Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151934 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ailah Dahlia
"Dikukuhkannya sistem keluarga tradisional Ie sebagai standar keluarga nasional dalam Meiji Minpo di zaman Meiji telah membuat keadaan perempuan Jepang lebih buruk lagi dari sebelumnya Akan tetapi di tengah tengah bangsa yang sangat patriarkat tersebut komunitas geisha justru muncul dengan sistem matriarkat yang dijalankan dengan ketatnya Skripsi ini membahas mengenai keunikan sistem matriarkat dalam komunitas geisha Kyoto serta ldquo penolakan rdquo nya terhadap dominasi kaum lelaki di zaman Meiji Penelitian ini merupakan kajian pustaka dengan metode deskriptif analisis Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dijalankannya sistem matriarkat dalam komunitas geisha tersebut telah membebaskan mereka dari berbagai subordinasi seperti yang telah diterima perempuan pada umumnya.

During the Meiji period, the condition of women in Japan deteriorated as a result of Ie, the Japanese traditional family system, which was further legitimized by Meiji Civil Code. The geisha community, however, created a stringently matriarchy system in the midst of a patriarchy nation. This study focuses on the uniqueness of the matriarchy system established by the geisha community of Kyoto, and its “rejection” of Meiji Period male dominance. The research conducted was primarily a literature study, using techniques of descriptive analysis, and the result show that the matriarchy system of Kyoto geisha community was able to sustain itself by means of several sub-ordinations received by women in general."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S47064
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nana Rahayu
"ABSTRAK
Tesis mi membahas pengembangan pendidikan melalui buku-buku pelajaran yang
digunakan pada sekolah dasar di Kyoto-shi pada zaman Meiji Tujuan dan
penelitian mi adalah untuk memberikan pengetahuan mengenam sejarah
modernisasi dalam pendidikan di Jepang yang berawal dari zaman Meiji
Penelitian im adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptmf Hasil
penelitian menjelaskan bahwa buku-buku yang digunakan pada pendidikan
sekolah dasar di Kyoto shi pada zaman Meiji dibagi menjadi tiga kelompok
pendidikan pada masa transisi pendidikan yang mengarah kepada pendidikan
Barat dan pendidikan untuk memngkatkan taraf hidup manusia Pembagian
kelompok buku-buku pelajaran tersebut berdasarkan konsep jitsugaku.

ABSTRACT
This thesis discusses the development of education through textbooks used in
primary schools in Kyoto shi in the Meiji era The objective of this thesis is to
deepen our knowledge about the history of modernization in education in Japan
which started from the Meiji era Using descriptive approach this thesis explains
that the textbooks used in primary schools in Kyoto shi in the Meiji era can be
divided into three categories the transitional era the Western education and the
education for a better life These categories are found by applying the concept of
jitsugaku on the textbooks.

"
2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Dewi Andriani
"BAB1 Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Permasalahan.
Perubahan yang terjadi dalam masyarakat suatu negara dapat terwujud akibat terjadinya proses modernises!. Modernisasi menurut Prof. J.W. Schoorl di dalam bukunya yang berjudul Modernisasi dirumuskan sebagai suatu penerapan pengetahuan ilmiah yang ada kepada semua aktivitas, semua bidang kehidupan atau kepada semua aspek-aspek kemasyarakatan. Modernisasi juga merupakan suatu proses transformasi, yakni suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya yang meliputi aspek sosial, budaya, politik dan ekonomi. Akan tetapi tidak semua perubahan dapat didefinisikan sebagai modernisasi karena hanya perubahan yang ada sangkutpautnya dengan tambahan ilmu pengetahuan saja yang dapat digolongkan ke dalamnya. (J.W. Schoorl, 1991:4).
Selanjutnya ia mengatakan bahwa tambahan pengetahuan ilmiah merupakan faktor yang terpenting dalam modernisasi. Sehubungan dengan hal tersebut maka masyarakat itu dikatakan lebih atau kurang modern apabiia lebih atau kurang menerapkan pengetahuan dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. (J.W. Schoorl, 1991:4) Proses modernisasi sendiri berjalan melalui proses akulturasi yaitu suatu proses perubahan kebudayaan dimana dua kelompok atau lebih yang berbeda mempunyai kontak yang terus menerus dan berakibat salah satu dari kelompok itu mengambil alih unsur-unsur dari kelompok lainnya.(J.W. Schoorl, 1991:19).
Kata modernisasi dalam kamus besar Jepang mengandung pengertian sebagai berikut:
Genrai, kindaika modernization wa dentoo shakai ya fuken shakai nado no zenkin shakai kara kindai shakai he no idoo ya soreni shitagau shakai. Bunka ryoiki de no henka o yubi shimesu keiyooshi toshite, oobei shakai demo furui kara tsukawarete kita chuuritsu teki na gainen ni suginai. Sokoni bukka teki imi ga komerarenj toshitemo, sorewa modanizumu nado to iu kotoba nado to omonatte [touseifu ni] em to iu hodo no imi shika mo nasarete inai.
Shikashi [seiyou no shoogeki] no shita ni, soreni tsui tsuki hikkooshu begu [ue kara no kindaika] seisaku torareta zenhatsu shookoku ni oitewa, kono kotobawa tokui na imi naiyoo o motsu mono toshite hattachishita. Sokodewa, kindaika to wa, seiyoo kindai shookoku o modem toshite, sono seiji, keizai, gunji, bunka no taisei o ito teki ni tori irete jikoku no hatten o hakaru koto o ippan ni imi sum yooni naru. (Daihyakka Jitten, 1984:617)
Artinya:
"Pada dasamya Kindaika adalah kata sifat yang menunjukkan suatu bentuk perubahan masyarakat dan budaya dari seluruh wilayah yang menyertai perubahan dari masyarakat yang belum modem seperti masyarakat tradisional atau masyarakat feodalisme menjadi masyarakat modem. Konsep ini tidak lebih dari suatu konsep yang dipakai sejak dahulu kala dalam masyarakat Barat. Meskipun memiliki arti yang penting namun Kindaika tidak memiliki arti sebagai suatu perubahan seperti yang dimiliki oleh modernisasi di Barat.
Tetapi kata ini selain merupakan pengaruh Barat, keberadaannya diseluruh negeri yang belum berkembang yang mengadopsi tindakan politik berkembang dengan memiliki arti yang khusus. Kindaika sebagai model modernisasi Barat secara umum memiliki arti melakukan ekspansi bagi negaranya dengan mengadopsi sistem budaya, militer, ekonomi dan sosial."
* Modernisasi sendiri menurut seorang ahli sosiologi Jepang, Kennichi
Tominaga, tidak selalu mengandung pengertian Westernisasi. Hal ini diakibatkan karena modernisasi yang terjadi di negara-negara non Barat mempunyai perbedaan-perbadaan tertentu dalam hal kebudayaan tradisionaf setempat yang tetap dipertahankan. la juga menjelaskan bahwa apabila modernisasi yang terjadi di negara-negara non Barat dilakukan dengan memasukkan bentuk-bentuk kebudayaan Barat secara bulat dan utuh maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai Westernisasi atau Eropanisasi. (Tominaga, 1990: 53-59).
Proses modernisasi sendiri dapat di katakan terjadi di hampir semua bangsa di dunia. Manifestasi proses ini diawali di wilayah Eropa dan Amerika dengan serangkaian peristiwa yang terjadi sekitar abad 16 seperti perang kemerdekaan Amerika tahun 1765-1783, revolusi Perancis tahun 1760 serta revolusi industri di Inggeris tahun 1830. Semua peristiwa tersebut menjadi penyebab timbulnya proses modernisasi di segala bidang kehidupan yang melanda ke seluruh dunia sampai dengan akhir perang dunia kedua.
Penyebarannya menyebabkan masyarakat dunia sering dibagi menjadi dua kategori yaitu negara maju dan negara yang sedang berkembang, masing-masing terdiri atas negara yang telah mengalami modernisasi dan negara yang sedang mengalami modernisasi. Di dalam proses modernisasi termuat pula aspek-aspek rencana pembangunan sosial, ekonomi, budaya atau politik dari suatu negara. Aspek yang paling spektakuler dalam modernisasi suatu masyarakat adalah penggantian teknik produksi dari cara-cara tradisional ke cara-cara modern seperti halnya yang terjadi pada revolusi industri. Akan tetapi proses yang disebut revolusi industri itu hanya satu bagian atau satu aspek saja dari suatu proses yang lebih luas."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T488
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Tamzis Hudi
"Ryosai Kenbo adalah suatu paham yang membentuk wanita menjadi seorang istri yang baik dan ibu yang bijaksana yang dijadikan pemerintah Jepang sebagai tujuan pendidikan wanita Jepang pada zaman Meiji. Dengan dilaksanakannya Restorasi Meiji, pemerintah Jepang zaman Meiji melakukan pembaharuan-pembaharuan di segala bidang kehidupan dalam rangka mengejar ketertinggalan negaranya dari negara-negara Barat dan memajukan bangsa serta negaranya. Dan Ryosai Kenbo dijadikan pemerintah Jepang sebagai usaha untuk mencapai tujuan negaranya tersebut. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui mengapa Ryosai Kenbo dijadikan sebagai usaha untuk memajukan Jepang. Pengumpulan data dilakukan berdasarkan pendekatan kepustakaan dengan memilih, menganalisa, dan mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan dan terkait dengan skripsi. Hasilnya menunjukkan bahwa pemerintah Jepang menjadikan Ryosai Kenbo untuk mendukung usahanya dalam memajukan Jepang karena makna dari Ryosai Kenbo itu sendiri. Yaitu Ryosai Kenbo dijadikan sebagai salah satu ideologi yang menjadi dasar untuk negara Jepang dalam mencapai tujuan negaranya tersebut. Dengan dijadikannya sebagai ideologi yang berlaku di Jepang, Ryosai Kenbo menempatkan dan melembagakan secara jelas peran wanita Jepang di dalam lingkungan domestik yaitu rumah dengan menjadi istri yang melayani suami dengan setia dan patuh, mendukung karir suami, dan dapat mengerjakan semua urusan rumah tanganya dengan baik; dan menjadi seorang ibu yang membesarkan dan mendidik anaknya dengan bijaksana sehingga menghasilkan anak-anak yang dapat menjadi generasi penerus bangsa yang baik."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S13635
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ike Iswary Lawanda
"ABSTRAK
Kesimpulan penelitian ini, wanita Jepang khususnya wanita di zaman Meiji di dalam program industrialisasi pemerintah peran nya dianggap rendah dan tidak dihargai. Namun, tidak disangkal bahwa kondisi wanita menjadi lebih baik.
Pembagian kerja antara pria dan wanita serta patriarkat menjadi doktrin yang tidak dapat dihindari dalam masyarakat Jepang. Perubahan dalam lapangan pekerjaan memberikan akses kepada wanita untuk menerima upah sebagai tenaga kerja. Walaupun tekanan dalam pekerjaan terhadap wanita tidak dapat dihindari, upah sangat rendah yang diterima, dan pekerjaan wanita yang dianggap paruh waktu dengan waktu kerja yang panjang. Pendaya gunaan tenaga kerja wanita sangat tinggi dan perbedaan upah dibandingkan pria berada di tingkatan terbawah.
Jiyuminken menciptakan perundang undangan (Dainihon Teikokukenpo dan Meijiminpo) mengandung maksud memperbaiki status wanita, kenytaannya hanya pada hal tertentu dan terbatas. Penyebab dari rintangan bagi wanita perangkat hukum Meijiminpo mempertegas pembatasan kedudukan wanita dan sistem sebagai dasar dari Meijiminpo menekan pembagian kerja di dalam rumah tangga.
wanita dari shakaishugi (faham sosialis) menampilkan akibat dari sistem le dan kapitalisme yang membentuk kondisi tidak sama bagi wanita. Pria menerapkan sistem Ie pada pekerjaan di luar rumah tangga sehingga dapat menarik keuntungan dari kondisi tersebut. Wanita ditekankan memiliki sebagian besar tanggung jawab di lingkungan domestik dan pemeliharaan anak.
Usaha menempatkan wanita sama dengan pria dilakukan dengan pandangan sosialis, namun pada kenyataannya gender merupakan faktor penentu di dalam hubungan sosial masyarakat. Wanita terbagi menurut gender dan startifikasi masyarakat. Menjadi wanita ryosaikenbo sangat penting, semua wanita diperlakukan sebagai isteri yang baik dan ibu yang bijaksana di dalam rumah tangga, tempat kerja dan masyarakat. Dalam kenyataan kehidupan wanita Jepang direndahkan tidak dihargai.

"
1995
T3923
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Noviantoro
"Pada permulaan Zaman Meiji terjadi perubahan besar-besaran pada masyarakat Jepang pada berbagai aspek kehidupan. Ketika masa tersebut, diskriminasi sosial masyarakat dihapuskan dan Jepang membuka dari masuknya peradaban barat setelah sekian lama mengisolasi negeri. Hal ini adalah konsekuensi yang dijaiani setelah Kaisar Meiji mengumumkan Gokajo no Goseimon (Lima Sumpah Kaisar) yang menjadi ideologi dan landasan berpijak pemerintahan baru Meiji. Dengan terjadinya perubahan yang besar pada kemajuan Jepang terutama dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, juga dibarengi dengan masuknya kebudayaan dan paham-paham barat yang dikenal dengan istilah westernisasi atau seiyouka. Kaisar melihat gejala-gejala sosial yang terjadi pada masyarakat sehingga dirasa perlu untuk membuat rambu-rambu untuk mengatasi implikasi dari kebijakannya memodernisasi negeri dengan mengeluarkan Kyouiku Chokugo (Sabda Kaisar tentang Pendidikan). Kyouiku Chokugo adalah maklumat yang dikeluarkan untuk membentuk sebuah pendidikan yang berbasis moral yang bersumber dari ajaran Konfusianisme."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S13894
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Wahyuningsih
"Lebih dari dua abad Jepang melakukan politik pintu tertutup (Sakoku) pada tahun 1639 - 1854, kemudian Jepang membuka negaranya berhubungan dengan dunia luar. Dengan dibukanya Jepang terhadap dunia luar, maka terjadi perubahan dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan industri. Dengan dibukanya negara Jepang untuk dunia luar, Jepang memasuki zaman baru yaitu zaman Meiji. Dimana Jepang mengadakan perubahan-perubahan dalam bidang perindustrian agar sejajar dengan negara-negara barat, dengan jalan membuat slogan Shokusan Kogyo. Berdasarkan slogan tersebut pemerintah mengembangkan sektor-sektor industri utama, yaitu Industri Katun dan Sutera, Industri Pertambangan, Industri Besi Baja, Industri Pembuatan Kapal serta Industri Militer. Dengan berhasilnya Jepang memajukan perindustrian dan perekonomiannya membawa dampak yang negatif pula, salah satunya dampak sosial bagi masyarakat Jepang, dimana terjadi masalah pengangguran dan menurunnva taraf hidup kaum petani, Masalah-masalah tersebut tidak dapat diatasi dengan baik oleh Pemerintah Meiji."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S13578
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Sesaria Sembung
"Skripsi ini membahas kondisi tenaga kerja wanita dalam industri tekstil Jepang zaman Meiji. Tenaga kerja wanita pada era Meiji memiliki peran penting dalam kesuksesan industrialisasi Jepang. Namun, meskipun kontribusi tenaga kerja wanita dalam sektor industri (terutama industri tekstil) sangat besar, kesejahteraan pekerja wanita sangat buruk dilihat dari kondisi lingkungan kerja yang berat, waktu kerja yang panjang serta upah yang rendah. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif-analisis. Hasil penelitian mengungkapkan buruknya kondisi tenaga kerja wanita berkaitan erat dengan eksploitasi kaum proletar yang dilakukan para pemilik modal serta subordinasi wanita yang dilakukan oleh masyarakat Jepang sebagai akibat dianutnya ideologi Konfusianisme yang mengatur hubungan sosial.

The focus of this study is the conditions of female labour in the textile industry in Meiji Japan. Female labour in the Meiji period has an important role in the success of Japanese industrialization. However, although the contribution of female labour in the industrial sector (particularly textiles) is very large, workers' welfare are very poor based on the severe working conditions, long working hours and low wages. This research is qualitative descriptive-analytical interpretive. The results of this study revealed the poor condition of female labour is closely related to the exploitation of the proletariat by the capitalists and subordination of women by the Japanese people as a result of adoption of Confucian ideology that control the social relations."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S44413
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Satianisa
"Geisha terdiri dari kata gei yang artinya seni dan sha yang artinya orang. Yang dimaksud seni ini adalah seni pertunjukan. Bisa dibilang bahwa geisha adalah seniman yang berprofesi sebagai penghibur. Kata penghibur ini kadang berkonotasi buruk, sehingga geisha sering disalahpahamkan sebagai pekerja seks komersial. Kesalahpahaman ini muncul dari sejak zaman Edo, dimana geisha sering bekerja berdekatan dengan yuujo di distrik merah dan joro geisha yang bekerja sebagai PSK. Kedua hal ini menimbulkan miskonsepsi atau kesalahpahaman terhadap geisha. Penelitian ini membahas Miskonsepsi Geisha dalam Film Memoirs of Geisha. Penulis menggunakan Teori Miskonsepsi, Mise-en-scene dan metode penelitian deskriptif kualitatif untuk menjelaskan Miskonsepsi geisha dalam Film Memoirs Of a Geisha. Aspek Fashion dan Skenario dari mise-en-scene digunakan penulis dalam menganalisis film tersebut. Penulis menemukan bahwa dalam aspek fashion, miskonsepsi ditemukan dalam bentuk Kimono yang tidak akurat dan riasan modern yang digunakan Sayuri, Hatsumomo, dan Mameha. Dalam aspek skenario, miskonsepsi ditemukan dalam scene Tarian Solo Sayuri, scene Mizuage dan scene seks dengan Kolonel.

The word geisha consists of gei; art and sha;person. The meaning of the word art is the art of performance. It can be said that geisha is an artist that specialize in entertainment. Geisha is often misunderstood and labelled to be a prostitute. This misunderstanding takes its roots back in history, where geisha are often seen working alongside yuujo who is a prostitute and also because of the Joro geisha who is also a prostitute. These two are the main reason why the geisha is often misunderstood. In this study discusses the misconception in the memoirs of a Geisha Film. The author uses the theory of misconception, mise-en-scene and descriptive qualitative research methods to explain the misconceptions of geisha in the film Memoirs of a Geisha. The fashion and scenario aspects of the mise-en-scene are used by the author in analyzing the film. The writer finds that in the fashion aspect, misconceptions are found in the form of inaccurate kimonos and modern makeup used by Sayuri, Hatsumomo, and Mameha. In the aspect of scenario, misconceptions are found in the Sayuri Solo dance scene, the Mizuage scene, and the sex scene with the colonel. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Khrisna Aditya Dharma
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang bagaimana kedudukan bushi (kaum ?samurai?) pasca restrukturisasi sosial Meiji. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode analisis deskriptif. Dalam penelitian ini, kebijakan-kebijakan pemerintahan di zaman Meiji telah membuat ruang gerak bushi di berbagai aspek kehidupan melemah dan pengaruh mereka tidak se-dominan seperti di zaman-zaman sebelumnya. Meski pada kenyataannya para petinggi-petinggi militer modern Jepang dan birokrat-birokrat pemerintahan masih merupakan mantan ?samurai?, tetapi identitas seorang bushi yang tercermin dalam otoritas mereka di masa-masa sebelum zaman Meiji telah sepenuhnya hilang akibat modernisasi.

ABSTRACT
This study focuses on the bushi?s position in the Japanese government after social structure change in Meiji period. This study is written as qualitative research using descriptive analysis method. In this study, the Meiji?s government policies had limited bushi?s authority and movement in many aspects unlike the previous eras. Although in reality, many of Japanese new military high-ranked officers and bureaucrats were ex-samurai, but the bushi identity as the holder of the authority in their past glory days is not reflected clearly in the newly established Meiji?s government as their power slowly lost because of modernization.
"
2016
S64342
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>