Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 165680 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fitri Hanesty
"Tugas kelancaran fonemik adalah salah satu tugas dari tes kelancaran verbal yang dapat digunakan untuk melihat mekanisme kognitif seseorang ketika mencoba mengelompokkan kata berdasarkan kriteria tertentu (clustering) dan melakukan perpindahan dari satu kelompok kata ke kelompok/kata baru lainnya (switching). Sejumlah faktor demografis dipercaya memiliki pengaruh terhadap performa dalam tugas kelancaran fonemik, diantaranya adalah jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Di Indonesia sendiri penggunaan tugas kelancaran fonemik masih sangat terbatas. Penelitian dari Hendrawan, Hatta dan Ohira (in press) menemukan bahwa huruf S, L, dan J adalah stimulus huruf yang paling sesuai digunakan dalam tugas kelancaran fonemik bagi mereka yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa utamanya. Namun, sejauh ini belum ditemukan penelitian terkait tugas kelancaran fonemik yang berusaha melihat mekanisme clustering dan switching pada partisipan berbahasa Indonesia. Selain itu, pengaruh dari jenis kelamin dan tingkat pendidikan pada performa tugas kelancaran fonemik juga belum jelas gambarannya pada partisipan berbahasa Indonesia. Penelitian ini ingin mengetahui pengaruh dari jenis kelamin dan tingkat pendidikan pada performa tugas kelancaran fonemik yang dilihat melalui clustering dan switching dengan stimulus yang sudah disesuaikan dengan bahasa Indonesia (S, L, dan J). Penelitian dilakukan terhadap 80 partisipan laki-laki dan 80 partisipan perempuan yang tinggal di Jabodetabek, sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia, dan pernah/sedang menjalani pendidikan di tingkat tinggi/menengah/dasar. Hasil menunjukkan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh signifikan terhadap clustering dan switching pada tugas kelancaran fonemik, sedangkan jenis kelamin tidak berpengaruh signifikan terhadap clustering dan switching. Selain itu, hasil juga tidak menunjukkan adanya pengaruh interaksi yang signifikan antara jenis kelamin dan tingkat pendidikan terhadap clustering dan switching. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan adalah prediktor yang lebih baik dari jenis kelamin dalam clustering dan switching pada tugas kelancaran fonemik.

honemic fluency task is a part of verbal fluency test and known to have the ability to measure the underlying cognitive mechanism reflected by the way an individual subcategorizes the words he/she produces (clustering) and then how he/she shifts from one subcategory to the other subcategory/single word (switching). A number of demographic factors have been found to influence the performance of phonemic fluency task; two of them are sex differences and education. In Indonesia, the use of phonemic fluency task is still rarely applied. A study from Hendrawan, Hatta & Ohira (in press) has successfully discovered that S, L, and J are the representative stimuli of phonemic fluency for participants with Bahasa Indonesia as their native language. However, a study about underlying mechanism of clustering and switching on participants with Bahasa Indonesia is none to be found up until now. Furthermore, it is still unclear how sex differences and education affect the performance of phonemic fluency for Indonesian native speakers. This study aimed to seek the effects of sex differences and education on clustering and switching of phonemic fluency task conducted to participants with Bahasa Indonesia as the native language. A total of 80 males and 80 females in Jabodetabek, with different levels of education (high/medium/low) joined this study. Results showed that the level of education had a significant main effect toward clustering and switching in phonemic fluency task, while sex differences had no effect. Also, there is no interaction effect between sex differences and education toward clustering and switching. However, there was no main effect from sex differences toward clustering and switching in phonemic fluency task. In addition, the interaction effect between sex differences and education toward clustering and switching was also not found. In conclusion, results of this study indicated that education is a better predictor than sex differences in clustering and switching of phonemic fluency task.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S53691
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Claudya Carolina
"Tugas kelancaran semantik merupakan salah satu tes neuropsikologis yang sedang dikembangkan di Indonesia. Sampai saat ini, belum ada penelitian di Indonesia yang dilakukan untuk menginvestigasi strategi kognitif yang dilakukan partisipan saat mengeluarkan performanya pada tugas kelancaran semantik, yaitu clustering dan switching. Sejumlah studi di beberapa negara menemukan bahwa terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam melakukan clustering dan switching pada tugas kelancaran semantik. Sementara itu, studi lain menemukan perbedaan clustering dan switching pada partisipan di tingkat pendidikan berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh jenis kelamin dan tingkat pendidikan terhadap clustering dan switching tersebut. Peneliti melakukan analisis clustering dan switching dari tugas kelancaran semantik terhadap 157 partisipan sehat yang berasal dari jenis kelamin dan tingkat pendidikan berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan merupakan satu-satunya variabel yang mempengaruhi clustering dan switching pada tugas kelancaran semantik. Sementara itu, tidak ditemukan adanya pengaruh jenis kelamin maupun pengaruh interaksi antara jenis kelamin dan tingkat pendidikan terhadap clustering dan switching. Maka dari itu, peneliti menyimpulkan bahwa pendidikan adalah salah satu faktor yang dapat berpengaruh terhadap kemampuan kognitif, khususnya yang terlibat dalam clustering dan switching tersebut.

Semantic fluency task is one of the neuropsychological assessment that is being developed in Indonesia. To date, there was no previous research in Indonesia that had been conducted to investigate the clustering and switching strategies on semantic fluency task. A number of studies in some countries showed that there was a difference between men and women on clustering and switching in semantic fluency task. Meanwhile, another studies revealed that there were clustering and switching differences between participants from different level of educational background. The purpose of this study was to evaluate whether there was an effect of sex and level of education on clustering and switching. One hundred and fifty seven male and female participants who come from different educational level were analyzed on clustering and switching in semantic fluency task. The results suggested that educational level was the only factor which influenced clustering and switching scores. Besides, there was no effect on sex or interaction between sex and level of education on that scores. Therefore, it can be concluded that education is one of the factor influencing cognitive ability, especially in clustering and switching.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S55791
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fanggidae, Erdhy
"Reformasi pada tahun 1998 memunculkan kebebasan bagi media massa di Indonesia dalam menjalankan praktek media, ditandai dengan munculnya fenomena di mana sensualitas dan seksualitas dalam berbagai bentuk yang hampir selalu ada. Banyak pihak kemudian yang memprihatinkan hal ini, meminta agar kalangan media massa merespon apa yang disebut dengan keprihatinan dan tuntutan masyarakat terhadap maraknya pornografi. Tercetus rencana pembentukan Undang-Undang Anti Pomografi dan Pornoaksi. Komite Penyiaran Indonesia (KPI) berjanji akan menetapkan sebuah standar penyiaran dan pemerintah juga mempersiapkan empat rancangan peraturan pemerintah (RPP) berkenaan dengan bidang penyiaran.
Wacana regulasi tentang pomografi sebenarnya baik, namun pertanyaan mengenai realitas pornografi menurut perspektif apa dan siapa yang sebaiknya digunakan dalam penyusunan dan implementasi regulasi terkait, serta faktor-faktor apa saja yang nantinya perlu mendapat penekanan dalam regulasi itu, harus dijawab terlebih dahulu. Sebabnya, realitas dibentuk dan dikonstruksi, berwajah ganda/jamak, setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing.
Sejalan dengan pandangan realitas menurut paradigma konstruktivisme, bahwa realitas adalah hasil dari konstruksi mental, bersifat sosial dan tergantung pada orang yang memahaminya, penelitian kualitatif dengan paradigma konstruktivisme ini berusaha untuk melihat bagaimana kalangan perempuan informan penelitian ini melakukan penerimaan dan juga pemaknaan terhadap realitas praktek media massa yang membahas seksualitas dari sensualitas. Selanjutnya penelitian dengan metode fenomenologi ini juga berusaha mengetahui realitas mengenai isu pornografi di media massa Indonesia menurut para informan, mengenai sejauh mana praktek media massa dengan bahasan seksualitas dan seksualitas tersebut bisa dikategorikan sebagai pornografi dalam pemaknaan mereka.
Menggunakan tiga kategori pemetaan dalam kerangka Audience Reception Theory.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa audiens melakukan pemaknaan sendiri ketika melakukan konsumsi media massa. Dalam realitas bahasan seksualitas, para informan penelitian ini tidak keberatan dan mendukung adanya bahasan seksualitas di media massa. Penelitian ini juga memperlihatkan bagaimana ada perbedaan dalam pemaknaan pornografi dan juga realitasnya dalam praktek media massa di Indonesia sendiri. Temuan lainnya adalah bahwa laki-laki dianggap sebagai bagian masyarakat yang paling rentan terhadap dampak dari pomografi.
Dikaitkan dengan pengaruh latar audiens ketika melakukan pemaknaan, penelitian ini menghasilkan temuan bahwa pemaknaan para informan tidak bergantung kepada latar belakang lingkungan tempat tinggal dan mobilitas mereka dan bahwa faktor agama jarang digunakan untuk memaknai isu pomografi di media massa.
Implikasi teori dari penelitian ini adalah bahwa audiens memang mempunyai pemaknaan sendiri ketika mereka berhadapan dengan praktek media massa. Secara metodologis, dengan memperhatikan keterbatasan dari penelitian ini, di mana para informannya adalah hanya mereka yang menepakan perempuan lajang pekerja profesional yang berkantor di Jalan Jenderal Sudirman Jakarta, akan sangat menarik jika di kemudian hari bisa dilakukan sebuah eksplorasi bahasan yang sama.terhadap variabel-variabel yang lebih beragam dalam skala penelitian yang lebih luas secara kuantitatif menggunakan metode survey."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13692
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Adityasanti
"Salah satu dari sekian banyak masalah yang biasanya dialami oleh remaja adalah masalah yang berkaitan dengan perkembangan seksualitasnya seperti faktor. Pertama, remaja mengalami perubahan fisik yang melibatkan perubahan bentuk tubuh, perubahan hormonal yang mendorong munculnya perilaku seksual, serta kematangan organ-organ reproduksi yang membuat individu telah mampu untuk mftnghasilkfln keturunarL Selain faktor kematangan biologis yang terjadi dalam dirinya, perilaku seksual remaja juga dipicu oleh ekspose media cetak dan elektronik yang kurang memberikan informasi mengenai konsekuensi negatif dari hubungan seksual pranikah. Di samping itu, berkembang pula keyakinan-keyakinan remaja yang salah seperti keyakina bahwa mereka tidak akan hamil bila melakukan hubungan seksual untuk pertama kalinya atau bila hanya menempelkan alat kelamin dengan lawan jenis (Sarwono, 1991). Faktor pemicu lain yaitu saat ini terjadi pergeseran norma yang membuat remaja cenderung bersikap permisif dan bebas dalam melakukan hnhiingan seksual (Dacey 1982). Hal ini sekali lagLtidak dibarengi dengan pengetahuan seksual yang memadai.
Data penelitian juga menunjukkan peningkatan jumlah kehamilan remaja, penyakit menular seksual, HIV/AIDS serta aborsi (Hayes, 1987; WHO, 1993; LDUI, 1999). Beberapa hal tersebut di atas cukup untuk menekankan perlunya remaja putri memiliki pengetahuan seksual yang memadai. Pengetahuan seksual yang baik berperan penting sebagai alat kendali bagi remaja untuk mempertimbangkan sebelumnya konsekuensi dari suatu hubungan seksual sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang tepat sebelum bertindak lebihjauh.
Pengetahuan seksual yang diperoleh remaja tidak terlepas dari sumber informasi pengetahuan tersebut. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa remaja memperoleh pengetahuan seksual mereka dari teman sebaya, sekolah, majalah, orang tua, film dan televisi (David & Harris, 1982; Syartika, 1998). Namun, tidak semua sumber informasi memberikan informasi yang akurat. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk memperoleh gambaran pengetahuan seksual remaja putri yang diperoleh dari berbagai sumber informasi. Selain itu peneliti juga ingin mengetahui gambaran sumber informasi subyek dalam memperoleh pengetahuan seksual tersebut. Sehingga kemudian dapat diketahui sumber informasi tnana yang memberikan informasi yang benar dan yang memberikan-informasi yang salah.
Penelitian ini dilakukan pada siswi kelas II dan III SMU Tarakanita I, yang telah mendapatkan pendidikan seksual dari sekolah, dengan menggunakan tehnikpurposive sampling. Setiap subyek dalam penelitian ini mendapatkan kuesioner yang terdiri dari dua bagian, yaitu kuesioner pengetahuan seksual beserta pemilihan sumber informasi dan kiipginner pada asuli untuk memperoleh gambaran pola asuh subyek yang akan digunakan sebagai salah satu data kontrol untuk memperkaya hasil penelitian. Data yang diperoleh dari kuesioner pengetahuan seksual diolah dengan menggunakan SPSS for Windows Release 9.01. Sedangkan data yang diperoleh dari knpginnftr pada asuli dinlah Hpingan menggunakan perhitungan semi-interquartile secara manual.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar subyek memiliki pengetahuan yang memadai mengenai kehamilan (64,11%), penyakit menular seksuaL (79,69%), HIV/AIDS (56,25.%), serta kontrasepsi (91,19%). Dalam hal sumber informasi, sebagian besar subyek dengan proporsi sebanyak 70,31% mendapatkan pengetahuan ssk&ual dari sekolah sebagai sumber informasi utama mereka Sedangkan proporsi kedua terbanyak sebesar 15,63%, mendapatkan pengetahuan seksualnya dari majalah. Dari hasil tamhahan yang diperoleh dari penelitian ini, menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara semua jenis pengetahuan seksual yang diperoleh dari sumber informasi yang berbeda. Selain itu juga tidak ada perbedaan yang signifikan antara pengetahuan yang dimiliki subyek dengan pola asuh antnritarian aiitnritatif maiipiin perrpisif.
Dari penelitian yang dilakukan, peneliti menyarankan agar orangtua dapat menciptakan komunikasi yang terbuka dengan anak serta menambah pengetahuannya mengenai masalah-masalah seksual, sehingga dapat memberikan informasi yang akiirat kepada remaja Selain itu disarankan juga agar sekolah dalam memberikan materi pendidikan seksual turut memperhatikan perkembangan kognitif remaja, sehingga dapat meminimalkan kesalahan remaja dalam menginterpretasi informasi yang diberikan. Penelitian ini dapat diperluas dengan melakukan penelitian lebih lanjut mengenai perhandingan antara pengetahuan seksual serta sumber informasi pengetahuan seksual pada remaja yang telah mendapatkan pendidikan seksual dari sekolah dan yang tidak mendapatkan pendidikan seksual dari sekolah."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S2901
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Belum banyak penelitian empiris yang menghubungkan perilaku seksual seseorang dengan perspektifnya memandang dunia (atau: pandangan dunia), meskipun kajian-kajian spekulatif yang berkenaan dengan hal tersebut telah banyak terdapat dalam literatur. Penelitian ini melakukan pengukuran empiris terhadap pandangan dunia partisipan dengan Worldview Analysis Scale dan perilaku seksual partisipan dengan Garos Sexual Behavior Inventory. Partisipan penelitian terdiri atas 200 orang (52% laki-laki, 48 perempuan; Rerata usia 24.23 tahun; Simpangan baku usia 1.92 tahun), yang dijaring dengan teknik penyampelan convenience insidental di Jabodetabek, Bandung dan Surabaya. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi antara pandangan dunia komunalisme dengan ketidaknyamanan seksual (r = 0.239, p < 0.01) dan pandangan duia realisme terukur dengan ketidaknyamanan seksual (r = -0.187, p < 0.01)."
AJMS 4:1 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Tulisan ini menguraikan pengalaman mengajar mata kuliah Perilaku seks di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga, Surabaya (1991 - 1998). mata kuliah ini dipelopori oleh A. Adi Sukadana (1932-1989),salah seorang pendiri dan kemudian dekan (1985-1988) fakultas itu, sejak awal berdirinya pada tahun 1978 dan masih di tawarkan hingga sekarang, walaupun dengan nama yang lain,yakni seksualitas"
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Kehidupan seksual yang tidak harmonis tidak jarang mengakibatkan banyak masalah. Ketika fungsi seksual istri tidak optimal maka kepuasan seksual pria beristri ataupun kedua belah pihak dapat terganggu sehingga tidak jarang pria beristri mencari tempat pelarian misalnnya dengan melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan WPS. Dampak dari hubungan seksual tanpa kondom dengan WPS dapat mengakibatkan IMS. Penelitian ini bertujuan mengetahui frekuensi hubungan seksual tanpa kondom dengan WPS berhubungan dengan tingkat kepuasan seksual pria beristri dan risiko Infeksi Menular Seksual. Metode: Desain penelitian observasional analitik cross sectional. Teknik accidental sampling. Sampel 196 orang, dengan kriteria pria memiliki istri yang legal, istri belum monopause, teratur melakukan hubungan seksual dengan istri tanpa kondom 6 bulan terakhir, melakukan hubungan seksual dengan WPS tanpa kondom minimal 1 kali dalam 6 bulan terakhir, tahap keluarga sejahtera II, sehat dan bersedia menjadi responden. Data tingkat kepuasan seksual dan frekuensi hubungan seksual tanpa kondom dikumpulkan dengan wawancara, data risiko IMS dengan pemeriksaan fisik dan laboratorium oleh tenaga medis. Pemeriksaan laboratorium gonore dengan pewarnaan Gram's, sifilis dengan Treponema Pallidum Hemagglutination Assay (TPHA) dan Veneral Disease Research Laboratory (VDLR), herpes genitalis dan kondiloma akuminata berdasarkan gejala klinis. Hasil disajikan secara deskriptif, dan uji normalitas data dengan Kolmogorav-Smirnov serta uji korelasi Spearman's rho dan Chi-Square. Hasil: penelitian menunjukkan frekuensi hubungan seksual tanpa kondom terbanyak 1 kali/minggu 57 orang (29,10%), tingkat kepuasan seksual cukup puas 97 orang (49,50%), dengan IMS 10 orang (5,10%). Frekuensi hubungan seksual tanpa kondom dengan WPS tidak berhubungan dengan tingkat kepuasan seksual pria beristri p = 0,146 (p > 0,05). Frekuensi hubungan seksual tanpa kondom dengan WPS berhubungan dengan risiko IMS p = 0,001 (p < 0,01). Kesimpulan: penelitian ini menunjukkan frekuensi hubungan seksual tanpa kondom dengan WPS tidak berhubungan dengan tingkat kepuasan seksual pria beristri, tetapi berhubungan dengan risiko IMS. Penelitian dapat dipakai sebagai dasar penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan faktor lainnya yang berkaitan dengan frekuensi hubungan seksual pria beristri dengan WPS. "
BULHSR 17:4 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Melinda
"Kota Batam merupakan daerah industri yang sangat pesat perkembangannya dimana terdapat tenaga kerja pria di 564 perusahaan industri. Di sisi lain jumlah lokalisasi dan tempat hiburan malam baik resmi maupun terselubung cukup banyak dijumpai. Pria pekerja perusahaan yang sehari-hari ditempat kerja mendapat banyak tekanan, dengan adanya penghasilan akan sangat mampu menjangkau tempat hiburan malam sesuai yang mereka mampu.
Penelitian ini melihat faktor yang berhubungan dengan perilaku berisiko tertular HIV pada pria pekerja perusahaan di Kota Batam. Perilaku seksual berisiko tertular HIV yang dimaksud adalah meliputi perilaku berhubungan seks dengan wanita Pekerja Saks Komersial (PSK) dan tidak menggunakan kondom.
Disain penelitian dengan cross sectional pada 150 responden pria yang pernah berhubungan seks dengan PSK dengan metode wawancara langsung menggunakan kuesioner.Karakteristik individu yang diteliti ada sepuluh variabel (pengetahuan, umur, pendidikan, penghasilan, status kawin, keterpaparan media porno, keterpaparan informasi HIV/AIDS, usia seks pertama, pasangan seks pertama dan pengalaman mendapat PMS).
Hasil analisis bivariat dengan Chi Square menunjukkan ada tiga variabel yang berhubungan erat (p < 0,05) dengan perilaku seksual berisiko yaitu pendidikan, status kawin dan pengalaman mendapat PMS. Hasil uji multivariat menunjukkan bahwa model terbentuk oleh variabel tingkat pendidikan, status kawin dan pengalaman mendapat PMS. Hasil penelitian menunjukkan 40,7% responden berperilaku seksual berisiko. Responden yang status kawin mempunyai kemungkinan berperilaku seksual berisiko 5 kali dibandingkan dengan yang satus duda. Responden yang tingkat pendidikan menengah mempunyai kemungkinan 3 kali berperilaku seksual berisiko dibandingkan dengan yang berpendidikan tinggi. Sedangkan responden yang pemah mengalami penyakit menular seksual mempunyai kemungkinan 2,5 kali berperilaku seksual berisiko dibandingkan dengan yang tidak pernah tertular HIV.
Dari hasil penelitian ini perlu ditingkatkan penyebarluasan informasi melalui KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) dan penyuluhan tentang pentingnya Absentee, Befaifhful dan Condom (ABC). Bagi Pemenntah Kota dapat membuat regulasi kewajiban pemakaian kondom dan pemeriksaan kesehatan berkala pekerja oleh pengusaha. APINDO menghimbau keterlibatan pengusaha dalam penanggulangan HIV/AIDS. Penusahaan menyediakan pelayanan PMS di klinik perusahaan dan LSM penyuluhan KIE ke perusahaan, pendampingan, konseling, menyediakan tempat singgah (shelter), memberi informasi pemeliharaan kesehatan dan gizi serta akses pengobatan bagi orang dengan HIV/AIDS.

Kota Batam is an industrial region which its development is very fast. There are a number of working men in 564 industrial companies. On the other hand, localization and both legal and illegal night entertainment places can easily be found in the city. Male factory workers that face many depress in their working place, by their income, are easily reach the night entertainment places that they afford to pay.
This research aims to know determinants of sexual behavior risk of H1V/AIDS in male factory workers in Kota Batam. The sexual behavior risk of HIV/AIDS is sexual intercourse with Commercial Sex Workers (CSWs) and not using condom when having sex with them.
The study is a cross sectional design with 150 men respondents, that have made sexual contact with CSWs, by direct interview of using questionnaire. The individual characteristics observed were 10 variables (knowledge of H1VIAIDS, age, education, income, marriage status, pornography in media, available information about HIV/AIDS, age cif first sexual intercourse, first sexual partner and the experience of Sexual Transmitted Diseases (STDs).
The bivariat test and chi square showed that three variables are significantly related (p < 0.05) to the susceptibly sexual behavior: education, marital status, and the experience of getting STDs. The result of multivariate test show that the model was formed by the variable of education level, widow status and experience of experiencing STDs. The result of showed that 40,7 % of the respondents have risky sexual behavior. Married men respondents have probability 5 times to HIV/AIDS-risk sexual behavior
compare with widow men. Respondents with middle education level have probability 3 times to HIV/AIDS-risk compare with high education level. In the other part, the respondents, that have experienced STDs, have probability of 2.5 times times to HIV/AIDS-risk compare never had STDs.
From the result of the research, it is suggested to communicate information widely through Communication, Information, and Education and tipoff about the importance of Absentee, Be Faithful and Condom. To the local government, it is suggested to include all related institutions/bodies in HIV/AIDS control. To the company parties, it is suggested to regulate the using of condom and regular investigation to the workers and employer. APINDO suggest the involvement of employer in HIV/AIDS control. To the companies, it is suggested to provide STDs care service in company's clinic, and to the NGO to provide communication, information, and education, guidance, counseling, shelter at the companies, and to provide information about health and nutrition, and access to the medical treatment for those workers with HIV/AIDS.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12640
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwi Winarti
"Studi tentang pertumbuhan fisik telah menunjukkan bahwa pertumbuhan anak usia 13 -15 tahun merupakan pertumbuhan fisik yang cepat. Pada anak perempuan, hal tersebut berhubungan dengan kematangan seksual yang merupakan ciri-ciri pubertas, ditandai haid pertama dan berkaitan dengan keadaan gizi dan psikhisnya. Studi pengantar di Tanjungsari mengenai kematangan seksual, ditemukan data Cohort WHO, dari 3500 anak terdapat 1550 anak perempuan dengan tiugkat maturasi seksual 28 anak (1,8%). Usia menarchenya 12 tahun, dan ditemukan 11 responden (0,70 %) atau (39,28%) dad data kematangan seksual, telah menikah.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dan faktor apa yang dominan berhubungan dengan kematangan seksual. Desain penelitian merupakan survey dengan pendekatan Cross Sectional, lokasi di Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang Jawa Barat, dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Juni tahun 2003.
Jumlah sampel 150 anak perempuan usia 13 sampai 15 tahun. Vaniabel babas yang diduga berhubungan idalah Indeks Masa Tubuh, Status anemia, Kadar lemak tubuh, Perilaku sosial, Umur, Pendidikan, Pendidikan Ayah, Pendapatan Orangtua dan Kebiasaan keluarga.
Data merupakan data primer yang dikumpulkan dari anak perempuan dengan menghitung Indeks Masa Tubuh dari pengukuran berat badan dalam kilogram dibagi ukuran tinggi badan dalam meter kuadrat dan Status Anemia. Ban pengambilan sampel darah anak kemudian dianalisa hasilnya dalam ukuran gram %.
Prosentase lemak tubuh, dilakukan setelah diketahui ukuran tinggi badan, berat badan, umur dan jenis kelaniin,masukkan dalam BIA, hasilnya berupa prosentase. Data kematangan seksual diperoleh dari pemeriksaan fisik tanda kematangan seksual sekunder, sedangkan data mengenai perilaku sosial, umur, pendidikan, pendidikan ayah, pendapatan orangtua, serta kebiasaan keluarga diperoleh melalui kuesioner.
Pengolahan data dilakukan manual, dan bantuan komputer, data yang terkumpul dimasukan pada program. Hasil analisa Univariat dari 150 Responder, melalui pengukuran Indeks Masa Tubuh, diperoleh status gizi kurang sebanyak 35 responden (23,3%), 15 responden (10%) mengalami Anemia, melalui lemak tubuh didapatkan data Gizi kurang 78 responden (52,0%). Sebanyak 33 responden (22,0%) mengalami kematangan seksual lambat, 117 responden (78,0 %) mengalami kematangan seksual cepat.
Hasil analisa Bivariat menggunakan Chi-Square ditemukan 2 variabel yang berhubungan dengan kematangan seksual yaitu Lemak tubuh dengan p value = 0,005, dan kebiasaan keluarga p value = 0,004. Faktor-faktor lainnya yaitu, Indeks Masa Tubuh, Status Anemia, umur, Sikap perilaku sosial, pendidikan anak, pendidikan ayah dan pendapatan orangtua tidak berhubungan dengan kematangan seksual. Analisa multivariat yang mempunyai p value terkecil adalah kebiasaan keluarga dengan p Value = 0,004, dan ini merupakan faktor yang paling dominan berhubungan dengan kematangan seksual secara bermakna.
Sebagai saran, Puskesmas dan Instansi pusat terkait perlu meningkatkan program pelayanan kesehatan reproduksi remaja di daerah ini. Untuk peminat dan peneliti lain perlu meneliti lebih lanjut mengenai masalah reproduksi remaja, terutama bila anak akan menghadapi masa berkeluarga.

A study about physical growth has found that the children's growth spurt is occur at the age of 13 to 15 year old. On a girl, this episode is related to her sexual maturity, which usually called as puberty. It is usually characterized by the onset of menarche, her first menstruation, and related to her state of nutrition and of psychology. An introductory study at Tanjungsari on sexual maturity, using WHO's cohort data, has found that among 3,500 children there are 1,550 girls. And among those girls there were 28 (1.8%) girls who already have their sexual maturation, with details information that their age of menarche are 12 years old, and found that 11 of them (39.28%) were married.
Study will be carried out, and have a purpose on finding out what factors related and which factor that have a greatest role in determining the sexual maturity. The design of the study is a survey with a cross-sectional approach, will be held in Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang,West Java, on April to June 2003.
The number of the sample is 150 young girls with have an age range. between 13 to 15 years old. The independent variables assumed to have relationship with sexual maturity are: body mass index, the state of anemia, percentage of body fat, social behavior, age, education, father's education, parent's income and family's customs.
A primary data will be collected from young girls by calculating the body mass index, which measured the body weight in kilograms divided by the height in Meter Square and the state of anemia is also observed by examining the blood sample and analyzed those samples to obtain the measurement for the state of anemia in gram-percent. The percentage of body fat can be calculated after data on height, weight, age and sex have been accomplished to Hand Bio Electric Impedance Analyzer. Meanwhile, data on sexual maturity were obtained from performing the physical examination on secondary sexual maturity signs, and data on social behavior, age, education, parents' education and income, and family customs are gathered using a questionnaire.
Data were being organized manually, followed by using the computer when data are being entered to a statistical program. From the univariate analysis upon 150 respondents, it can be known from calculation on body mass index that 35 respondents or 23.3% have a poor nutrition status and 15 respondents or 10% have anemia. From the percent of body fat, it has found that respondents with mild of poor nutrition state are 78 people (52,0%). Severe poor of nutrition state are 33 respondents (22%). As little as 33 girls (22,0%) have found in the state of late (slow) sexual maturity, 117 girls (78,0%) are in the state of fast sexual maturity.
Result from bivariate analysis, using chi-square, has found that2 variables are related to the sexual maturity, which are: percentage of body fat with p-value 0.05;, and family customs (p-value 0.004). Other factors that are: Body Mass Index, anemia, age, social attitude and behavior, education, father's education and family income, are not related with sexual maturity. When those variables are analyzed by multivariate analysis, it is found that variable which has the least p-value is family customs (p-value 0.004). This represent that family customs is significantly to be the most dominant factor related to sexual maturity. Based on those findings, it is suggested that Community Health Center (Puskesmas) and other central institution should be concern to the problem of health reproduction on a young girls, and should evaluate every matters related to adolescent in this region. For the other researchers it is suggested to explore a research on other issues on Adolescent Health reproduction, especially to those girls who will be engaged in a marriage in a little while.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12991
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chung, Kumala Sari Dewi
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2699
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>