Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 221947 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jackson Kamaruddin
"Peningkatan prevalensi tuberkulosis (TB) telah membawa kekhawatiran karena merupakan salah satu penyakit mematikan yang utama di Indonesia. Berbagai faktor risiko diidentifikasi memiliki beberapa kontribusi terhadap peningkatan prevalensi TB dan kegagalan pengobatan TB, termasuk kontrol infeksi yang kurang baik di fasilitas perawatan kesehatan yang dapat menyebabkan ?Multi-Drug Resistant TB (MDR-TB)?. Selanjutnya, kebanyakan pasien dengan MDR-TB diobati dan dirawat di rumah sakit.
Penelitian ini bertujuan untuk mengamati dan menyelidiki kontrol infeksi di fasilitas kesehatan, tempat pasien TB diobati. Penelitian ini merupakan studi cross-sectional yang mendata fasilitas perawatan kesehatan, termasuk rumah sakit utama dan puskesmas di Jakarta Timur dan Pusat, dan angka kesembuhan TB di fasilitas kesehatan tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa empat dari tujuh rumah sakit utama yang diamati di Jakarta Timur dan Pusat tidak terorganisir dengan baik, dengan rata-rata kontrol infeksi 55,71%. Sedangkan untuk delapan puskesmas yang diamati, rata-rata kontrol infeksi adalah 72.32%, yang menunjukkan bahwa puskesmas memiliki kontrol infeksi yang lebih baik dibandingkan dengan rumah sakit. Angka kesembuhan TB di puskesmas (71,42%) juga lebih tinggi dibandingkan dengan rumah sakit (42,43%).
Studi ini menunjukkan bahwa terdapat tren asosiasi antara kontrol infeksi dengan angka kesembuhan TB. Sebagai tambahan, kebanyakan rumah sakit dan puskesmas yang diobservasi pada studi ini perlu mengorganisasi faktor-faktor lingkungan mereka agar dapat menjamin hasil pengobatan yang lebih baik. Studi-studi lanjut disarankan untuk mempunyai subjek yang lebih banyak sehingga dapat melakukan studi analitik.

The increased prevalence rate of tuberculosis (TB) has brought concerned as it is one of main deadly diseases in Indonesia. Various risk factors are identified to have some contribution to the increased prevalence of TB and failure of TB treatment which can lead to multi-drug resistant TB (MDR-TB), including inappropriate infection controls in health care facilities. Furthermore, most MDR-TB patients are treated and hospitalized in hospitals.
This study aims to observe and investigate the infection controls in which patients with tuberculosis are treated. This is a cross-sectional study by observing health care facilities, including main hospitals and primary healthcare centers in East and Central Jakarta, as well as their TB recovery rates.
Results show that four of the seven hospitals observed in East and Central Jakarta are not organized well enough as they should be, with infection control means of 55.71%. As for the eight primary health centers observed, the mean infection control is 72.32%, showing that primary healthcare centers have better infection controls compared to the hospitals in East and Central Jakarta. Also, they have better TB recovery rates, with mean of 71.42% compared to 42.43% in hospitals.
This study shows that there is a trend of association between the infection controls and TB recovery rates. In addition, most hospitals and primary healthcare centers need to reorganize their environment factors to warrant better treatment outcomes. Further studies are suggested to have more subjects so that the analytical study can be undertaken.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sara Elise Wijono
"Tuberculosis adalah salah satu dari penyakit menular yang menyebabkan banyak masalah di seluruh dunia, WHO sudah menyarankan sebuah strategi untuk melawan Tuberkulosis, yang dikenal dengan DOTS (Directly Observed Treatment Short-Course) sejak 1995. Strategi tersebut telah diterapkan di Indonesia, yang merupakan salah satu dari lima besar Negara di dunia dengan kasus Tuberkulosis terbanyak sejak tahun 2000.
Riset ini menggunakan metode cross-sectional untuk mensurvei tujuh rumah sakit besar di Jakarta Timur dan Jakarta Pusat demi mengevaluasi implementasi strategi DOTS di rumah sakit tersebut. Area tersebut dipilih berdasarkan studi terdahulu yang mengamati MDR Tuberkulosis di daerah tersebut.
Ditemukan bahwa lima rumah sakit telah mengimplementasi strategi DOTS. Angka kesembuhan dari Tuberkulosis terlihat lebih tinggi di rumah sakit yang mengimplementasi DOTS, dengan persentase kesembuhan rata-rata 43.42 untuk rumah sakit yang mengimplementasikan DOTS dan 6.67 untuk rumah sakit yang tidak mengimplementasi DOTS.
Riset ini menunjukkan bahwa lima rumah sakit besar di Jakarta Timur dan Jakarta Pusat sudah mengimplementasikan strategi DOTS. Selain itu, diamati tren bahwa angka kesembuhan lebih tinggi di rumah sakit yang mengimplementasikan strategi DOTS. Walaupun demikian, perlu dilakukan studi dengan sampel yang lebih banyak untuk mendapatkan data yang lebih akurat.

Tuberculosis is an infectious disease that still causes high burden worldwide. WHO has suggested one strategy to combat Tuberculosis that is known as DOTS (Directly Observed Treatment Short-Course) since 1995. This method has been applied in Indonesia, which is one of the top five countries in the world with the highest Tuberculosis cases since 2000.
This study used cross-sectional method to survey seven main hospitals in East and Central Jakarta area to evaluate whether they have implement DOTS strategy. The area was chosen based on previous study regarding MDR-Tuberculosis.
It was found that five hospitals have implemented DOTS strategy. Recovery rate from Tuberculosis was found to be higher in hospitals implementing DOTS strategy compared to those that did not, with the mean percentage of 43.42 and 6.67 respectively for hospitals with DOTS strategy implementation and without DOTS strategy implementation.
This study suggest, therefore, that five hospital in East and Central Jakarta have implement DOTS strategy. Moreover, an apparent trend of higher Tuberculosis recovery rate was observed in hospitals implementing DOTS strategy. A future study with higher samples, however, is needed to further strengthen the evidence.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Rinaldy Panusunan
"Latar belakang dan tujuan: Petugas kesehatan adalah populasi yang rentan terhadap infeksi Tuberkulosis (TB). Salah satu penilaian dalam kontrol infeksi TB adalah melakukan evaluasi pada petugas kesehatan, terutama yang kontak dengan pasien TB. Interferon gamma release assays (IGRA) adalah suatu alat untuk pemeriksaan infeksi TB laten. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menetapkan angka proporsi infeksi TB laten pada petugas kesehatan di Rumah Sakit Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang yang dilakukan pada 95 subjek dengan cara concecutive sampling. Subjek akan dilakukan anamnesis, foto toraks dan Xpert MTB/RIF untuk menyingkirkan diagnosis TB aktif dan TB MDR.
Hasil: Hasil IGRA positif didapatkan pada 37 subjek (38,9%) dan negatif pada 58 subjek (61,1%). Tidak ditemukan kasus TB aktif atau TB MDR. Didapatkan hubungan yang signifikan antara hasil pemeriksaan IGRA dengan lokasi kerja (P = 0,004).
Kesimpulan: Proporsi infeksi TB laten pada petugas kesehatan di Rumah Sakit Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan dengan pemeriksaan IGRA adalah 38,9%.

Background: Healthcare workers (HCW) are group of population that are prone to tuberculosis (TB) infection. One of the tuberculosis infection control measure is the evaluation of HCW, especially those who have contact with TB patient. Interferon gamma release assays (IGRA) is a method for diagnosing latent TB infection (LTBI). The aim of this trial is to determine the proportion of LTBI in HCW in Persahabatan Hospital, a high burden TB hospital in Indonesia.
Methods: This cross sectional study was conducted among 95 HCW in Persahabatan Hospital who have contact with TB patient. Sample was recruited by consecutive sampling. The participants were subject to history taking, chest X ray and Xpert MTB/RIF to exclude the diagnosis of active TB infection or multi drug resistant (MDR) TB.
Results: Positive IGRA was found in 37 HCW (38,9%) and negative IGRA was found in 58 HCW (61,1%). There were no active TB and MDR TB in HCW. There was a significant association between IGRA result and the work place (P = 0,004).
Conclusion: Proportion of LTBI in HCW in Persahabatan Hospital by using IGRA was 38,9%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah
"Penyakit tuberkulosis di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Pemerintah memperkirakan saat ini setiap tahun terjadi 583.000 kasus bare dengan kematian 140.000 orang. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah telah melaksanakan program penanggulangan TB dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse) sejak tahun 1995.
Untuk mengetahui keberhasilan program DOTS, menggunakan indikator atau tolok ukur angka konversi pada akhir pengobatan tahap intensif minimal 80%, angka kesembuhan minimal 85% dari kasus baru BTA positif, Di Puskesmas Kecamatan Jatinegara, angka kesembuhan tahun 2001 baru mencapai 80% dan angka konversi sebesar 90,65%. Angka kesembuhan tersebut sangat berkaitan dengan kepatuhan berobat penderita TB paru bersangkutan. Oleh karena itu secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang hubungan persepsi , pengetahuan penderita, dan Pengawas Menelan Obat dengan kepatuhanberobat penderita TB paru di Puskesmas Kecamatan Jatinagara tahun 2001.
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan memanfaatkan data primer dan sekunder. Penulis melakukan pengumpulan data dengan wawancara berpedoman pada kuesioner pada tanggal 29 Maret 2002 sampai 8 Mei 2002 dad seluruh penderita TB paru BTA positif sebanyak 92 orang yang mendapat pengobatan kategori-1 dan telah selesai berobat di Puskesmas tersebut tahun 2001. Variabel dependen adalah kepatuhan berobat, dan variabel independen adalah persepsi kerentanan, persepsi keseriusan, persepsi manfaat minus rintangan , persepsi ancamanlbahaya, pengetahuan dan pengawas menelan obat. Sedangkan variabel confounding terdiri dari umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan. Untuk pengolahan data, penulis menggunakan analisis univariat, bivariat dan multivariat dengan regresi logistik Banda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang patuh berobat 73,9 % dan tidak patuh berobat 26,1%_ Dui basil analisis bivariat didapatkan variabel yang mempunyai hubungan bermakna dengan kepatuhan berobat adalah variabel persepsi kerentanan P value=4.045 dan OR=0,314 , persepsi keseriusan P value 0,034 dan OR=3,26 , persepsi manfaat minus rintangan P value-0,023 dan OR=3,70 , persepsi ancamanl bahaya P value~,030 dan OR=0,310 dan pengawas menelan obat P value-0,008 dan OR=0,171. Sedangkan basil analisis multivariat mendapatkan tiga variabel yang berhubungan dengan kepatuhan berobat yaitu keseriusan P value=0,013 dan OR=6,221, manfaat minus rintangan P value 0,019 dan OR=5,814 , dan pengawas menelan obat P value= 0,024 dan OR ,174. Namun yang paling dominan diantara ketiga variabel tersebut adalah variabel keseriusan P value-0,013 dan OR-6,221.
Peneliti menyarankan kepada pengelola program penanggulangan TB pare di Puskesmas untuk memberikan informasi yang cukup dan lebih jelas lagi tentang TB pare kepada setiap penderita dengan menggunakan bahasa sederhana agar penderita mudah memahami dan melaksanakannya. Sebaiknya di ruang tunggu Puskesmas diadakan penyuluhan TB paru melalui TV dan poster. Meningkatkan pecan PMO melalui penyuluhan dan pertemuan yang efektif dengan kader kesehatan , TOMA dan terutama dengan PMO dari keluarga. Mensosialisasikan Pedoman Umum Promosi Penanggulangan TB yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2000 .

Tuberculosis remains to become a large public health problem in Indonesia. This time the government estimates that there are 583.000 new cases of tuberculosis and up to 140.000 persons die from tuberculosis annualy. Solving this problem the government has carried out the program to fight against tuberculosis by DOTS (Directly Observed Treatment Short course) strategy since 1995.
To know the success of DOTS program we use indicator or yard stick i.e. conversion rate at the end of intensive medication stage is minimal 80% and cure rate is minimal 85% of acid-fast bacilli positive new cases. In Puskesmas Kecamatan Jatinegara in 2001, the cure rate achieved 80% and the conversion rate was 90,65%. The cure rate is closely related to medication compliance of those lung tuberculosis patients. Therefore in general, the aim of this study is to obtain information about the relationship between perception, patient's knowledge , PMO (Drug Swallowing Observer), and medication compliance of lung tuberculosis patients in Puskesmas Kecamatan Jatinegara, year of 2001.
This study used cross sectional design employing both primary and secondary data. The writer collected data based on interview with questionnaires on 29 March 2002 to 8 May 2002 from all smear-positive lung tuberculosis patients as much as 92 persons who have received category-1 therapy and have completed the medication in the Puskesmas in the year 2001. The dependent variable is the medication compliance, and the independent variables are the perceived susceptability, perceived seriousness, perceived benefits minus barriers, perceived threat, knowledge of TB, and PMO. Whereas the confounding variables consist of age, gender, education and job. Processing the data the writer used univariate, bivariate analysis and multivariate analysis with multiple regression logistic.
The result of this study showed that respondents who complied with medication was 73,9% and those who uncomplied with medication was 26,1%. From the result of bivariate analysis found variables which had significant relationship to medication compliance. Those variables were perception of susceptability P value=4,045 and OR=0,314 , perception of seriousness P value= 0,034 and OR=3,26 , perception of benefits minus barriers P value 0,023 and ORO,370 , perception of threat P value x,030 and OR=0,310 ,and PMO P value-3,008 and OR=0,171. Whereas the result of multivariate analysis found three variables which had significant relationship to medication compliance i.e. persception of seriousness P value=0,013 and OR=6.221, benefits minus barriers P value-A019 and OR=5,814 , and PMO Pvalue=0,024 and OR=0,174. Nevertheless the most dominant amongst those three variables was perception of seriousness P value 0,013 and OR=6,221.
The writer suggests the management of the program to fight against lung tuberculosis in Puskesmas to give adequate and clearer information about lung tuberculosis to each patients using simple and plain language in order the patients to understand and practice it easily_ It is best that Puskesmas carries out lung tuberculosis counseling by TV and poster in the waiting room. To increase the role of PMO by the way of effective counseling and meeting with health cadres or volunteers , TOMA (public vigors) and especially with PMO who comes from family. Socialization of Pedoman Umum Promosi Penanggulangan TB published by Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Linglcungan year of 2000.
BibIiograhy : 41 (1965 - 2001)
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T620
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andjar Brawono
"Spondilltis tuberkulosa merupakan salah satu kasus penyakit tertua dalam sejarah dengan ditemukan dokumentasi kasusnya pada mummi di Mesir dan Peru'-2. Sir Percival Pott (1799) mendeskrispsikan penyakit ini dalam monografnya yang klasik dan sejak saat itu spondilitis tuberkulosa dikenal juga sebagai penyaldt Pott (Port's disease).
Tuberkulosis merupakan masalah besar bagi negara-negara berkembang karena insidensnya cukup tinggi dengan morbiditas yang serius. Indonesia adalah kontributor pasien tuberkulosis nomer 3 di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan terdapat 583.000 kasus bare tuberkulosis per tahun, sebagian besar berada dalarn usia produktif (15-54 tahun), dengan tingkat sosioekonomi dan pendidikan yang rendah.
Spondilitis tuberkulosa merupakan fokus sekunder dari infeksi tuberkulosis dengan penyebaran sebagian besar seeara hematogen melalui pembululi darah arteri epifiseal atau melalui plexus vena Batson. Telah ditemukan spondilitis tuberkulosa setelah.instilasi BCG (bacillus Calmelle Guerin) intravesical pada karsirtoma buli-buli. Juga telah dilaporkan kasus osteomyelitis tuberkulosa sebagai komplikasi dari vaksinasi BCG . Fokus primer infeksi cenderung berbeda pada kelompok umur yang berbeda. Banerjee melaporkan pada 499 pasien dengan spondilitis tuberkulosa, radiologis memperlihatkan 31% fokus primer adalah paru-paru dan dan kelompok tersebut 78% adalah anak-anak, sedangkan 69% sisanya memperlihatkan foto rantgen paru yang normal dan sebagian besar adalah dewasa.
Pada usia dewasa, diskus intervertebralis avaskular sehingga Iebih resisten terhadap infeksi dan kalaupun terjadi adalah sekunder dari korpus vertebra.. Pada anakanak karena diskus intervertebralis masih bersifat vaskular, infeksi diskus dapat terjadi primer. Penyempitan diskus intervertebralis terjadi akibat destruksi tulang pada kedua sisi diskus sehingga diskus mengalami herniasi ke dalam korpus vertebra yang telah rusak.
Kompresi struktur neurologis terjadi akibat penekanan oleh proses ekstrinsik maupun intrinsik. Proses ekstrinsik pada fase aktif diakibatkan: oleh akumulasi cairan aldbat edema, abses kaseosa, jaringan granulasi, sequester tulang atau diskus."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21303
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Hardiani Noorhizmah
"Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kegawatdaruratan global, World Health Organization melaporkan terdapat 8,6 juta kasus baru dan 1,3 juta kematian ditahun 2012. Saat ini, Indonesia merupakan negara peringkat kelima dengan beban TB terbesar. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan tingkat pengetahuan klien TB dengan tingkat kepatuhan minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Desain deskriptif korelasional dengan pendekatan penelitian cross sectional didapatkan 43 klien TB yang berobat di Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur. Hasil penelitian menunjukkan responden memiliki pengetahuan tinggi (65.1%) dan responden yang patuh minum OAT (67.4%). Hasil uji chi square menunjukkan hubungan yang positif antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan minum OAT (p=0,033 α=0,05). Promosi kesehatan terkait TB masih perlu ditingkatkan dalam pelayanan keperawatan komunitas.

Tuberculosis (TB) is a global emergency problem. World Health Organization reported there were 8.6 million new cases and 1.3 million deaths in 2012. Currently, Indonesia is the fifth largest TB burden country. This study was conducted to determine the relationship of the level of knowledge of the TB clients with the level of Anti Tuberculosis Drugs (ATD) consumption adherence. Descriptive correlational design with cross-sectional research approach obtained 43 TB clients who had treatment in the public health center of Makasar District, East Jakarta. The results showed of the respondents had high knowledge (65.1%) and respondents adhere to drink ATD (65.7%). The results of the chi square test showed a significant association between the level of knowledge and the level of ATD consumption adherence (p = 0.033 α = 0.05). TB-related health promotion needs to be improved in the nursing community service.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
S55659
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifatun Nisa Ath Thoriqoh
"Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi salah satu masalah kesehatan dan menjadi 10 besar penyebab kematian di dunia. Kota Jakarta Timur menjadi wilayah dengan jumlah kasus TB paru BTA positif terbanyak di DKI Jakarta pada tahun 2017 sebanyak 4.100 kasus. Faktor iklim, yang meliputi suhu, kelembaban dan curah hujan diketahui dapat mempengaruhi keberadaan bakteri M.tb untuk dapat hidup dengan optimum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi dan korelasi faktor iklim dengan jumlah kasus TB paru BTA positif di Kota Jakarta Timur. Penelitian ini menggunakan desain studi ekologi berdasarkan waktu (time-trend study) dengan pendekatan spasial. Analisis data dilakukan dengan uji korelasi spearman dan analisis autokorelasi spasial dengan Moran’s I. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata jumlah kasus TB paru BTA positif di Kota Jakarta Timur tahun 2009-2018 sebanyak 257,5 kasus. Ada korelasi antara rata-rata suhu udara (p=0,005, r=0,255) dan kelembaban (p=0,005, r= -0,255) dengan jumlah kasus TB paru BTA positif di Jakarta Timur tahun 2009-2018. Ada autokorelasi spasial distribusi kasus TB paru BTA positif di Kota Jakarta Timur dengan distribusi kasus yang terjadi secara random (Moran’s I= 0,014; p= 0,247). Hasil penelitian menyarankan bahwa implementasi program pencegahan dan pengendalian TB paru dapat dilakukan terutama pada bulan Februari dan Juli, sehingga dapat mengantisipasi peningkatan kasus TB paru BTA positif 3 bulan setelahnya serta diperlukan perluasan wilayah ruang terbuka hijau sehingga dapat menciptakan kenyamanan dan menurunkan suhu serta meningkatkan kelembaban relatif di sekitarnya.

Tuberculosis (TB) is an infectious disease that still a health problem and become the top 10 cause of death in the world. East Jakarta is the region with the highest number of smear positive pulmonary TB cases in DKI Jakarta in 2017, which was 4,100 cases. Climatic factors, including temperature, humidity and rainfall can be known to influence M.tb bacteria to live optimally. This study aims to determine the distribution and correlate climatic factors with the number of smear positive pulmonary TB cases in East Jakarta. This study used a time-trend study design with a spatial approach. Data analysis was carried out by using the Spearman correlation test and spatial autocorrelation analysis with Moran's I. The results showed the average number of positive smear pulmonary TB cases in East Jakarta City 2009-2018 are 257.5 cases. There is a correlation between the average air temperature (p = 0.005, r = 0.255) and humidity (p = 0.005, r = -0.255) with the number of smear positive pulmonary TB cases in East Jakarta in 2009-2018. There was a spatial autocorrelation of the distribution of smear positive pulmonary TB cases in the City of East Jakarta with a random distribution of cases (Moran's I = 0.014; p = 0.247). The results suggest that implementation of TB prevention and control programs can be carried out, especially in the February and July to anticipate the increasing cases of smear positive pulmonary TB 3 months afterwards and an expansion of the green open space is needed so that it can create comfort and reduce temperature and increase humidity surrounding.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Uha Suliha
"ABSTRAK
Latar belakang masalah adalah bahwa :
Program pernberantasan tuberkulosis telah dimulai secara intensif sejak tahun 1969 melalui kegiatan vaksinasi BCG, penemuan & pengobatan penderita, penyuluhan kesehatan serta evaluasi. Tingginya angka prevalensi tuberkulosis di Indonesia menunjukkan bahwa upaya pemberantasan belum mencapai hasil yang diharapkan. Kegagalan pengobatan tuberkulosis paru lebih banyak disebabkan oleh faktor non rnedis dari pada faktor medis.
Beberapa penelitian menemukan bahwa kegagalan pengobatan disebabkan oleh faktor perilaku penderita itu sendiri dimana penderita tidak patuh berobat.
Pengobatan jangka pendek selama 6 bulan saat ini merupakan pengobatan yang sedang diterapkan dalam upaya pemberantasan tuberkulosis di Indonesia. Rumah Sakit Persahabatan sebagai pusat rujukan penderita tuberkulosis paru telah menggunakan pengobatan jangka pendek dengan paduan obat anti tuberkulosis RHZ, secara khusus belum pernah mengadakan penelitian tentang perilaku kepatuhan datang kontrol penderita dengan pengobatan jangka pendek tuberkulosis paru
Yang dimaksud perilaku kepatuhan datang kontrol dalam penelitian ini adalah patuh/tidak patuh penderita terhadap anjuran untuk datang kontrol ke poliklinik selama 6 bulan pengobatan. Disebut patuh bila datang kontrol secara kontinu setiap bulan selama 6 bulan pengobatan, dan disebut tidak patuh bila tidak datang kontrol, terlambat lebih dari 2 minggu, datang kontrol tetapi tidak kontinu.
Tujuan penelitian untuk 1) Mengetahui apakah ada hubungan pengetahuan, sikap, persepsi, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan jadwal kontrol berobat pada penderita tuberkulosis paru baik yang patuh maupun yang tidak patuh datang kontrol. 2). Mengetahui apakah ada pengaruh faktor pengetahuan, sikap, persepsi, pendidikan, pekerjaan,pendapatan serta faktor jadwal kontrol berobat terhadap perilaku kepatuhan datang kontrol.
Disain penelitian adalah cross-sectional. Penelitian dilakukan di poliklinik unit paru Rumah Sakit Persahabatan. Sampel adalah penderita baru tuberkulosis paru pada bulan Agustus-September-Oktober 1990 dengan pengobatan jangka pendek, berusia 15 tahun keatas, pada saat penelitian berdomisili di wilayah DKI Jakarta.
Pengolahan data menggunakan komputer dengan program SPSS. Dilakukan uji statistik kemaknaan dengan chi square dan uji multiple logistic regression.
Hasil penelitian ini adalah : 1). Pengetahuan secara keseluruhan dan pengetahuan tentang gejala batuk lebih dari 2 minggu, usaha agar sembuh, lamanya pengobatan ada hubungan dengan perilaku kepatuhan datang kontrol. Pengetahuan secara keseluruhan berpengaruh terhadap perilaku kepatuhan datang kontrol dengan kontribusi 1.7610. 2). Sikap secara keseluruhan tidak ada hubungan sedangkan sikap terhadap datang kontrol sesuai ketentuan, ternyata ada hubungan dengan perilaku kepatuhan datang kontrol. Sikap secara keseluruhan tidak berpengaruh, sedangkan sikap terhadap datang kontrol sesuai ketentuan berpengaruh terhadap perilaku kepatuhan datang kontrol dengan kontribusi 4.2934. 3). Jadwal kontrol berobat ada hubungan dan berpengaruh terhadap perilaku kepatuhan datang kontrol dengan kontribusi 3.1240. 4). Persepsi, pendidikan, pekerjaan, pendapatan ternyata tidak ada hubungan dan tidak berpengaruh terhadap perilaku kepatuhan datang kontrol. 5). Power adalah 62.82% .
Dari hasil penelitian ini dapat disampaikan saran kepada pengelola PKMRS rumah sakit Persahabatan hkususnya di poliklinik unit paru agar penyuluhan kesehatan kepada penderita tuberkulosis paru lebih ditekankan pada materi tentang gejala batuk lebih dari 2 minggu, usaha agar sembuh dan lamanya pengobatan.
Selanjutnya saran disampaikan kepada team dokter poliklinik unit paru Rumah Sakit Persahabatan agar program pengobatan selama 6 bulan diinformasikan kepada penderita sampai dengan menentukan jadwal kontrol berobat secara tertulis, jadwal tersebut merupakan lembaran kartu yang waktunya telah disepakati antara dokter dan penderita. Kartu jadwal tersebut dibuat rangkap dua, masing-masing untuk dibawa penderita dan dilampirkan pada dokumen medik.
Kepada ternan sejawat yang berminat kiranya dapat mengadakan penelitian lanjutan untuk 1). mencari jawaban mengapa penderita yang pengetahuan tinggi lebih banyak yang tidak patuh dan mengapa penderita yang mengetahui jadwal kontrol lebih banyak yang tidak patuh. 2). mencari faktor lain yang mempengaruhi perilaku kepatuhan datang kontrol dimana dalam
penelitian ini belum dapat diidentifikasi mengingat dari persamaan logistic regression didapat nilai constant= 0.1711.
Daftar bacaan : 51 (1965 .. 1990)"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indrianti
"ABSTRAK Pendahuluan :Pengobatan TB telah diketahui berhubungan dengan berbagai macam efek samping obat (ESO). Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi kejadian ESO dan kejadian putus berobat pada pasienTB paru kategori 1di RS. Islam Cempaka Putih Jakarta periode Januari 2016 - Desember 2017.
Metode : Menggunakan metode analitik observasional dengan desain cross sectional berdasarkan rekam medis pasien TB kategori 1 yang berobat di poliklinik paru RS.Islam Cempaka Putih Jakata periode Januari 2016-Desember 2017.
Hasil :Dari 162pasien ditemukan 69 pasien dengan riwayat mengalami ESO. Pasien putus berobat didominasi oleh pasien laki-laki, usia produktif, pendidikan tamat SLTA, tidak mempunyai penyakit penyerta, karyawan swasta dan gizi kurus. Jenis ESO berat memiliki risiko 1,56 kali lebih besar untuk menyebabkan putus berobat dibandingkan ESO ringan (RP=1,564, 95%IK=1,000-2,445). Penyakit penyerta merupakan faktor risiko terjadinya ESO (p=0,000, RP=0,199, 95%IK=0,088-0,451). Status gizi juga dapat mempengaruhi pasien putus berobat (p=0,022).
Kesimpulan : Jenis ESO berat dan status gizi pasien dapat mempengaruhi terjadinya putus berobat pada pasien TB kategori 1, dan penyakit penyerta dapat meningkatkan risiko terjadinya ESO.

ABSTRACT
Background: Treatment of TB has been known to be associated with various types of adverse drug reactions (ADRs). The aim of this study was to evaluate ADR and drop out in TB patients category 1 at Cempaka Putih Islamic Hospital, Jakarta.
Method: An observational analytic method with cross sectional design was conducted, which was based on medical record of TB patients category 1 who were treated at the Lung polyclinic Cempaka Putih Islamic Hospital in Jakarta between January 2016-December 2017.
Results: Of the 162 study subjects there were 69 patients had history of ADR. The rate of drop out was higher among male patient, productive age, senior high school graduated, does not have comorbidities, private employee and underweight. Major ADR had 1,56 risk higher than minorADR to drop out (PR=1,564, 95%CI=1,000-2,445). Comorbid disease was risk factor to ADR event (p=0,000, PR=0,199, 95%CI=0,088-0,451). Nutritional status of patients was also risk factor to drop out (p=0,022).
Conclusion: Major ADR and nutritional status was risk factor to drop out in TB patients category 1, also comorbid diseases could increase the risk of ESO events.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Christofan Lantu
"[ABSTRAK
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.Beberapa faktor risiko PPOK juga merupakan faktor risiko terjadinya tuberkulosis (TB).Beberapa penelitian di luar ditemukan prevalens TB paru pada pasien PPOK sekitar 2,6% - 10%.Indonesia khususnya di RSUP Persahabatan belum ada data proporsi TB paru pada pasien PPOK.Objektif: tujuan penelitian ini adalah mendapatkan angka proporsi TB paru pada pasien PPOK di RSUP Persahabatan Jakarta.Metode: desain penelitian ini adalah potong lintang. Pasien PPOK (belum diobati dengan obat anti tuberkulosis) yang berkunjung di poliklinik Asma/PPOK RSUP Persahabatan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.Subjek diperiksa dahak BTA dan pemeriksaan Xpert MTB/RIF. Saat pasien berkunjung, dilakukan anamnesis gejala, eksaserbasi, riwayat merokok, penggunaan kortikosteroid (oral atau inhalasi), komorbid, skor CAT, penilaian status gizi, spirometri dan foto toraks. Semua data dilakukan analisis dengan uji chisquare.Hasil: subjek terbanyak adalah laki-laki (97,3%) dengan kelompok usia 60-79 tahun (74,3%), dengan komorbid terbanyak penyakit jantung (41,9%), gejala klinis terbanyak batuk berdahak (81,1%). Berdasarkan derajat PPOK terbanyak adalah GOLD 3 (44,6%) dan frekuensi eksaserbasi tersering 0-1 (78,4%) dengan menggunakan steroid sebanyak 59,5%. Pada penelitian ini didapatkan pemeriksaan dahak BTA positif 1,4% dan Xpert MTB/RIF positif 2,7%, artinya pemeriksaan Xpert MTB/RIF mempunyai angka kepositifan lebih tinggi dibanding dahak BTA. Dalam penelitian ini didapatkan proporsi TB paru pada pasien PPOK sebanyak 2,7%.Dalam Penelitian ini tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara derajat PPOK, status gizi, penggunaan kortikosteroid, status merokok dengan prevalens TB paru pada pasien PPOK (p > 0,05).Pada penelitian ini didapatkan hubungan bermakna pada frekuensi eksaserbasi PPOK, hasil pemeriksaan dahak BTA dan hasil pemeriksaan Xpert MTB/RIF dengan proporsi TB paru (p < 0,05).Kesimpulan: proporsi TB pada pasien PPOK di RSUP Persahabatan Jakarta adalah 2,7%. Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara frekuensi eksaserbasi PPOK dengan proporsi TB paru pada pasien PPOK (p = 0,0006). Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara hasil pemeriksaan dahak BTA dan hasil pemeriksaan Xpert MTB/RIF dengan proporsi TB paru pada pasien PPOK dengan nilai p < 0,05 (p = 0,000).

ABSTRACT
Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is a major cause of morbidity and mortality in the world. Some of the risk factors for COPD are also risk factors for tuberculosis (TB). Some studies abroad have found the prevalence of pulmonary tuberculosis in COPD patients were 2.6 - 10%. There are no data on the prevalence of pulmonary tuberculosis patients with COPD in Indonesia, particularly in The Department of Pulmonology PersahabatanHospital, Jakarta. Objective: the purpose of this study is to obtain proportion of pulmonary TB in COPD patients in The Department of Pulmonology Persahabatan Hospital, Jakarta. Methods: this is a cross-sectional study. COPD patients (anti-tuberculosis drugs naive) who visit the Asthma/COPD clinic PersahabatanHospital which meet the inclusion and exclusion criteria. Subjects went through acid-fast bacilli sputum smear and Xpert MTB/RIF examination. On patients visit, symptoms, exacerbations history, history of smoking, use of corticosteroids (oral or inhaled), comorbidities, CAT scores, assessment of nutritional status, spirometry and chest X-ray data had been obtained. All data were analyzed with chi-square test. Results: most subjects were male (97.3%) in the age group 60-79 years (74.3%), with mostly found comorbid was heart disease (41.9%), and mostly found clinical symptoms was productive cough (81.1%). Based on classification of COPD is GOLD 3 (44.6%) and the most exacerbation frequency was 0-1 (78.4%) with 59.5% history of steroid usage. In this study, examination of AFB sputum smear positive 1.4% and the Xpert MTB/RIF positive 2.7%, It shows Xpert MTB/RIF examination has a higher positivity rate than AFB sputum smear. The proportion of pulmonary tuberculosis in patients with COPD was 2.7%. We also found no statistically significant relationship between classification of COPD, nutritional status, use of corticosteroids, smoking status with the proportion of pulmonary tuberculosis in COPD patients (p> 0.05) but we found a significant difference in the exacerbations frequency of COPD, the results of sputum smear examination and the results of Xpert MTB/RIF with proportion of pulmonary TB (p <0.05).Conclusion: the proportion of tuberculosis in patients with COPD in The Department of PulmonologyPersahabatan Hospital Jakarta is 2.7%. There is astatistically significant difference between the frequency of exacerbations of COPD with proportion of pulmonary TB in patients with COPD (p = 0.0006). An association is statistically significant different between the results of sputum smear examination and the results of Xpert MTB/RIF with the proportion of pulmonary tuberculosis in patients with COPD with a value of p <0.05 (p = 0.000)., Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is a major cause of morbidity and
mortality in the world. Some of the risk factors for COPD are also risk factors for
tuberculosis (TB). Some studies abroad have found the prevalence of pulmonary
tuberculosis in COPD patients were 2.6 - 10%. There are no data on the prevalence of
pulmonary tuberculosis patients with COPD in Indonesia, particularly in The Department
of Pulmonology Persahabatan Hospital, Jakarta. Objective: the purpose of this study is to
obtain proportion of pulmonary TB in COPD patients in The Department of Pulmonology
Persahabatan Hospital, Jakarta. Methods: this is a cross-sectional study. COPD patients
(anti-tuberculosis drugs naive) who visit the Asthma/COPD clinic Persahabatan Hospital
which meet the inclusion and exclusion criteria. Subjects went through acid-fast bacilli
sputum smear and Xpert MTB/RIF examination. On patients visit, symptoms,
exacerbations history, history of smoking, use of corticosteroids (oral or inhaled),
comorbidities, CAT scores, assessment of nutritional status, spirometry and chest X-ray
data had been obtained. All data were analyzed with chi-square test. Results: most
subjects were male (97.3%) in the age group 60-79 years (74.3%), with mostly found
comorbid was heart disease (41.9%), and mostly found clinical symptoms was productive
cough (81.1%). Based on classification of COPD is GOLD 3 (44.6%) and the most
exacerbation frequency was 0-1 (78.4%) with 59.5% history of steroid usage. In this
study, examination of AFB sputum smear positive 1.4% and the Xpert MTB/RIF positive
2.7%, It shows Xpert MTB/RIF examination has a higher positivity rate than AFB
sputum smear. The proportion of pulmonary tuberculosis in patients with COPD was
2.7%. We also found no statistically significant relationship between classification of
COPD, nutritional status, use of corticosteroids, smoking status with the proportion of
pulmonary tuberculosis in COPD patients (p> 0.05) but we found a significant difference
in the exacerbations frequency of COPD, the results of sputum smear examination and
the results of Xpert MTB/RIF with proportion of pulmonary TB (p <0.05). Conclusion:
the proportion of tuberculosis in patients with COPD in The Department of Pulmonology
Persahabatan Hospital Jakarta is 2.7%. There is a statistically significant difference
between the frequency of exacerbations of COPD with proportion of pulmonary TB in
patients with COPD (p = 0.0006). An association is statistically significant different
between the results of sputum smear examination and the results of Xpert MTB/RIF with the proportion of pulmonary tuberculosis in patients with COPD with a value of p <0.05 (p = 0.000).]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>