Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 132585 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wuri Noviyanti
"Anggaran kesehatan di Kota Bogor berasal dari usulan kepala seksi yang ada di Dinas Kesehatan dan musrenbang tingkat Kelurahan, Kecamatan, Kota serta reses anggota DPRD. Besarnya alokasi anggaran kesehatan Kota Bogor masih dibawah aturan UU No 36 Tahun 2009 pasal 171 yang menyebutkan anggaran kesehatan yang berasal dari APBD Provinsi, Kabupaten/Kota minimal 10%. Pada anggaran kesehatan Kota Bogor masih belum merupakan anggaran prioritas hanya sebagai faktor pendukung utama prioritas pembangunan Kota Bogor. Selain itu, anggaran kesehatan yang terdapat di Dinas Kesehatan lebih diutamakan pada pelayanan kuratif bukan pelayanan promotif dan preventif. Penelitian ini dilakukan pada instansi yang memiliki peran penting dalam proses perencanaan dan penganggaran. Desain penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Hasil penelitian menyarankan agar Dinas Kesehatan Kota Bogor dalam perencanaan anggaran lebih mengutamakan anggaran untuk pelayanan promotif dan preventif serta lebih sering melakukan konsolidasi kepada Bappeda, BPKAD dan DPRD.

The health budget in Bogor City comes from the section head exist in District Health Office and the community aspirations village level, district, city and member of legislative recess. The magnitude the health budget allocation of Bogor City still under the act no 37 of 2009 on health article 171 that mentions the health budget comes from APBD Province, Country/City is a minimum 10%. The health budget in Bogor City is still not a priority of the budget, but the main constituents of priority development of Bogor City. In addition, there are health budgets in health service preferred curative services rather than on promotif and preventive services. This research was conducted at establishments that have an important role in the planning and budgeting process. The design of this research is qualitative research. The results suggest that the health agency of Bogor City priorities budget for promotif and preventive services in budget planning and more often having consolidate with Bappeda, BPKAD and Legislative."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S53099
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatharani Azmi Nadhira
"Berdasarkan SDKI 2012, angka kematian neonatal di Indonesia mencapai 19/1000 kelahiran hidup. Angka ini masih jauh dari target SDGs, yaitu 12/1000 kelahiran hidup. Beberapa penelitian membuktikan bahwa alokasi anggaran kesehatan pemerintah yang dipengaruhi oleh pendapatan daerah serta determinan sosial kesehatan memiliki peran dalam mengurangi kematian neonatal. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran pendapatan daerah, pembiayaan kesehatan dalam APBD, kecukupan tenaga kesehatan, dan determinan sosial kesehatan serta korelasinya dengan kematian neonatal pada tingkat kabupaten/kota di Indonesia tahun 2016. Metode penelitian ini adalah studi ekologi menggunakan data sekunder. Uji statistik yang digunakan adalah uji korelasi untuk variabel numerik dan uji beda proporsi chi-square untuk variabel kategorik dengan 4 strata wilayah analisis, yaitu tingkat nasional, kota, kabupaten, dan daerah tertinggal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara tingkat pendapatan daerah dengan angka kematian neonatal, namun ditemukan kecenderungan korelasi antara variabel persentase alokasi anggaran kesehatan dengan angka kematian neonatal. Selain itu, variabel determinan sosial kesehatan juga memiliki kecenderungan berkorelasi dengan angka kematian neonatal, kecuali variabel tingkat pengangguran terbuka TPT .

Based on 2012 IDHS, neonatal mortality rate in Indonesia reached 19 1000 live births. This figure is still far from the SDGs target by 2030, i.e 12 1000 live births. Several studies have shown that government health budget allocations that are influenced by regional income and social determinants of health have a role in reducing neonatal mortality. This study aims to look at the description of regional income, health financing in the APBD, adequacy of health personnel, and social determinants of health and its correlation with neonatal mortality at the regency city level in Indonesia in 2016. The method used for this study is ecological study by analyzing secondary data. The statistical test used is correlation for numerical variables and chi square for categorical variables with 4 strata of area analysis, i.e national, city, regency, and rural area. The results of this study indicate that there is no significant correlation between local income level and neonatal mortality rate, but it is found a correlation trend between health budget allocation percentage and neonatal mortality rate. In addition, social determinants of health variable also has a tendency to correlate with the neonatal mortality rate, except for the unemployment rate variable."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teppy Wawan Dharmawan
"Kondisi kesehatan masyarakat Kabupaten Sukabumi masih rendah ditandai dengan AKB yang tinggi (52,00) masih diatas rata-rata Jawa Barat (42,33). Akan tetapi, perhatian pemerintah masih rendah, berdasarkan rata-rata alokasi APBD tahun 2000 s.d. 2004 hanya 4.72 %. Penelitian ingin mengungkap faktor-faktor yang menyebabkannya. Melalui pendekatan sistem, diteliti setiap komponen yang mempengaruhi kebijakan pengalokasian APBD berdasarkan Kepmendari 29 tahun 2002. Masing-masing komponen sesuai fungsinya ditempatkan pada input-proses output dan umpan balik, dengan menggunakan metode kualitatif, melalui penelusuran data sekunder dan wawancara mendalam dengan aktor yang mengusulkan dan menetapkan APBD. Komponen yang diteliti meliputi Renstrada, Propeda, Repetada, Pokok-Pokok Pikiran DPRD, UR, Pemandangan Umum DPRD Terhadap LPJ Bupati.
Hasil penelitian menunjukkan terjadi aliran input yang kontras, pada level kebijakan (Renstrada, Propeda dan Repetada) bidang kesehatan merupakan isu utama pembangunan, akan tetapi pada dua input lain yaitu UR hanya 0.66 % dan Pokok-pokok Pikiran DPRD hanya 6.85 ?o, sehingga besaran APBD yang dialokasikan masih melebihi tuntutan UR. Hal ini menunjukkan adanya peran Dinas Kesehatan sebagai satu-satunya pihak yang mengusulkan program kesehatan.
Ke depan, perlu dilaksanakan peningkatan pendidikan dan promosi kesehatan kepada masyarakat dan aparat di desa dan kecamatan agar kesadaran akan kebutuhan pembangunan kesehatan meningkat, sehingga terjadi penguatan input. Penguatan input akan efektif dilaksanakan pada tahap pelaksanaan penjaringan aspirasi di tingkat desa pada bulan Pebruari s.d. Mei, di Tingkat Kecamatan bulan Mei s.d. Juni. Kondisi saat ini, dari sisi teknis penetapan APBD, satu-satunya komponen yang dapat mengajukan program berikut besaran biaya yang diperlukan hanya Dinas Kesehatan, sehingga diperlukan peningkatan kemampuan menyusun RASK, agar terjadi penguatan proses.
Penelitian juga menemukan, dalam kondisi masyarakat yang ada, perlu hati-hati dalam mengaplikasikan semangat desentralisasi. Kasus ini menunjukan, tidak selamanya tuntutan rakyat merupakan tuntutan yang seluruhnya harus didahulukan, dan dengan keterbatasan anggaran yang ada, model pembangkitan partisipasi masyarakat merupakan pilihan program yang sangat membantu pencapaian tujuan pembangunan kesehatan, seperti pola dana stimulan dan dana jaminan dalam pelaksanaan Strategi Desa Sehat, secara nyata mampu melahirkan efek bola salju dalam penyediaan sarana sanitasi dasar di desa.
Daftar Bacaan :30 (22, 1982-2004)

Analysis on Funding Allocated in Local Budget (APED) in the Implementation of Decentralization of Health Development in Sukabumi District Year 2004Health condition of people in Sukabumi District was quite low reflected by high IMR (52,00), beyond the average rate of West Java (42.33). Despite of this, government's concern is still low as reflected by low percentage of fund allocated in the local budget period 2000-2004 of only 4.72%. This study intended to reveal factors behind it. Through system approach, all components that influence the policy on funding allocation based on Ministry Decree no. 2912002. Each component was placed in the input-process-output and feed back scheme according to its function, using qualitative method, secondary document review, and in-depth interview with actors who propose and determine the Local Budget. Components under study included "Strategic. Planning", "Propeda", "Repetada", "Pokok-Pokok Pikiran DPRD", "UR", and "Pemandangan Umum DPRD terhadap LPJ Bupati".
The study shows that there was a contrast input flow, in the policy level (Renstrada, Propeda, Repetada), health sector was positioned as main development issue, but it was not reflected in the other two inputs, i.e. UR only 0.66% and Pokok-Pokok Pikiran DPRD only 6.85%. The allocated fund was bigger than the proposed budget and was a sign of role played by Health Office, as the only actor who proposed the health programs.
In the future, it is necessary to improve the health education and promotion to community as well as health personnel in the village and sub-district level to increase the awareness of health needs as to strengthen inputs. Input strengthening will be effectively implemented in the implementation of aspiration catch stage in the village level in February-May period, and in the sub-district level at May-June period, The present condition, Health Office is the only one who can propose programs and budget plan and hence there was a need to improve the skill to develop RASK as to strengthen the process side.
The study also found that in the existing situation, implementation of decentralization is to be implemented cautiously. This case shows that people demand was not to be agreed all the time, and with budget limitation, the participatory model is the most appropriate way to help achieving health objectives. For example stimulant funding scheme, and insurance funding in the Healthy Village Strategy, all have proven to be effective in creating snowballing effect in providing basic sanitation scheme in the village.
References : 30 (22, 1982-2994)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T12904
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edwar Zuliyar
"Pembangunan di bidang kesehatan terlihat belum merupakan prioritas utama dalam pembangunan daerah Kabepateo Musi Rawas., hal ini dapat diketahui dari rendahnya alokasi pembiayaan bidang kesehatan dalam APBD Kabupaten Musi Rawas (tahun 2002-2006) yaitu rata-rata sebesar 7,9 % darl total APBD, yang menunjukkan masih kurangnya kesadaran para pemangku kepentingan (Stake/wider) akan pentingnya arti pembangunan sektor kesebatan sedangkan ·masalah-masalah kesehatan di Kabupaten Musi Rawas masih sangat kompleks terlihat darl rendahnya indikator derajat kesehatan sedangkan unsur diluar pemerintah seperti organisasi - organisasi kemasyarakatan belum ataUu tidak dilibatkan. Unsur organisasi kemasyarakatan yang membidangi kesehatan di Kabupaten Musi adalah Forum Musi Rawas Sehat 2008. Tugas pokok dan fungsi (tupoksi) para pemangku kepentingan dalam proses penyusunan perencanaan dan penganggaran pembangunan bidang kesehatan dapat dikelompokkan menjadi 3 kriteria, yakni sebagai penanggung jawab ketua, sebagai anggota tim yang mengkoordinasikan, merumuskan dan mengevalusi usulan kegiatan/program serta sebagai penyusun perencanaan dan menyampaikan usulan rencana Pemahaman para pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses penyusunan perencanaan dan penganggamn masih berbentuk pemahaman umum tentang kesehatan, para pemangku kepentingan memiliki kepentingan dalam pembangunan kesehatan karena pembangunan kesehatan memiliki keterkaitan yang erat dimana keberhasilan pembangunan kesehatan adalah juga merupakan keberhasilan program pembangunan lainnya. Sebagian besar posisi para pemangku kepentingan dalam penyusunan dan penganggaran pembangunan bidang kesehatan adalah netml yaitu menyatakan Pembangunan kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus investasi untuk keherhasilan pembangunan bangsa, untuk itu diharapkan Pemerintah Daerah memheri porsi yang lebih besar untuk pendanaan sektor kesehatan dalarn APBD.

Development in the healih field seems not to be ihe first priority in Musi Rawa Regency Developmeot. It can be seen from the low budget allocation for the healih field in Regional Budget of Musi Rawa Regency (in 2002 -2006), average 7.9"/o of Regional are still dominated by the government (local government). The main task of function of stakeholders in making planning and development budgeting in the health field can be cla!iSified into three groups. The understanding about health of stakeholders who involved in making planning and budgeting is still general; stakeholders have interests in the health field beeause health development has interweave relation, that is the success of health field is the success of other fields as well; most of the stakeholders' point of view in the health field are neutral.They said that health building is the priority, hut in other side, they said that other fields out of health field also beeame the priority. Hopefully, in the coming future in making planning and development budgeting in the health field always consider standardized rules, quality and quantity improvement of plaoning makerS, supporting of fund, fucility, and means to support planning implementstion. Because of the strong inlluence of stakeholders in deciding budget allocation for health development in Regional Budget, intensive and survival advocate is quite necessary for stakeholders and good coordination with other related institutions. Regional Budget is the bmakdown of development planuing and social welfare is the target. For that reason, inmaking planning and budgeting should involve society. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T31652
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febi Priska Litami
"Skripsi ini membahas mengenai keterlambatan penetapan Peraturan Daerah tentang APBD Kota Bogor pada tahun anggaran 2017, yang kemudian menyebabkan Kota Bogor tidak berhasil memenuhi kriteria utama untuk mendapatkan alokasi Dana Insentif Daerah dari pemerintah pusat. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis penyebab keterlambatan penetapan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Perda APBD) Tahun Anggaran 2017. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang menggunakan pendekatan kualitatif, dengan teknik pengumpulan data kualitatif melalui wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil yang ditemukan dari penelitian ini adalah terdapat 5 (lima) faktor yang menjadi penyebab keterlambatan penetapan Perda tentang APBD Kota Bogor tahun anggaran 2017, yaitu (1) Tingginya Sisa Lebih pembiayaan Anggaran (SILPA) Tahun Berjalan Kota Bogor; (2) Adanya pengaruh politik dan perbedaan kepentingan antara Pemerintah Kota dan DPRD Kota Bogor; (3) Berlangsungnya masa reses Anggota DPRD bertepatan dengan penerimaan hasil evaluasi oleh Gubernur; (4) Tidak adanya sanksi bagi daerah yang tidak melaksanakan/mematuhi batas waktu pelaksanaan tahapan penyusunan APBD terkecuali pada tahapan penyusunan Rancangan Perda tentang APBD; dan (5) Tidak harmoninya definisi terlambat menurut Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan. Oleh karena itu, saran yang diberikan penulis adalah perlunya ditingkatkan manajemen keuangan, kesadaran dan komitmen pemangku kepentingan, perencanaan jadwal penyusunan APBD, ketegasan pemerintah dalam mengatur ketentuan penyusunan APBD, serta harmonisasi kebijakan.

This thesis discusses the Local Government Budget Delay, which caused the Bogor City to fail to fulfill the main criteria for obtaining a Regional Incentive Fund from the central government. Therefore, the purpose of this study is to analyze the causes of Local Government Budget Delay in Bogor City 2017 Budget Year. This research is a descriptive study that uses a qualitative approach, with qualitative data collection techniques through in-depth interviews and literature studies. The results showed that the causes of the delay were: (1) High budget deficit of Bogor City; (2) There are political influences and differences in interests between the Local Government and Municipal Legislative Council of City Bogor; (3) Evaluation results are received by Bogor City during the recess period of members of the DPRD; (4) There are no sanctions for regions that do not implement/comply with the time limit for implementing the stages of Regional Government Budget preparation except at the stage of drafting a Local Government Regulation on Regional Government Budget; and (5) The definition of being late is not according to the Ministry of Home Affairs and the Ministry of Finance. Therefore, the suggestions given by the author is the need to improve financial management, awareness and commitment of stakeholders, budget planning schedule preparation, the firmness of the government in regulating the provisions of the budget formulation, and harmonization of policies"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farini
"Latar belakang: Puskesmas adalah salah satu bentuk fasilitas pelayanan primer yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan perseorangan. Penguatan pelayanan kesehatan primer menjadi fokus utama yang dikembangkan di dunia oleh WHO, dimana negara-negara berkembang didorong untuk melakukan reformasi dalam rangka penguatan pelayanan kesehatan primer. Sesuai dengan Peraturan yang ada puskesmas menjalankan fungsinya dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Dalam rangka peningkatan mutu pelayanan, puskesmas wajib di akreditasi secara berkala paling sedikit 3 (tiga) tahun sekali. Tujuan akreditasi adalah untuk meningkatkan kinerja dalam memberikan pelayanan kesehatan perorangan dan masyarakat.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan puskesmas untuk penilaian akreditasi dengan tujuan khusus adalah mengetahui kesiapan puskesmas dari segi administrasi manajemen, kualitas pelayanan UKM dan UKP, kesiapan dari segi ketersediaan SDM kesehatan dan diketahuinya kesiapan puskesmas dari segi pembiayaan kesehatan.
Metode : Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus.
Hasil : Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesiapan administrasi manajemen, ketersediaan sarana dan prasarana dan SDM kesehatan serta pembiayaan cukup siap untuk mendukung penilaian puskesmas agar mendapat kategori terakreditasi.
Kesimpulan : Puskesmas yang diusulkan untuk penilaian akreditasi telah siap untuk dilakukan survei oleh tim survior.
Saran : Puskesmas masih harus terus mempertahankan dan meningkatkan kesiapan dengan melakukan penyegaran dan penguatan komitmen serta melakukan kaji banding ke puskesmas yng talah terkareditasi.

Background: Puskesmas is one form of primary care facilities that provide health services to communities and individuals. Strengthening primary health care becomes the main focus being developed in the world by the WHO, where developing countries are encouraged to implement reforms in order to strengthen primary health care. In accordance with Rule existing health centers to function more priority promotive and preventive efforts, goals to health level as high. In order to improve the quality of services, community health centers regularly accreditation mandatory in at least 3 (three) years. The purpose of accreditation is to improve performance in providing individual and community health services.
Objective: This study aimed determine the readiness of health centers for accreditation with the specific aim was to determine the readiness of puskesmas terms of administrative management, quality of service UKM and UKP, readiness in terms of availability of health human resources and health centers in terms of knowing the readiness of health financing.
Method: This study used a qualitative method with case study approach.
Results: The results showed that the administration's readiness management, availability of infrastructure and health human resources and finance are quite prepared to support the assessment of health centers in order to get accredited category.
Conclusion: The proposed health center for the accreditation assessment has been prepared for a survey conducted by a team survior.
Suggestion: Puskesmas must continue to maintain and enhance the readiness to conduct refresher and strengthening the commitment and conduct a review of an appeal to the clinic accredited.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T46651
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Rahmadini
"Menurut MDGs pengetahuan komprehensif HIV/AIDS merupakan pengetahuan mengenai penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang terdiri dari 5 kategori. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan komprehensif HIV/AIDS dengan perilaku berisiko pada remaja belum menikah usia 15-24 tahun di Indonesia. Desain studi penelitian adalah desain cross- sectional dengan menggunakan data SDKI-KRR tahun 2012. Hasil uji penelitian ini menunjukkan persentase perilaku berisiko pada responden adalah 7,4% sedangkan persentase remaja yang mengetahui pengetahuan komprehensif adalah 27,5%. Analisis multivariabel menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan komprehensif HIV/AIDS dengan perilaku berisiko HIV pada remaja belum menikah (P = 0,359).

Comprehensive knowledge of HIV/AIDS is a knowledge about transmission and prevention of HIV/AIDS are elaborated based on 5 things, namely: HIV can be prevented by having sex only with husband/wife, do not needles sharing, using condom when having sex with risky partner, HIV can?t be spread by eating within on plate with the people effected by HIV, and HIV can?t be spread through mosquito bites. This study was conducted to know how the relationship between comprehensive knowledge of HIV/AIDS with risk behavior of HIV in unmarried adolescent age 15 ? 24 years old in Indonesia. Study design is observational study with cross-sectional design, using the Indonesia Demographic and Health Survey ? Adolescent Reproductive Health in 2012. Total respondents are 17.194 adolescents. Chi-squared test result of this study demonstrate is percentage of risky behavior unmarried adolescent was 7,4% while the percentage of comprehensive knowledge was 27,5%. Multivariate analysis showed there no significant relationship between the comprehensive knowledge of HIV/AIDS with risk behavior of HIV in unmarried adolescent (P = 0,359).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
S60060
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hestri Suryaningsih
"Posyandu merupakan salah satu tempat yang digunakan untuk memberikan pelayanan tumbuh kembang pada balita dimana cakupan penimbangan balita di posyandu (D/S) merupakan indikator cakupan pelayanan gizi pada balita, cakupan pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi serta prevalensi gizi kurang. Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan balita secara berkesinambungan dapat menurunkan prevalensi angka gizi kurang bahkan gizi buruk. Selain itu, melalui posyandu dapat diketahui ada tidaknya gangguan pemenuhan kebutuhan gizi secara lebih dini. Puskesmas Kemiri Muka cakupan D/S 78,9% sudah mencapai target Depkes dalam RAPGM (Rencana Aksi Pembangunan Gizi Masyarakat) 2010-2014 sebesar 75% tahun 2012.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor apa saja yang berhubungan dengan perilaku kunjungan ibu bayi dan balita berkunjung ke posyandu di Puskesmas Kemiri Muka Kota Depok tahun 2012. Desain yang digunakan adalah cross sectional, jumlah sampel 242, pengambilan sampel secara cluster sampling design. Sumber data primer menggunakan kuisioner dan dianalisis menggunakan Chi Square. Didapat hasil hubungan yang bermakna Sikap, kepemilikan buku KIA dan Bimbingan petugas kesehatan dengan perilaku kunjungan ke posyandu, diperlukan bimbingan petugas kesehatan dan kader dalam meningkatkan cakupan kunjungan balita ke posyandu.

IHC is one of the places that used to serve the growth and development in infants weighing under five years old child, in which the coverage IHC (D / S) is an indicator of nutritional care coverage in young children, basic health care coverage especially immunization and the prevalence of undernourishment. Monitoring growth and sustainable early childhood development can reduce the prevalence rate of undernutrition even malnutrition. In addition, it can be seen through IHC interference nutritional needs early. Kemiri Muka Public Health Center range D / S 78.9% is getting the goal of RAPGM (Nutrition Action Plan for Community Development) 2010-2014 by 75% in 2012.
The aim of this study is to determine of related factors to the behavior of mothers of infants and toddlers visit to IHC in Kemiri Muka Public Health Center Depok City in 2012. The design was cross sectional, the total numbers were 242 samples, sampling by cluster sampling design. Primary data sources were the questionnaire and Chi Square analyzed. Results obtained in a significance association: attitude, ownership KIA books and Guidance health workers to conduct visit to IHC, needed guidance and cadres of health workers in improving the coverage of the visit to the IHC toddlers.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Era Renjana Diskamara
"Puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan primer yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan di wilayah kerjanya. Puskesmas memiliki peran strategis dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, tetapi masih dihadapkan pada berbagai tantangan, termasuk dalam pengelolaan keuangan. Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) menawarkan solusi atas permasalahan tersebut dengan adanya fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan agar puskesmas dapat meningkatkan kinerja pelayanannya. Puskesmas di Kabupaten Bogor telah menerapkan BLUD sejak tahun 2018 dengan cakupan 39,6% pada tahun 2021. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan penerapan BLUD dengan kinerja pelayanan puskesmas di Kabupaten Bogor tahun 2021. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional menggunakan Profil Kesehatan Kabupaten Bogor dan data rutin Kementerian Kesehatan. Populasi dan sampel penelitian adalah seluruh puskesmas di Kabupaten Bogor yang berjumlah 101 puskesmas. Variabel dependen penelitian ini adalah kinerja pelayanan, variabel independen utama BLUD, dan variabel kovariat proporsi bayi, proporsi balita, proporsi penduduk usia produktif, proprosi penduduk usia lanjut, kategori wilayah kerja, ketenagaan, sarana, prasarana, alat kesehatan, prevalensi TB, prevalensi hipertensi, dan prevalensi DM. Hasil penelitian menunjukkan kinerja pelayanan puskesmas sebesar 73,68%. Tidak terdapat perbedaan kinerja pelayanan antara puskesmas BLUD dengan puskesmas non BLUD setelah dikontrol oleh variabel kovariat (p = 0,33). Saran kepada puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor agar melakukan pengendalian internal dan mengevaluasi penerapan BLUD. Pemangku kepentingan agar menyusun strategi penguatan puskesmas yang telah menerapkan BLUD.

Public health center (puskesmas) is a healthcare facility that held public and individual health services in their work area. Puskesmas has strategic role in Indonesia’s health care system, but still has many challenges, including financial management. BLUD offers solutions for this problem through its flexibility to improve puskesmas service performance. Starting in 2018, there were 39,6% puskesmas implementing BLUD in Bogor District in 2021. The purpose of this study was to determine the relationship between BLUD implementation and puskesmas service performance in Bogor District in 2021. This research was a cross-sectional study using the Bogor District Health Profile and routine data of the Ministry of Health. The population and the sample of this study were all puskesmas in Bogor District, 101 puskesmas. The dependent variable was service performance, the main independent variable was BLUD, and the covariate variables were baby proportions, under 5 years old children’s proportions, productive age population proportion, elderly population proportion, work area category, human resources, facilities, infrastructure, medical devices, TB prevalence, hypertension prevalence, and DM prevalence. The results showed that puskesmas service performance in Bogor District was 73,68%. There weren’t differences of service performance between puskesmas implementing BLUD and puskesmas wasn’t implementing BLUD after being controlled by covariate variables (p = 0,33). Suggestion to puskesmas and Bogor Distict health office are to carry out internal control and to evaluate BLUD implementation. In addition, stake holders are expected to build a strategy strengthening puskesmas that implementing BLUD."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miladil Fitra
"Kegiatan penambangan emas skala kecil yang tidak dikelola dengan baik dapat berpotensi meningkatkan mineral logam berat termasuk mineral mangan dan keberadaannya dapat menyebar kewilayah sekitar pertambangan serta berpotensi menimbulkan risiko dan gangguan kesehatan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk Mengestimasi tingkat risiko kesehatan pajanan mangan (Mn) dari air minum dan makanan terpilih pada populasi penduduk dan bukti-bukti gangguan kesehatannya di Kampung Curug Bitung, Kecamatan Nanggung. Penelitian ini merupakan studi Deskriptif Analitik dengan metode Analisis Risiko Kesehatan Masyarakat. Pengumpulan data dilakukan secara observasi, wawancara dan test konsentrasi mangan pada air minum dan makanan. Tingkat Risiko pajanan mangan dari air minum dan makanan di desa curug bitung tidak berisiko (RQ<1) ini berarti pajanan mangan wilayah Ring-1 area pertambangan emas tradisional Gunung Pongkor belum menyebar ke sekitar atau keluar Ring-1(Curug Bitung). Bagi penduduk yang memiliki aktivitas pengoperasian gelundung dihimbau untuk tidak membuang sisa tanah hasil olahannya didekat rumah, aliran air maupun di dekat lahan pertanian, karena dimungkinkan tanah buangan tersebut masih mengandung cemaran beberapa mineral lainnya yang berbahaya. Tanah sisa olahan bisa dikumpulkan di suatu area yang jauh dari sumber air dan lahan pertanian. Area tersebut bisa ditanami dengan tanaman lokal yang mampu menyerap kandungan logam dalam tanah seperti tanaman genjer.

Small scale gold mining activity that improperly managed can potentially increase the heavy metal minerals including manganese and its existence can spread to the area around the mining site and potentially pose a problem and public health risk. The study aimed to estimate the level of health risk due to the manganese (Mn) exposure from particular food and drinking and its evidences of health problems on the population in Curug Bitung village, Nanggung district. This was an analytical descriptive study and the method used analysis of Public Health Risk. The data were collected by observation, interview and manganese concentration test on drinking water and food. The risk level of manganese exposure from the drinking water and food in curug bitung village was found not to be a risk (RQ<1) which means that the manganese exposure in Ring-1 area of the traditional gold mining in Mount Pongkor has not spread yet in around the area or outside Ring-1(Curug Bitung). It is recommended for people who have a rod mill operating activity to avoid removing the residual soil from the process near their houses, water flow, and agricultural land because it is possible for the residual soil to still be containing some dangerous minerals contaminants. The residual soil can be gathered in the area that is far from the water resources and agricultural land. The area can be planted with local plants that are capable in absorbing the metal contents from the soil such as Genjer."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
T43635
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>