empat langkah dalam menangani
kemarahan remaja, yaitu Decide, Recognize, Activate, dmHalt. Pada intinya,
pada program intervensi ini, peneliti berusaha mengubah pemikiran yang salah
dari subjek mengenai kemarahan dan ekspresinya, memberikan informasi
tambahan, serta mengajarkan relaksasi.
Hasilnya cukup positif. Subjek mengalami perubahan. Berdasarkan hasil
evaluasi dan penilaian dari orang terdekat (nenek), subjek sudah memiliki
perbedaan pemikiran mengenai ekspresi kemarahan, dan dari perilakunya pun
sudah terlihat dapat lebih mengendalikan dirinya Subjek tidak lagi membanting
atau merusak barang, ataupun menyakiti orang lain ketika sedang marah."
2007
T38042
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>