Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 203188 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Rumiati
"Secara universal tugas polisi adalah melayani dan melindungi masyarakan Semua permasalahan yang dihadapi masyarakal merupakan bagian dari pekerjaan polisi. Kompleksnya. tugas-tugas yang harus dilakukan polisi tentu saja memerlukan karakterislik kepribadian yang unik dan melalui sifat kepribadian ini
pula dapat dilihat profesionalisme seorang polisi (Trautman, 1990). Kepdbadian sendiri merupakan proses yang meliputi bagaimana individu berinteraksi dengan tuntutan lingkungannya dan bagaimana individu berhubungan dengan dirinya
sendiri (Millon & Everly, 1985); terbentuk melalui individu, perilaku dan situasi yang secara terus menerus saling mempengaruhi (Bandura dalam Hjelle & Ziegler, 1992). Berkaitan dengan terjadinya konflik di beberapa wilayah Indonesia., terutama Aceh, tentu saja makin menambah kompleksitas permasalahan yang harus dihadapi oleh anggota Polri. Untuk itu perlu pengkajian ciri-ciri profesionalisme polisi Indonesia, karena profesionalisme merupakan sifat
kepribadian yang ditampilkan individu dalam melakukan tugas-tugas kepolisian dan dalam menyesuaikan diri denan permasalahan yang dihadapinya
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri profesionalisme polisi Indonesia menurut anggota Polri. Hal ini penting karena anggota Polri dididik secara seragam sedangkan Indonesia sebagai negara kepulauan yang
terdiri 250 ragam budaya, tentunya memerlukan pendekatan tertentu dalam menyelesaikan permasalahan di lapangan. Untuk pemahaman lebih mendalam perlu diketahui apakah ciri-ciri profesionalisme ini juga muncul pada anggota
Polri yang bcrtugas di daemh kontiik Aceh, juga apakah eiri profesionalisme ini memungkinkan mereka lebih mampu menyesuaikan diri dibandingkan dengan anggota Polri yang gagal tugas di Aceh.
Penelitian dilakukan dengan metode kuantitatif dan metode kualitatif
Metode kuantitatif digunakan untuk mendeskiipsikan ciri-ciri profesionalisme polisi Indonesia dan metode kualitatif digunakan untuk mengkaji apakah Ciri-Ciri
profesionalisme ini muncul pada anggota Polri yang bertahan tugas di Aceh dengan pola penyesuaian dirinya. Responden pada penelitian kuantitatif dipilih secara insidental dan responden kualitatif diambil di Aceh, yaitu anggota Polri
yang tetap bertahan tugas di Aceh dibandingkan dengan angota yang gagal, baik melarikan diri dari tugas atau dalam perawatan dokter/psikiater.
Hasil penelitian kuantitatif menujukkan tiga faktor profesionalisme Polri:pertama, faktor ketidaksetujuan terhadnp sikap-sikap negatif; kedua, faktor integritas, dan ketiga, faktor kompetensi. Dari basil penelitian kualitatif
menunjuklcan ciri-ciri profesionalisme baik yang dikemukakan dalam teori maupun dalam penelitian kuantitatif, hanya pada. faktor ketidaksetujuan terhadap sikap-sikap negatif pada kasus yang bertahan tugas di Aceh menunjukkasn sikap
kebalikan dan pada kasus yang tidak bertahan tugas di Aceh, ciri-ciri faktor ini muncul dalam perilaku mereka. Dari kedua kasus yang bertahan tugas di Aceh ditemukan memiliki model dalam pembentukan kepribadiannya, yaitu orang tuanya sesuai dengan pendapat Bandura (dalam Hjelle & Ziegler, 1992) bahwa
orang tua merupakan model identitikasi dan melalui tindakan merelca anak-anak membentuk perilaku mereka dalam kehidupannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa manusia dengan kapasitasnya dalam
mengatur diri sendiri memungkinkannya untuk belajar melalui model. Untuk itu, di dalam pembentukan profesionalisme Polri diperlukan model terutama di dalam pendidikan pembentukan anggota Polri, berikut dengan penguatan dari lingkungannya.
Penelitian dengan skala yang lebih luas masih diperlukan terutama untuk memberikan masukkan apakah ciri-ciri kepribadian pada kedua kasus yang bertahan menghadapi situasi Aceh ini memungkinkan untuk dibentuknya menjadi
polisi yang profesional, terutama dalarn peningkatan sumberdaya manusia Polri dalam menghadapi perkembangan masyarakat yang semakin kompleks"
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penyesuaian (adaptasi) diri dalam suatu hubungan kerja tidak selamanya diterima oleh kelompok lain dalam suatu organisasi atau di tempat kerja. Adanya friksi dan konflik dalam proses penyesuaian diri sering terjadi dalam proses berorganisasi. Diperlukan faktor-faktor lainnya agar tercipta situasi yang harmonis."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmat Dartono
"Penugasan di daerah konflik mempunyai banyak konsekuensi yang harus dihadapi oleh anggota Brimob yang sedang mendapat tugas. Konsekuensi negatif yang dihadapi berpotensi menimbulkan stres pada anggota Brimob tersebut. Agar mereka bisa tetap survive selama bertugas maka mereka harus mengembangkan strategi coping untuk mengatasi stres yang dihadapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sumber stres anggota Brimob selama bertugas di konflik Aceh dan strategi coping apa yang paling banyak digunakan. Penelitian ini dilakukan di Mako Korps Brimob Kelapa Dua dengan sampel anggota Brimob yang baru pulang dari penugasan di Aceh.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sumber stres anggota Brimob selama bertugas di Aceh terdiri dari sumber stres fisiologis, psikologis, dari dalam diri, dari keluarga dan dari lingkungan. Keluarga dan lingkungan ternyata lebih potensial menjadi sumber stres. Diikuti kemudian sumber stres fisiologis, psikologis, dan dari dalam diri. Dari penelitian ini juga ditemukan bahwa sumber stres dari keluarga pada anggota Brimob yang sudah menikah lebih besar dibandingkan yang belum menikah. Hal ini disebabkan beban keluarga yang ditanggung oleh mereka yang sudah menikah lebih besar. Mengenai strategi coping, ternyata anggota Brimob menggunakan ketiga strategi coping yang ada yaitu Problem-Focnsed Coping, Emotion- Focused Coping, dan Maladaptive Coping.
Namun demikian Problem- Focnsed Coping lebih banyak digunakan oleh anggota Brimob selama bertugas di Aceh, kemudian diikuti Emotion-Focused Coping dan Maladaptive Coping. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa anggota Brimob yang berpangkat Perwira lebih banyak menggunakan Problem-Focnsed Coping dibandingkan yang berpangkat Bintara maupun Tamtama. Fenomena ini disebabkan karena fungsi, peran, dan tanggung jawab seorang Perwira yang dituntut untuk menyelesaikan setiap masalah secara efektif. Anggota Brimob yang pernah bertugas di daerah konflik juga lebih banyak menggunakan Problem-Focnsed Coping karena mereka sudah terbiasa dengan lingkungan penugasan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3190
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarahmatun Kusminarin
"Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana hubungan antara tingkat stres pada dimensi stres dalam pekeijaan polisi dan karakteristik kepribadian beradasarkan Myers Briggs Type Indicator pada anggota brimob Polri yang pernah mendapat tugas di daerah konflik Aceh. Selain itu tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui preferensi kepribadian dan temperamen berdasrkan Myers Briggs Type Indicator dari anggota Polri yang bertugas di Aceh dan tingkat stres yang mereka alami.
Subyek penelitian ini adalah anggota Korps Brimob Polri yang pernah melakukan dinas ke daerah konflik Aceh, namun pada penelitian ini subyek berada pada Mako Korps Brimob Kelapa Dua dan jumlah keseluruhan subyek adalah 96 orang. Penelitian ini menggunakan dua alat ukur. Alat pertama yaitu untuk mengukur tingkat stres pada masing-masing dimensi stres pada pekeijaan polisi, yang merupakan pengembangan dari hasil penelitian mengenai stres pada anggota Brimob Polri yang bertugas di daerah konflik Aceh oleh Dartono (2003) dan sebagai tambahan dimasukan juga tingkat stres pada situasi kondisi perang. Alat tes kedua hasil adaptasi dari Myers Briggs Type Indicator Form M self scoreable yang sebelumnya telah digunakan dalam skripsi Yulistia (2003) yang kemudian dilakukan revisi mengingat karakteristik subyek dengan tingkat pendidikan yang berbeda.
Selain itu dimasukan juga data tambahan sebagai data control untuk melihat variasi demografi subyek, hal ini dilakukan karena stres juga dipengaruhi oleh hal-hal lain diluar karakteristik kepribadian yang akan diteliti. Pengolahan data adalah dengan menentukan preferensi subyek dan menentukan temperamennya, kemudian dianalisa dengan melakukan perhitungan korelasi dengan tingkat stres sehingga diperoleh gambaran umum hubungan keduanya.Untuk melihat hubungan antara preferensi dari Myers Briggs Type Indicator dengan tingkat stres digunakan teknik korelasi Spearman dan untuk temperamennya digunakan analisis statistik Anova one-way.
Dari hasil penelitian dapat terlihat bahwa mayoritas subyek penelitian memiliki preferensi kepribadian extravert, sensing, feeling dan judging. Temperamen subyek penetian yang paling banyak adalah sensing-judging atau dengan istilah lain dalam Keirsey & Bates (1978) adalah guardian. Dari hasil perhitungan tingkat stres itu sendiri dengan menggunakan median sebagai batasan untuk menentukan apakah subyek termasuk kedalam tingkat stres tinggi atau rendah, didapatkan hasil bahwa dari semua dimensi rata-rata subyek berada pada tingkat stres yang rendah. Setelah dilakukan perhitungan statistik dengan teknik korelasi Spearman untuk mencari hubungan preferensi dengan tingkat stres pada semua dimensi stres, ditemukan hubungan yang signifikan antara dimensi T-F dengan stres bahaya nyata 0.252), stres perasaan bahaya (r= -0.282), stres melakukan sesuatu diluar kewenangan (r= -0.225), stres kehidupan yang kurang layak (r= -0.356) dan stres terisolasi (r= - 0.258). Sementara perhitungan anova one-way tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara temperamen kepribadian dengan semua tingkat stres pada masing-masing dimensi stres.
Dari hasil analisa tambahan mengenai karakteristik demografi dari subyek diperoleh gambaran mengenai hubungan antara lama dinas subyek dengan tingkat stres pada jam kerja yang tidak teratur dan stres merasa terisolasi. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat dikatakan bahwa karakteristik kepribadian memiliki hubungan dengan tingkat stres pada dimensi stres pekeijaan polisi pada anggota Brimob yang pernah bertugas di daerah konflik Aceh. Namun untuk melihat lebih jauh mengenai hubungan ini diasumsikan dapat dilakukan dengan melakukan observasi dan wawancara yang mendalam dengan subyek."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3457
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahli Rumekso
"Sebagai garda terdepan dalam penanganan keamanan dan ketertiban di suatu negara maka anggota Polri harus selalu siap untuk ditugaskan dalam situasi apapun dan di waktu kapanpun, bahkan harus rela mengorbankan kepentingan diri dan keluarganya. Anggota Polri yang tergabung dalam BKO (Bawah Kendali Operasi) bertugas untuk mendukung tugas Kepolisian di daerah konflik dan bertugas minimal selama enam bulan. Banyak masalah yang harus dihadapi mereka, misalnya : minimnya informasi tentang wilayah baru baik situasi sosial maupun kondisi fisik sehingga menimbulkan stres, dan juga harus berpisah dari keluarga, baik itu orang tua maupun anak istri. Banyak dari mereka yang BKO tersebut sudah berkeluarga. Ketika bertugas tersebut, mereka tidak boleh membawa keluarganya sehingga mereka harus rela untuk berpisah dari orang -orang yang mereka cintai. Bagi keluarga yang ditinggalkan dalam hal ini adalah istri, di mana secara langsung mempunyai kedekatan emosional, selain harus memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa kehadiran suami, mereka juga mengkhawatirkan keberadaan suami di daerah rawan konflik bersenjata. Seorang istri harus berperan ganda, selain ibu juga sebagai ayah sedangkan dia sendiri mengalami goncangan emosi, cemas terhadap situasi kerja suami dan kekhawatiran akan perilaku suami di daerah konflik. Bertolak dari fenomena tersebut diperoleh garnbaran permasalahan baik suami yang sedang menjalankan tugas serta istri dan keluarga yang ditinggalkan. Situasi yang menekan, tersebut memunculkan perilaku untuk menghadapinya atau perilaku coping.
Semua individu akan berusaha keluar dari situasi yang menekan dan tidak menyenangkan dengan cara menyesuaikan diri terhadap situasi tersebut. Usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi keadaan yang menekan, menantang atau mengancam, serta menimbulkan emosi-emosi yang tidak menyenangkan disebut sebagai lingkah laku coping (Lazarus, 1976). Sarafino (1990) mengatakan bahwa individu melakukan perilaku coping sebagai usaha untuk menetralisir atau mengurangi styes, kecemasan yang terjadi dalam suatu proses. Menurut Lazarus, dick (dalam Sarafino, 1990), coping memiliki dua fungsi utama, yaitu : 1) merubah permasalahan - permasalahan yang menjadi penyebab timbulnya stres dan 2) mengatur respon - respon emosional yang muncul sebagai akibat timbulnya permasalahan - permasalahan tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan bentuk strategi yang dipilih adalah studi kasus. Penelitian ini mengambil subyek penelitian yaitu istri anggota Polri yang ditinggal suaminya dalam penugasan di daerah konflik dan anggota Polri yang pemah bertugas di daerah konflik dalam rangka bawah kendali operasi. Subyek yang diambil sebanyak tiga orang istri anggota Polri yang ditinggal BKO dan tiga anggota Polri yang pernah bertugas BKO.
Jenis coping yang dipilih subyek dalam merespon satu masalah yang dihadapi dapat berbeda-beda hal ini berhubungan dengan penilaian subyektif terhadap masalah, intensitas dan waktu stres, dan adanya stresor lain, pengalaman sebelumnya, karakteristik individu, dll. Terdapat kesamaan coping yang dipilih pada subyek istri terhadap masalah yang berkaitan dengan peran ganda yaitu seeking social support for instrumen reason dan emotional reasons. Sedangkan masalah yang berkaitan dengan dinas, coping acceptance digunakan oleh istri dan anggota Polri.
Dalam menghadapi permasalahan, individu bisa menggunakan kedua jenis coping diatas, yaitu penggunaan jenis coping yang berorientasi pada masalah maupun coping yang berorientasi pada emosi. Namun seberapa sering penggunaan dari masing - masing jenis coping tersebut tergantung pada tuntutan atau permasalahan- permasalahan yang timbul serta bagaimana individu menilai tuntutan - tuntutan atau permasalahan-permasalahan tersebut."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18625
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maya Damayanti
"Menjadi pegawai sebuah perusahaan multinational di bidang MIGAS memang merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Namun bila pekerjaan tersebut harus dilakukan di daerah yang sedang mengalami konflik, merupakan masalah tersendiri. Menjadi pekerja di daerah konflik memang sering menimbulkan dilema. Di lain pihak, pekerjaan tersebut sangat kita butulikan, namun di pihak lain kita berhadapan dengan situasi atau kondisi yang sedang konflik, seliingga hal tersebut menimbulkan stres. Daerah konflik memang menimbulkan stres, karena kondisi-kondisi atau kejadian yang ada di lingkungan merupakan kondisi yang mengancam, merusak atau membahayakan dirinya. Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis tertarik ingin mengetahui gambaran sumber stres yang dialami oleh para pekerja di daerah konflik tersebut. Setelah kita mengetahui apa sumber stresnya, penulis juga tertarik untuk mengetahui tentang kegiatan apa saja yang dilakukan oleh para pekerja untuk menanggulangi stres tersebut. Oleh karena itu dalam penelitian ini juga dibahas tentang coping stres para pekerja tersebut.
Sebagai dasar dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan teoriteori yang berkaitan dengan sumber stres dan coping stres. Untuk sumber stres, penulis menggunakan teori dari Safarino (1994) tentang sumber-sumber stres. Menurut Safarino ada 3 jenis stresor, yakni yang berasal dari diri sendiri, keluarga serta komunitas dan masyarakat. Sedangkan untuk strategi coping stres, teori yang digunakan adalah dari Lazarus (1976) dan Steptoe (dalam Cooper dan Payne, 1988) terbagi atas dua orientasi, yaitu: problem-focused coping (coping berorientasi masalah) dan emotion-focused coping (coping berorientasi emosi).
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan kondisikondisi yang dinilai paling potensial menimbulkan stres adalah yang berasal dari komunitas dan masyarakat, karena merupakan tempat yang dapat mengancam, merusak atau membahayakan dirinya, keluarganya serta masyarakat sekitarnya. Jadi situasi lingkungan yang mengalami konflik inilah yang menimbulkan stres bagi para pekerja. Kemudian stresor yang dianggap dapat menimbulkan stres yang berasal dari keluarga berada pada urutan kedua, sedangkan stresor yang berasal dari diri sendiri berada pada urutan yang yang terakhir. Untuk coping stres, hasilnya adalah ternyata kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada emosi lebih efektif dalam menanggulangi stres daripada yang berorientasi pada masalah. Hal ini dilakukan karena mereka menganggap tidak ada solusi yang bisa mereka lakukan untuk mengatasi konflik di daerahnya. Hal ini menyangkut isu politik yang berkepanjangan seliingga mereka lebih memilih cara mengatasi stres yang berorientasi pada emosi untuk mengatur emosi yang tidak menyenangkan yang diakibatkan oleh stressor."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3342
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumaryadi
"Sebagai seorang prajurit TNI AL khususnya Korps Marinir yang sedang mendapat tugas di daerah konflik di Nanggroe Aceh Darussalam, banyak sekali konsekuensi yang harus dihadapi. Konsekuensi negatif yang mereka hadapi selama bertugas di daerah konflik berpotensi menimbulkan stres, sehubungan dengan tugas mereka dalam menjaga stabilitas dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesi dari ancaman Gerombolan Sparatis Aceh. Tugas dan tanggungjawab mereka sebagai seorang prajurit dituntut untuk selalu sigap dan tanggap terhadap segala kemungkinan yang terjadi di lapangan. Tugas dan tanggungjawab yang berat di tambah lagi dengan medan tugas yang rawan dan cukup silit membuat para prajuri cukup rentan terhadap terjadinya stres, Penelitian ini lebih difokuskan pada kondisi yang dapat menimbulkan stres atau penyebab timbulnya stres (stressor).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sumber stres anggota prajurit Korps Marinir selama bertugas di daerah konflik di NAD. Penelitian ini dilakukan di Brigede 2 Marinir Cilandak dengan sampel anggota Maririr yang baru pulang dari penugasan di NAD. Pada penelitian ini jenis sumber stres yang digunakan sebagai dasar dalam pembuatan alat ukur adalah pembagian jenis sumber stres menurut Sarafino (1994). Sumber stres menurut Sarafino tersebut terbagi atas tigas jenis, yakni sumber stres yang berasal dari diri sendiri, keluarga dan komunitas dan masyarakat (lingkungan).
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa ternyata sumber stres yang berasal dari diri sendiri dan keluarga yang potensial menimbulkan stres dibandingkan dengan sumber stres yang berasal lingkungan. Perbedaan yang signifikan terjadi pada l.o.s. 0.05 pada anggota Marinir yang sudah menikah dan pada mereka yang bertempat tinggal di luar kesatuan (kontrak) dan yang tinggal di rumah dinas. Sumber stres dari keluarga pada anggota yang sudah menikah lebih besar dibandingkan dengan anggota yang belum menikah. Hal ini disebabkan karena beban keluarga yang ditanggung oleh mereka yang sudah menikah lebih besar.
Dari penelitian ini juga ditemukan perbedaan yang signifikan pada anggota yang bertempat tinggal di rumah dinas dan yang tinggal di luar kesatuan (kontrak). Sumber stres yang terjadi pada kedua kelompok ini lebih potensial terjadi dibandingkan dengan anggota Marinir yang belum menikah (tidur dalam) dan anggota yang bertempat tinggal di rumah sendiri. Hal ini dikarenakan anggota yang tinggal di rumah dinas dan yang kontrak mempunyai beban yang lebih besar dibandingkan dengan anggota yang tidur dalam dan yang tinggal dirumah sendiri."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3293
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
S5869
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Mastuti
"Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan negara Republik Indonesia, terutama dalam dua tahun terakhir. Keberadaan GAM dengan kekuatan yang seperti sekarang tentu tidak dapat dipisahkan dengan sejarah kemunculan dan periode awal gerakannya, karena pada waktu itulah pondasinya dibangun. Oleh sebab itu, masalah GAM tidak akan dapat ditangani dengan baik tanpa menelaah periode awalnya. Dengan mengkaji periode tersebut, diharapkan dapat diketahui sebab-sebab kelahirannya, ideologi, taktik dan strategi, para pendukung, tujuan, dan tahapan aksi yang akan mereka lakukan.
Permasalahan-permasalahan yang ada akan coba ditelaah dengan menggunakan teori etnisitas dari David Brown, teori collective action dari Charles Tilly, dan konsep perang gerilya dari Nasution. Dalam eksplanasi ditekankan bahwa baik struktur maupun aktor memiliki peran yang sama pentingnya dalam melahirkan peristiwa.Tulisan yang tergolong dalam sejarah sosial politik ini pada prinsipnya ingin menjawab dua permasalahan utama, yaitu: bagaimana bentuk pemberontakan GAM dan mengapa GAM dapat bertahan lama.
Dari hasil penelitan yang dilakukan, diperoleh jawaban bahwa GAM merupakan gerakan separatis yang causal factor dari kelahirannya adalah karena bangkitnya nasionalisme etnis Aceh sebagai ekses dari kebijakan pemerintah pusat yang sangat sentralistis. Adapun penyebab GAM dapat bertahan sampai sekarang adalah karena akar-akar ideologisnya telah tertanama baik seiring keberhasilan penanaman kesadaran pada periode pertama dan juga karena adanya perubahan kebijakan pemerintah pusat dalam menangani gerakan-gerakan daerah. Ketidakjelasan sikap dan langkah dari pemerintah telah membingungkan aparat yang bekerja di lapangan. Mereka serba takut dalam melakukan tindakan yang membawa dampak fatal terhadap kondisi keamanan secara menyeluruh.
Kekecewaan yang berkembang luas dalam diri masyarakat Aceh terhadap perlakuan pusat telah menyebabkan munculnya tindakan-tindakan perlawanan, yang kemudian dengan cantik dimanfaatkan oleh GAM untuk mengekspoiltir dukungan massa. Di sini terjadi keseiringan gerak tentara GAM dengan gerakan perlawanan rakyat yang sesungguhnya gerakan perlawanan itu tidak bersifat separatis seperti GAM. Meskipun ada pengentalan perlawanan namun GAM tidak akan sampai menggulirkan sebuah revolusi, sebab koalisi yang terbangun tidak cukup kuat untuk melakukannya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T4272
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Zulkarnain
Jakarta: Proyek Penelitian Pengembangan Riset, 2003
303.6 ISK p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>