Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 157433 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Albertus Quarino
"Saat ini banyak orang yang melakukan pekerjaan dengan duduk sehingga aktivitas fisik menjadi berkurang, padahal menurut laporan WHO tahun 2009, salah satu penyebab utama kematian global adalah perilaku tidak aktif (6%). Berkurangnya aktivitas fisik ini merupakan salah satu faktor risiko terjadinya sindroma metabolik. Peningkatan aktivitas fisik pekerja dapat dilakukan dengan menambah jumlah langkah setiap hari, yang dapat diukur dengan menggunakan alat penghitung langkah (pedometer). Jumlah langkah setiap hari yang rendah berarti aktivitas fisik berkurang sehingga akan menjadi risiko untuk mendapat sindroma metabolik.
Tujuan : mendapatkan gambaran aktivitas fisik pekerja berdasarkan jumlah langkah pada pekerja dengan sindroma metabolik di lingkungan pekerja pertambangan minyak dan gas.
Metode : penelitian potong lintang, menggunakan data sekunder dari hasil pemeriksaan kesehatan tahunan pekerja tahun 2012, didapat 25 subyek yang memenuhi kriteria, yang terdiri dari 15 subyek tanpa sindroma metabolik dan 10 subyek dengan sindroma metabolik.
Hasil : diperoleh hasil rerata jumlah langkah per hari pada kelompok sindroma metabolik lebih rendah dibandingkan langkah kelompok tanpa sindroma metabolik yaitu masing-masing 5055±1004 langkah dan 9887± 2036 langkah yang berbeda bermakna secara statistik (p<0,001).
Kesimpulan : kelompok dengan sindroma metabolik memiliki aktivitas fisik yang rendah dibandingkan dengan kelompok tanpa sindroma metabolik.

Today many jobs performed in sitting position therefore reducing physical activity, whereas based on report from World Health Organization (WHO) in 2009, one of the leading cause of global mortality is physically inactive behavior (6%). Low physical activity is one of the risk factors of metabolic syndrome. Increasing worker’s physical activity can be done by adding more steps each day which can be measured by using a step counter (pedometer). Low number of steps everyday means reduced physical activity which might lead to increasing risk of metabolic syndrome.
Goal : to get an overview of worker’s physical activity represented by the number of steps of oil and gas workers with metabolic syndrome.
Methods : a cross-sectional study, using secondary data from annual medical check-up of oil and gas workers in 2012, 25 subjects who met the criteria where obtained consisted of 15 subjects without metabolic syndrome and 10 subjects with metabolic syndrome.
Results : mean number of steps per day in the metabolic syndrome group was lower than the group without metabolic syndrome, which were 5055±1004 steps and 9887±2036 steps respectively and statistically different.
Conclusion : the group with metabolic syndrome have lower physical activity compared with the group without metabolic syndrome.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisaa Yuneva
"Saat ini, banyak pekerjaan yang dapat dilakukan dengan aktivitas fisik yang minimal dalam durasi yang cukup lama. Hal ini dapat menjadi salah satu penyebab munculnya sindroma metabolik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan aktivitas fisik antara karyawan FKUI dengan dan tanpa sindroma metabolik. Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang. Data penelitian diambil dari medical check-up tahun 2012 dan pengisian kuesioner Bouchard pada April-Mei 2015. Hasil analisis menunjukan tidak adanya perbedaan bermakna aktivitas fisik antara kedua kelompok (p>0,050). Dapat disimpulkan bahwa sindroma metabolik merupakan penyakit multifaktorial yang dapat disebabkan kurangnya aktivitas fisik dan faktor-faktor metabolik lainnya.

These days, there are plenty jobs that involve mild physical activity for long periods of time. It can be one of the causes of metabolic syndrome. This research was done to find out whether the physical activity between employees of FMUI with and without metabolic syndrome were different using cross-sectional method. The data were collected from medical check-up results in 2012 and filled-out questionnaire in April-May 2015. The analysis results showed that the physical activity between the two groups (p>0.050). It was concluded that metabolic syndrome is a multifactorial illness caused by the lack of physical activity, as well as another metabolic factors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurza Mulyani
"Penelitian ini membahas mengenai perbedaan pola aktivitas fisik pada tenaga kesehatan dengan sindroma metabolik dan tanpa sindroma metabolik. Sindroma metabolik adalah suatu sindrom yang terdiri dari sekumpulan gejala meliputi peningkatan ukuran lingkar pinggang, peningkatan kadar trigliserida darah, penurunan kadar High Density Lipoprotein (HDL) kolesterol, tekanan darah tinggi dan intoleransi glukosa.Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan desain deskriptif kategorik. Hasil penelitian dengan menggunakan metode Bouchard dan NCEP-ATP III modifikasi Asia didapatkan bahwa prevalensi sindroma metabolik meningkat pada tenaga kesehatan dengan pola aktivitas fisik banyak duduk.

The research discusses about the difference between physical activity pattern of medical worker with metabolic syndrome and without metabolic syndrome. Metabolic syndrome is a syndrome which consists of a set symptoms increasing in the size of the waits circumference, blood triglyceride levels, decreasing of high density lipoprotein (HDL) cholesterol, high blood pressure and glucose intolerance. This study was a cross sectional study with a design categorical description. The results of the study that use Bouchard and NCEP- ATP III methods Asian modifications found that the prevalence of metabolic syndrome increased in pattern with lots of sitting physical activity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57677
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ainun Safitri
"Sindroma metabolik merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang menjadi perhatian. Prevalensi sindroma metabolik di Indonesia diketahui sebesar 21,66%, dengan prevalensi di Jakarta sebesar 37,5%. Kejadian sindroma metabolik seringkali dihubungkan dengan faktor risiko terkait gaya hidup di antaranya aktivitas fisik dan perilaku sedenter. Berdasarkan data Riskesdas 2013 dan 2018, terjadi penurunan tingkat aktivitas fisik pada penduduk Indonesia. Pekerja perkantoran merupakan salah satu populasi yang berisiko terhadap penurunan aktivitas fisik. Hal ini karena rendahnya kebutuhan akan aktivitas fisik selama bekerja dan tinggnya waktu yang dihabiskan dalam posisi sedenter. Pandemi COVID-19 menyebabkan pemberlakuan pembatasan aktivitas dan kebijakan work from home (WFH). Kebijakan tersebut menyebabkan semakin menurunnya tingkat aktivitas fisik pada pekerja disertai peningkatan perilaku sedenter yang menyebabkan pekerja menjadi lebih rentan mengalami sindroma metabolik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat aktivitas fisik dengan kejadian sindroma metabolik pada pekerja perkantoran di masa pandemi COVID-19, serta mengetahui faktor-faktor lain yang memengaruhi. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan data sekunder yang diperoleh dari data Posbindu PTM yang dilaksanakan pada salah satu institusi pendidikan negeri di DKI Jakarta. Subjek penelitian berjumlah 270 pekerja berusia 22-58 tahun yang terdiri dari 99 laki-laki dan 171 perempuan. Pada analisis bivariat ditemukan bahwa tingkat aktivitas fisik tidak berhubungan secara signifikan dengan kejadian sindroma metabolik (p = 0,321), namun ditemukan hubungan yang signifikan antara waktu sedenter (p = 0,017), usia (p <0,001), dan jenis kelamin (p = 0,04). Berdasarkan analisis multivariat, ditemukan variabel usia yang memengaruhi kejadian sindroma metabolik. Dapat disimpulkan bahwa tingkat aktivitas fisik tidak berhubungan secara signifikan dan tidak memengaruhi kejadian sindroma metabolik pada pekerja perkantoran di masa pandemi COVID-19.

Metabolic syndrome is one of the health problems of concern. The prevalence of metabolic syndrome in Indonesia is known to be 21.66%, with a prevalence in Jakarta of 37.5%. The incidence of metabolic syndrome is often associated with lifestyle-related risk factors, including physical activity and sedentary behavior. Based on data from Riskesdas 2013 and 2018, there was a decrease in the level of physical activity in the Indonesian population. Office workers are one of the populations at risk for decreased physical activity. This is due to the low need for physical activity during work and the high time spent in a sedentary position. The COVID-19 pandemic has led to the implementation of activity restrictions and work from home (WFH) policies. This policy causes a decrease in the level of physical activity in workers accompanied by an increase in sedentary behavior which causes workers to become more susceptible to metabolic syndrome. This study aims to determine the relationship between the level of physical activity with the incidence of metabolic syndrome in office workers during the COVID-19 pandemic, as well as to determine other influencing factors. This study used a cross-sectional design with secondary data obtained from Posbindu PTM data which was carried out at one of the public educational institutions in DKI Jakarta. The research subjects were 270 workers aged 22-58 years consisting of 99 men and 171 women. Bivariate analysis found that the level of physical activity was not significantly associated with the incidence of metabolic syndrome (p = 0.321), but found a significant relationship between sedentary time (p = 0.017), age (p < 0.001), and gender (p = 0 ,04). Based on multivariate analysis, it was found that age variable that affects the incidence of metabolic syndrome. It can be concluded that the level of physical activity is not significantly related and does not affect the incidence of metabolic syndrome in office workers during the COVID-19 pandemic."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Yogaswara
"Latar Belakang: Komplikasi kardiovaskular yang disebabkan oleh disfungsi endotel menjadi salah satu penyebab mortalitas yang cukup tinggi pada pasien Artritis Reumatoid AR. Faktor Reumatoid RF merupakan autoantibodi yang sering dijumpai pada AR dan diduga dapat meningkatkan respon inflamasi dan disfungsi endotel. Sindroma metabolik dapat pula meningkatkan disfungsi endotel. Belum ada studi yang menilai korelasi RF dengan disfungsi endotel pada pasien AR tanpa sindroma metabolik.
Tujuan: Mengetahui korelasi antara kadar RF dengan kadar VCAM-1 pada pasien AR tanpa sindroma metabolik.
Metode: Penelitian desain potong lintang terhadap pasien AR dewasa yang berobat di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo tanpa sindroma metabolik. Pengumpulan data dilakukan sejak Februari hingga Maret 2018 dari data penelitian sebelumnya yang diambil periode Februari 2016 hingga September 2017. Kadar RF dan VCAM-1 dinilai melalui pemeriksaan serum darah dengan metode ELISA. Analisis korelasi antar kedua variabel dibuat dengan SPSS 20,0.
Hasil: Sebanyak 46 subjek diikutsertakan dalam penelitian ini. Sebagian besar 95,7 subjek adalah perempuan dengan rerata usia 44,43 tahun, median lama sakit 36 bulan, dan sebagian besar memiliki derajat aktivitas sedang 52,2. sebagian besar pasien memiliki RF positif 63. Korelasi antara kadar RF dengan kadar VCAM-1 memiliki kekuatan korelasi yang lemah tetapi tidak bermakna secara statistik r = 0,264; p = 0,076 . Subjek dengan RF positif memiliki kadar VCAM-1 yang lebih tinggi 626,89 vs 540,96 ng/mL.
Simpulan: Belum terdapat korelasi antara RF dengan VCAM-1 pada pasien Artritis Reumatoid tanpa sindroma metabolik.

Background: Cardiovascular complications caused by endothelial dysfunction become one of the highest causes of mortality in patients with Rheumatoid Arthritis RA . Rheumatoid Factor RF is an autoantibody that is commonly found in RA and is thought to increase the inflammatory response and endothelial dysfunction. Metabolic syndrome may also increase endothelial dysfunction. There have been no studies assessing correlation between RF and endothelial dysfunction in RA patients without metabolic syndrome.
Aim: To determine the correlation between RF levels with VCAM-1 levels in RA patients without metabolic syndrome.
Method: Cross sectional design study of adult AR patients treated in Rheumatology Polyclinic of Cipto Mangunkusumo General Hospital without metabolic syndrome. Data collection was conducted from February to March 2018 from the previous research data taken from February 2016 to September 2017. The levels of RF and VCAM-1 were assessed through blood serum testing using the ELISA method. Correlation analysis between the two variables was made with SPSS 20.0 for windows version.
Results: A total of 46 subjects were included in the study. Most 95.7 subjects were women with an average age of 44.43 years, median duration of 36 months, and most had moderate activity 52.2. Most patients had a positive RF 63. The correlation between RF levels and VCAM-1 levels had a weak correlation strength but was not statistically significant r = 0.264; p = 0.076. Subjects with RF positive had higher VCAM-1 levels 626.89 vs 540.96 ng/mL.
Conclusion: We did not found correlation between RF and VCAM-1 in Rheumatoid Arthritis patients without metabolic syndrome."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Eka Putra
"Latar belakang : Meningkatnya faktor-faktor penyebab dan kasus penyakit degeneratif dan kardiovaskular dari hasil pemeriksaan kesehatan berkala selama 3 tahun (2009-2011) dan kurangnya respon pekerja terhadap program promosi kesehatan yang dilakukan sebelumnya di suatu perusahaan kimia di Cilegon mendorong dilakukannya suatu program wellness melibatkan keluarga selama 6 bulan yang diharapkan dapat menurunkan dan mengendalikan gula darah puasa, kolesterol total dan tekanan darah pada pekerja dengan obesitas sentral.Metode Penelitian : Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional (potong lintang) komparatif dengan menggunakan data sekunder untuk membandingkan nilai beberapa parameter sindroma metabolik yaitu gula darah puasa, tekanan darah serta kolesterol total pada sebelum dan sesudah program wellness melibatkan keluarga selama 6 bulan terhadap pekerja dengan obesitas sentral.Hasil penelitian : Empat puluh pekerja dengan obesitas sentral mengikuti program wellness melibatkan keluarga selama 6 bulan. Terdapat perubahan signifikan gula darah puasa dan kolesterol total antara sebelum dan sesudah mengikuti program. Hal tersebut sudah dapat ditunjukkan setelah satu bulan mengikuti program.Sementara tekanan darah tetap berkisar normal.Kesimpulan : Ada perubahan bermakna gula darah puasa dan kolesterol total sebelum dan sesudah program wellness melibatkan keluarga selama 6 bulan terhadap pekerja dengan obesitas sentral. Kata Kunci : Obesitas Sentral, gula darah puasa, kolesterol total, tekanan darah ,Program Wellness melibatkan keluarga, 6 bulan.

Background : Numbers of degenerative and cardiovascular causal factors and cases from 3 years periodic medical examination (2009-2011) increased and workers showed lack of interest to site health promotion programs which have been done previously at a chemical manufacture in Cilegon. This leads to initiate a 6 month wellness program plus family interactions with the intention to decrease and control fasting blood sugar level, total cholesterol and blood pressure to workers with central obesity.Methods : The research design is a comparative cross sectional to determine whether the changes of several metabolic syndrome parameter values prior to and after 6 months wellness program plus family interactions to workers with central obesity. It used secondary data.Result : Forty workers with central obesity participated in the six months wellness program plus family interactions. There were significant changes of fasting blood sugar and total cholesterol, even after one month participation in the program. However, blood pressure did not significantly changed.Conclusion : There were changes on fasting blood sugar and total cholesterol significantly by partcipatin on pre and post 6 months wellness program plus family interactions to workers with central Key Word : Central obesity, fasting blood sugar, total cholesterol, blood pressure , wellness program with family interactions and 6 months"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kresna Septiandy Runtuk
"Latar Belakang: Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang kompleks
dengan angka harapan hidup yang rendah karena penyakit kardiovaskular. Orang
dengan skizofrenia rentan mengalami sindroma metabolik meskipun tidak
mendapat pengobatan antipsikotika. Sebuah penelitian di RSUPN Cipto
Mangunkusumo menunjukkan prevalensi sindroma metabolik sebanyak 3,3%
sampai 68% yang berhubungan dengan stress oksidatif dan berpotensi menurunkan
produksi ATP. Penelitian ini berusaha menjelaskan patofisiologi sindroma
metabolik pada skizofrenia dan hubungannya terhadap polimorfisme gen GCLC
GAG TNR, stres oksidatif dan aktivitas metabolisme seluler.
Metode: Penelitian merupakan penelitian observasional analitik. Subjek sebanyak
25 pasien skizofrenia dan 25 pasien kontrol sehat dilakukan pengambilan fibroblas
dan PBMC kemudian dilakukan pengamatan polimorfisme gen GCLC GAG TNR,
stres oksidatif (kadar MDA, MnSOD, GSH, GSSG, dan rasio GSH/GSSG),
aktivitas metabolisme seluler (kadar ATP), dan parameter sindroma metabolik
(lingkar pinggang, Indeks Massa Tubuh (IMT), LDL-c, HDL-c, TG, HbA1C, dan
tekanan darah). Hubungan dianalisis dengan uji komparasi atau uji korelasi.
Hasil: Terdapat korelasi pada sel fibroblas dengan PBMC yaitu korelasi kuat pada
MnSOD (r=0.797) dan korelasi sedang pada GSSG (r=0.581). Didapatkan
perbedaan yang bermakna pada kadar stres oksidatif yaitu MDA (p=0.013), GSH
(p≤0.001), GSSG (p≤0.001), dan rasio GSH/GSSG (p≤0.001) pada kelompok
skizofrenia dan kontrol serta didapatkan hubungan polimorfisme gen GCLC GAG
TNR terhadap MDA (p=0.054) dan GSSG (p=0.010) pada kelompok skizofrenia
tetapi tidak ditemukan perbedaan kadar ATP dan hubungan antara polimorfisme
GCLC GAG TNR terhadap kadar ATP. Pada orang dengan skizofrenia didapatkan
lingkar pinggang, IMT, LDL-c, dan HDL-c yang lebih rendah
(p=0.025;p=0.003;p=0.022;p=0.010) dan TG yang lebih tinggi (p=0.038)
dibandingkan kelompok kontrol.
Simpulan: Polimorfisme gen GCLC GAG TNR memiliki hubungan terhadap stres
oksidatif tetapi tidak ada hubungan terhadap aktivitas metabolisme seluler. Tidak
terdapat perbedaan aktivitas metabolisme seluler pada orang dengan skizofrenia
dan tidak ditemukan hubungan antara metabolisme seluler dengan sindroma
metabolik. Terjadi perubahan kadar penanda stres oksidatif yang memiliki
hubungan terhadap sindroma metabolik pada orang dengan skizofrenia

Background: Schizophrenia is a complex severe mental disorder with low life
expectancy due to cardiovascular disease. People with schizophrenia is prone to
metabolic syndrome even if they do not receive antipsychotic. One study in Cipto
Mangunkusumo General Hospital showed the prevalence of metabolic syndrome
as much as 3.3% to 68% which correlate with oxidative stress and has the potential
to reduce ATP production. This study aims to explain the pathophysiology of the
metabolic syndrome in schizophrenia and its relationship to the GCLC GAG TNR
gene polymorphism, oxidative stress and metabolic activity.
Methods: This research is an observational analytic study. Twenty five
schizophrenic patients and 25 healthy control patients were admitted to study.
Fibroblast and PBMC (peripheral blood mononuclear cell) were taken to measure
GCLC GAG TNR gene polymorphism, oxidative stress (levels of MDA, MnSOD,
GSH, GSSG, and GSH/GSSG ratio), cellular metabolic activity (ATP levels), and
metabolic syndrome parameters (waist circumference, body mass index (BMI),
LDL-c, HDL-c, TG, HbA1C, and blood pressure). Relationship between variables
were analyzed by comparison test or correlation test.
Results: There is a correlation in fibroblast cells with PBMC with a strong
correlation in MnSOD (r=0.797) and a moderate correlation in GSSG (r=0.581).
There were significant differences in the levels of oxidative stress, namely MDA
(p=0.013), GSH (p≤0.001), GSSG (p≤0.001), and GSH/GSSG ratio (p≤0.001) in
the schizophrenia and control groups. There was correlation found for the
polymorphism of the GCLC GAG TNR gene towards MDA (p=0.054) and GSSG
(p=0.010) in the schizophrenia group but found no difference in ATP levels in the
schizophrenia and control groups alongside with GCLC GAG TNR polymorphism
and ATP levels. In people with schizophrenia, waist circumference, BMI, LDL-c,
and HDL-c were lower (p=0.025;p=0.003;p=0.022;p=0.010) and higher TG
(p=0.038) than the control group.
Conclusion: GCLC GAG TNR gene polymorphism has correlation to oxidative
stress but not to cellular metabolic activity. There is no difference in metabolic
activity in people with schizophrenia and no relationship between cellular
metabolism and the metabolic syndrome. There is alteration of oxidative stress
markers which have an association with metabolic syndrome in people with
schizophrenia.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Witri Ardini
"Tujuan: Mengetahui hubungan antara rasio asam arakidonat (AA):asam eikosapentaenoat (EPA) eritrosit serta faktor-faktor lainnya dengan Sindroma Metabolik pada karyawan PT. Krakatau Steel, Cilegon.
Tempat: RS Krakatau Medika, Cilegon.
Metodologi: Penelitian desain potong Iintang pada 76 subyek yang dipilih secara acak dari karyawan PT. Krakatau Steel. Data yang dikumpulkan meliputi karalcteristik demografi, asupan asam lemak omega-3 dan omega-6 dengan metode tanya ulang 1 x 24 jam dan food frequency questionnaire (FFQ) semikuantitalif 3 bulan terakhir, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, indeks massa tubuh (IMT), lingkar pinggang, tekanan darah, kadar gula darah puasa, kadar trigliserida, kadar kolesterol HDL, serta kadar AA dan EPA pada membran eritrosit.
Hasil: Nilai tengah usia subyek adalah 46 (37-54) tahun, sebagian besar tergolong kelompok usia 41-50 tahun (80,3%), berpendidikan menengah (85,5%), perokok aktif (63,1%), gaya hidup kurang aktif (44,7%), dan semua subyek berpenghasilan di atas UMK Cilegon. Sebanyak 65,7% tergolong status gizi lebih. Prevalensi SM menurut kriteria ATP III yang dimodifikasi adalah 19,7%. Rerata kadar AA adalah 401,04 ng/mg (40,1-1213,0), kadar EPA 48,06 ng/mg (3,2-96,71), dan rasio AA:EPA adalah 12,8 (3,27-77,24). Hasil analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan bermakna antara (1) rasio asupan AL∞6:AL∞3 (p=0,004), (2) asupan kalori total (p=002), (3) indeks massa tubuh/IMT (p=4,012), dan (6) rasio AA:EPA eritrosit (p=0,001) dengan sindroma metabolik. Asupan ikan (OR=0,013) dan kekerapan mengkonsumsi ikan (OR=0,063) merupakan faktor protektif terhadap tingginya rasio AA:EPA eritrosit, sedangkan asupan kalori total (OR=4,216) serta rasio ALw6:ALco3 (OR=4,208) merupakan faktor risiko tingginya rasio AA:EPA eritrosit. Terdapat perbedaan bermakna kadar EPA dan rasio AA:EPA eritrosit sejalan dengan peningkatan frekuensi konsumsi ikan.
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara rasio AA:EPA pada membran eritrosit dengan sindroma metabolik. Terdapat perbedaan bermakna kadar EPA clan rasio AA:EPA eritrosit sejalan dengan peningkatan frekuensi konsumsi ikan.

Objective: To determine the relationship between ratio of arachidonic acid (AA):eicosapentaenoic acid (EPA) in erythrocyte membrane and other factors with metabolic syndrome (MS) at PT Krakatau Steel employees, Cilegon.
Location: Krakatau Medika Hospital, Cilegon.
Method: A cross sectional study has been carried out on 76 subjects using random sampling method among PT Krakatau Steel employees. Data collected consist of demography characteristics, omega-3 (m3FA) and omega-6 fatty acid (ea6FA) intake by dietary recall 1 x 24 hr and semiquantitative food frequency questionnaire (FFQ) in the last three months, smoking habit, physical activity, body mass index, waist circumference, blood pressure, fasting glucose, triglyceride, HDL-cholesterol, and fatty acid concentration (AA and EPA) in the erythrocyte membrane.
Result: Median age of subjects is 46 years (37-54), most of them are 41-50 years (80,3%), moderate educational background (85,5%), active smokers (63,1%), less physical activity (44,7%), overweight (65,7%), and all subjects have an income above minimum standard payment in Cilegon district. Mean of AA concentration is 401,04 ng/mg(40,1-1213,0), EPA is 48,06 rig/mg (3,2-96,71), and AA:EPA ratio is 12,8 (3,27-77,24). Bivariat analysis found significant relationship between (1) ratio of ∞6FA∞3FA intake (p=0,004), (2) total calorie intake (p=0,004), (3) BMI (p=0,012), and (4) AA:EPA ratio (p=0,001) with MS. Fish intake (OR=0,013) and fish consumption frequency (OR=0,063) are protective whereas total calorie (OR=4,216) and ratio of ∞6FA∞3FA intake are risk factors for the high AA:EPA ratio. There is a significant relationship between EPA concentration and AA:EPA ratio in accordance with fish consumption frequency.
Conclusion: There is a significant relationship between AA:EPA ratio in erythrocyte membrane and metabolic syndrome. There is a significant relationship between EPA concentration and AA:EPA ratio in accordance with fish consumption frequency.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T17696
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Primasari Deaningtyas
"Latar Belakang: Selain usia, prevalensi sindrom metabolik (SM) dipengaruhi oleh perbedaan tempat tinggal. Perubahan pola asupan makan yang dipengaruhi laju urbanisasi dipercaya memicu terjadinya inflamasi usus. Lipocalin-2 (LCN-2) merupakan petanda baru yang banyak diteliti dalam inflamasi usus serta penyakit kardiovaskular. Penelitian ini bertujuan membandingkan resistensi insulin (HOMA-IR), sindrom metabolik, dan LCN-2 pada dewasa muda di urban dan rural serta mencari korelasi antara HOMA-IR dan LCN-2.
Metode: Penelitian dengan desain potong lintang ini dilakukan tahun 2018-2019 pada 475 mahasiswa berusia 18-20 tahun. Data yang dikumpulkan meliputi antropometri, glukosa darah puasa, insulin puasa, profil lipid dan kadar LCN2 serum. Setelah menjalani wawancara dan pemeriksaan fisik, sampel darah disimpan pada suhu khusus (-800C). Pemeriksaan sampel dilakukan pada satu waktu (2020) untuk mengurangi bias hasil akibat perbedaan waktu dan penanganan sampel. LCN2 diperiksa dengan menggunakan Human Lipocalin-2/NGAL DuoSet ELISA dari R&D systems.
Hasil Penelitian: Prevalensi SM di daerah urban dan rural berturut-turut adalah 2,8% dan 0,85%. Sementara itu prevalensi obesitas sentral total, di urban dan di rural masing-masing sebesar 15,4%; 23,1%; dan 7.3%. Kelompok urban memiliki HOMA-IR lebih tinggi (0,99 vs 0,78; p<0,001) dibandingkan kelompok rural. Nilai LCN2 lebih rendah di daerah urban bila dibandingkan dengan daerah rural (161,80 ng/mL vs 246,6 ng/ml, p<0,001). Tidak terdapat korelasi antara HOMA-IR dengan LCN2 (r:-0,75, p:0,110).
Kesimpulan: Prevalensi SM pada dewasa muda lebih tinggi pada daerah urban bila dibandingkan dengan daerah rural. Prevalensi obesitas sentral lebih tinggi di urban dibandingkan dengan rural. Rerata HOMA-IR di daerah urban lebih tinggi dibandingkan rural. Rerata LCN2 lebih tinggi di rural dibandingkan urban. Tidak terdapat perbedaan nilai LCN2 pada kelompok SM dan kelompok tanpa SM. Tidak terdapat hubungan antara HOMA IR dan LCN2.

Background/Objective: The prevalence of metabolic syndrome not only influenced by age but also residency area. The alteration of dietary pattern due to urbanization presumed to initiate gut inflammation. Lipocalin-2 (LCN-2) is a novel marker for gut inflammation and also cardiovascular disease. This study aim to compare insulin resistance (HOMA-IR), metabolic syndrome, and LCN-2 level in late adolescent in urban and rural area. Methods Cross sectional study was done during 2018 and 2019, which included 475 colleague students (18-20 years old) in urban and rural. We measured anthropometric parameter, fasting blood glucose, fasting insulin, lipid profile and LCN2 level. After respondent interview and physical examination, blood sample kept in specific freezer (-800C). The analysis of respondent’s blood sample executed in similar time (2020) to prevent result bias due to the different time of sampling management.
Methods: Cross sectional study was done during 2018 and 2019, which included 475 colleague students (18-20 years old) in urban and rural. We measured anthropometric parameter, fasting blood glucose, fasting insulin, lipid profile and LCN2 level. After respondent interview and physical examination, blood sample kept in specific freezer (-800C). The analysis of respondent’s blood sample executed in similar time (2020) to prevent result bias due to the different time of sampling management.
Results: The prevalence of metabolic syndrome in urban dan rural were 2.9% and 0.8%. Meanwhile the prevalence of central obesity in total, urban and rural were 15,4%; 23,1%; and 7.3%. Urban group has higher HOMA-IR value than rural group (0.99 vs 0.78; p<0.001). LCN2 value was lower in urban compared with rural area (161.80 ng/mL vs 246.6 ng/mL, p<0.001). There was no correlation between HOMA-IR and LCN2 (r: -0.075. p: 0.110).
Conclusions: The prevalence of MS in late adolescent higher in urban compare with rural area. Central obesity prevalence was higher in urban area. HOMA-IR were differed significantly in urban compared with rural in total population and male population. LCN2 value was differed significantly between urban and rural. However, LCN2 was not significantly differed between MS and without MS Group. Furthermore LCN2 and HOMA-IR shows no correlation
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyadi
"ABSTRAK
Sindrom metabolik merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang dialami seseorang, meliputi obesitas, rendahnya kadar HDL, tingginya trigliserida, kadar gula darah puasa tinggi, dan hipertensi yang dapat meningkatkan risiko terhadap penyakit kardiovaskuler. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan hubungan antara aktifitas fisik dengan kejadian sindrom metabolik di Puskesmas Bogor Timur, Kota Bogor Tahun 2013. Studi cross sectional ini berlangsung pada bulan Mei 2013, dengan jumlah sampel 301 orang yang merupakan anggota Posbindu di Wilayah Kerja Puskesmas Bogor Timur, Kota Bogor Tahun 2013, data yang dikumpulkan meliputi kadar kolesterol HDL, kadar trigliseride menggunakan alat rapid test lipid panel, data gula darah puasa, tekanan darah dan ukuran lingkar perut.
Untuk IMT menggunakan indeks BB/TB2. Data wawancara meliputi data umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, aktifitas fisik, kebiasaan merokok, riwayat penyakit keluarga, IMT dan keluhan stress. Kemudian untuk data asupan energi, asupan karbohidrat, asupan lemak, dan asupan protein diperoleh menggunakan food recall 1 x 24 jam. Analisis data bivariat dengan uji chi square dan multivariat dengan cox regresi. Hasil studi menunjukkan prevalensi sindrom metabolik sebesar 31.6%. Hasil analisis multivariat model kausalitas diperoleh ada hubungan antara aktifitas fisik ringan dengan kejadian sindrom metabolik dengan PR 2.0 (95% CI 1.31 - 3.18), setelah dikontrol variabel umur, indeks massa tubuh dan asupan energi.

ABSTRACT
The metabolic syndrome is a constellation of metabolic disturbances experience by a person, includes obesity, low HDL, high triglycerides, elevated fasting glucose and raised bood pressure which increase the risk of developing cardiovascular disease. This study aims to determine the prevalence and of metabolic syndrome at Puskesmas East Bogor City in 2013. Cross sectional study took place in May 2013, with total sample of 301 people who are members of Posbindu in work area at Puskesmas East Bogor, Bogor City in 2013. The data collected inculude HDL Cholesrol, triglyceride concentration using rapid test of lipid panel, fasting glucose, blood presure and abdominal circumference.
For BMI using index BB/TB2. Interview data includes data of age, sex, education, occupation, income, physical activity, smoking habits, family history, BMI and stress. The data energy intake, carbohydrate, fat, and protein intake were obtained using food recall 1x 24 hours. Analysis of bivarite data with chi square test and multivariate Cox regression. The results of study show prevalence of metabolic syndrome was 31.6%. Multivariate analysis models obtained with casuality relationship between light physical activity metabolic syndrome with PR 2.0 (95% CI 1.31 to 3.18), after controling age, body mass index and energy intake.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T35628
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>