Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 210877 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kevin Stevanus Senjaya Halim
"Skripsi ini membahas mengenai kehidupan transgender di Jakarta. Para transgender mengalami pengalaman yang berbeda pada dari masyarakat pada umumnya karena adanya stigma dan diskriminasi pada kelompok mereka. Penellitian ini ingin melihat komitmen religius para transgender yang hidup di Jakarta, dimana konteks agama sangat erat dalam kehidupan sehari-hari, evaluasi mereka dalam menghadapi kehidupan (subjective well-being) serta pembukaan diri (coming out) para transgender. Sampel pada penelitian ini berjumlah 60 orang transgender yang berlokasi di daerah Jakarta, dimana rentang usia sampel dari 16-60 tahun.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode gaabungan kualitatif dan kuantitatif agar dapat melihat kehidupan para transgender. Hipotesis dalam penelitian ini adalah bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara ketiga variabel. Penelitian ini menunjukkan bahwa subjective well-being para transgender berhubungan dengan coming out dan tidak berhubungan dengan komitmen religius mereka.

The study discussed about the life of transgender community in Jakarta. The community faced different experiences from the general society, where they faced stigmas and discriminations in their everyday living. The purpose of the study is to see the religious commitment, subjective well-being, and coming out on transgender community. Samples of this research are 60 transgender who live in Jakarta with age range around 16-60 years old.
In this study, we used mix methods of qualitative and quantitative to overview the life of the transgender community. Hypothesis of the research is that there is a significant correlation between the three variables. The study suggest that subjective well being is significantly correlated to coming out, "while none have correlation with religious commitment".
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S52806
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adelia Dwi Syafina
"Tujuan penelitian ini ingin melihat hubungan antara school belonging dan subjective well-being in school pada remaja awal di pesantren. Banyaknya peraturan dan tuntutan di pesantren bukanlah hal mudah untuk dijalani oleh para remaja awal. Mereka sangat rentan melakukan berbagai pelanggaran di sekolah yang merupakan indikator rendahnya subjective well-being in school. Padahal subjective well-being in school yang tinggi akan meningkatkan keberhasilan akademik dan membuat mereka memiliki kesehatan mental serta fisik yang baik. Salah satu faktor penting yang memengaruhi subjective well-being in school adalah school belonging. Di pesantren, para siswa diharuskan tinggal bersama dan lebih banyak berinteraksi dengan teman-teman dan para guru dibandingkan sekolah lainnya, sehingga seharusnya school belonging yang mereka miliki tinggi. School belonging juga merupakan kebutuhan penting bagi para remaja awal. Dengan demikian, remaja awal di pesantren seharusnya memiliki school belonging yang tinggi yang akan berhubungan dengan subjective well-being in school mereka. Responden penelitian ini terdiri dari 167 siswa remaja awal dari 4 pesantren di wilayah Depok dan Bogor. School belonging diukur menggunakan Psychological Sense of School Membership Among Adolescents dan subjective well-being in school diukur menggunakan Brief Adolescents rsquo; Subjective Well-Being in School Scale. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara school belonging dan subjective well-being in school pada remaja awal di pesantren.

The purpose of this study is to know the relationship between school belonging and subjective well being in school among early adolescents in pesantren. The number of rules and demands in pesantren is not easy for early adolescents. They are very vulnerable to violations in school that are indicators of low level subjective well being in school. In fact, high level of subjective well being in school can improve their academic success and have good mental and physical health. One important factor that affecting subjective well being in school is school belonging. In pesantren, students are required to live together and interact more with friends and teachers than any other school. That situation should make their school belonging higher. School belonging is an important needs for early adolescents. Thus, early adolescents in pesantren should have high level school belonging that will relate to their subjective well being in school. The respondents consisted of 167 early adolescents from 4 pesantren in Depok and Bogor. School belonging was measured using Psychological Sense of School Membership Among Adolescents and subjective well being in school were measured using the Brief Adolescents 39 Subjective Well Being in School Scale. The results showed a significant positive correlation between school belonging and subjective well being in school among early adolescents in pesantren."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rakhen Naufal Rifananda
"Beberapa penelitian menemukan berbagai beban dan kekhawatiran mengenai masa depan yang dimiliki oleh Generasi sandwich. Kekhawatiran yang dimiliki meliputi kondisi finansial di masa depan dan kondisi kesehatan orang tua yang sudah lansia. Kekhawatiran tersebut memiliki konsekuensi terhadap kesehatan fisik, mental dan kesejahteraan subjektif mereka. Memiliki ekspektasi positif mengenai masa depan, atau biasa disebut sebagai optimisme, diduga dapat mengurangi efek buruk dari berbagai kekhawatiran tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat hubungan antara optimisme dan kesejahteraan subjektif. Jumlah partisipan penelitian adalah 128 orang dalam rentang umur 35-60 tahun yang menanggung kebutuhan anak dan keluarganya dalam waktu yang bersamaan. Hasil analisis Pearson correlation menunjukkan adanya korelasi positif dan signifikan antara optimisme dan kesejahteraan subjektif. Hal ini dapat diartikan bahwa untuk generasi sandwich, semakin tinggi optimisme akan semakin tinggi kesejahteraan subjektifnya.

Several studies have found various burdens and worries sandwich generation has regarding the future. Future financial state and their parents’ deteriorating health are one of their biggest concerns. These worries have negative consequences on their physical health, mental health, and their subjective well-being. Having a positive expectation regarding the future, also known as optimism, is thought to be able to negate the negative effects their worries have. The purpose of this study was to examine the relationship between optimism and subjective well-being. There were 128 participants ranging from 35-60 years of age who actively take care of their children and parents at the same time. Pearson correlation analysis of the data has shown that there is a significant positive relationship between optimism and subjective well-being. This can be interpreted that for sandwich generation, the higher the optimism the higher their subjective well-being."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irmayanti
"Menjalani kehidupan sebagai generasi sandwich menyebabkan seseorang memiliki tanggungan diri sendiri, anak, orangtua, dan mungkin kakek atau nenek dalam waktu bersamaan. Situasi ini menimbulkan berbagai faktor risiko yang dapat memengaruhi kesejahteraan subjektif dalam dirinya. Beberapa penelitian menyatakan adanya hubungan antara regulasi emosi positif dengan kesejahteraan subjektif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara regulasi emosi dan kesejahteraan subjektif pada generasi sandwich di Indonesia. Penelitian ini bersifat korelasional dengan melibatkan responden generasi sandwich berusia 35-60 tahun (N=146). Terdapat dua alat ukur penelitian yang digunakan yaitu, skala kesejahteraan subjektif dan skala regulasi emosi. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan positif yang signifikan antara regulasi emosi dan kesejahteraan subjektif pada generasi sandwich.

Life as the sandwich generation causes a person to have dependents for themselves, children, parents, and maybe grandparents at the same time. This situation raises various risk factors that can affect subjective well-being in him. Several studies said that there is a relationship between positive emotion regulation and subjective well-being. The purpose of this study was to determine whether there is a relationship between emotion regulation and subjective well-being of the sandwich generation in Indonesia. This research is correlational by involving sandwich generation respondents aged 35-60 years (N=146). There are two scales used, namely, the subjective well-being scale and the emotional regulation scale. The results of the analysis show that there is no significant positive relationship between emotion regulation and subjective well-being in the sandwich generation."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alisha Fitrianti Nur
"Penelitian ini membahas tentang hubungan antara psychological well-being dan harapan pada ibu dari anak dengan gangguan autisme. Responden penelitian ini merupakan 44 ibu dari anak dengan gangguan autisme. Dengan melakukan pengukuran menggunakan Ryff’s Scales of Psychological Well-Being dan The Adult Trait Hope Scale, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara psychological well-being dan harapan pada ibu dari anak dengan gangguan autisme (r = .633; n = 44; p < 0,01, one-tailed).Artinya, semakin tinggi psychological well-being ibu, maka semakin tinggi pula harapan ibu terhadap masa depan anaknya yang mengalami gangguan autisme. Terdapat empat dari enam dimensi psychological well-being yang berkorelasi positif dan signifikan dengan harapan, yaitu self-acceptance, positive relation with others, autonomy, dan environmental mastery. Sedangkan kedua komponen harapan, agency dan pathways,berkorelasi positif dan signifikan dengan psychological well-being. Agar mendapat penjelasan yang lebih komprehensif mengenai psychological wellbeing dan harapan pada ibu dari anak dengan gangguan autisme, perlu dilakukan penelitian lanjutan menggunakan pendekatan kualitatif.

The focus of the study is to examine the relationship between psychological well-being and hope among mothers of children with autism. The respondents of this study were 44 Indonesian mothers of children with autism. Measured by Ryff‘s Scales of Psychological Well-Being and The Adult Trait Hope Scale, this study obtain a significant, positive relationship between psychological well-being and hope(r = .633; n = 44; p < 0,01, one-tailed). It indicates that the higher mothers‘ psychological well-being, the higher their hope to their child‘s future, and vice versa. Next, there are four out of six dimension of psychological wellbeing that have significant, positive relationship to hope, they are selfacceptance, positive relation with others, autonomy, and environmental mastery. On the other hand, both components of hope, agency and pathways, also have significant, positive relationship to psychological well-being. In order to obtain a more comprehensive explanation of the psychological well-being and hope in mothers of children with autism, further research needs to be done using a qualitative approach."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S52591
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Korea: Kyoyook-Kwaha-Sa Publishing Company, 2007
302 SEL
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Mustika Agustin Sesaria
"Pengangguran merupakan permasalahan yang marak terjadi di Indonesia, dan tidak jarang mahasiswa yang baru lulus menjadi salah satu pengangguran. Hal ini dapat menyebabkan beberapa dampak negatif bagi mahasiswa tingkat akhir, seperti menurunnya subjective well-being mahasiswa. Untuk mencegah hal ini terjadi, mahasiswa harus mampu menyiapkan dirinya untuk masuk dalam dunia kerja. Kemampuan ini disebut sebagai career adaptability. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah career adaptability dapat memprediksi subjective well-being pada mahasiswa tingkat akhir. Terdapat 149 mahasiswa tingkat akhir yang menjadi partisipan dalam penelitian ini. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain korelasional. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah The PERMA-Profiler untuk mengukur subjective well-being dan Career Adapt-Abilities Scale (CAAS) untuk mengukur career adaptability. Berdasarkan uji analisis regresi yang dilakukan, ditemukan bahwa career adaptability secara signifikan dapat memprediksi subjective well-being mahasiswa dengan β = 0.632, t = 9.899, p < 0,05. Artinya, semakin tinggi career adaptability mahasiswa, maka akan semakin tinggi subjective well-beingnya.

Unemployment is one of the problems that are often faced by fresh graduate and can cause several negative impacts for senior college students, such as a decrease in students' subjective well-being. To prevent this from happening, students must be able to prepare themselves to face challenges in the world of work which can be called as career adaptability. The purpose of this study is to see whether career adaptability can predict subjective well-being in senior college students. There were 149 students who participated in this study. This study is quantitative research with correlational design. The measuring instrument used in this research is The PERMA-Profiler to measure subjective well-being and Career Adapt-Abilities Scale (CAAS) to measure career adaptability. Based on regression analysis test, it was found that career adaptability can significantly predict the subjective well-being of students with = 0.632, t = 9.899, p < 0.05. That means the higher level of career adaptability in students, the higher their subjective well-being.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Rahmawati
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kepuasan citra
tubuh dan psychological well-being pada wanita usia dewasa madya. Di usia
dewasa madya, wanita mengalami perubahan fisik yang dapat mempengaruhi
kepuasan citra tubuhnya (Koch, Mansfield, Thurau, dan Carey, 2005). Walaupun
ketidakpuasan terhadap citra tubuh dapat mempengaruhi psychological well-being
secara negatif (Cash & Pruzinsky, 2002), wanita memiliki kegiatan-kegiatan
lainnya yang lebih diutamakannya yang bisa memperkaya hidupnya (Lachman,
2004). Penelitian kuantitatif ini dilakukan pada 61 wanita berusia dewasa madya
antara usia 40 hingga 64 yang berdomisili di Jabodetabek. Kepuasan citra tubuh
diukur dengan Multidimensional Body-Self Relations Questionnaire (MBSRQ),
sedangkan psychological well-being diukur dengan Psychological Well-Being
Scales (SPWB). Kesimpulan yang diperoleh adalah kepuasan citra tubuh
berhubungan positif secara signifikan dengan psychological well-being (r = 0,289;
p = 0,028, signifikan pada L.o.S. 0,05).

ABSTRACT
This study is aimed to investigate the correlation between body image
satisfaction and psychological well-being of middle-aged women. During midlife,
women experience physical changes that affect their body image satisfaction
(Koch, Mansfield, Thurau, dan Carey, 2005). Although body image dissatisfaction
can negatively affect psychological well-being (Cash & Pruzinsky, 2002), women
have other activities that have become their priorities that will further enrich their
lives (Lachman, 2004). This is a quantitative study of 61 middle-aged women
between the age of 40 and 64 who are living in Jabodetabek. Body image
satisfaction is measured using Multidimensional Body-Self Relations
Questionnaire (MBSRQ), whereas psychological well-being is measured using
Psychological Well-Being Scales (SPWB). This study concludes that there is a
significant positive correlation between body image satisfaction and psychological
well-being (r = 0,289; p = 0,028, significant at L.o.S. 0,05)."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S53660
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Katarina Menik Astuti
"Setiap individu pasti melakukan kegiatan dan berada dalam setting tempat tertentu. Peristiwa dan pengalaman di suatu tempat memiliki kaitan dengan persepsi individu dan ikatan pada tempat tersebut. Maka dari itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara school well-being, bullying dan place attachment di Sekolah Menengah Atas dan antar ketiganya. Pengukuran school well-being mengadaptasi alat ukur school well-being (Anne Konu, 2002) dan pengukuran place attachment mengadaptasi alat ukur place attachment (Williams, 1989), sedangkan pengukuran bullying menggunakan pertanyaan terbuka mengenai situasi yang terjadi. Jumlah sampel penelitian ini adalah 133 orang yang merupakan mahasiswa tingkat pertama di Universitas Indonesia.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara school well-being, bullying dan place attachment maupun antar ketiganya, kecuali antara school well-being dan bullying. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa perubahan skor dari satu variabel dapat diikuti dengan perubahan skor pada variabel lainnya.
Hasil penelitian mengenai hubungan school well-being dan bullying dengan menggunakan partial correlation dan mengontrol place attachment yang tidak signifikan diasumsikan peneliti disebabkan oleh ikatan yang muncul dengan sekolah membuat persepsi kesejahteraan diri siswa tidak terpengaruh dengan perilaku bullying yang terjadi. Selain hasil diatas, didapatkan pula hasil bahwa bullying lebih sering terjadi di sekolah swasta dibandingkan dengan sekolah negeri dan well-being siswa yang bersekolah di luar Jabodetabek cenderung lebih tinggi dibandingkan di Jabodetabek.

Every individual must do activities and be in a certain place setting. Events and experiences in a place linked to individual perception and attachment to the place. Therefore, this study was conducted to determine the significant relationship between school well-being, bullying and place attachment in high school and intercorrelation between them. Measurements adapted the school well-being measure school well-being (Anne Konu, 2002) and measurement of place attachment measure place attachment adaptation (Williams, 1989), whereas measurements using open-ended questions about the bullying situation occurs. The study sample size was 133 people which is a first year student at the University of Indonesia.
The results of this study indicate that there is a significant relationship between school well-being, bullying and place attachment and between the three, but the school well-being and bullying. Based on the results of the study can be seen that the change in score of one variable can be followed by changes in scores on other variables.
Results of research on the relationship of well-being and school bullying by using partial correlation and place attachment control is not significant due to the researchers assumed that ties up with schools to make students self-perception of well-being is not affected by bullying behavior happened. In addition to the results above, also obtained results that bullying is more common in private schools compared to public schools and wellbeing of students who attend school outside Jabodetabek tend to be higher than in Jabodetabek.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S47684
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhilah Putri Khairunnisa
"Pada beberapa waktu terakhir, perhatian terhadap subjective well-being mengalami peningkatan, khususnya yang terjadi pada kalangan usia dewasa muda. Salah satu faktor yang mungkin berkaitan dengan fenomena tersebut adalah maraknya penggunaan media sosial, mengingat jumlah dewasa muda di Indonesia yang menggunakan media sosial tergolong besar. Oleh sebab itu, penelitian ini ditujukan untuk melihat peran dari empat dimensi penggunaan media sosial yang terdiri image-based SMU, comparison-based SMU, belief-based SMU, dan consumption-based SMU dalam subjective well-being dewasa muda di Indonesia. Terdapat 125 responden dewasa muda pengguna media sosial yang direkrut dengan metode convenience sampling. Variabel subjective well-being diukur dengan The PERMA-Profiler dan penggunaan media sosial diukur dengan Social Media Use Scale (SMUS) yang sudah diadaptasi ke Bahasa Indonesia. Hasil analisis linear berganda menunjukkan bahwa empat dimensi penggunaan media sosial secara simultan berkontribusi dalam subjective well-being. Ditemukan hanya image-based, comparison-based, dan consumption-based SMU yang memiliki peran signifikan dalam subjective well-being, sedangkan peran dari belief-based SMU tidak signifikan. Temuan ini dapat diartikan bahwa penggunaan media sosial dewasa muda memiliki peran dalam kondisi subjective well-being mereka. Limitasi penelitian diulas lebih lanjut, dan disarankan agar penelitian di masa depan dapat mencoba melakukan kontrol terhadap durasi penggunaan media sosial, serta mempertimbangkan frekuensi dan tujuan penggunaan pada platform media sosial yang berbeda.

Over the past few years, attention to subjective well-being has increased, especially among young adults. One factor that may be related to this phenomenon is the widespread use of social media, given the large number of young adults in Indonesia who use social media. Therefore, this study aimed to look at the role of the four dimensions of social media use consisting of image-based SMU, comparison-based SMU, belief-based SMU, and consumption-based SMU in the subjective well-being of young adults in Indonesia. A total of 125 young adult social media users were recruited using convenience sampling method. Subjective well-being was measured with The PERMA-Profiler and social media use was measured with the Social Media Use Scale (SMUS), which has been adapted to Indonesian. The results of multiple linear analysis showed that four dimensions of social media use simultaneously contributed to subjective well-being. It was found that only image-based, comparison-based, and consumption-based SMU had a significant role in subjective well-being, while the role of belief-based SMU was not significant. This finding can be interpreted that young adults' social media use has a role in their subjective well-being. The limitations of the study were further reviewed, and it was suggested that future research could try to control for the duration of social media use, while also considering the frequency and purpose of use on different social media platforms."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>