Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 93641 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Titi Prantini Natalia
"Ketika anak memasuki dunia sekolah, anak mulai dituntut dan kadangkala menuntut dirinya agar selalu berbuat sebaik mungkin dan menyesuaikan dirinya dengan standar tingkah laku tertentu. Standar tingkah laku tersebut dipandang sesuai dengan tuntutan guru/sekolah, orang tua maupun teman. Adakalanya anak tidak dapat memenuhi tuntutan yang dikenakan kepada mereka. Keadaan ini menimbulkan tekanan pada anak dan dapat menjadi pemicu timbulnya masalah dalam kegiatan belajar dan proses belajar anak, antara lain menghindari atau menolak pergi ke sekolah _ Perilaku tersebut digolongkan sebagai School Phobia atau School Refusal (Bakwin & 'Bal-rwin, 1972; Weiner, 1982; Wenar, 1994). Anak yang mengalami School Rehearsal menunjukkan penolakan untuk hadir di sekolah dengan cara mengungkapkan berbagai keluhan fisik dalam upaya menyakinkan orang tua agar dirinya diijinkan tetap tinggal di rumah. Misalnya : sakit kepala, sakit perut, sakit tenggorokan, diare, muntah, dan sebagainya.
Disamping itu mereka sering pula mengungkapkan keluhan sehubungan dengan keadaan-keadaan di sekolah yang dirasa tidak nyaman bagi mereka dan membuat mereka menolak ke sekoLah Misalnya : guru yang galak, tugas-tugas terlalu sukar atau terlalu mudah, teman-teman yang tidak menyenangkan, dan lain-lain. (Bakwin & Bakwin, 1972; Weiner, 1982; Wenar, 1994). Pada umumnya School Rejiasal disebabkan oleh dua hal mendasar, yaitu (1) pola asuh orang tua yang menimbulkan kecemasan berpisah (separation anxiety) pada anak, dan (2) adanya peristiwa-peristiwa pencetus yang dapat menimbulkan kecemasan anak untuk berada di sekolah ataupun berada terpisah dari orang tua (Weiner, 1982). Forer Sentence Conquering Test (F SCT) merupakan salah sama alat diagnostik dengan menggunakan teknik proyeksi. Tes ini dapat memberikan int`ormasi-informasi yang kaya bagi keperluan diagnostik (Rabin &. Haworth, 1960). Alat ini telah diadaptasi oleh Prof Dr. Singgih D. Gunarsa, yaitu berupa 60 (enam puluh) kalimat yang belum selesai yang harus dilengkapi oleh subjek dimana ia memiliki kebebasan penuh untuk memberikan jawaban-jawabannya. Kalimat-kalimat yang harus diselesaikan oleh subjek mencerminkan berbagai wilayah (area) kehidupan anak, meliputi : (1) sikap terhadap dan karakteristik dari figur interpersonal (ayah, ibu, laki-laki, perempuan, dan Egur otoritas), (2) harapan atau keinginan anak, (3) penyebab dari perasaan atau tindakan anak, dan (4) reaksi anak terhadap kondisi-kondisi eksternal
Penulis berasumsi bahwa SSCT merupakan salah satu alat asesmen yang penting untuk digunakan dalam' pemeriksaan psikologis terhadap kasus-kasus menolak ke sekolah (School Rejis Sab). Asumsi tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa SSCT dapat menggali informasi -informasi yang penting dan relevan bagi permasalahan yang dihadapi subjek, mengingat alat ini berfungsi untuk menggali informasi-informasi yang terkait dengan berbagai wilayah kehidupan anak dalam situasi sehari-hari di lingkungan rumah maupun sekolah Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang masih tersedia di Klinik Bimbingan Anak Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, tahun 2000-2002. Sampel penelitian adalah data SSCT dari 20 anak usia sekolah (6 - 12 tahun) yang mengalami menolak ke sekolah (School Rejal) Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Profil jawaban SSCT dianalisa dengan mengacu pada kategori pengelompokkan empat wilayah kehidupan anak, dikaitkan dengan faktor-faktor penyebab perilaku menolak ke sekolah. Profil tersebut digambarkan dengan melihat persentase terbanyak dan jawaban subjek pada nomor-nomor (item) yang dimaksud.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Profil SSCT pada anak-anak yang menolak ke sel-colah (school refusal) mencerminkan adanya masalah-masalah yang terkait dengan hfnnrrarz-Irman yang harus dipenuhi anak sehubungan dengan kegiatan belajar, terutama dalam hal prestasi akademik Jawaban-jawaban subjek penelitian ini mencérminkan adanya kecemasan dan kerak zafran anak pada hal-hal yang sifatnya lebih nyata dalam kaitannya dengan kegiatan-kegiatan di sekolah dan keadaan-keadaan di sekolah yang dirasa tidak nyaman bagi mereka. Kenyataan ini menunjukkan adanya kondisi-kondisi tertentu yang mempengaruhi emosi anak usia sekolah sehubungan dengan masalah penyesuaian diri mereka terhadap tuntutan-tuntutan di sekolah (Hurlock, 1980). Kondisi-kondisi tersebut dapat menjadi peristiwa-peristiwa pencetus (precipitating events) yang membuat mereka menghindar atau menolak pergi ke sekolah. Dari jawaban-jawaban subyek tidak dapat disimpulkan adanya kecenderungan pola asuh tertentu dari orang tua yang dapat menimbulkan kecemasan berpisah (separation anxiety) pada anak. Hal ini tidak dapat terungkap melalui pernyataan-pernyataan di dalam FSCT yang sifatnya umum, sehingga tidak dapat menggali secara mendalam kedekatan hubungan antara anak dengan orang tua."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Farida Tantiani
"Oppositional Defiant Disorder (ODD) digambarkan sebagai perilaku anak yang melawan permintaan, arahan, serta larangan orang dewasa (Wenar, 1994). Pola perilaku ini berlangsung terus menerus (minimal 6 bulan) dan berlangsung pada taraf yang tidak sesuai dengan tingkat usia dan taraf perkembangan anak. (APA, 2000). Manifestasi dari gangguan ini lebih terlihat dalam lingkungan rumah atau sekolah. Karakteristik ODD biasanya tampak pada interaksi antara anak dan orang dewasa, terutama orangtuanya, atau teman-teman yang mereka kenal dengan baik. Ibu anak ODD digambarkan sebagai ibu yang terlalu memiliki kontrol dan agresif sedangkan ayah digambarkan sebagai seseorang yang pasif dan tidak memiliki hubungan emosional yang dekat. Penelitian-pcnelitian obyektif juga menunjukkan bahwa ibu-ibu ini lebih negatif dan penuh kritik terhadap sang anak dibandingkan dengan ibu anak-anak normal. Mereka juga menampilkan perilaku yang lebih mengancam, marah serta penuntut.
House-Tree-Person test (I-ITP) adalah tes proyeksi dengan teknik menggambar yang merupakan refleksi individu akan sikap atau perasaannya terhadap orang yang signiiikan dalam hidupnya; atau perasaan yang ditujukan terhadap dirinya. Pada HTP, individu diminta untuk menggambar rumah, pohon dan orang. Untuk beberapa individu, gambar rumah merefleksikan hubungan mereka dengan ibu, gambar pohon merefleksikan perasaan mereka terhadap ayah, dan gambar orang merefieksikan perasaan mereka terhadap diri mereka sendiri. Posisi gambar orang menggambarkan kedekatan individu tersebut dengan Salah satu orangtuanya seclangkan ukuran tiap gambar juga menunjukkan dominasi masing-masing tokoh (ayah, ibu, atau individu sendiri) (Marnat, 1934).
Diharapkan dengan menganalisis hasil gambar HTP anak-anak yang didiagnosis ODD dapat diketahui gambaran mengenai hubungan antam orangtua dan anak ODD. Hal ilu mengingat perilaku oposisional berhubungan dengan orang-orang yang signitikan dalam kehidupan anak, terutama Orangtua. Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan pendekatan kualitatif, yaitu menggunakan data yang sudah tersedia di Klinik Bimbingan Anak F. Psi UI. Subjek penelitian ini berjumlah 5 orang yang didiagnosis ODD dan berusia antara 6-11 tahun.
Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa dalarn memandang hubungannya dengan orangtua, empat subjek merasa lebih dekat dengan ibu sedangkan satu subjek lainnya merasa lebih dekat dengan ayah. Selain itu, empat subjek memsa bahwa ibu kurang berkomunikasi dan kurang membuka diri sedangkan satu subjek merasa bahwa ibu mau membuka komunikasi walaupun banyak aturan yang diterapkan.
Penelitian ini menggunakan data sekunder. Kelemahan dari data sekunder adalah adrninistrasi tes HTP tidak diketahui dengau jelas sehingga peneliti tidak mengetahui secara pasti proses pengarnbilan tes. Untuk lebih memperkaya pengetahuan mengenai penggunaan tes HTP dan masalah ODD, penelitian selanjutnya disarankan menggunakan data primer."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38507
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Francisca
"ABSTRAK
Attention Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) didefinisikan sebagai suatu gejala ketidakmampuan untuk memusatkan perhatian dan/atau hiperaktivitas-impulsivitas yang berlangsung terus menerus pada taraf yang maladaptif dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Anak-anak ADHD mempunyai resiko yang tinggi untuk mengalami masalah akademis maupun sosial. Lingkungan sering memarahi, menghukum, menolak atau memberikan label negatif, kepada mereka. Kegagalan yang dialami, terutama dalam bidang akademis, dan reaksi negatif ini dapat memperburuk keadaan dan menimbulkan masalah karena anak-anak ADHD sangat sensitif baik secara emosional maupun neurologis. Oleh karena itu, penelitian ini berlujuan untuk melihat permasalahan emosi, perilaku dan keadaan atau reaksi lingkungan terhadap anak-anak ini, melalui tes Human Figure Drawing’s (HFDS), Child Behavior Checklist (CBCL) dan alloanamnesa.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dimana fokus perhatiannya untuk mendapatkan informasi yang mendalam mengenai masalah yang diteliti_ Data yang digunakan berasal dari kasus-kasus yang ada di Klinik Bimbingan Anak Fakultas Psikologi UI. Kriteria subyek penelitian adalah didiagnosa ADHD, IQ berada pada rata-rata dan berusia 6 tahun 0 bulan sampai dengan 9 tahun 0 bulan. Jumlah subyek penelitian yang digunakan adalah 5.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan emosi yang paling menonjol
adalah kesulitan dalam mengontrol impuls-impuls dan dalam membina hubungan
dengan orang lain. Sedangkan permasalahan tingkah laku yang paling menonjol adalah masalah konsentrasi. Pola asuh yang menonjol dalam keluarga adalah adanya pemberian hukuman fisik, seperti memukul, mencubit, dalam menerapkan disiplin. Guru juga memberikan hukuman yang berupa penambahan tugas atau jam belajar di sekolah. Dalam pergaulan, mereka biasa dijauhi oleh teman-temannya.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T38374
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vidya Dwina Paramita
Yogyakarta: B. First, 2017
155.4 VID j
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Permasari
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1990
S2282
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Margia Wiranata
"Biasanya label anak AD/HD diberikan pada anak yang mempunyai kesulitan memusatkan perhatian di sekolah ataupun di rumah. Anak-anak ini juga tampak jauh lebih aktif dan/atau impulsif dibandingkan dengan anak lain pada usia yang sama (American Academy of Family Physicians Pennission, 2003). Dalam menangani masalah ADH-ID dibutuhkan perhatian yang khusus. Anak AD/HD seringkali menjadi lebih baik ketika mereka bertambah usia dan belajar menyesuaikan diri dengan masalah mereka. Hiperaktivitas biasanya akan berhenti pada akhir masa remaja. Tetapi sekitar separuh anak AD/HD tetap mudah teralih perhatiannya, memiliki mood yang berubah-ubah, mudah marah dan tidak mampu menyelesaikan pekerjaan atau tugas. Anak dengan orangtua yang penuh cinta dan suportif, serta mau bekerja sama dengan staf sekolah dan dokter mempunyai kesempatan yang terbaik untuk menjadi orang dewasa dengan penyesuaian diri yang baik (well-aqjmsred) (American Academy of Family Physicians Permission, 2003). Pentingnya peran orangtua dalam mengasuh anak AD/HD sangat ditekankan. Barkley (dalarn Papalia, 2001) menyarankan orangtua dan guru untuk membantu anak AD/HD dengan memberikan mereka lingkungan yang terstruktur, seperti memecah suatu tugas ke dalarn tugas-tugas yang lebih sederhana; sering memberikan dorongan tentang aturan dan waktu; seringkali memberikan reward terhadap keberhasilan-keberhasilan kecil. Karena motivasi intrinsik dan respon anak AD/HD terhadap reinforcemenr juga terganggu, maka dibutuhkan sistem reinforcement yang lebih efektif dibandingkan perlakuan terhadap anak yang normal (ERIC, 2000). Dari beberapa kasus ditemukan bahwa seringkali orangtua justru memberikan lingkungan dengan aturan yang terlalu longgar, sehingga perilaku anak menjadi semakin tidak terkendali. Atau sebaliknya, orangtua justrumemberlakukan aturan yang terlalu ketat sehingga anak menjadi tertekan akibatm tuntutan yang melebihi batas kemampuannya, Dari penelitian ini hendak teknik pengasuhan yang efektif bagi anak ADH-ID. Hal ini diperoleh dengan menganalisa hasil anamnesa, observasi, dan tes HTP. Metode penelitian ini dilakukan secara kualitatif. Data penelitian yang diambil merupakan data sekunder yang ditemukan pada Klinik Bimbingan Anak Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Analisa data dilakukan berdasarkan hasil anamnesa, observasi, dan tes HTP dari kasus anak yang telah didiagnosa mengalarni AD/HD. Hasil yang ditemukan ialah total karakteristik pengasuhan yang efektif bagi anak ADIHD terbanyak yang berhasil dipenuhi ialah 7 karakteristik (kasus 2), sementara kasus l memenuhi 3 karakteristik, dan kasus 3 memenuhi 4 karakteristik. Namun dari ketiga kasus yang diteliti, tidak ada satupun yang dapat menerapkan telmik pengasuhan yang efektif bagi anak AD/HD. Saran-saran untuk penelitian selanjutnya: digunakan sampel yang lebih banyak agar dapat ditarik pola-pola umum yang lebih jelas dari setiap teknik pengasuhan yang diterapkan orangtua; digunakan sampel yang memiliki kesamaan tipe AD/HD agar dapat terlihat lebih jelas pola umum dari teknik pengasuhan yang digunakan orangtua dalam menangani anak ADIHD; ditentukan derajat kepentingan karakteristik pola asuh dalam menangani anak AD/HD agar dapat melihat efektivitas penerapan pengasuhan secara menyeluruh; untuk orangtua yang memiliki anak dengan gejala AD/HD agar melakukan teknik pengasuhan yang efektif dengan memenuhi karakteristik sebagai berikut: membangun hubungan yang positif antara orangtua dengan anak, memberi peraturan yang sederhana dan jelas mengenai perilaku apa yang diharapkan dari anak, memecah tugas kompleks ke dalarn tugas-tugas yang lebih sederhana, membuat jadwal kegiatan (rutinitas) sehari-hari, memberitahu anak konsekuensi apa yang akan diterimanya bila mereka berhasil menaati peraturan atau melakukan tugasnya, memberitahu anak konsekuensi apa yang akan digunakan bila ia melanggar peraturan atau melalaikan tugasnya, mengawasii mengontrol perilaku anak, memberikan konsekuensi dengan segera, frekuensi pemberian konsekuensi lebih sering, pertahankan konsislensi pada aturan/ disiplin; cara berespon di tempat dan seting yang berbeda; dan perilaku antar orangtua, menghindari/ membuat perencanaan terhadap situasi bermasalah, fokus pada hal-hal yang positif pada anak, seperti prestasi atau hal yang berhasil dilakukan anak, hindari perhatian yang berlebihan pada kelemahan dan keterbatasan anak, Mendorong anak untuk meningkatkan potensi/ keterampilan mereka."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T37844
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lasfitri
"Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi sekolah anak berusia sekolah SLTP (13-15 tahun) dan SLTA (16-18 tahun) serta menganalisis apakah terjadi perbedaan partisipasi sekolah anak yang berusia sekolah SLTP dan SLTA antara daerah perkotaan dengan perdesaan di Provinsi Jambi. Penelitian ini menggunakan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS Panel Triwulan III Tahun 2012. Penelitian ini menggunakan metode regresi logistik (model logit) dengan alat analisis yang dipakai untuk mengolah data yaitu Program SPSS 16.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa partisipasi sekolah anak usia 13-15 tahun dipengaruhi oleh banyaknya anggota rumah tangga, jenis kelamin anak, tingkat pendidikan ayah dan tingkat pendidikan ibu. Sedangkan partisipasi sekolah anak usia 16-18 tahun dipengaruhi oleh banyaknya anggota rumah tangga, tempat tinggal (desa-kota), jenis kelamin anak, tingkat pendidikan ayah dan tingkat pendidikan ibu.
Secara statistik daerah tempat tinggal (kota-desa) berpengaruh signifikan terhadap peluang bersekolah bagi anak usia 16-18 tahun. Secara umum permasalahan tidak sekolah lebih banyak dijumpai di daerah perdesaan. Sedangkan di daerah perkotaan, masalah tidak sekolah relatif lebih kecil. Terjadi perbedaan partisipasi sekolah anak usia 16-18 tahun (jenjang SLTA) antara daerah perkotaan dengan perdesaan. Hal ini memperlihatkan terjadinya disparitas pendidikan antara daerah perdesaan dengan perkotaan pada jenjang pendidikan SLTA.

The purpose of this study was to analyze the factors that affect school participation of junior high school-aged children (13-15 years) and senior (16-18 years) and to analyze whether there are differences in the participation of school children aged between junior and senior high school urban areas with rural areas in the province of Jambi. This study uses the data of National Socioeconomic Survey (Susenas) BPS Panel Third Quarter 2012. This study uses logistic regression (logit models) with the analytical tools used to process the data that program SPSS 16.
The estimation results indicate that the participation of school children aged 13-15 years are affected by the number of household members, sex of child, education level of father and education level of mother. While the participation of school children aged 16-18 years are affected by the number of household members, place of residence (rural-urban), sex of the child, education level of father and education level of mother.
Statistically area of residence (urban-rural) significantly affects schooling opportunities for children aged 16-18 years. In general, schools are not the problem more prevalent in rural areas. Whereas in urban areas, the problem is not the school is relatively small. There is a difference in school participation of 16-18 year olds (high school level) between urban and rural areas. This shows the disparity of education between rural and urban areas at high school education level.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
T35189
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"ABSTRAK
Masalah-masalah anak di usia sekolah cukup beragam. Salah satu masalah yang berkaitan dengan sekolah di usia ini adalah menolak sekolah (school refusal). Menurut Mash & Wolfe (1999), perilaku menolak sekolah umumnya terjadi pada anak perempuan dan laki-laki dengan usia antara 5-6 tahun dan 10-11 tahun dimana di usia ini anak-anak memasuki sekolah baru. Adapun pengertian dari school refusal mengacu pada kesulitan penyesuaian diri anak terhadap situasi maupun tuntutan di sekolah (Kahn & Nursten dalam Weiner, 1982).
Perilaku menolak sekolah (school refusal) tidak dapat dibiarkan begitu saja mengingat sekolah merupakan faktor penting dalam perkembangan anak. Menurut Fremont (2003), adanya perilaku menolak sekolah secara signifikan memiliki efek jangka pendek dan jangka panjang pada kehidupan sosial, emosi, dan perkembangan pendidikan pada anak-anak. Dengan demikian, diperlukan penanganan yang cepat dengan terlebih dahulu mengetahui penyebab dari school refusal.
Penelitian ini penelitian kualitatif mengenai psikodinamika terjadinya school refusal pada anak usia sekolah berdasarkan wawancara dan observasi terhadap anak, orangtua serta guru. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran lengkap mengenai faktor-faktor yang menyebabkan seorang anak menolak sekolah (school refusal) dan bagaimana dinamika yang terjadi antara faktor-faktor tersebut. Diharapkan dengan mengetahui penyebabnya, penanganan terhadap masalah school refusal dapat lebih efektif dan efisien.
Peneliti mendatangi beberapa sekolah untuk mendapatkan data mengenai anak yang memiliki kesamaan dengan karakteristik school refusal. Adapun karakteristik anak yang mengalami school refusal antara lain mau datang ke sekolah, tetapi tidak lama kemudian meminta pulang, pergi ke sekolah dengan menangis dan menempel terus pada figur yang dekat dengan anak, dan adanya keluhan-keluhan fisik seperti pusing, sakit perut, mual dan sebagainya (Piliang, 2004). Setelah itu, peneliti melakukan wawancara yang ditunjang dengan observasi terhadap guru, orangtua dan anak.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab terjadi school refusal cukup beragam pada masing-masing anak dimana faktor keluarga terutama pola asuh, lingkungan sekolah dan kepribadian anak itu sendiri saling mempengaruhi. Berdasarkan hasil analisis dari kedua subjek, persamaan dari kedua subyek yang diteliti adalah faktor memasuki sekolah baru yang menuntut anak untuk menghadapi dan menyesuaikan diri dengan situasi dan lingkungan baru. Memasuki sekolah baru bagi sebagian anak membutuhkan penyesuaian yang lebih lama mengingat di sekolah baru terdapat guru dan teman-teman yang berbeda, kurikulum serta metode yang berbeda juga tuntutan yang berbeda."
[Depok;;, ]: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T38186
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasna Khairunnisa
"Peningkatan atensi terhadap penggunaan Screen Time orang tua maupun anak sudah menjadi bagian integral dalam kehidupan. Sayangnya, anak usia sekolah saat ini lebih sering beraktivitas dengan hanya menatap layar selama waktu yang lama. Hal itu, membuat anak terpapar layar dengan durasi yang melebihi rekomendasi sehingga menimbulkan efek negatif terhadap tumbuh kembang anak. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran Screen Time dan mengidentifikasi hubungan lama Screen Time dengan perkembangan sosial. Penelitian menggunakan pendekatan cross-sectional pada 285 responden orang tua yang sesuai dengan kriteria inklusi melalui metode stratified sampling. Instrumen SCREENS-Q untuk mengukur Screen Time dan Strength and difficulties Questionnaire (SDQ) mengukur perkembangan sosial. Hasil penelitian menunjukkan 74,4% anak mengalami Screen Time berlebihan dan terdapat hubungan antara lama Screen Time dengan setiap sub-skala perkembangan sosial (p value <0,05). Peneliti merekomendasikan adanya sosialisasi dan kerjasama pihak tenaga kesehatan dengan orang tua untuk mencari solusi bersama mengatasi permasalahan ini.

Increasing attention to the use of Screen Time for parents and children has become an integral part of life. Unfortunately, today's school-age children are more active by just staring at the screen for a long time. This causes children to be exposed to screens for a duration that exceeds the recommendations, which has a negative effect on children's development. This study aims to look at the description of Screen Time and identify the relationship between long Screen Time and social development. The study used a cross-sectional approach to 285 parents who fit the inclusion criteria through a stratified sampling method. The SCREENS-Q instrument to measure Screen Time and the Strength and Difficulty Questionnaire (SDQ) to measure social development. The results showed that 74.4% of children experienced excessive Screen Time and there was a relationship between the length of Screen Time and each social development sub-scale (p value <0.05). Researchers recommend socialization and collaboration between health workers and parents to find solutions together to overcome this problem."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafitri Nur Burhani
"Disabilitas intelektual merupakan keterbatasan fungsi intelektual dan kemampuan beradaptasi yang dimulai sejak masa kanak yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Secara global 1-2% dari seluruh populasi. Di Indonesia, terdapat lima juta anak dengan disabilitas intelektual. Penyakit fisik yang berkomorbiditas dengan disabilitas intelektual akan meningkatkan risiko angka kesakitan sehingga memperberat ketidakmampuan yang dimiliki. Akumulasi stres yang dialami memiliki risiko untuk timbulnya psikopatologi yang akan berdampak pada cara berelasi orang tua dengan anak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berkaitan dengan timbulnya psikopatologi orang tua dengan anak disabilitas intelektual. Penelitian dilaksanakan secara potong lintang dengan metode consecutive sampling. Sampel sebanyak 100 orang tua di Poli Jiwa Anak dan Remaja RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pengambilan data dilakukan melalui pengisisian kuesioner secara tatap muka dan media daring menggunakan kuesioner demografis, dan Symptom Checklist 90 (SCL-90) Versi Indonesia. Kuesioner ini menilai 9 domain psikopatologi seperti depresi, ansietas, sensitivitas interpersonal, hostilitas, psikotik, paranoid, fobia dan obsesisf kompulsif dengan nilai cut-off  61. Analisis statistik menggunakan SPSS versi 22.0. Data dianalisis dengan uji bivariat Chi-Square. Gambaran psikopatologi orang tua dengan anak disabilitas intelektual di Poli Jiwa Anak dan Remaja RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo didapatkan bahwa psikopatologi depresi (18,0%), ansietas (15,0%), somatisasi (9%), sensitivitas interpersonal (8%), obsesi kompulsif (4%), paranoid (3%), hostilitas (1%) dan fobia (1%). Pada penelitian ini tidak didapatkan psikopatologi psikotik. Ibu memiliki hubungan bermakna terhadap psikopatologi secara umum (p=0,018). Jenis disabilitas (p=0,027) memiliki hubungan bermakna dengan ansietas. Pendapatan orang tua (p=0,021) berhubungan bermakna dengan somatisasi. Faktor-faktor yang berhubungan dengan timbulnya psikopatologi pada orang tua adalah ibu, jenis disabilitas yang dimiliki serta kondisi ekonomi orang tua. Program kesehatan jiwa yang promotif dan preventif seperti pemberian edukasi serta membentuk kelompok dukungan pada orang tua dengan anak disabilitas intelektual diharapkan dapat membantu dalam mengurangi terjadinya psikopatologi pada orang tua.

Intellectual disability is a limitation of intellectual function and adaptability that begins in childhood that can interfere with daily activities. Globally 1-2% of the entire population. In Indonesia, there are five million children with intellectual disabilities. Physical illness comorbid with intellectual disability will increase the risk of morbidity so that it aggravates the disability. The accumulated stress experienced has a risk for the emergence of psychopathology which will have an impact on the way parents relate to their children. This study aims to determine the factors associated with the emergence of psychopathology in parents with children with intellectual disabilities. to determine the factors associated with the emergence of psychopathology in parents with children with intellectual disabilities. The study was conducted cross-sectionally with consecutive sampling method. A sample of 100 parents in the Child and Adolescent Mental Health Clinic, Dr. Cipto Mangunkusumo. Data were collected by filling out questionnaires face-to-face and online media using a demographic questionnaire, and the Indonesian version of Symptom Checklist 90 (SCL-90). This questionnaire assessed nine psychopathological domains such as depression, anxiety, interpersonal sensitivity, hostility, psychotic, paranoid, phobia, and obsessive-compulsive with a cut-off score of 61. Statistical analysis using SPSS version 22.0. Data were analyzed by Chi-Square bivariate test. In the description of the psychopathology in parents with children with intellectual disabilities at the Child and Adolescent Mental Health Clinic, Dr. Cipto Mangunkusumo found that the psychopathology of depression (18.0%), anxiety (15.0%), somatization (9%), interpersonal sensitivity (8%), obsessive compulsiveness (4%), paranoia (3%), hostility (1 %) and phobias (1%). In this study, there was no psychotic symptom. Mother had a significant relationship with psychopathology in general (p=0.018). Type of disability (p=0.027) had a significant relationship with anxiety. Parent's income (p=0.021) was significantly related to somatization. Factors related to the emergence of psychopathology in parents are the mother, the type of disability they have, and the economic condition of the parents. Promotive and preventive mental health programs such as providing education and forming support groups for parents with children with intellectual disabilities are expected to help reduce the occurrence of psychopathology in parents."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>