Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 182860 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zhafira Alyani Nurfirdaus
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara parentification dan kecemasan pada remaja dari status sosial-ekonomi rendah. Sebagai tambahan, penelitian ini juga dilakukan untuk melihat gambaran parentification dan kecemasan pada remaja dari status sosial-ekonomi rendah. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Parentification diukur menggunakan Parentification Inventory (PI) yang disusun oleh Hooper (2009) yang telah diadaptasi dan diterjemahkan ke dalam konteks Indonesia. Kecemasan diukur menggunakan STAI Form Y1 yang disusun oleh Spielberger (1983) yang telah diadaptasi ke dalam konteks Indonesia dari penelitian sebelumnya oleh Suparyono (2003). Responden penelitian ini berjumlah 183 orang remaja dari status sosial-ekonomi rendah. Hasil utama penelitian ini menunjukkan bahwa parentification berkorelasi secara negatif dan signifikan dengan state-anxiety, r = -.175, n = 183, p < .05). Hasil penelitian ini menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat parentification yang dialami remaja, maka semakin rendah pula tingkatan kecemasan yang dirasakan.

This research was conducted to find the correlation between parentification and anxiety in adolescents from lower socio-economic status. In addition, this research also aimed to depict parentification and anxiety among adolescents from lower socio-economic status. This study used the quantitative approach. Parentification was measured using a Parentification Inventory (PI) which is compiled by Hooper (2009) which has been adapted and translated into Indonesian context. Anxiety was measured using the STAI Form Y1 were compiled by Spielberger (1983) which has been adapted to the Indonesian context from previous research by Suparyono (2003). These participants of this research are 183 adolescents from lower socio-economic status. The main results of this study showed that parentification significantly and negatively correlated with state-anxiety, r = -.175, n = 183, p <.05). The results of this study stated that the higher level of parentification of one?s own, the lower his/her levels of state anxiety."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S53610
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miranti Verdiana Azra
"Beberapa penelitian menunjukkan bahwa parentification dapat bersifat konstruktif dan destruktif, dipengaruhi oleh pemberian bimbingan dan dukungan dari keluarga. Pada remaja dengan status sosial ekonomi (SES) rendah, parentification merupakan kondisi yang tidak bisa dihindari, sehingga mereka perlu mengembangkan kemampuan positif yang ada di dalam diri, salah satunya resiliensi, untuk menghindari terjadinya parentification yang bersifat destruktif. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara parentification dan resiliensi pada remaja SES rendah. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Parentification diukur menggunakan alat ukur Parentification Inventory yang disusun oleh Hooper (2009) dan telah diadaptasi ke dalam konteks Indonesia. Resiliensi diukur menggunakan Resilience Scale (RS-14) yang disusun oleh Wagnild dan Young (1993) dan telah diadaptasi ke dalam konteks Indonesia. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 183 orang remaja dari keluarga dengan status ekonomi sosial (SES) rendah. Hasil utama penelitian menunjukkan parentification berkorelasi positif signifikan dengan resiliensi (r=0.320; p=0.000, signifikan pada L.o.S 0.01). Dapat diartikan bahwa semakin tinggi parentification seseorang maka semakin tinggi pula resiliensinya.

Some researchers have shown that parentification can be constructive and destructive, influenced by the provision of guidance and support from family. In adolescents with low socioeconomic status (SES), parentification is a condition that can not be avoided, so they need to develop positive capabilities that exist within their, one of resilience, to avoid destructive parentification. This research was conducted to find the relationship between parentification and resilience. This research used the quantitative approach. Parentification was measured using Parentification Inventory (PI) which was constructed by Hooper (2009) and had been adapted to Indonesian context. Resilience was measured using Resilience Scale (RS-14) which constructed by Wagnild and Young (1993) and had been adapted to Indonesian context. The participants are 183 adolescences with low socioeconomic status. The main result of this research showed that parentification positive correlated significantly with resilience (r=0.320; p=0.000, significant at L.o.S 0.01). That mean, the higher parentification of one’s own, the higher his/her resilience."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S53611
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Putri
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dari parentification dan contingencies of self worth pada remaja berstatus sosial ekonomi rendah. Penelitian ini merupakan studi korelasional dan menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini melibatkan 177 orang sebagai partisipan yang berada pada usia remaja (12-19 tahun). Parentification didefinisikan sebagai pertukaran peran (tanggung jawab) antara orang tua dan anak-anak, sementara self worth didefinisikan sebagai harga diri yang didasarkan pada domain-domain dalam kehidupan yang dipercaya sebagai aspek penting dalam membangun kepercayaan diri individu. Variabel parentification diukur dengan menggunakan Parentification Inventory, dan variabel Self Worth diukur dengan menggunakan Contingencies of Self Worth Scales. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara parentification dan contingencies of self worth (r = 0.291, p <0.001). Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan positif antara variabel parentification dan contingencies of self worth.

This study aims to determine the relationship between parentification and contingencies of self-worth in adolescents of low socioeconomic status. This study is a correlational study and using quantitative approach. The study involved 177 people as participants who are in their teens (12-19 years). Parentification is defined as the exchange of roles (responsibilities) between parents and children, while self-worth is defined as the self-esteem that is based on domains in life is believed to be an important aspect in building confidence. Parentification measured using Parentification Inventory by Hooper, and Self Worth was measured using Contingencies of Self Worth Scales. The results showed that there is a significant relationship between parentification and contingencies of selfworth (r = 0.291, p < 0.01). This means that there is a positive relationship between the parentification and contingencies of self worth."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S56207
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shelva Citra
"Literatur menunjukkan bahwa parentification dapat bersifat konstruktif dan destruktif, yang ditentukan dengan pemberian bimbingan dan dukungan dari keluarga. Pada remaja dengan Status Ekonomi Sosial rendah, kurang mendapatkan bimbingan dan dukungan, sehingga akan menimbulkan parentification yang bersifat destruktif. Hal ini akan mempengaruhi kesehatan mental remaja, salah satunya akan menimbulkan psychological distress.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara parentification dengan psychological distress pada remaja dengan Status Ekonomi Sosial (SES) rendah. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang melibatkan sebanyak 183 remaja usia 11-22 tahun dan bersekolah di Yayasan Sekolah Masjid Terminal (Master), Depok. Parentification diukur dengan menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh Hooper (2009), yaitu Parentification Inventory (PI). Untuk psychological distress diukur dengan menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh Weinberger (1995), yaitu Weinberger Adjustmen Inventory (WAI).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara parentification dan psychological distress (r = 0,338, n = 183, p > 0,05). Hasil lain menunjukkan, terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara instrumental parentification dan psychological distress (r = 0,199, n = 183, p < 0,05). Sementara itu, emotional parentification dan perceived benefit of parentification tidak terdapat berhubungan dengan psychological distress.

The literature suggests that parentification can be constructive and destructive, which is determined by the provision of guidance and support from family. In adolescents with low social economic status, lack of guidance and support, so it will cause destructive parentification. This will affect the mental health of adolescene, one of them will lead to psychological distress.
This study was conducted to examine the relationship between the psychological distress parentification in adolescents with low social economic status. This research is a quantitative study involving as many as 183 teenagers aged 11-22 years and attended the School of Masjid Terminal (Master), Depok. Parentification was measured using Parentification Inventory (PI) which was constructed by Hooper (2009). Psychological distress was measured using Weinberger Adjustmen Inventory (WAI) which was constructed by Weinberger (1975).
The results showed that there was no significant correlation between psychological distress and parentification (r = 0338, n = 183, p > 0,05). Other results show, there is a positive and significant relationship between psychological distress and instrumental parentification (r = 0,199, n = 183, p < 0,05). Meanwhile, parentification emotional and perceived benefits of parentification are not associated with psychological distress.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S54441
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Listia Anindia
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara parentification dengan kecemasan sosial pada remaja berstatus sosial ekonomi rendah. Parentification adalah bentuk pertukaran peran antara orang tua dan anggota keluarga lainnya, terdapat distorsi batasan, dan hirarki yang berkebalikan antar keduanya dimana anak-anak atau remaja menanggung tingkat tanggung jawab yang tidak sesuai dengan tahapan perkembangannya (Hooper, 2009). Sementara itu kecemasan sosial didefinisikan sebagai kecemasan yang timbul karena adanya kemungkinan atau pun keberadaan dari evaluasi interpersonal, baik di situasi sosial yang nyata maupun imajiner (Schlenker & Leary dalam Leary, 1983). Penelitian ini menggunakan metode korelasional dengan pendekatan kuantitatif. Alat ukur yang digunakan adalah Parentification Inventory oleh Hooper (2007) dan Brief Fear of Negative Evaluation II oleh Carleton, Collimore, dan Asmundson (2007). Partisipan dari penelitian ini sejumlah 177 orang remaja, 76 orang perempuan dan 101 orang laki-laki, dengan rentang usia 12-19 tahun di beberapa Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di daerah Jakarta. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara parentification dan kecemasan sosial pada remaja berstatus sosial ekonomi rendah (r = 0.224, p<0.01). Artinya, semakin tinggi skor parentification maka semakin tinggi pula skor kecemasan sosial.

The objective of this study is to find out the relationship between parentification and social anxiety in adolescents with low socioeconomic status. Parentification is defined as a type of role reversal, boundary distortion, and inverted hierarchy between parents and other family members in which children or adolescents assume developmentally inappropriate levels of responsibility in the family (Hooper, 2012). While, social anxiety is defined as anxiety resulting from the prospect or presence of interpersonal evaluation in real or imagined social settings (Schlenker & Leary in Leary, 1983). The study is using correlational method and quantitative approach. The measurements used in this study were Parentification Inventory from Hooper (2007) and Brief Fear of Negative Evaluation II from Carleton, Collimore, and Asmundson (2007). Participants were 177 adolescents, 76 females dan 101 males, that ranged from 12-19 years old in several Community Learning Center (CLC) in Jakarta. The results showed a significant relationship between parentification and social anxiety in adolescents with low socioeconomic status (r = 0.224, p<0.01). This means that the higher the score of parentification, the higher the score of social anxiety in this study."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S56707
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Priscarani
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara parentification dengan codependency pada remaja berstatus sosial ekonomi rendah. Parentification didefinisikan sebagai gangguan dalam menentukan batas antar generasi, yang ditandai dengan adanya pertukaran peran fungsional dan/atau emosional antara orang tua dan anak (Hooper, 2007). Sedangkan codependency didefinisikan sebagai keinginan yang berlebihan akan penerimaan dari orang lain, disertai dengan kecenderungan untuk mengutamakan kebutuhan orang lain dibandingkan kebutuhan diri sendiri (Dear, 2002). Penelitian ini merupakan studi korelasional dan menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini melibatkan 177 orang sebagai partisipan yang berada pada tahap perkembangan remaja (12-19 tahun), yang terdaftar dalam Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat di wilayah Jakarta. Partisipan perempuan sebanyak 76 orang dan partisipan laki-laki sebanyak 101 orang. Variabel parentification diukur dengan menggunakan Parentification Inventory (Hooper 2009), dan variabel codependency diukur dengan menggunakan Composite Codependency Scale (Dear et al., 2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara parentification dengan codependency pada remaja berstatus sosial ekonomi rendah, dengan r=.453, p<0.01. Hal tersebut menandakan bahwa semakin tinggi tingkat parentification, maka semakin tinggi pula codependency.

The purpose of this work is to find a relationship between parentification and codependency in adolescents with low socioeconomic status. Parentification is defined as a disturbance in boundary settings, indicated by a reversal of instrumental and/or emotional roles between parents and children (Hooper, 2007), whereas codependency is defined as an extreme desire of acceptance from others, often indicated by putting others’ needs ahead of their own (Dear, 2002). This is a correlational research using a quantitative approach. A total of 177 participants were involved in this study, all are still in adolescence developmental stage (12-19 years old) and registered to Community Learning Centers in Jakarta area. There were 76 females and 101 males as participants. Parentification was measured by Parentification Inventory (Hooper, 2009), and codependency was measured by Composite Codependency Scale (Dear et al., 2012). Results showed that a significant positive relationship occurred between parentification and codependency in adolescents with low socioeconomic status (r=.453; p<0.01). The findings indicated that an increase in parentification tends to associate with an increase in codependency."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S57123
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Francisca
"Banyaknya fenomena kecemasan dalam masyarakat yang diakibatkan karena isu
rnenyebabkan topik mengenai persepsi terhadap isu dan tingkat kecemasan
dijadikan pokok permasalahan. Menurut Rosnow & Pine (dalam Berkowitz,
1980), isu yang timbul pada saat adanya bencana, dapat menimbulkan ketakutan
dan kecemasan serta biasanya yang diceritakan adalah hal-hal buruk yang akan
terjadi. Akibatnya, orang yang mempersepsi isu secara berbeda (sebagai fakta,
antara fakta dan bukan fakta dan bukan sebagai fakta) memiliki tingkat kecemasan
yang berbeda. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis informasi
yang dianggap berpotensi menimbulkan bahaya, untuk mengetahui bagaimana
hubungan antara persepsi terhadap isu dengan tingkat kecemasan, mendapatkan
gambaran mengenai persepsi masyarakat terhadap isu dan tingkat kecemasan
antara kelompok pribumi dan keturunan Cina.
Melalui metode accidental sampling, subyek sebanyak 100 orang (59 orang
masyarakat pribumi dan 41 orang masyarakat keturunan Cina) dengan usia subyek berkisar antara 26-60 tahun dilibatkan sebagai sampel penelitian. Data mengenai
informasi yang dianggap berpotensi menimbulkan bahaya, persepsi terhadap isu
dan tingkat kecemasan diperoleh melalui skor yang diuji dengan kuesioner. Untuk
mengetahui informasi yang dianggap berpotensi menimbulkan bahaya, dengan
menggunakan median, untuk mengetahui hubungan antar variabel dilakukan
pengujian dengan korelasi Pearson Product Moment dan untuk mengetahui
perbedaan antar kelompok dilakukan perhitungan dengan menggunakan Factorial
Design. Analisa terhadap data pendukung lainnya dilakukan dengan presentase.
Hasil utama penelitian ini menunjukkan adanya korelasi yang positif antara
persepsi terhadap isu (sebagai fakta, antara fakta dan bukan fakta dan bukan
sebagai fakta) dengan tingkat kecemasan masyarakat Jakarta. Kedua, ternyata ada
perbedaan tingkat kecemasan antara masyarakat yang mempersepsi isu sebagai
fakta, antara fakta dan bukan fakta dan bukan sebagai fakta. Ketiga, tidak ada
perbedaan tingkat kecemasan yang signifikan antara kelompok masyarakat
pribumi dan keturunan Cina. Keempat, tidak ada perbedaan tingkat kecemasan
yang signifikan antara kelompok masyarakat pribumi dan keturunan Cina yang
mempersepsi isu secara berbeda. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa informasi yang dianggap paling berpotensi menimbulkan bahaya adalah
informasi yang berkaitan dengan masalah SARA.
Penelitian ini menunjukkan adanya kesesuaian antara teori dan Rosnow dan juga
fenomena yang ada dalam masyarakat. Hal yang menarik di sini adalah tidak
adanya perbedaan tingkat kecemasan yang signifikan antara kelompok masyarakat
pribumi dan keturunan Cina. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab antara lain
jumlah subyek yang tidak sama untuk masing-masing kelompok dan situasi yang
sudah lebih baik. Oleh karena itu disarankan untuk penelitian selanjutnya
diusahakan untuk mendapatkan jumlah subyek penelitian yang sama untuk
masing-masing kelompok dan penelitian hendaknya dilakukan pada saat ada ada
kejadian menakutkan atau perubahan suhu politik. Sehingga hasil penelitian yang
dilakukan pada saat yang berbeda dapat dibandingkan."
2000
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zefanya Meiroosa
"Dalam perkuliahan seringkali mahasiswa merasa tertuntut dengan beban yang dialami, salah satunya saat masa ujian. Jika mahasiswa melihat tuntutan tersebut lebih besar dari kemampuannya, ia akan mengalami stres akademik. Kecemasan diduga menjadi sumber dari stres akademik yang dialami oleh mahasiswa. Resiliensi diduga menjadi variabel yang berperan sebagai faktor protektif terhadap tingkat stres akademik pada mahasiswa. Penelitian ini melihat peran kecemasan dan resiliensi terhadap stres akademik. Partisipan dalam penelitian ini adalah mahasiswa berusia 17 hingga 25 tahun yang telah mengikuti kuliah tatap muka sepenuhnya (N=107, M=19,79, SD=1,24). Terdapat 3 alat ukur yang digunakan dalam penelitian The Student- Life Stress Inventory (SSI), General Anxiety Disorder 7 (GAD-7), dan Connor Davidson Resilience Scale 10 (CD-RISC 10). Hasil analisis regresi linear menunjukkan kecemasan memprediksi stres akademik, sedangkan resiliensi tidak memprediksi stres akademik. Dapat disimpulkan semakin tinggi tingkat kecemasan pada mahasiswa, maka semakin tinggi juga stres akademik pada mahasiswa. Pengambilan data dilakukan saat partisipan sedang ujian akhir. Hal ini mengakibatkan hasil penelitian mencerminkan kondisi mahasiswa saat berada pada masa yang menekan.

College students often experience burden in facing lectures, one of the examples is during exam. If the demand of the lectures is seen bigger than the college student’s capability, they may experience academic stress. Anxiety was predicted as the stressors of academic stress that experienced by college student. Resilience is predicted as a protective factor towards academic stress. This study aims to find out the role of anxiety and resilience on academic stress. The participants of this study is college student aged 17 until 25 years old (N=107, M=19,79, SD=1,24). There are three scales that is used in the study Student-Life Stress Inventory (SSI), General Anxiety Disorder 7 (GAD-7), and Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC-10). The result shows that anxiety predicts academic stress, and resilience does not predict academic stress. Based on these findings, it can be concluded that the higher the anxiety, the higher the academic stress on college student. The data was collected during the final exam. Therefore, the result indicates college student’s condition when they are in stressful times."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Haekal Eslam Rananda
"Kecemasan adalah suatu kondisi ketika tubuh mengalami ketakutan, atau perasaan yang memburuk yang akan ditanggapi oleh tubuh untuk mengantisipasi suatu ancaman. Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan kecemasan. Oleh karena itu, dapat dialami oleh siapa saja kapan saja, terutama dalam situasi yang penuh tekanan seperti pandemi yang telah menyebabkan perubahan besar dalam interaksi sosial dan bahkan menyulitkan orang untuk bekerja, membuat banyak dari mereka kesulitan tinggal di rumah tanpa atau sedikit uang. Tipe orang ini mudah diserang oleh perasaan cemas. Namun kecemasan itu tidak pandang bulu, sehingga pekerja juga bisa mengalaminya, termasuk para pengemudi ojek online. Faktor-faktor karakteristik seperti jenis kelamin, status pernikahan, pengalaman kerja, pendidikan terakhir, durasi kerja, dan status ekonomi mempengaruhi perasaan cemas pada pengemudi ojek online. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik dan kecemasan pengemudi ojek online selama masa pandemi COVID-19. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan metode cross-sectional dengan pengumpulan data menggunakan teknik purposive sampling yang berjumlah 107 responden pengemudi ojek online di Kota Depok. Penelitian ini menggunakan Hamilton Anxiety Rating Scale Versi Indonesia (r = 0,944) yang diuji menggunakan analisis bivariat korelasi Pearson. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan p-value (signifikansi) usia dan kecemasan p = 0,008; jenis kelamin dan kecemasan p = 0,008; status pernikahan dan kecemasan p = 0,273; tingkat pendidikan dan kecemasan p = 0,292; pengalaman bekerja dan kecemasan p = 0,015; durasi kerja dan kecemasan p = 0,174; dan status ekonomi dan kecemasan p = 0,149. Kesimpulan yang diperoleh adalah terdapat hubungan antara karakteristik usia, jenis kelamin, dan pengalaman bekerja terhadap kecemasan. Hasil penelitian ini merekomendasikan peningkatan pelayanan kesehatan psikososial yang masih belum menjadi perhatian bagi pekerja sektor informal khususnya pengemudi ojek online.

Anxiety is a condition when the body experiences fear, or worsening feelings that the body will respond to in anticipation of a threat. There are many factors that can cause anxiety. Therefore, it can be experienced by anyone at anytime, especially in a stressful situation such as pandemic that have caused massive changes in social interaction and even made it hard for people to work, leaving lots of them desperately stay at home with no or little money. These type of people are easily attacked by the feeling of anxiety. However, anxiety is indiscriminate, so worker can also experience it, including the ojek online drivers. Characteristics factors, such as genders, marital status, work experiences, and the latest education, work duration, and economic status are influenced the feeling of anxiety in online ojek drivers. This study aims to determine the relationship between characteristics and anxiety of online ojek drivers during the COVID-19 pandemic. This study uses a descriptive design with a cross-sectional method with data collection using a purposive sampling technique totaling 107 respondents of online ojek drivers in Depok City. This study used the Hamilton Anxiety Rating Scale Indonesian Version (r = 0.944) which was tested using a bivariate analysis of Pearson correlation. The results of the Pearson correlation test showed the p-value (significance) of age and anxiety p = 0.008; gender and anxiety p = 0.008; marital status and anxiety p = 0.273; level of education and anxiety p = 0.292; work experience and anxiety p = 0.015; work duration and anxiety p = 0.174; and economic status and anxiety p = 0.149. The conclusion obtained is that there is a relationship between the characteristics of age, gender, and work experience on anxiety. The results of this study recommend improving psychosocial health services which are still not a concern for informal sector workers, especially online ojek drivers. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arifa Nadira
"Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara penerimaan diri dan kecemasan menghadapi masa depan pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Untuk mengukur penerimaan diri digunakan Unconditional Self-Acceptance Questionnaire (USAQ) yang dikembangkan oleh Chamberlain dan Haaga (2001), sementara itu untuk kecemasan menghadapi masa depan digunakan alat ukur yang dikembangkan oleh Zalenksi (1996) yaitu Future Attitude Scale (FAS). Partisipan dalam penelitian ini adalah 101 orang mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Teknik analisis data menggunakan pearson correlation untuk menjawab masalah penelitian. Hasil dari penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara penerimaan diri dan kecemasan menghadapi masa depan (r = -0,419).

This research aim to find correlation between future anxiety and selfacceptance among Faculty of Psychology of Universitas Indonesia student. Unconditional Self-Acceptance Questionnaire developed by Chamberlain and Haaga (2001) was used to measure self-acceptance, while Future Attitude Scale developed by Zaleksi (1996) was used to measure future anxiety. Participants in this research were 101 students of Faculty of Psychology of Universitas Indonesia. Pearson correlation analysis technique was used to answer the research problem. The result showed that there was a negative significant correlation between self-acceptance and future anxiety (r = -0,419)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45866
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>