Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180849 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cynthia Utami
"ABSTRAK
Latar belakang: Fokus terapi asma adalah mencapai terkendalinya asma secara
adekuat. Childhood Asthma Control Test (CACT) merupakan kuesioner
penilaian terkendalinya asma pada anak yang cepat dan mudah digunakan.
Penggunaan CACT di Indonesia masih terbatas karena kendala bahasa dan
budaya. Sampai saat ini belum ada kuesioner CACT versi Indonesia (terjemahan
CACT ke dalam bahasa Indonesia) yang terbukti sahih dan andal.
Tujuan: Mengetahui kesahihan (validity) dan keandalan (reliability) kuesioner
CACT versi Indonesia.
Metode: Menerjemahkan tujuh pertanyaaan kuesioner CACT menjadi kuesioner
CACT versi Indonesia. Studi potong lintang dilakukan terhadap 66 subjek usia
4-11 tahun yang dipilih secara konsekutif. Semua subjek menjalani uji fungsi paru
dan pemeriksaan peak expiratory flow berkala. Analisis statistik menggunakan
uji Cronbach?s  dan uji korelasi Pearson/ Spearman.
Hasil: Rerata usia subjek penelitian adalah 7,89 tahun (5,25 -11,83 tahun) dengan
proporsi jenis kelamin lelaki lebih tinggi dibandingkan anak perempuan. Sebagian
besar subjek penelitian yaitu 60,4% memiliki status asma tidak terkendali (nilai
kuesioner CACT ≤19). Kuesioner CACT versi Indonesia mempunyai keandalan
(Cronbach?s  0,762) dan kesahihan konstruksi (r= 0,384-0,545) yang baik.Tidak
terdapat korelasi bermakna antara kuesioner CACT versi Indonesia dengan nilai
FEV1 (r =-0,024; p=0,846) dan nilai variabilitas mingguan PEF (r=-0,218;
p=0,079).
Simpulan: Kuesioner CACT versi Indonesia mempunyai kesahihan dan
keandalan yang baik untuk menilai terkendalinya asma. Kuesioner ini tidak
mempunyai korelasi dengan uji fungsi paru sehingga CACT tidak dapat
menggantikan peran uji fungsi paru sebagai salah satu komponen penilaian
terkendalinya asma.

ABSTRACT
Background: The goal of asthma treatment is to achieve control over the asthma
adequately. The Childhood Asthma Control Test (CACT) is a quick and easy-touse
questionnaire for assessing asthma control on children. The usage of CACT in
Indonesia is limited due to the language and culture barrier. To date, there is no
Indonesian version of CACT questionnaire that is proven to be reliable and valid.
The aim of this study was to validate the Indonesian version of this test.
Objectives: To learn the validity and reliability of the Indonesian version of
Childhood Asthma Control Test (I-CACT).
Methods: Translation of the established seven-item questionnaire into the ICACT.
Cross-sectional study was conducted among 66 participants aged 4-11
years old which were recruited consecutively. All patient undergone pulmonary
function test and measured peak expiratory flow (PEF) regularly. The reliability
of I-CACT was assessed using the internal consistency (Cronbach?s ) and the
validity was assesed by the Pearson/Spearman correlation test.
Results: The mean age was 7.89 years (5.25-11.83y) with predominantly boys.
Sixty percent of participants had uncontrollable asthma (score I-CACT ≤19). Both
the internal consistency reliability (Cronbach?s  0.762) and the constructed
validity (r= 0.384-0.545 ) of the I-CACT were good. No significant correlation
was found between the I-CACT score with the FEV1 (r =-0.024; p=0.846) and the
variability of PEF (r=-0.218; p=0.079) respectively.
Conclusions: I-CACT is a valid and reliable test for assessing asthma control.
However, I-CACT does not correlate well with the pulmonary function test and
therefore is not a substitute to the role of pulmonary function in assessing asthma
control."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salma Amira Putri
"Latar Belakang Asma persisten banyak terjadi pada anak di bawah usia tiga hingga enam tahun. Karakteristik pada anak dengan asma persisten cukup bervariasi sehingga menyebabkan anak rentan mengalami kondisi yang tidak terkendali jika tidak segera ditangani. Di Indonesia, belum ada data yang menggambarkan karakteristik anak dengan asma persisten dan faktor-faktor yang memengaruhi derajat kendalinya. Metode Desain penelitian potong lintang dilakukan terhadap 81 anak berusia 6-18 tahun dengan asma persisten yang melakukan kontrol ke RSCM dalam rentang tahun 2019-2023. Pemilihan sampel dan pengambilan data dilakukan menggunakan rekam medis milik RSCM Kiara dengan metode total sampling. Hasil Asma persisten yang tidak terkendali terjadi pada 53 subjek (65.4%). Sebagian besar subjek berada dalam rentang usia 6-11 tahun (61.7%), berjenis kelamin laki-laki (55.6%), terpapar oleh alergen (72.8%), faktor lingkungan (34.6%), memiliki komorbiditas (88.9%), berada dalam kelompok gizi baik (43.2%), patuh terhadap pengobatan (74.1%), dan menggunakan terapi pengendali jenis metered dose inhaler (84.0%). Dari hasil analisis bivariat dan regresi logistik, tidak ada karakteristik yang menunjukkan hubungan signifikan terhadap derajat kendali asma. Kesimpulan Terdapat 65.4% anak dengan asma persisten yang tidak terkendali. Tidak ada karakteristik yang berhubungan signifikan dan berperan sebagai prediktor independen dengan derajat kendali asma.

Introduction Persistent asthma often occurs in children under the age of three to six years. The characteristics of children with persistent asthma are quite varied, making children vulnerable to experiencing uncontrollable conditions if not treated immediately. In Indonesia, there is no data that describes the characteristics of children with persistent asthma and the factors that influence the level of control. Method A cross-sectional research design was carried out on 81 children aged 6-18 years with persistent asthma who underwent control at RSCM in the period 2019-2023. Sample selection and data collection were carried out using medical records belonging to RSCM Kiara using the total sampling method. Results Persistent uncontrolled asthma occurred in 53 subjects (65.4%). Most of the subjects were in the age range of 6-11 years (61.7%), male (55.6%), exposed to allergens (72.8%), environmental factors (34.6%), had comorbidities (88.9%), were in the healthy weight group (43.2%), adherent to treatment (74.1%), and used metered dose inhaler control therapy (84.0%). From the results of bivariate analysis and logistic regression, there were no characteristics that showed a significant relationship to the level of asthma control. Conclusion There are 65.4% of children with persistent uncontrolled asthma. There were no characteristics that were significantly related and acted as independent predictors with the level of asthma control."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prasna Pramita
"Latar Belakang
Prevalensi asma meningkat dalam 30 tahun terakhir dan bervariasi di berbagai negara, komunitas, etnis yang berbeda. Penelitian di Indonesia melaporkan prevalensi asma pada anak dan orang dewasa 6-7 %. identifikasi faktor-faktor risiko seperti faktor keturunan, atopi, urutan kelahiran dalam keluarga, rokok, hewan piaraan, gizi, pola makanan, obesitas dengan kejadian asma perlu untuk menjelaskan variasi tersebut. Sampai saat ini studi prevalensi asma dan identifikasi faktor risiko di daerah pantai dengan jumlah sampel yang besar belum pernah dilakukan di Indonesia.
Tujuan
Mencari faktor-faktor risiko asma pada anak sekolah usia 13 hingga 18 tahun di Kepulauan Seribu.
Metodologi
Uji potong lintang dilanjutkan dengan disain kasus kontrol bersarang. Pada responden dibagikan kuesioner yang dikelompokkan berdasar diagnosis asma, pernah asma dan bukan asma. Untuk kelompok asma dalam 12 bulan terakhir, pernah asma dan tidak asma (keiompok kontrol) dipilih secara acak untuk dilakukan uji tusuk kulitlskin prick test.
Hasil
Telah dilakukan di 15 sekolah (SD, SLTP, SLTA) yang tersebar di Kepulauan Seribu sebanyak 1505 responden terdiri atas 713 laki-laki dan 792 perempuan. Distribusi responden menurut jenis kelamin pada kasus asma dan kontrol tidak terdapat hubungan yang bermakna (IK 95%; 0,54-1,47, p=0,66). Hubungan orang tua menyandang asma dengan kejadian asma pada responden menunjukkan hubungan bermakna. Pada ayah (IK 95%; 6,09-59,9, p=0,001). Pada ibu (IK 95%; 1,23-7,95, p=4,001), Berdasarkan hasil uji tusuk kulit pada kelompok mengi dan kontrol menunjukkan hubungan yang bermakna (D. Pteronyssinus) dengan kejadian asma (p 0,0001). Sedangkan faktor risiko asma lainnya (urutan kelahiran dalam keluarga, rokok, hewan piaraan, dan obesitas) tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan kejadian asma.
Simpulan
PrevaIensi gejala asma pads anak usia 13 hingga 18 tahun di Kepulauan Seribu berdasarkan riwayat mengi = 11,8%, mengi 12 bulan terakhir = 5,4 %. Didapat hubungan bermakna pada orang tua menyandang asma terhadap kejadian asma pada anak. Hasil uji tusuk kulit (D. pteronyssinus) menunjukkan hubungan bermakna dengan kejadian asma.

Background
The prevalence of asthma has been increasing in the last 30 years and varied among different countries, communities and ethnic groups. Study in Indonesia had reported that the prevalence of asthma in children and adults was 6-7%. Identification of risk factors, atopy, smoking, pet, nutrition, dietary pattern, obesity and incidence of asthma are necessary to explain the variation. Up to now, study on the prevalence of asthma and risk factors identification with big sample size in maritime region has never been conducted in Indonesia.
Objectives
The aim of the study is to determine risk factors of asthma in school children aged 13-18 years old in Kepulauan Seribu.
Methods
A cross sectional study continued by nested case control was conducted in Kepulauan Seribu in June 2005. All respondents have to fill out questionnaire forms and were grouped based on diagnosis of asthma, history of asthma and no asthma. For the asthma group in last 12 months, history of asthma and no asthma (control group) were selected randomly for skin prick test.
Results
Data was obtained from 1505 subjects in 15 schools (elementary school, junior high school, senior high school) consisted of 713 boys and 792 girls. The prevalence of asthma in adolescents aged 13 - 18 years old in Kepulauan Seribu based on symptom of wheezing (11.8%), wheezing in the last 12 months (5.4%). Distribution of respondents based on gender found no significant relation between asthma and control group (CI 95%; 0.54-1.47, p=4.66). Subjects with asthma associated significantly with their parents who also had asthma (fathers CI 95%; 6.09-59.9, p=0.04I and mothers CI 95%; 1.23-7.95, p=0.001). Based on skin prick test, we found there was significant relation between alergen (D. Pteronyssinus) with incidence of asthma (p=4.0001), while other risk factors (family size, smoking, obesity, pet) had not showed significant relation with asthma.
Conclusions
The prevalence of asthma in adolescent aged 13-18 years old in Kepulauan Seribu based on history of wheezing was 11.8%, while symptom of wheezing in 12 month was 5.4%. Subjects with asthma associated significantly with their parents who also had asthma. Skin prick test (D. pteronyssinus) had significant relation with incidence of asthma.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21415
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Aprilicia
"ABSTRAK
Asma merupakan penyakit inflamasi saluran pernapasan yang sering
dijumpai pada anak-anak dengan insiden kejadian yang lebih tinggi dibanding
kelompok umur lainnya. Diperkirakan, sekitar 300 juta penduduk dunia saat ini
menderita asma dan akan meningkat menjadi 400 kasus pada tahun 2025. Selain
dari faktor pejamu yang tidak dapat dimodifikasi, peningkatan prevalens asma
diduga juga berhubungan dengan adanya peran dari faktor lingkungan. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
asma dan pencetus serangan asma anak usia 0-11 tahun di Indonesia pada tahun
2013. Penelitian ini menggunakan data sekunder Riskedas tahun 2013 dengan
desain cross sectional deskriptif. Responden terdiri dari 237.992 anak usia 0-11
tahun di Indonesia. Analisis data dilakukan dengan analisis chi square. Hasil
analisis univariat diperoleh prevalensi asma pada anak usia 0-11 tahun di Indonesia
pada tahun 2013 sebesar 3,6% dengan faktor pencetus yang paling sering adalah flu
atau infeksi sebesar 56,2%. Hasil analisis bivariat diperoleh bahwa kejadian asma
pada anak usia 0-11 tahun berhubungan dengan umur, jenis kelamin, wilayah
tinggal, keadaan sosioekonomi, asap dapur, paparan pestisida dalam rumah, jenis
lantai rumah, jenis dinding rumah, jenis plafon rumah, kebersihan ruang tidur,
kebersihan ruang masak, dan kebersihan ruang keluarga. Penelitian ini menemukan
bahwa peluang mendapatkan asma lebih tinggi ditemukan pada anak laki-laki,
berumur 2 tahun, tinggal di wilayah pedesaan, mempunyai keadaan sosioekonomi
rendah, terdapat asap dapur dalam rumah, terdapat paparan pestisida dalam rumah,
mempunyai lantai rumah berjenis tanah, dinding berjenis bambu, plafon berjenis
bambu, serta kebersihan ruang tidur, ruang masak, dan ruang keluarga yang tidak
bersih.

ABSTRACT
Asthma is an inflammatory disease of respiratory tract are often found in children
with a higher incidence of events than other age groups. It is estimated that around
300 million people worldwide currently suffer from asthma and will increase to 400
cases in 2025. Due to a host factors can?t be modified, there are a role of
environmental factors which contributed to increase the prevalence of asthma. This
study aims to determine the factors associated with asthma and trigger asthma attack
among children aged 0-11 years in Indonesia on 2013. This study using secondary
data from National Basic Health Research 2013 with a study design descriptive
cross-sectional. The respondents are 237.992 children aged 0-11 years in Indonesia.
Data was analyzed using chi square analysis. Result of univariate analysis shows
prevalence of asthma in children aged 0-11 years in Indonesia on 2013 amounted
to 3,6% with a trigger factor that most often is cold or infection by 56,2%. Results
of bivariate analysis shows that the prevalence of asthma among children aged 0-
11 years are associated with age, sex, region of residence, socioeconomic status,
kitchen smoke, exposure to pesticides in the home, the type of floor of the house,
the type of house wall, ceiling type of house, cleanliness of the bedroom, cleanliness
of cooking space, and cleanliness of the living room. This study found that the risk
chances of getting asthma was found higher in boys, 2 years old, live in rural areas,
have socioeconomic status is low, there is a kitchen smoke in the house, there is
exposure to pesticides in the house, has a house floor manifold earthen, wall
manifold bamboo, ceiling manifold bamboo, and the cleanliness of the bedroom,
kitchen, and family rooms are not clean.;;;"
2016
S65579
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Whiteside, Mike
London: Thorsons, 1991
618.922 38 WHI c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Gatot Sudiro Hendarto
"Tujuan penelitian potong lintang ini adalah menggambarkan tingkat keterkontrolan asma, kualitas hidup, dan kepatuhan pengobatan serta melihat hubungan antara keterkontrolan asma dengan kualitas hidup dan kepatuhan pengobatan. Sebanyak 132 pasien asma poli rawat jalan RSUP Persahabatan menyatakan kesediaan dan mengikuti penelitian ini dengan lengkap. Data diambil melalui wawancara dan pengamatan cara pakai obat. Sebesar 64 pasien (48,5%) menderita asma yang tidak terkontrol dan 68 pasien (51,5%) termasuk dalam asma yang terkontrol. Gambaran kualitas hidup menunjukkan nilai rerata domain gejala sebesar 4,83 (±1,49), domain keterbatasan aktivitas sebesar 5,99 (±0,86), domain fungsi emosi sebesar 5,13 (±1,63), dan domain pajanan lingkungan sebesar 3,89 (±1,88).
Gambaran kepatuhan pengobatan pada penelitian ini sebesar 45,5% pasien minum obat sesuai anjuran dokter, 38,6% pasien rutin kontrol ke petugas kesehatan, dan 45,5% menggunakan obat inhalasi dengan benar. Domain pajanan lingkungan berdampak lebih besar terhadap gangguan kualitas hidup dibandingkan dengan domain lainnya. Terdapat hubungan antara keterkontrolan asma dengan kualitas hidup (r=0,307, p<0,05) dan hubungan antara keterkontrolan asma dengan kepatuhan pengobatan (penggunaan dosis obat, rutin kontrol, dan penggunaan obat inhalasi) (p<0.05).

The aim of this cross-sectional study was to describe the level of asthma control, quality of life, medication compliance, and assess correlation between the level of asthma control, quality of life, and compliance with treatment. A hundred and thirty two patients with asthma in outpatient ward of RSUP Persahabatan hospital have provided consent and completed study. Data collection were conducted from interviews and observation how to use the drug. Sixty four patients (48.5%) had uncontrolled asthma and 68 patients (51.5 %) included in the controlled asthma. The mini asthma quality of life questionaire showed the mean symptom domains score of 4.83 (±1.49), activity limitations domain score of 5.99 (± 0.86), emotional function domain score of 5.13 (±1.63 ), and the environmental stimuli domain of 3.89 (±1.88).
Medication compliance revealed that 45,5% used medication dose as recommended by physician, 38,6% visited the physician for routine follow up, and 45,5% used the inhaled medication correctly. Environmental stimuli had more impact in quality of life compared to symptoms, activity limitation and emotional function. There is a relationship between the domain of quality of life with asthma control level (r=0,307, p<0,05) and there is a relationship between medication dose as recommended by physician, visiting the physician for routine follow up and using the inhaled medication correctly with asthma control level (p <0.05).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T39286
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Prastiti Utami
"Latar Belakang: Pajanan terhadap jamur telah diketahui berperan dalam perburukan gejala asma, fungsi paru yang buruk, rawat inap dan kematian. Kolonisasi atau pajanan jamur dapat mencetuskan respons alergi dan inflamasi paru. Sensititasi jamur oleh Aspergillus dapat menyebabkan Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis (ABPA) maupun Severe Asthma with Fungal Sensitization (SAFS). Pemeriksaan Immunodiffusion test (IDT) merupakan uji serologi untuk mengetahui terdapatnya antibodi anti-Aspergillus, namun pemeriksaan ini belum banyak digunakan di Indonesia dan perannya terhadap pasien asma belum diketahui.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian prospektif dengan metode consecutive sampling dan desain potong lintang. Subjek penelitian ini adalah pasien asma yang berobat di Poliklinik Asma Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. Subjek penelitian menjalani pemeriksaan spirometri, Asthma Control Test (ACT) dan serologi antibodi anti-Aspergillus dengan metode IDT Aspergillus menggunakan crude antigen Aspergillus.
Hasil: Subjek penelitian ini sebanyak 59 pasien. Sejumlah 49 subjek (83,1%) berjenis kelamin perempuan, 37 subjek (62,7%) berusia ≥50 tahun, 45 subjek (76,3%) berpendidikan SLTA atau lebih, 25 subjek (42,4%) obesitas I, 5 subjek (8,5%) obesitas II dan 11 subjek (18,6%) bekas perokok. Sebagian besar subjek (62,71%) merupakan pasien asma persisten sedang. Asma terkontrol penuh ditemukan pada 7 subjek (11,86%), sedangkan asma tidak terkontrol pada 32 subjek (54,24%). Derajat obstruksi yang terbanyak ditemukan adalah obstruksi sedang pada 31 subjek (52,5%). Nilai %VEP1 ≥80% prediksi setelah uji bronkodilator ditemukan pada 24 subjek (40,7%). Dari 59 sampel darah yang diperiksa, tidak ada yang menunjukkan hasil IDT positif (0%), termasuk subjek yang datang dalam keadaan eksaserbasi dan subjek dengan asma persisten berat.
Kesimpulan: Hasil positif pemeriksaan IDT Aspergillus pada pasien asma sebesar 0%. Pemeriksaan IDT Aspergillus tidak dapat digunakan secara tunggal tanpa pemeriksaan lain untuk mendeteksi sensititasi terhadap Aspergillus pada pasien asma dan tanpa validasi terhadap crude antigen Aspergillus yang digunakan.

Background: Exposure to fungi has been known to play a role in worsening symptoms of asthma, poor lung function, hospitalization and death. Fungal colonization or exposure can trigger an allergic response and lung inflammation. Fungal sensitization by Aspergillus spp. can cause allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA) or severe asthma with fungal sensitization (SAFS). Immunodiffusion test (IDT) is a serological test to determine the presence of anti-Aspergillus antibodies, but this examination has not been widely used in Indonesia and its role in asthma patients is unknown.
Method: This study was a prospective study with consecutive sampling method and cross-sectional design. The subjects were asthma patients treated at Asthma Outpatient Clinic at Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia. Subjects underwent spirometry, Asthma Control Test (ACT) and serology of anti-Aspergillus antibodies examination with the IDT Aspergillus method using crude antigen Aspergillus.
Results: The subjects of this study were 59 patients. A total of 49 subjects (83.1%) were females, 37 subjects (62.7%) were ≥50 years old, 45 subjects (76.3%) had high school education level or higher, 25 subjects (42.4%) were obese I, 5 subjects (8.5%) were obese II and 11 subjects (18.6%) were former smokers. Most subjects (62.71%) were moderate persistent asthma patients. Fully-controlled asthma was found in 7 subjects (11.86%), while uncontrolled asthma was found in 32 subjects (54.24%). The highest degree of obstruction found was moderate obstruction in 31 subjects (52.5%). The %VEP1 ≥80% predicted after the bronchodilator test was found in 24 subjects (40.7%). Of the 59 blood samples examined, none showed positive IDT results (0%), including subjects who came in exacerbations and subjects with severe persistent asthma.
Conclusion: Positive results of IDT Aspergillus examination in asthma patients were 0%. The Aspergillus IDT examination cannot be used singly without other examinations to detect Aspergillus sensitization in asthmatic patients and without validation of the crude antigen Aspergillus used."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Made Restiawati
"Latar belakang penelitian : Gejala klinis dan fungsi paru pada asma tidak sensitif dalam mencerminkan inflamasi saluran napas yang mendasarinya dan monitoring proses inflamasi pada asma yang terbaru telah tersedia saat ini. Kadar NO pada udara ekspirasi saat ini dikenali sebagai tanda peradangan eosinofil, merupakan pemeriksaan non invasif dan sangat mudah untuk dikerjakan akan tetapi masih sangat mahal.
Metode penelitian : Asma dibagi menjadi 2 kategori yaitu terkontrol dan tidak terkontrol. Sembilan puluh enam subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi dinilai kontrol asmanya dengan ACT kemudian dilakukan pengukuran kadar NO dan spirometri dengan menggunakan metode penelitian cross-sectional comparative.
Hasil penelitian : Sembilan puluh enam subyek penelitian berhasil dikumpulkan. Lima puluh orang subyek merupakan kelompok asma terkontrol (41 orang asma terkontrol sebagian dan 8 orang asma terkontrol penuh) dan 47 orang merupakan kelompok asma tidak terkontrol. Semua pasien mendapatkan terapi asma sesuai dengan GINA 2011. Berdasarkan nilai spirometri VEP1/KVP untuk menilai derajat obstruksi 26 (53,3%) kelompok asma tidak terkontrol memiliki nilai normal, 14 (29,8%) dengan obstruksi ringan dan 7 (14,9%) dengan derajat obstruksi sedang. Sementara itu 25 (51%) kelompok asma terkontrol memiliki nilai normal, 21 (42,9%) dengan derajat obstruksi ringan dan 3 (6,1%) dengan derajat obstruksi sedang. Tidak ditemukan derajat obstruksi berat pada kedua kelompok asma. Nilai median NO pada kelompok asma terkontrol adalah 27 part per billion (ppb) xx (6;10), sedangkan pada kelompok asma tidak terkontrol 40 ppb (5;142) dengan nilai p 0,002.
Kesimpulan : Kelompok asma tidak terkontrol memiliki nilai NO lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok asma terkontrol. Lebih dari 50% subyek penelitian ditemukan tidak memiliki obstruksi berdasarkan nilai VEP1/KVP.

Background: Clinical findings and lung function test results of asthmatic patient are happen to be less sensitive in reflecting the underlying airway inflammation. Such required monitoring of this process has only recently become available. Exhaled nitric oxide is recognized as reliable surrogate marker of eosinophilic airway inflammation and offers the advantage of being completely non-invasive, easy procedure.
Methods: This cross-sectional comparative study involves 96 asthmatic subjects whom fulfilled the inclusion and exclusion criteria. Subjects are then classified into two main categories of asthma which are controlled asthma and uncontrolled asthma based on ACT questionnaire. Nitric oxide level measurement and spirometry examination are then performed in both of controlled asthma and uncontrolled asthma.
Results: Ninety six subjects were included in this study. Fifty subjects had controlled asthma (41 partially controlled, 8 fully controlled) and 47 had uncontrolled asthma. All patients had been using asthma medication on regular basis. Based on FEV1/FVC 26 (55,3%) uncontrolled asthma patients had normal results, 14 (29,8%) had mild obstruction and 7 (14,9%) had moderate obstruction. Meanwhile, 25 (51%) controlled asthma patients had normal results, 21 (42,9%) had mild obstruction, and 3 (6,1%) had moderate obstruction. No patients had severe obstruction. Median of NO in controlled asthma patients was 27 part per billion (ppb), (6;110) while in uncontrolled asthma was 40 ppb (5;142) with pvalue 0,002.
Conclusion: Uncontrolled asthma patients had higher measured level of exhaled NO compared to controlled asthma patients. More than 50% subjects had no obstruction based on FEV1/FVC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Matondang, Faisal Rizal
"Pendahuluan: Tingginya angka kesakitan dari asma dan biaya pengobatan telah menjadi beban besar bagi masalah kesehatan. Tujuan pengobatan asma adalah tercapainya asma yang terkontrol mendekati fungsi paru normal, tidak ada gejala asma, tidak ada keterbatasan aktifiti dan memburuknya asma. Penggunaan Asthma Control Test ACT , Asthma Symptom Control ASC dan Asthma Control Questionnaire ACQ dapat secara mudah memberitahukan tingkat keterkontrolan asma. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kesesuaian antara ketiga kuesioner dalam menilai tingkat keterkontrolan asma di RSUP Persahabatan.
Metode: Penelitian dengan desain potong lintang dan analisis deskriptif pada 45 subjek pasien asma di klinik asma PPOK RSUP Persahabatan melalui wawancara dan pengisian kuesioner untuk mengetahui tingkat keterkontrolan asma.
Hasil: Tingkat keterkontrolan asma dengan ACT sebanyak 42,2 terkontrol baik, 42,2 terkontrol sebagian dengan ASC dan 42,2 tidak terkontrol berdasarkan ACQ. Terdapat hubungan penggunaan obat kortikosteroid semprot dengan kuesioner ACT p=0,031 . Terdapat hubungan antara pendidikan p=0,047 , kebiasaan merokok p=0,037 dan penghasilan p=0,040 dengan keterkontrolan asma ASC. Terdapat hubungan antara penghasilan p=0,025 dengan kuesioner ACQ. Kesesuaian antara ketiga kuesioner ini dengan nilai kappa 0,877 kesesuaian yang baik.
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara penggunaan obat kortikosteroid semprot, kebiasaan merokok dan penghasilan pada ketiga kuesioner keterkontrolan asma. Kesesuaian antara ketiga kuesioner terdapat kesesuaian yang baik.

Introduction: The high prevalence of asthma and costs of asthma therapy place a considerable burden on health care systems. Asthma attacks and symptoms can be controlled by an appropriate treatment and proper use of medicines. The goals of asthma therapy are to achieve asthma control near normal lung function, absence of asthma symptoms, no activity limitations and no episodes of worsening asthma. The use of Asthma Control Test ACT , Asthma Symptom Control ASC and Asthma Control Questionnaire ACQ can make easier to control asthma. This study rsquo;s purpose is to see the suitability between the three questionnaires in assessing the level of control asthma in Persahabatan Hospital.
Methods: Research with cross sectional design and descriptive analysis on 45 subjects of asthma patients in the clinic asthma PPOK RSUP Persahabatan through interviews and filling questionnaires to determine the level of control of asthma.
Results: Asthma control rate with ACT was 42.2 well controlled, 42.2 partially controlled with ASC and 42.2 uncontrolled under ACQ. There was association of spray corticosteroid drug use with ACT questionnaire p = 0,031 . There was a relation between education p = 0,047 , smoking habit p = 0,037 and income p = 0,040 with ASC asthma control. There is a relation between income p = 0,025 with ACQ questionnaire. Compatibility between these three questionnaires with a kappa value of 0.877 good suitability.
Conclusion: There is an association between the use of spray corticosteroid drugs, smoking habits and income in the three questionnaires of asthma control. The suitability between the three questionnaires has good suitability.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58625
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iswari Setianingsih
"LATAR BELAKANG
Asma pada anak merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai dengan angka kejadian kira-kira 5-10 % (Godfrey, 1983). Di Indonesia belum ada penyelidikan menyeluruh mengenai angka kejadian asma pada anak, namun diperkirakan berkisar antara 5-10 % dari seluruh anak. Lebih dari 50 % kunjungan di Poliklinik Sub Bagian Paru Anak FKUI-RSCM merupakan pasien asma (Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, 1985).
Sebagian besar pasien asma anak (70-75 %) tergolong ringan (Phelan dkk., 1982), tetapi penyakit ini seringkali merupakan penyebab ketidakhadiran anak di sekolah, meningkatkan frekuensi kunjungan ke dokter, dan bahkan meningkatkan angka perawatan di rumah sakit.
Prognosis penyakit ini bergantung pada perjalanan penyakit (Phelan dkk., 1982) dan penatalaksanaannya. Pada golongan pasien asma anak yang berat, 50 % di antaranya akan menetap sampai dewasa .
Walaupun pengaruh penatalaksanaan terhadap prognosis asma masih belum jelas (Phelan dkk., 1982; Gerritsen, 1989; Warner dkk, 1989), penanganan asma yang tidak adekuat diduga dapat menyebabkan kerusakan paru yang menetap. Penatalaksanaan asma pada anak bergantung pada ketepatan diagnosis dan penentuan derajat klinis asma. Kedua hal tersebut sangat berperan dalam pemilihan strategi penanganan asma pada anak.
Diagnosis asma pada anak kadang-kadang sulit, karena sering dijumpai pasien asma dengan gejala klinis tidak khas yaitu hanya batuk kronis dan berulang tanpa mengi. Selain itu anamnesis yang didapat sering tidak dapat menunjang diagnosis asma. Di luar serangan asma.sebagian besar pasien tampak normal.
Penentuan derajat klinis asma juga tidak mudah, karena anamnesis yang didapat seringkali tidak dapat memberikan informasi mengenai saat terjadinya serangan pertama kali, kekerapan serangan asma, dan perjalanan penyakitnya. Selain itu keadaan klinis serangan asma yang berat belum tentu menggambarkan berat ringannya derajat klinis.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T58512
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>