Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 95155 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ade Solehudin
"Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika masih terus menjadi ancaman serius bagi setiap negara, hal ini diakibatkan oleh terjadinya peningkatan produksi narkotika secara illegal dan pendistribusian yang begitu cepat dan meluas dengan tidak lagi mengenal batas antara Negara, yang mengakibatkan korban penyalahgunaan narkotika setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Negara secara berkelanjutan senantiasa memperbaharui aturan perundangundangan yang mengatur upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika.
Perubahan paradigma dalam menangani kasus penyalahgunaan narkotika di Indonesia mulai bergeser dengan adanya Amandemen Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika menjadi UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Tujuan yang ingin dicapai dengan pembentukan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika salah satunya adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika. Namun hasil survey yang dilakukan oleh BNN bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia pada tahun 2011 tentang Survey Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia, diketahui bahwa angka penyalahguna narkotika di Indonesia telah mencapai 2,2% atau sekitar 3,8 juta orang dari total populasi penduduk. Hal ini mengalami peningkatan bila dibandingkan pada tahun 2008 yaitu sekitar 3,3 juta orang. Sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam UU No. 35 Tahun 2009 tersebut diatas belum sesuai dengan yang diharapkan, dimana dari tahun ke tahun jumlah penyalahguna atau pecandu narkotika semakin meningkat.
Penelitian yang dilakukan dalam tesis ini bersifat yuridis normatif dan menggunakan metode pengumpulan data yang meliputi: penelitian pustaka melalui pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier, serta penelitian empiris melalui pengisian kuesioner dan tehnik wawancara secara depth interview, dengan para narasumber untuk mendapatkan informasi yang diperlukan. Sistem hukum Indonesia memposisikan kejaksaan sebagai penyandang asas dominus litis yang memiliki fungsi sentral dalam pengendalian proses perkara yang menentukan dapat tidaknya seseorang dinyatakan sebagai terdakwa dan diajukan ke pengadilan.
Peran Jaksa Penuntut Umum untuk bisa mewujudkan tercapainya tujuan dari UU No. 35 Tahun 2009 khususnya upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika yaitu dengan cara meningkatkan kompetensi pemahaman Jaksa Penuntut Umum terhadap UU No. 35 Tahun 2009 dan ketentuan-ketentuan lainnya yang mengatur mengenai tindak pidana narkotika, selanjutnya memaksimalkan kewenangannya untuk melakukan pra penuntutan, penuntutan serta melaksanakan penetapan hakim. Selain itu diharapkan konsistensi dan sinergi antara aparat penegak hukum (integrated criminal justice system) mengingat dalam pengimplementasian UU No. 35 Tahun 2009 melibatkan berbagai stakeholder terkait, yakni Kementrian Sosial, Kementrian Kesehatan, Lembaga Pemasyarakatan, disamping juga terdapat aparat penegak hukum yakni polisi, jaksa dan Hakim.
Setelah konsistensi dan sinergi antara stakeholder terkait telah berjalan dengan baik, diperlukan juga adanya dukungan dari pemerintah untuk menambah fasilitas rehabilitasi medis dan sosial di seluruh Indonesia, karena saat ini jumlah lembaga rehabilitasi/RSKO yang bisa menampung para terdakwa tindak pidana narkotika masih sangat terbatas.

Abuses and illegal circulation of narcotic drugs continue to pose serious threat to any country. This is due to increased production of illegal drugs and their fast and extensive distribution across state borders. This results in increasing number of drug victims each year. The State continually and at any time necessary amends laws and regulations that govern efforts to eradicate abuses of drugs and the similar substances. The paradigm in handling cases of drug abuses in Indonesia has shifted following amendment to Law Number 22 Year 1997 on Narcotic Drugs and Law Number 5 Year 1997 regarding Psychotropic Drugs to become Law No. 35 Year 2009 regarding Narcotic Drugs.
The objective of the drafting of Law No.35 Year 2009 on Narcotic Drugs is to ensure regulation on efforts to do medical and social rehabilitation on drug abusers and addicts. However, based on the result of survey conducted by BNN in cooperation with the Health Research Center of Universitas Indonesia in 2011 on development of drug abuses in Indonesia, the drug abuse rate in Indonesia has reached 2.2% of the population or around 3.8 million. This is an increase compared to the figure in year 2008 namely around 3.3 million. Hence, we can say that the objective of Law No. 35 Year 2009 as mentioned above cannot be achieved as expected, and instead increase in term of the total number of drug abusers or addicts year by year.
The research conducted in this thesis is juridical normative in nature and uses the following methods of data collection: literature studies through collection of primary legal materials, secondary legal materials, tertiary legal materials, and empirical research through questionnaires and in-depth interviews with the source persons to get the required information. The Indonesian legal system positions the public prosecutor’s office as the holder of dominus litis principles and has the central function in controlling a case proceeding and determines whether an individual can be declared as the defendant and brought to justice.
Public prosecutors play the role in realizing the achievement of objective of Law No. 35 Year 2009, in particular, efforts of medical and social rehabilitation on drug abusers and addicts namely by enhancing their competency and understanding on Law No. 35 Year 2009 and other provisions that regulate drugrelated crimes, and subsequently maximize their authority to perform preprosecution, prosecution and execute the judge’s stipulation. In addition, consistency and synergy among legal enforcement apparatuses (integrated criminal justice system) related to the implementation of Law No. 35 Year 2009 involve various relevant stakeholders namely the Ministry of Social Affairs, Ministry of Health, Correctional Institutions, as well as law enforcers such as police, prosecutors and judges. Asides from consistency and synergy among relevant stakeholders, supports are required from the government to provide more medical and social rehabilitation facilities throughout Indonesia, as presently there are limited number of rehabilitation institutions/RSKOs that can accommodate defendants in drug-related crimes.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33741
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bela Annisa
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang penyalahgunaan narkotika yang jenisnya belum
terdaftar dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, ditinjau dari segi penerapan asas legalitas. Dengan menggunakan
metode penelitian kepustakaan disertai wawancara dengan beberapa narasumber
terkait, penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana seharusnya
pengaturan jenis-jenis narkotika di dalam regulasi narkotika yang berlaku saat ini,
yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, agar tetap bisa digunakan dalam
kasus-kasus penyalahgunaan narkotika jenis baru yang terus berkembang.
Pembahasan diarahkan pada beberapa hal, yaitu kekuatan hukum sebuah lampiran
regulasi narkotika, keberlakuan asas legalitas terhadap lampiran tersebut, serta
ketentuan mengenai interpretasi terhadap lampiran tersebut.

ABSTRACT
This thesis discusses about the illicit use of narcotics that the kind of narcotics
haven’t been registered yet in Annex of Law Number 35 Year 2009, reviewed
from the application of legality principle. By combining the literature research
method and the interviews with some experts, this thesis aims to know how the
kind of narcotics should be regulated in the regulation of narcotics nowadays, that
is Law Number 35 Year 2009, so that regulation can be used for new cases of
narcotic illicit use that continue to thrive day by day. The discussion lines to
several things, which are the force of law of an annex of narcotics regulation,
enforceability of legality principle to the annex, and provision in interpreting the
annex."
Universitas Indonesia, 2014
S58251
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prasetyo Maulana Nugroho
"Di Indonesia masalah kejahatan penyalahgunaan narkotika selalu menjadi masalah yang sangat kompleks dan sangat sulit untuk menyelesaikannya atau mungkin tidak akan pernah selesai, walaupun telah banyak upaya yang dilakukan aparat penegak hukum untuk memeberantas penyalahgunaan narkotika. Salah satu bentuk upaya dalam memberantas penyalahgunaan narkotika di Indonesia adalah dengan memberlakukan Undang undang baru tentang narkotika yakni UU No 35 Tahun 2009, terdapat beberapa perubahan yang terdapat di dalam UU No 35 Tahun 2009 dua diataranya adalah pemberatan ancaman hukuman pidana dan program wajib lapor bagi pengguna narkotika.
Penelitian ini membahas mengenai Pandangan Rasional Seorang Pengguna Heroin Terhadap Program Wajib Lapor yang Tercantum Didalam Undang-Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan wawancara terhadap dua orang pengguna heroin untuk menjelaskan bagaimana pandangan rasional pengguna heroin, peneliti menggunakan teori rational choice dan deterrence, hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Program wajib lapor sebenarnya ditanggapi positif oleh kedua pengguna heroin yakni informan peneliti baik itu N yang belum melakukan wajib lapor, maupun E yang sudah melakukan wajib lapor. Data temuan dianalisa dengan cara menjelaskan melalui wajib lapor sebagai efek penggetarjeraan dan teori pilihan rasional.

In Indonesia, narcotics abuse always been one of the most complex and complicated criminal problems, eventhough there have been so many rules and law from law maker to eracdicate drugs abuse. One of the real effort in the eradicate drugs abuse is law about narcotics which is UU No 35 2009, there has been two amendment which are weighting criminal penalties and obligation to report for narcotics users.
This research examine about rational perspective of heroin users through the amandement of criminal penalties and obligation to report in UU No. 35 2009 about narcotics. In this research, researcher using qualitative approach by doing two interview of heroin users. For explaining how the rational perspective of the heroin users, researcher using retional choice theory and deterrence. The outcome of this research conclude that actually both of the heroin users -which is research informan- either N or E who have been doing the obligation to report. The obligation to report as a detterence for N, if we see from the effect of special detterence is not so big, because at the end of the day N does not want stop using heroin. Data are analyzing with explaining obligation to report as detterence and rational choice theory.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S44992
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marbuhal Sindak Panaili Bitik Maninga Pardamean D.
"Skripsi ini membahas mengenai konsepsi permufakatan jahat yang diterapkan dalam kasus Fredi Budiman. Dalam perkara ini, Fredi Budiman dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan ldquo;permufakatan jahat untuk secara tanpa hak dan melawan hukum menjual, membeli, dan menjadi perantara dalam jual beli Narkotika Golongan I rdquo;, padahal perbuatan ldquo;membeli rdquo; yang dilakukan Fredi Budiman telah selesai dilakukan. Penerapan seperti demikian terjadi karena fakta bahwa dalam perkara ini, ldquo;permufakatan jahat rdquo; diterapkan selayaknya ldquo;penyertaan rdquo;. Hal ini bertentangan dengan konsepsi dasar permufakatan jahat samenspanning yang hanyalah perbuatan kesepakatan antar para pihak untuk melakukan sebuah tindak pidana, sehingga seharusnya tidak diterapkan lagi terhadap para pelaku yang telah melakukan sebuah tindak pidana hingga selesai sesuai dengan niatnya. Pada akhirnya akan didapatkan kesimpulan bahwa penerapan konsepsi permufakatan jahat selayaknya penyertaan adalah penerapan hukum yang keliru.

This thesis analyzes the application of the concept of criminal conspiracy in the case of Fredi Budiman. In this case, Fredi Budiman was declared guilty of ldquo conspiracy to unlawfully buy, sell, and broking sales of Narcotic Drugs rdquo , whereas Fredi Budiman rsquo s act of ldquo buying rdquo have been done completely. Such application occurred due to the fact that in this case, ldquo criminal conspiracy rdquo was applied as if it is a ldquo criminal complicity rdquo . This does not conform to the basic concept of criminal conspiracy samenspanning itself which is merely an act of agreement between parties to commit a crime, so it should not be applied extensively to the perpetrators of a completed crime. Eventually, it will be concluded that the utilization of criminal conspiracy similar to complicity is an incorrect application of law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S68025
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teddy Andri
"Aktifitas penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor telah begitu luas di masyarakat kita. Masalah ini akan menjadi ancaman yang serius bukan saja terhadap kelangsungan hidup dan masa depan pelakunya, tetapi juga sangat membahayakan bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Untuk itu pemerintah telah melakukan langkah-langkah dengan mengundangkan peraturan perundangundangan terkait penyalahgunaan Narkoba serta membentuk lembaga non struktural yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN) yang menjadi badan koordinasi dengan instansi pemerintah terkait dalam rangka ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pada perkembangannya setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, tugas dan fungsi BNN diberikan kewenangan yang besar. Salah satu kewenangan BNN adalah mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran nakotika dan prekusor narkotika. BNN diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap penyalahgunaan, peredaran narkotika, dan prekusor narkotika diluar penyidik POLRI yang sudah ada.
Dalam sistem peradilan pidana, Penyidik BNN menjadi salah satu gatekeeper selain penyidik POLRI dan PPNS dalam penanganan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika. Porsi kewenangan BNN yang sangat besar dan tidak adanya aturan diferensiasi dalam tataran pelaksanaan tugas penyelidikan dan penyidikan dengan penyidik POLRI, contoh dalam bentuk kekhasan cara penangkapan, obyek tangkapan, spesialisasi narkoba yang disita dan sebagainya antara penyidik BNN dengan penyidik kepolisiaan dapat menimbulkan permasalahan secara kelembagaan.
Bertitik tolak dari hal tersebut maka dapat timbul kendala dimana sistem peradilan terpidana yang terpadu menghendaki keseluruhan proses yang bekerja dalam satu sistem, sehingga antara masing-masing lembaga itu sebagai sub sistem yang akan saling berhubungan dan mengaruhi satu sama dengan yang lainnya dapat bekerja sama dalam mewujudkan tujuan penegakan hukum.

The activity of abusing Narcotics and Precursor has been widely spread in our society. This problem will become a serious threat towards not only the survival but also the future of the victims, and is very harmful for the life of the society, the nation, and the state. Therefore, the government has taken some steps by enacting the relevant laws and regulations to the drugs abuse and by establishing a non-structural institution, BNN (National Narcotics Board) which becomes a coordinating board with the relevant government agencies for availability, prevention, and combat of the misuse and illegal selling of Narcotics and Narcotic Precursor.
In its development after the promulgation of the law No. 35 of the year 2009 on Narcotics, BNN has been granted big responsibilities for its duty and functions. One of BNN?s responsibilities is to prevent and combat the misuse and the spread of narcotics and narcotic precursor. BNN is granted a responsibility to do investigation and inquiry towards the misuse and the spread of the narcotics and narcotic precursor outside the existing POLRI (the Police Department of the Republic of Indonesia) investigators.
In the criminal justice system, BNN investigators become one of the gatekeepers besides POLRI and PPNS?s investigators in handling the Narcotics and Narcotic Precursor criminal acts. The portion of BNN responsibilities is very big and there is no differentiation rule in the level of execution of investigation and inquiry duty with POLRI investigators. Therefore, the differences in the way BNN and POLRI make an arrest, the subjects of the arrest, the drugs specialization confiscated, and other differences may cause problems institutionally.
Based on that, there will be problems incurred where the integrated criminal justice system expects the entire process works under one system so that each institution will be the sub-system mutually related and influencing one another, and can coorperate to accomplish the goal of the law enforcement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28937
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bloomy
"Persesuaian antara alat-alat bukti, barang bukti dan keyakinan hakim merupakan kesatuan organ yang sangat penting dalam penyelesaian perkara tindak pidana narkotika, artinya tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lainnya. Dalam proses pemeriksaan tindak pidana narkotika di persidangan sangat perlu keyakinan hakim yang didukung oleh dua alat bukti yang sah, yaitu persesuaian alat-alat bukti dengan alat bukti serta alat-alat bukti dengan barang bukti.
Pembahasan dalam penelitian ini setidak-tidaknya mencakup dua masalah penting, yaitu (1) Permasalahan apa saja yang timbul dalam membuktian unsur tindak pidana narkotika yang diatur dalam Pasal 78 dan Pasal 82 Undang-Undang No.22 Th.1997 tentang narkotika dan bagaimana hakim mengatasi masalah tersebut di persidangan, (2) Bagaimana keterkaitan antara alat bukti, barang bukti dan keyakinan hakimdalam memutuskan perkara tindak pidana narkotika yang diatur dalam Pasal 78 dan 82 Undang-Undang No.22 Th.1997 tentang narkotika.
Penelitian ini menggunakan metode wawancara, pengamatanan, dan kepustakaan. Sementara itu, pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif.
Penanganan barang bukti narkotika pada tahap pengadilan menurut ketentuan Undang-undang Kitab Hukum Acara Pidana yang berkaitan tentang alat bukti petunjuk dengan jumlah yang besar atau kecil disertakan untuk dihadirkan di persidangan merupakan salah satu dasar bagi Majelis Hakim di dalam membuat keputusan apakah terdakwa terbukti pengedar atau pemakai narkotika.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa alur penyelesain dalam penanganan barang bukti pada kasus narkotika, ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika saling berhubungan. Untuk mengatasi hal ini Majelis Hakim selaku yang bertanggung jawab untuk memeriksa kasus pidana narkotika di pengadilan, sebelum dijatuhkannya hukuman terhadap terdakwa diperlukan penerapan hukum benar dan bijaksana, baik menyangkut jumlah barang bukti, keterangan saksi yang dihadirkan dan pengakuan terdakwa jujur serta jelas."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S22501
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andy Apriyanto
"Peran Indonesia sangat besar dalam rangka pemberantasan peredaran gelap narkoba. Indonesia melalui BNN terus meningkatkan kerjasama dengan dunia Internasional dalam rangka melakukan pemberantasan peredaran gelap Narkoba. Salah satu Lembaga penegak hukum di luar negeri tersebut adalah National Narcotic Control China (NNCC). Antara BNN dengan NNCC terus meningkatkan kerjasama yang dilatar belakangi dengan adanya sebuah Memorandum of Understanding (MoU) untuk memberantas peredaran gelap dan penyelundupan narkoba. Dalam prakteknya pelaksanaan MoU saja tidak cukup, diperlukan koordinasi-koordinasi formal maupun informal untuk mendapatkan terobosan-terobosan dalam setiap penanganan kasus yang di hadapi. Koordinasi tersebut haruslah dilatar belakangi dengan rasa saling percaya dan saling menguntungkan, salah satu kasus yang di tangani dan di pecahkan antara BNN dengan NNCC adalah penyelundupan 1,4 juta ekstasi oleh Fredy Budiman. Dalam pengungkapan kasus tersebut, selain ada payung kerjasama MoU antara BNN dengan NNCC, dibutuhkan juga suatu kegiatan koordinasi yang dapat menciptakan terobosan-terobosan dalam memecahkan suatu permasalahan.

Indonesia is very large role in the framework of combating illicit drug trafficking. ndonesia through BNN continue to enhance cooperation with the international community in order to combat illicit trafficking of drugs. One of the law enforcement agencies abroad are National Narcotic Control China (NNCC). Between BNN with NNCC continue to enhance cooperation with the backdrop of a Memorandum of Understanding (MoU) to combat the trafficking and drug smuggling. In practice the implementation of the MoU is not enough,the necessary coordination-formal and informal coordination to get breakthroughs in any case handling in the face. In practice the implementation of the MoU is not enough, This coordination should be a background with mutual trust and mutual benefit, one of the cases were handled and solved between BNN with NNCC is 1.4 million ecstasy smuggling by Fredy Budiman. In the case of disclosure, in addition to an umbrella of cooperation MoU between BNN with NNCC, it needed a coordination activities to create breakthroughs in solving a problem.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Afifah Yudhakinanti
"Pengaturan mengenai narkotika seharusnya segera direvisi dengan menambahkan anestesi ketamine ke dalam lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai daftar golongan I. Revisi Undang-Undang ini disebabkan karena peredaran anestesi ketamine belum memiliki pengaturan secara tegas dan terperinci dalam peraturan perundang-undangan. Adanya suatu ketetapan dalam peraturan mengenai narkotika dan lampiran dalam perubahan penggolongan akan mempengaruhi pemberian sanksi yang nantinya akan diberikan kepada setiap orang yang  terbukti memiliki, menyimpan, menguasai  atau menyediakan anestesi ketamine. Dibalik perkembangan paradigma mengenai peredaran anestesi ketamine ini, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah melampirkan anestesi ketamine sebagai obat injeksi umum melalui formulariun nasional. Namun usaha tersebut belum dapat memenuhi pengaturan atas tindakan penyalahgunaan dari sediaan perihal anestesi ketamine tersebut. Penelitian ini akan menganalisis permasalahan terkait pengaturan mengenai peredaran anestesi ketamine di Indonesia. Tanggung jawab pemerintah melalui Kementerian Kesehatan, Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia dalam menangani peredaran anestesi ketamine di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan tipe penelitian deskriptif dimana penelitian ini untuk memberikan data serinci dan seteliti mungkin mengenai informasi atau gejala yang ada yakni mengenai peredaran anestesi ketamine. Dalam hal ini juga mengkaji dan menganalisis literatur yang berkenaan dengan pengaturan anestesi ketamine. Dalam penelitian ini juga akan menganalis peredaran anestesi ketamine untuk masuk dalam lampiran golongan I Undang-Undang Narkotika serta saran-saran mengenai tindakan yang harus dilakukan dalam mengatasi permasalahan penyalahgunaan anestesi ketamine di Indonesia. 

Regulations regarding narcotics should be revised immediately by attachment ketamine anesthesia to the annex to Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics as a list of class I. The existence of a stipulation in the regulations regarding narcotics and the annex in the change of classification will affect the imposition of sanctions which will later be given to everyone who is proven to possess, store, control or provide ketamine anesthesia. Behind the development of this paradigm regarding the distribution of ketamine anesthetics, the government through the Ministry of Health has attached ketamine anesthetics as a general injection drug through the national formulary. However, these efforts have not been able to comply with regulations regarding the misuse of the ketamine anesthetic preparations. This study will analyze the problems related to the regulations regarding the distribution of ketamine anesthetics in Indonesia. The responsibility of the government through the Ministry of Health, the National Narcotics Agency of the Republic of Indonesia, the Food and Drug Monitoring Agency of the Republic of Indonesia in dealing with the distribution of ketamine anesthetics in Indonesia. This research is a juridical-normative research with a descriptive research type where this research is to provide data as detailed and accurate as possible regarding existing information or symptoms, namely regarding the distribution of ketamine anesthesia. In this case also reviewing and analyzing the literature relating to the ketamine anesthesia settings. This research will also analyze the circulation of ketamine anesthetic to be included in attach group I of the Narcotics Law as well as suggestions regarding actions that must be taken in overcoming the problem of misuse of ketamine anesthesia in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manik, Mikhael Retno Hamonangan
"Penelitian ini membahas justice collaborator sebagai syarat remisi bagi narapidana tindak pidana narkotika berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi lapangan, yakni melakukan wawancara langsung dengan Badan Narkotika Nasional, Polisi, Jaksa, Lembaga Pemasyarakatan, dan juga narapidana tindak pidana narkotika. Dari hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa pembatasan hak narapidana dalam memperoleh remisi dengan syarat justice collaborator adalah melanggar hak narapidana sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Perlu juga diatur mengenai penentuan justice collaborator bagi narapidana sehingga memberikan kepastian kepada narapidana yang menjadi justice collaborator perlindungan dan penghargaan.

This research discusses justice collaborator as a requirement for convict remissions of narcotics crime based on the Government Regulation Number 99 in 2012 about Terms and Procedures for Implementation of the Prison Rights Citizens. This research was conducted by using the technique of collecting data through fieldwork, doing a interview with the National Anti Narcotics Agency, Police, Prosecutors, Lembaga Pemasyarakatan, and also Convict of narcotics crime. As a results of the analysis concluded that the restriction of the rights convict in obtaining remission to provided justice collaborator is in violation of the prisoners rights, as settled in regulation. It should be also regulated about determining justice collaborator for convict thus giving certainty to the convict who became a protection and reward of justice collaborator.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62451
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dicky Bramuntyo
"Tugas karya akhir ini membahas mengenai hukuman mati yang dilakukan kepada para terpidana narkotika di Indonesia selama dua tahun terakhir, dalam keterkaitannya dengan upaya pemberatasan narkotika di Indonesia oleh Pemerintah Indonesia. Tugas karya akhir ini menganalisis upaya penghukuman untuk kejahatan narkotika melalui teori penghukuman rehabilitasi yang mengedepankan sisi kemanusiaan para narapidana narkotika dan berupaya memperbaiki perilaku dan psikologis dari para narapidana narkotika. Tugas karya akhir ini disertai dengan data sekunder, baik dari lembaga pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Analisa pada tugas karya akhir ini didukung kajian literatur mengenai upaya penghukuman dan pemberantasan kejahatan narkotika. Dari hasil analisa penulis, dapat dikatakan bahwa hukuman mati dalam dua tahun terakhir ini, tidak memiliki kaitannya dengan upaya pemberantasan kejahatan narkotika. Perlu ada upaya baru Pemerintah Indonesia yang mengedepankan penghukuman berbasis rehabilitasi, agar narapidana dapat kembali ke masyarakat dan berkontribusi dalam pemberantasan kejahatan narkotika di Indonesia. Kata Kunci: Hukuman mati, kejahatan narkotika, rehabilitasi.

This thesis discusses the death penalty committed to the narcotics convicts in Indonesia over the past two years, in the relation of the death penalty run by the Indonesia Government with the eradication of narcotics crimes in Indonesia. This thesis analyzes the punishment method for narcotics crimes, with the theory punishment of rehabilitation that focus on the humanity side of narcotics convicts and seeks to correct behavior and psychological of the convicts. This thesis also accompanied by secondary data, both from government institution and non governmental organizations. The analysis of this thesis supported by a literature review of the punishment method and eradication efforts or method of narcotics crimes. From the analysis of the author, it can be said that the death penalty in the last two years, has no relation with strategy to eradicate the narcotics crimes in Indonesia. There should be a new strategy reviewed by the Indonesia Government that promotes punishment method based on rehabilitation, in order for convicts to return to society and contribute to eradicate narcotics crime in Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>