Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 129126 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tilawati
"Tingkat kecemasan klien pria post myocard infark tentang fungsi peran sebagai kepala keluarga. Keluarga rnerupakan unit terkecil dalam suatu masyarakat, di mana dalam keluarga Indonesia, yang sebagian besar menggunakan system patriakal, suami memegang peranan panting dengan tanpa mengabaikan peran istri. Menurut Duvall (1985) suami berperan sebagai pelindung, pendidik, pencari nafkah utama, anggota masyarakat dan suatu social lainnya. Tujuan penelitian untuk mengetahui tingkat kecemasan klien, penelitian dilakukan di Ruang Rehabilitasi Jantung RS Fatmawati Jakarta pada tanggaj 06-24 Desember 2004. pengambilan sample dengan teknik purposive sampling, menggunakan kuisioner yang berhubungan dengan tingkat kecemasan sebanyak 15 pertanyaan. Dari 43 sampel yang dianalis dengan proporsi didapatkan hasil tingkat kecemasan ringan sebanyak 33 responden (76,7 %), cemas sedang delapan responden (18,6%), dan cemas berat dua responden (4,7%). Pada penelitian yang akan datang hendaknya melakukan penelitian pada klien post myocard infark yang akan pulang dari ruang perawatan dan instrumen penelitian yang akan digunakan di ujicobakan berulang kali agar instrumen penelitian reliable dan valid."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2004
TA5361
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nyinyi Rubai`ah
"Klien yang menderita infark miokard akut yang terpasang monitor EKG di ruang perawatan intensif yang dikelilingi oleh berbagai peralatan canggih dapat mengalami perubahan-perubahan pada status kesehatannya sehingga kemungkinan akan mengalami kondisi kecemasan akibat Iingkungan yang asing dan tidak kondusif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kecemasan pada klien infark miokard akut yang terpasang monitor EKG di ruang perawatan intensif dengan menggunakan desain dekritif eksplorasif dengan 30 sampel yang memenuhi kriteria di Rumah Sakit Jantung Nasional Harapan Kita. Hasil penelitian di dapatkan bahwa tingkat klien berada pada tingkat kecemasan sedang sejumlah 13 responden (45%), yang mengalami kecemasan ringan sejumlah 17 responden (55%) dengan α = 0,05."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2002
TA5251
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Program rehabilitasi jantung merupakan proses berkelanjutan yang ditujukan pada kiien
infark miokard yang sifatnya fleksibel karena perkembangannya disesuaikan dengan
kebutuhan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif sederhana yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi klien infark miokard untuk mengikuti program rehabilitasi jantung. Sampel terdiri dari 49 responden yang mengikuti program rehabilitasi di klub jantung koroner Rawamangun. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuisioner dan data dianalisa dengan metode statistik deskriptif sederhana. Hasil penelitian menunjukan bahwa motivasi responden untuk mengikuti program rehabilitasi jantung dipengaruhi oleh kebutuhan psikologis( 87,75 % ), kebutuhan biologis ( 81,63 % ), kebutuhan sosial ( 75,51 % ) dan kebutuhan spiritual (69, 38 % )."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2004
TA5401
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rima Melati
"Latar belakang dan tujuan: Penyakit jantung koroner merupakan penyakit yang sangat menakutkan dan masih menjadi masalah baik di negara maju maupun negara berkembang. Prevalensi infark miokard juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini selain disebabkan oleh faktor risiko konvensional, juga dipengaruhi oleh faktor pekerjaan. Upaya pengendalian bam ditujukan pada iinktor-faktor risiko konvensional. yang sudah diketahui jelas pengaruhnya, sedangkan faktor pekexjaan yang menimbulkan job strain masih belum diperhatikan, padahal job strain dapat menimbulkan stres kerja yang akan berdampak pada terjadinya infark miokard. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara job strain dan faktor risiko lainnya dengan terjadinya infark miokard pada pekerja.
Metode: Desain penelitian ini adalah kasus kontrol dengan jivquency matching 1:1 menurut umur. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner data umum yang meliputi karakteristik demografi, faktor risiko konvensional, karakteristik pekerjaan, dan kuesioner demand- control (ICQ) untuk mengukur job strain.
Hasil: Job strain, merokok dan dislipidemia merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan infark miokard. Job sirain meningkatkan risiko infark miokard 6,8 kali lipat (Adj OR 6,80, 95% CI: 2,72 ; l6,98, p = 0,000). Perokok ringan bexisiko I5 kali lipat terhadap teljadinya infark miokard (Adj OR 14,97, 95% CI: 3,17 ; 70,74, p = 0,001), perokok sedang beaisiko 7,7 kali lipat terhadap terjadinya infark miokard (Adj OR 7,72, 95% CI: 273 ; 21,84, p = 0,000), dan perokok berat berisiko 26 kali lipat terhadap terjadinya infark miokard (Adj OR 25,6l, 95% Cl: 5,25 ; 124,88, p = 0,000). Dislipidemia meningkatkan risiko infark miokard 2,8 kali lipat (Adj OR 2,82, 95% CI: 1,07 ; 7,44, p = 0,035). Komponen job strain yang meningkatkan risiko infark miokard adalah job demands yang tinggi (Ad_§ OR 2,44, 95% CI: 1,02 ; 5,85, p = 0,046).
Kesimpulan: Job strain, merokok dan dislipidemia secara bersama-sama berhubungan dengan kejadian infark miokard.

Background and aim: Coronary heart disease is the most tightening disease and still become a problem in the developed and developing countries. The prevalence of myocard infarction is also increasing fiom year to year. Beside the conventional risk factors, it is also influenced by occupational factors. Although job strain can cause stress which would have impact on the occurrence of myocard infarction, the prevention strategies being implemented are just for conventional risk factors. There is still no concern for occupational factors which can also cause job strain. This study was aimed to assess the relationship between job strain and other risk factors with myocard infarction among workers.
Methods: The study design was case - control with frequency matching 1:1 for age. Data were collected by using general questionnaire which covered demography characteristics, conventional risk factors, job characteristics, and demand - control questionnaire(ICQ) to assess job strain.
Result: Job strain, smoking and dyslipidemia were risk factors which had relationship with myocard infarction Job strain increased myocard infarction risk by 6.8 times (Adj OR 6.80, 95% CI: 2.72 ; 16.98, p = 0.000). Light smokers increased myocard infarction risk by 15 times (Adj OR 14.97, 95% CI: 3.17 ; 70.74, p = 0.001), medium smokers increased myocard infarction risk by 7,7 times (Adj OR 7.72, 95% CI: 2.73 ; 21.84, p = 0.000), and heavy smokers increased myocard infarction risk by 26 times (Adj OR 25.61, 95% CI: 5.25 ; 124.88, p = 0.000)_ Dyslipidemia increased myocard infarction risk by 2.8 times (Adj OR 2.82, 95% CI: 1.07 ; 7.44, p == 0.035). Job strain component which increased myocard infarction risk was high job demand (Adj OR 2-44, 95% CI: 1.02 ; 5.85, p = 0046).
Conclusion: Job strain, smoking and dyslipidemia simultaneously had relationship with myocard infarction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T32344
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lies Dina Liastuti
"Penelitian ini meneliti tentang selisih antara tagihan dengan klaim yang dibayar oleh para penjamin biaya kesehatan terhadap pelayanan kasus Infark Miokiard Akut di RSJPDHK serta selisih antara tagihan dengan klaim menggunakan tarif INA-CBG`s. Tujuan dari penelitian adalah untuk dapat memperoleh data karakteristik, mutu layanan dan permasalahan biaya dan pembayaran klaim terhadap RS oleh para penjamin/pembayar. Penelitian ini mendapatkan 5472 pasien Infark Miokard Akut selama periode 1 Januari 2009 sampai 31 Desember 2012 terdiri dari laki laki 81,5% dan perempuan 18,5%, rata-rata usia 56,3 tahun rentang usia yang lebar (21-97 th vs 26-96 th). Sebagian besar berasal dari DKI Jakarta (51%), Tingkat keparahan I 46%, Tingkat II 47,4%, dan Tingkat III 5,9%. Lebih dari separuh pasien (54,64%) mendapat tatalaksana intervensi PTCA atau bedah jantung (CABG), sedangkan 44,54% pasien dirawat tanpa tindakan intervensi non bedah maupun bedah. Penelitian mendapatkan 43,7% pasien dengan jaminan Askes, dan hanya 2,9 % dijamin dengan Jamkes yang dibayar dengan sistem INA-CBG`s. Lama rawat pasien rata rata 7,71±6,30 hari, 87,8, % keluar RS dengan status sembuh. Kesimpulan : Mutu layanan IMA di RSJPDHK tidak dibedakan berdasarkan jenis penjamin, dan adanya selisih antara tagihan RS dengan klaim yang dibayar oleh para penjamin berhubungan secara bermakna dengan kode diagnosis, jumlah tindakan sekunder, lama rawat dan tingkat keparahan penyakit. Penelitian mendapatkan nilai selisih dalam simulasi perhitungan antara tagihan terhadap klaim dengan sistem INA-CBG`s.

The Study examined the differences between the published rates and the CBG rates among patients with acute myocardial infarction (AMI) in National Cardiovascular Center (NCC) Harapan Kita. The purpose of this study is to examine whether there is quality and other differences among AMI patients paid by difference payers and payment levels. This study analyzed medical records of patients with AMI during the period of January 1, 2009 until December 31, 2012. The study found 5,472 patients with AMI consisting of 81.5% males and 18.5% females with the mean age of 56.3 years (range between 21-97 years vs. 26-96 years). Most of the patients were from Jakarta (51%). On severity levels, 46% patients were in severity level I, 47.7% severity level II, and 5.9% level III. More than half (54.6%) patients were treated with intervention (PTCA) or surgical procedures (CABG), while 44.4% patients were treated conventionally. We found that 43.7% of patients were covered by Askes, and only 2.9% were Medicaid (Jamkesmas) that were paid on DRGs. The average length of stays was 7.7 days and 87.8% were discharged in a good recovery. There was no difference in quality of treatment by difference payers or payment system although there was significant discrepancy in charges among difference payers. This differences in charges were associated differences in diagnoses, the number of secondary procedures, length of stays, and severity of the cases. It is concluded that the doctors provided the same quality of services among AMI patients, regardless of payers` status or charges."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T36106
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusran Hasymi
"ABSTRAK
Dukungan sosial keluarga dan intimasi merupakan dukungan psikologis bagi pasien dalam bentuk
bantuan nyata atau tindakan nyata, pemberian informasi, nasehat verbal dan non verbal yang
diperoleh dengan kehadiran orang terdekat. Dukungan sosial keluarga dan intimasi dapat
diberikan oleh pasangan, keluarga, dan teman dekat pasien. Pasien merasa diperhatikan, dicintai,
dihargai, sehingga meningkatkan kestabilan emosi yang akan mempermudah pasien menyesuaikan
diri terhadap situasi stres yang mempengaruhi persepsi nyeri pasien. Tujuan penelitian untuk
mengidentifikasi pengaruh dukungan keluarga dan intimasi terhadap persepsi tingkat nyeri pada
pasien miokard infark di ruang rawat ICCU RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu. Desain penelitian ini
merupakan penelitian kuantitatif dengan metode quasi experimental. Sampel penelitian berjumlah
26 orang, terdiri dari 12 responden sebagai kelompok intervensi dan 14 responden sebagai
kelompok kontrol. Pengambilan sampel dengan cara consecutive sampling. Pengujian perbedaan
penurunan rata-rata skor nyeri pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol adalah uji t-test.
Hasil penelitian umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan sosial ekonomi adalah setara. Penurunan ratarata
nyeri setelah mendapat dukungan sosial keluarga dan intimasi pada kelompok intervensi tidak
ada perbedaan dengan kelompok kontrol (p value=0,284). Hasil penelitian didapatkan bahwa
kombinasi terapi standar dengan dukungan sosial dan intimasi sama efektif dengan kelompok
kontrol untuk menurunkan persepsi tingkat nyeri pasien miokard infark. Implikasi penelitian ini
dapat digunakan untuk mengurangi nyeri pasien miokard infark.serta mendorong kemandirian
perawat sehingga tidak berfokus pada tindakan farmakologis.

ABSTRACT
Social support of family and intimacy are psychologist to patient could be given by spouse, family and friend. Patient get caring, love, prestige, that could be increased emotion stability, so helped to adaptated with stress that affect the pain. The objective this study was to identify family sosial support and intimacy to pain perception on patient with acute myocard infarc in ICCU room at RSUD Dr. M. Yunus in Bengkulu. Research design was quantitatif with quasy experiment method. The sample were 26 respondent, 12 respondent were intervention group and the remaining were as control group. The concecutive sampling was used to sampling methods. Ttest was used to examine the mean of pain score between intervention and control group. The decrease of pain score after get social support and intimacy in intervention group not different with control group ( p value = 0,284). The result show the combination of standart therapy with social support and intimacy as effective ascontrol group to decrease pain perception on patient with myocard infarc. The implication was directy used to reduce pain perception on patient with
myocard infarc, also to encourage nurse ability, in order doesnot farmacologist therapy oriented. "
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2009
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Suryo Wibowo
"Latar Belakang: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan status pekerjaan sebagai suatu faktor risiko infark miokard pada para pekeija pxia yang dirawat di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Metode: Desain penelitian kasus-kontrol dengan 77 kasus infark miokard dan kontrol 77 orang yang dipilih dan disamakan kclompok umumya. Informasi mengenai pekezjaan dan falctor-faktor risiko klasik infark miokard diperoleh melalui questionnaire dan dengan menelusun berkas rekam medik subyek. Hubungan antara infark miokard dan status pekerjaan dinilai dengan analisis regresi logistik, disuaikan terhadap sejumlah faktor risiko lainnya.
Hasil: Setelah disuaikan terhadap obesitas, hipertensi, riwayat keluarga, kelompok pendidikan, status perkawinan, dan jam kerja, kami menemul-can bahwa, dibandingkan terhadap status pekerjaan manual tidak terlatih, pda yang status pekerjaannya semakin tinggi semakin bcrisiko untuk terjadi infark miokard yakni OR 4,17 (95% CI 0,98 - 17,73), OR 6,67 (95% CI 1,56 _ 2s,5z), OR 11,11 (95% CI 2,94 - 41,95) dan OR 14,17 (95% CI 3,24 - 6l,99) berturut- turut untuk status pekerjaan manual terlatih, non manual tingkat rendah, non manual tingkat menengah, dan non manual tingkat tinggi.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan dalarn risiko infark miokard antara status pekeljaan yang berbeda. Pria yang status pekerjaannya non manual tingkat tinggi paling bcrisiko. Perbedaan dalam faktor-faktor psikososial di negara-negara sedang berkembang mungkin mempunyai andii terhadap hasil yang diamati dalam penelitian ini.

Background: This study was carried out to identity occupational status as a risk factor associated with myocardial infarction among male workers who hospitalized at National Cardiovascular Center Harapan Kita.
Methods: Case-control study with myocardial infarction as cases (n = 77) and controls (n = 77) were selected and matched on age. lnfomtation about occupation and classical risk factors for myocardial infarction was obtained with questionnaire and through subjects? medical record. The relation between myocardial infarction and occupational status was evaluated by logistic regression analysis, adjusting for a number of selected risk factors.
Results: After adjusting for obesity, hypertension, family history, educational group, marital status, and working hour, we found that, compared to manual unskilled occupational status, higher occupational status increased risk of myocardial infarction with OR 4,17 (95% CI 0,98 - 17,73), OR 6,67 (95% C1 1,56 - 28,52), OR 11,11 (95% CI 2,94 - 41,95), and OR 14,17 (95% Cl 3,24 - 61,99) respectively for manual skilled, non manual low level, non manual middle level, and non manual high level occupational status.
Conclusions: Differences in myocardial infarction risk among occupational status were found. Non manual high level occupational status were at highest risk. Differences in psychosocial factors in developing countries may contribute to observed results.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T29188
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Respons terhadap gejala IMA dan waktu untuk mencari pertolongan pertama pada
pria dan wanita yang mengalami IMA akan menentukan tingkat keberhasilan
penanganan IMA. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif perbandingan untuk
membandingkan respons terhadap gejala dan waktu untuk mencari pertolongan
pertama antara pria dan wanita yang mengalami IMA. Sampel penelitian ini
sebanyak 40 orang yang terdiri daxi 20 pria dan 20 wanita yang dirawat di NCCHKJ
dengan diagnosa IMA. Pengumpulan data dilakukan mengguuakan kuesioner dengan
tehnik wawancara langsung ke responden. Data diolah menggunakan distribusi
frekuensi dan uji Kai-Kuadrat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gejala utama
yang dirasakan mayoritas penderita IMA adalah nyeri dada baik pada pria (85%)
maupun wanita (75%). Keringat dingin teridentifikasi sebagai gejala penyerta utama
(pria 80%, wanita 90%). Dalam hal respon psikologis, wanita (65%) lebih banyak
rnengalami kecemasan dibandingkan pria (35%) Mayoritas waktu yang dibutuhkan
untuk tiba di emergensi NCCHKJ adalah >12 jam baik pada pria maupun wanita.
Penelitn ini juga menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna secara
statistik pada respons terhadap gejala dan waktu antara pria dan wanita yang
mengalami IMA (P> 0,1). Peneliti merekomendasikan agar perawat memberikan
edukasi tentang pengenalan gejala IMA dan respon tindakan yang baik pada saat
terjadi serangan IMA. Perawat juga sebaiknya dapat mengambil kepuiusan yang
cepat dan tepat sehingga penanganan IMA dilakukan dalam waktu < 12 jam setelah
waktu serangan pertama IMA, Penelitian keperawatan selanjutnya perlu melibatkan
sampel yang Iebih besar, disain korelasi dan penelitian kualitatif sehingga diperoleh
hasil yang lebih baik."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
TA5641
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Sujoko
"ABSTRAK
Penderita pasca IMA yang menunjukan elevasi segmen ST pada ULJB akan mendapat serangan koroner cukup besar berkisar 75% - 84% dan mempunyai gambaran klinik berupa infark anterior yang leas.
Insidensi untuk terjadi elevasi segmen ST pada ULJB bervariasi 2 - 3,5% ada pula yang mendapatkan 14 - 51% , sedangkan kematian tertinggi terjadi pada 6 bulan setelah IMA. Untuk menguji pernyataan tersebut dilakukan penelitian secara
retrospektip dan prosfektip pada penderita IMA yang masuk di R.S. Jantung Harapan Kita Jakarta dalam periode Nopember 1985 - Agustus 1988 dengan tujuan penelitian melihat serangan koroner berupa kematian, payah jantung,IMA dan angina berulang yang terjadi dalam periode tindak lanjut (" follow up ") 10 bulan.
Insidensi elevasi segmen ST pada ULJB pada penelitian ini didapat 14,81% dan didominasi 79,2% infarct anterior. Kelompok yang diteliti 19 penderita dengan hasil ULJB elevasi segmen ST , kelompok kontrol 12 penderita dengan hasil ULJB depresi segmen ST, kedua kelompok ini berlatar belakang infark anterior dan beralamat di Jakarta.
Variahel kedua kelompok ini jenis kelamin sama serta usia juga tidak berbeda bermakna kelompok yang diteliti berusia rata-rata 52,55 ± 6,58 tahun, sedang pada kelompok kontrol, berusia rata-rata 53,79 ± 8,05 tahun, faktor resiko juga tidak berbeda, lama ULJB yang dicapai juga tidak berbeda bermakna kelompok yang diteliti lama ULJB rata-rata 7,11 ± 2,98 menit sedang kelompok kontrol 7,83 ± 5,6 menit, denyut jantung yang dicapai juga tidak berbeda bermakna pada kelompok yang diteliti denyut jantung rata-rata 134,17 ± 13,47 / menit kelompok kontrol 123,17 ± 20,12 / menit.
Nilai ensim kreatinin kinase saat masuk rumah sakit pada kelompok yang diteliti adalah sangat tinggi dan berbeda bermakna dibanding kelompok kontrol yang menunjukan infark luas.
Pada tindak lanjut selama 10 bulan didapatkan serangan koroner hanya pada kelompok yang diteliti 31,5% dengan kematian pada 2 penderita .
Karena itu perlu dilakukan koroner angiografi pada penderita pasca IMA yang menghasilkan elevasi segmen ST pada ULJB guna pertimbangan Bedah pintas koroner atau medikamentosa.
"
1989
Tpdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muthalib Abdullah
"[, Penelitian ini bertujuan untuk mencari korelasi antara
pola perubahan kadar Mg plasma dan K serum terhadap
timbulnya GIJ pada IMA. Jumlah sampel yang memenuhi kreteria penelitian sebanyak 28 orang yang terdiri dari 24 orang pria dan 4 orang wanita. Penderita IMA yang mengalami GIJ selama perawatan di ICCU RSCM sebesar 70%. GIJ yang terjadi dapat berupa gangguan konduktifitas (kelompok I) dan gangguan iritabilitas (kelompok II), sedang 30% irama sinus (kelompok III).

This study aims to find a correlation between
pattern of changes in plasma Mg and K levels of serum to
the emergence of GIJ at IMA. The number of samples that met the research criteria was 28 people consisting of 24 men and 4 women. IMA patients who experience GIJ during treatment at ICCU RSCM is 70%. GIJ that occurs can be in the form of conductivity disorders (group I) and irritability disorders (group II), while 30% of sinus rhythms (group III).]
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, [1990, 1990]
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>