Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 155967 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amiarti Anissa
"Memori merupakan salah satu fungsi penting bagi individu, baik di dalam menjalin hubungan dengan lingkungannya maupun menjalankan aktivitasnya sehari-hari seperti bekerja ataupun menyelesaikan tanggung jawabnya. Menurut Santrock (2002) memori adalah kemampuan individu untuk menahan atau menyimpan sejumlah informasi di dalam pikirannya seiring dengan berjalannya walciu. Dampak dari terganggunya fungsi memori, diungkapkan oleh Lezak (1995) membuat individu menjadi tergantung pada orang lain, kemampuan untulc belajar terganggmg serta menurunkan kinerjanya. Selain itu juga akan membuatnya sulit menjalin hubungan ataupun membuat kontak sosial yang bermakna dengan lingkungannya. Gangguan memori dapat terjadi pada kasus-kasus lansia, stroke, cedera kepala., Serta yang mengalami kerusal-can fungsi pada bagian otak tertentu.
Memori dapat dibagi berdasarkan beberapa kriteria penggolongan. Diantaranya ada yang disebut dengan, short term memory (STM) dan long term memory (LTM), penggolongan ini berdasarkan durasi atau waktu. Selain itu berdasarkan proses terbentuknya, terbagi menjadi declarative dan procedural memory. Lalu berdasarkan isi (sifat) informasi atau peristiwa yang harus diingat. Misalnya memori yang berhubungan dengan pengalaman yang terjadi pada diri individu itu sendiri atau bersifat pribadi (episodic memory) dan semantic memory
berhubungan dengan memoxi mengenai pengetahuan umum individu, misalnya abjad dan peristiwa sejarah (Lezak, 1995). Fungsi memori, walaupun tidak seluruhnya, mengalami perkembangan dan perubahan seiring dengan bertambahnya usia.
Assessment terhadap fungsi memori merupakan bagian yang penting di dalam evaluasi klinis dan neutopsikologis, terutama pada orang dewasa. Hal ini disebabkan oleh banyak gangguan neuropsikiatri pada orang dewasa yang melibatkan gangguan fungsi kognitif, antara lain fungsi memori (Poon, dalam Kaufman 1990). Terkadang keluhan pasien mengenai kesulitan mengingat bersifat tidak reliabel atau berubah- ubah, maka diperlukan tes untuk membantu mengukur fungsi memori individu secara objektif(Gregory, 1987).
WMS merupakan salah satu tes memori yang paling banyak digunakan pada pemeriksaan fungsi memori individu, tes ini terdiri dari 7 subtes. Terlepas dari kelemahan-kelemahannya, tes ini terus dipertahankan karena sifatnya praktis dan sederhana. Fungsi memori yang diukur ialah declarative memory, working memory, recall, serta peran dari aspek-aspek lain yang turut mempengaruhi memori individu yaitu atensi dan learning. Di Indonesia telah dilakukan penelitian tentang WMS, namun jumlah sampelnya masih sangat terbatas dan tes ini belum pemah dibuat gambaran skomya pada populasi dewasa muda dan menengah dengan latar belakang
pendidikan SMU sederajat.
Untuk menjawab permasalahan penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kuantitalif dengan metode analisa statistik deskriptif; yaitu membandingkan skor rata-rata setiap subtes pada dua kelompok usia. Kemudian dilihat apakah ada perbedaan yang signiiikan. Metode pengambilan sampel yang digunakan pulposive sampling, dengan jumlah total sampel sebanyak 60 orang.
Berdasarkan hasil analisa data, maka skor rata-rata populasi dewasa muda secara umum lebih tinggi dibandingkan populasi dewasa menengah. Pada kedua kelompok usia subtes yang mendapat nilai tertinggi ialah subtes orientasi, keterangan pribadi dan kini, serta belajar asosiasi-pasangan kata mudah. Sedangkan skor terendah adalah pada subtes memori logis. Ditemukan ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok usia pada subtes : orientasi, memori logis, deret angka mundur, reproduksi visual, belajar asosiasi (skor total dan pasangan kata sulit).
Pada penelitian ini masih perlu adanya rentang usia yang lebih sempit lagi karena batasan dewasa muda dan menengah adalah rentang yang cukup luas. Pengambilan sampel juga sebaiknya tidak hanya difokuskan pada suatu institusi sehingga dapat diperoleh keterwakilan sampel."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T37907
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Armalia
"Afasia motorik merupakan salah satu gangguan komunikasi yang terjadi akibat stroke dan dapat menyebabkan gangguan terhadap kepercayaan diri seseorang yaitu harga diri dan efikasi diri yang mana kedua hal ini merupakan bagian terpenting dari masing-masing individu dalam mencapai status sosialnya dalam berkomunikasi. Teknik restrukturisasi kognitif digunakan untuk efikasi diri dan harga diri dengan memiliki asumsi bahwa dasar restrukturisasi kognitif yaitu respon-respon perilaku. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh terapi restrukturisasi kognitif terhadap harga diri dan efikasi diri pasien stroke dengan afasia motorik. Metode penelitian ini menggunakan quasi experimental design dengan pendekatan desain pretest posttest nonequivalent control grup, dimana desain ini melibatkan dua kelompok yang akan diobservasi sebelum dan sesudah intervensi. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan pada harga diri setelah diberikan intervensi restrukturisasi kognitif dengan (pvalue= 0,001; α<0,05), dan pengaruh yang signifikan pada tingkat efikasi diri setelah diberikan intervensi dengan (pvalue= 0,001; α<0,05). Hasil penelitian ini merekomendasikan restruktuisasi kognitif menjadi salah satu intervensi dalam pemberian asuha keperawatan secara holistik mencakup biologis, psikologis, sosiologis dan spiritual kepada pasien pasca stroke dengan afasia motorik unutk dapat menaikkan harga diri dan efikasi pada pasien untuk membantu mengolah perasaan dan keyakinan psikologis pasien pasca stroke dalam menjalani proses rehabilitasinya

Motor aphasia is one of the communication disorders that occurs due to stroke and can cause interference with one's self-confidence, namely self-esteem and self-efficacy, both of which are the most important parts of each individual in achieving their social status in communicating. Cognitive restructuring technique is used for self-efficacy and self-esteem with the assumption that the basis of cognitive restructuring is behavioral responses. This study aims to examine the effect of cognitive restructuring therapy on self-esteem and self-efficacy of stroke patients with motor aphasia. This research method uses a quasi-experimental design with a non-equivalent control group pretest posttest design approach, where this design involves two groups to be observed before and after the intervention. The results showed that there was a significant effect on self-esteem after being given a cognitive restructuring intervention with (p-value = 0.001; <0.05), and a significant effect on the level of self-efficacy after being given an intervention with (p-value = 0.001; <0.05). ). The results of this study recommend cognitive restructuring to be one of the interventions in providing holistic nursing care including biological, psychological, sociological and spiritual to post-stroke patients with motor aphasia to increase self-esteem and efficacy in patients to help process the psychological feelings and beliefs of post-stroke patients. in the process of rehabilitation"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purnama Sidih
"Latar belakang. Kognitif merupakan proses berpikir akibat aktivitas sejumlah fungsi kompleks dari berbagai sirkuit di otak. Adanya gangguan kognitif menunjukkan terjadinya gangguan fungsi otak. MCI ( Mild Cognitive Impairment ) merupakan gangguan kognitif ringan yang sudah terjadi pada kelompok lanjut usia nondemensia. Berbagai studi menunjukkan gambaran dan prevalensi MCI pada lanjut usia nondemensia. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran fungsi kognitif dan prevalensi MCI pada kelompok lanjut usia nondemensia .
Metode. Penelitian ini menggunakan cara potong lintang dengan populasi semua lanjut usia nondemensia di Puskesmas Tebet dan Pasar Minggu yang memenuhi kriteria inklusi. Semua subyek dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis , Dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif dengan menggunakan CERAD dan Trail Making Test - B. Diagnosis MCI menggunakan kriteria dari Petersen RC. Data diolah dengan menggunakan tes chi-square, Fisher's Exact dan memakai program SPSS versi 12
Hasil. Pada penelitian ini didapatkan 300 lanjut usia (> 60 tahun) nondemensia, rentang usia antara 60-76 tahun (rerata 63,5 ± 4,1 tahun) dengan kelompok usia terbesar 60 - 65 tahun (75,0%) , terdiri dari 177 (59%) wanita dan 123 (41%) pria. Sebanyak 269 subyek (89,6%) memenuhi kriteria MCI. Subkelas MCIa 22 kasus (7,3%), MClsdnm 81 kasus (27%) dan MCImd 166 kasus (55,3%). Gangguan kognitif terbanyak pada MCIa adalah Memori Rekognisi (81,8%) , pada MClsdnm adalah Fungsi Eksekutif (100%) dan pada MCImd adalah Fungsi Eksekutif (89,1%) beserta Memori Rekognisi (64,5%). Didapatkan hubungan bermakna antara MCIa dengan DM ( p = 0,038 ; OR 0,10 ; IK 95% 0,01;0,88 ) dan MCImd dengan pendidikan rendah ( SD dan SLP) (p = 0,000 ; OR 5,32 ; IK95% 2,12;13,31 ) dan DM (p = 0,008 ; OR 0,26 ; IK95% 0,10;0,70 ).
Kesimpulan. Prevalensi MCI pada lanjut usia nondemensia ( > 60 tahun ) ditemukan sebesar 89,6% .Rana kognitif yang paling banyak terganggu adalah Memori Rekognisi dan Fungsi Eksekutif . Faktor risiko terbanyak adalah pendidikan rendah dan DM

Background. Cognitive function is the process of several complex functions of various circuits in the brain. Mild Cognitive Impairment (MCI) is a transition state between normal and probable dementia. The aim of this study was to describe the cognitive impairment profile and the prevalence of MCI in non demented elder
Methods. This was an analytical cross sectional study which included all non demented elder patients who fulfilled the inclusion criteria. Medical history, physical and neurology examination were performed.. The patient's cognitive function was examined using neurophsycology test of CERAD and Trail Making Test-B. Diagnostic criteria of mild cognitive impairment were confirmed by using criteria from Petersen RC (< 1.5 SD below normative value ). The data were analyzed using chi-square, Fisher' exact and using SPSS for Windows ver. 12.
Result. There were found 300 non demented elder ( age > 60 years old ), 177 (59%) subjects were female and 123 (41%) were male , range of age was 60-76 years old (mean 63,5 ± 4,1 years old ) with largest age group were 60-65 years old ( 75,0%). There were 269 (89,6%) subjects fulfilled the MCI criteria with MCIa 22 (7,3%) , MClsdnm 81 (27%) and MCImd 166 (55,3%) . The most affected cognitive domain in MCIa was Recognition Memory ( 81,8%) in MClsdnm was Executive Function (100%) and in MCImd were Recognition Memory (64,5%) together with Executive Function (89,1%) . In addition, a significant correlation was found between the MCIa and DM ( p=0.038;OR 0,10; CI95% 0,01;0,88) and between MCImd with poor education (p=0.000;OR 5,32; C195% 2,12;13,31) and DM (p=0.008;OR 0,26; CI95% 0,10;0,70.
Conclusion. Prevalence of MCI in non demented elder (> 60 years old ) 89,6% . The most affective cognitive domains were Recognition and Executive Function . The most risk factors were poor education and DM
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18185
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Wulandari
"Kognitif merupakan kemampuan dalam proses berpikir dan mendapatkan informasi. Pada saat memasuki usia lanjut tingkat kognitif akan mengalami penurunan. Lansia yang bekerja menggunakan kemampuannya seperti pikiran dan kemapuan fisik untuk terus produktif. Kemampuan lansia yang terus digunakan ini menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana hubungan status pekerjaan dan tingkat kognitif lansia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status pekerjaan dengan tingkat kognitif lansia. Metode penelitian ini menggunakan desain cross sectional dan pengambilan data menggunakan random sampling. Penelitian ini dilakukan pada 83 lansia yang berusia 60-64 tahun di Kecamatan Beji, Depok menggunakan instrumen MoCA-Ina.
Hasil Penelitian menggunakan Uji Man whitney nilai p adalah 0,201 p>0,05 . Hal ini menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan antara status pekerjaan dan tingkat kognitif lansia di Kecamatan Beji. Nilai tengah penelitian menggunakan instrumen MOCA-Ina yaitu 23 yang menunjukkan bahwa lansia produktif memiliki gangguan kognitif ringan. Perawat diharapkan dapat menyesuaikan intervensi kepada lansia dengan memperhatikan tingkat kognitifnya.

Cognitive is the ability to think and gain information. At the time of entering old age, cognitive level will decrease. Older people who work using their abilities such as mind and physical ability to continue to be productive. The ability of the older people that continues to be used raises questions about how the relationship of working status and cognitive level of older people.
This study aims to determine the relationship of working status with cognitive level of older people. This research method used cross sectional design and data collection used random sampling. This study was conducted on 83 older people people aged 60 64 years in Beji Sub district, Depok using MoCA Ina instrument.
The result of the research using Man Whitney test p value is 0,201 p 0,05. This shows that there is no relationship between job status and cognitive level of older people in Beji Sub district. The median value of the study using the MOCA Ina instrument was 23 indicate that the older people productive had mild cognitive impairment. Nurses are expected to adjust interventions to the older people by taking into account their cognitive level.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S69170
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Wulansari
"Latar Belakang. Gangguan kognitif tanpa disadari dapat terjadi pada orang dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Insidens ganguan neurokognitif terkait HIV (HIV Associated Neurocognitive Disorders - HAND) pada era anti retroviral (ARV) mencapai 25-38%, dengan prevalensi 37%. Gejala klinis HAND yaitu kelainan kognitif, fungsi motor dan perilaku. Gangguan kognitif sering tidak terdiagnosis sehingga mengganggu aktivitas keseharian. Gangguan kognitif meningkat seiring dengan lamanya pasien HIV dapat bertahan hidup, dan pemakaian ARV jangka panjang berpotensi toksis yang mungkin dapat mempengaruhi tampilan neurokognitif itu sendiri. Perbaikan neurokognitif terkait HIV mulai tampak setelah pengobatan ARV 18 bulan.
Tujuan. Diketahuinya gambaran fungsi kognitif pasien HIV yang sudah dan belum mendapatkan ARV, berdasarkan sebaran umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, CD4, Hepatitis C, anemia dan depresi.
Metode. Merupakan studi potong lintang, melibatkan pasien HIV rawat jalan di Unit Pelayanan Terpadu (UPT) HIV RSCM yang memenuhi kriteria inklusi. Dilakukan pencatatan data dasar pasien, nilai CD4, hemoglobin, depresi berdasarkan skala depresi Hamilton. Dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif dengan Trial Making Test A dan B (TMT A dan B), digit span forward dan backward, animal naming, Rey Auditory Verbal Learning Test (RAVLT) dan psikomotor Pegboard.
Hasil. Dari 100 subjek HIV, 50 sudah dan 50 belum ARV. Rata-rata usia subjek 32 tahun, pria sama banyak dengan wanita. Pendidikan terbanyak SMA. Subjek yang bekerja, rerata CD4, dan Hepatitis C reaktif lebih tinggi pada kelompok yang sudah ARV. Anemia lebih banyak pada kelompok subjek belum ARV. Depresi hanya didapat pada 3 subjek. Didapatkan perbedaan bermakna antara fungsi kognitif HIV dengan nilai CD4, pendidikan dan ARV. Gangguan kognitif ringan lebih tinggi pada kelompok belum ARV (48%) dibanding kelompok sudah ARV (18%) dengan perbedaan bermakna pada pemeriksaan bacward digit span, animal naming dan pegboard.
Kesimpulan. Gangguan kognitif ringan terkait HIV lebih tinggi pada kelompok belum ARV, meskipun belum dikeluhkan oleh pasien.

Background. Cognitive impairment can occure unnoticed in people with HIV. Incidence of HIV infection associated cognitive impairment reach 28-38% with 37% prevalence. HIV Associated Neurocogntive Disorders (HAND) with typicaly clinical symptoms is cognitive impairment, motor function and behavior. Cognitive impairment often under diagnosed and will affect daily activities. HAND as manifestattion of AIDS increased along with HIV patients survival. Long term in Antireroviral (ARV) treatment potentially toxic and may influence the appearance of neurocognitive impairment. After 18 months ARV treatment will make improvement in HIV related neurocognitive impairment.
Purpose. To meassure cognitive function of HIV patients after dan before ARV treatment acording to age, sex, education, employment, CD4, hepatitis C, anemia and depresion.
Method. Cross sectional study involving HIV outpatients in UPT HIV RSCM (Ciptomangunkusomo Hospital) that suitable with the inclusion criteria. Basic patients data, CD4 value, hemoglobin, hamilton depresion scale were collected. Cognitive function assesment with Trial making test (TMT A and B), digit span forward and backward, animal naming, RAVLT and psikomotor pegboard.
Result. From 100 subjects, 50 after and 50 before ARV treatment. The median age in all subject is 23 year old, man and woman in equal subjects. Majority education is senior high school. Employment subjects, CD4 mean, Hepatits C reactive are higher on before ARV group. Depresion only in 3 subjects. Significanly difference found in HIV cognitive fuction with CD4, education, and ARV treatment. Slight cognitive impairment is higher on before ARV group(48%) compare with after ARV group (18%) with significally difference in backward digit span, animal naming and pegboard test.
Conclusion. Slight HIV associated cognitive impairment is higher on before ARV grup, although the patients had no complaint.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Muji Rakhmawati
"Borderline Intellectual Functioning (BIF) memiliki populasi yang cukup besar dan sangat potensial untuk diteliti. Namun demikian, belum banyak penelitian yang memfokuskan diri pada partisipan BIF berkaitan dengan kemampuan executive function (EF) yang mereka miliki. Hal ini dapat disebabkan karena BIF dapat didefinisikan secara berbeda antara satu lembaga dengan lembaga yang lain, sehingga populasi yang besar ini justru sering kali terlewatkan dari pengamatan. EF sendiri yang dianggap sebagai salah satu cara yang paling efektif dalam mengukur fungsi kognitif pada kelompok BIF secara lebih menyeluruh, belum memiliki definisi yang disepakati oleh para peneliti. Hal ini menyebabkan EF dapat didefinisikan secara berbeda dan diukur dengan cara yang berbeda pula pada berbagai literature yang telah ada. Sementara itu, BIF yang didefinisikan secara berbeda pada masing-masing institusi tersebut diatas pun, pada akhirnya mengakibatkan kelompok BIF dalam penelitian EF yang ada digabungkan ke dalam satu kriteria yang sama dengan kelompok mild intellectual disability (MID) atau justru terlewatkan sehingga tidak termasuk dalam pembahasan penelitian.
Performa EF dari beberapa penelitian sebelumnya dinyatakan dipengaruhi oleh usia, tingkatan inteligensi dan jenis kelamin. Penelitian ini ingin mengangkat performa EF pada partisipan dengan BIF yang berusia 12 tahun 0 bulan sampai dengan 15 tahun 0 bulan, dibandingkan dengan kelompok chronological age (CA), mental age (MA), dan MID. Dengan membandingkan kelompok BIF dengan ketiga kelompok lainnya, diharapkan dapat tercermin kekuatan dan kelemahan EF pada kelompok BIF secara lebih spesifik. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: (1) apakah terdapat perbedaan performa pada masingmasing subkomponen EF pada kelompok BIF dibandingkan dengan kelompok CA, MA, dan MID?; (2) Jika terdapat perbedaan performa pada masing-masing subkomponen EF tersebut, maka bagaimanakah gambaran kekuatan dan kelemahan kelompok BIF dibandingkan dengan ketiga kelompok lainnya; (3) Apakah jenis kelamin memiliki peranan yang berpengaruh pada performa EF, terutama pada generativity?; (4) Apakah tingkatan inteligensi dan jenis kelamin memiliki peranan terhadap perbedaan performa pada masing-masing subkomponen EF?
Hasil penelitian dari 121 partisipan yang terlibat dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan performa pada masing-masing subkomponen EF jika dilihat berdasarkan perbedaan tingkat inteligensi (kecuali pada subkomponen shifting), tetapi tidak pada performa berdasarkan perbedaan jenis kelamin, dan interaksi antara tingkatan inteligensi dan jenis kelamin. Perbedaan jenis kelamin yang sering dikaitkan dengan generativity pada penelitian sebelumnya tidak tercermin pada penelitian ini. Pada performa working memory, kelompok BIF memiliki performa yang lebih lemah dibandingkan dengan CA, namun lebih kuat jika dibandingkan dengan kelompok MA dan kelompok MID. Performa inhibition pada kelompok BIF setara dengan kelompok CA, namun lebih kuat dibandingkan dengan kelompok MA dan kelompok MID. Pada tugas shifting, kelompok BIF memiliki performa yang lebih lemah dibandingkan dengan kelompok CA, namun setara dengan kelompok MA dan kelompok MID. Performa kelompok BIF pada planning dan problem solving setara dengan kelompok CA dan kelompok MA, namun lebih kuat dibandingkan dengan kelompok MID. Sementara itu, pada generativity (verbal fluency phonemic letter S) kelompok BIF memiliki performa yang setara dengan kelompok CA dan kelompok MA, namun lebih kuat dibandingkan dengan kelompok MID. Disisi lain, pada generativity (verbal fluency semantic category binatang), performa kelompok BIF setara dengan kelompok CA namun lebih kuat dibandingkan dengan kelompok kelompok MA dan kelompok MID.
Penelitian ini berhasil memperlihatkan bahwa kelompok BIF memang memiliki pola performa EF yang berbeda dibandingkan dengan kelompok CA, kelompok MA, dan kelompok MID. Sudah seharusnya kelompok BIF tidak lagi digolongkan dalam kriteria yang sama dengan kelompok MID, melainkan justru memiliki kriteria tersendiri yang terpisah dari kelompok MID.

Borderline intellectual functioning (BIF) has considerable population and great potential for research. However, there is not much research that focuses their subjects relating to participants with BIF and their executive functions (EF). This is due to BIF that can be defined very differently from one institution to another, so that the large population is often overlooked from fact of observation.
EF itself is regarded as one of the best ways to measure cognitive function for individual with BIF, but has not yet reached the universal definition by the researchers. Thus, EF can be defined and measured differently in different ways. BIF different definition on each institution in turn, results of BIF group in EF research most of the time combined in the same criteria with a mild intellectual disability (MID) group or even overlooked altogether in research related to their EF. EF performance in some previous studies revealed to be influenced by age, level of intelligence, and sex. The aim of this study is to lift the EF performance in participants with BIF group age ranges from 12 years 0 months to 15 years 0 months, compared with chronological age (CA), mental age (MA), and MID groups. By comparing BIF group with the three other groups, is expected to reflect on the strengths and weaknesses of EF in BIF groups more specifically. The research question posed is: (1) whether there are differences in performance on each of EF subcomponents on BIF group compared with the CA, MA, and MID groups ?; (2) If there is a difference in performance on each of EF subcomponents, then how is the strengths and weaknesses of BIF group compared with the three other groups; (3) Does gender have an influential role in the performance of EF, especially on generativity ?; (4) Is the level of intelligence and gender has a role to differences in performance on each EF subcomponents?
The results of the 121 participants involved in this research showed that there are differences in performance on each of the EF subcomponents when viewed by the different levels of intelligence (except on shifting), but not in performance by gender, and the interaction between the levels of intelligence and gender. The gender differences which is often associated with generativity are not reflected this in previous study. In the performance of working memory, BIF group had a weaker performance compared to CA group, but more higher than the MA and MID groups. Inhibition performance on par with CA group, yet more stronger than the MA and MID groups. At shifting task, BIF group had a weaker performance compared to CA group, but equivalent to the MA and MID groups. BIF group performance in planning and problem solving are equivalent with CA and MA groups, yet more powerful than the MID group. Meanwhile, the generativity (verbal fluency phonemic letter S) BIF group has equivalentperformance to CA and MA groups, but yet still higher than the MID group. On the other hand on the generativity (semantic category verbal fluency animals), BIF group equivalent to the performance of the CAgroup yet more higher than the MA and MID groups.
This study successfully demonstrated that the BIF group does have a different pattern of EF performance compared to the CA, MA, and MID groups. BIF groups should no longer be classified under the same criteria as MID group, but rather has its own criteria separated from the MID group.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilis Diah Hendrawati
"Latar belakang. Pada anak Palsi Serebral terdapat hubungan antara motorik kasar (berdasarkan GMFCS) dan kemampuan manual (berdasarkan MACS) dengan kemampuan kognitif (berdasarkan tes IQ).Tujuan. Mengetahui hubungan antara skala GMFCS dan skala MACS dengan fungsi kognitif pada pasien Palsi Serebral (PS).
Metode penelitian. Penelitian dilakukan tanggal 17 Februari sampai 17 Mei 2018 pada pasien Palsi Serebral usai 5-18 tahun yang berobat di Poliklinik Neurologi Anak / Poliklinik Rehabilitasi Medik RSCM / YPAC Jakarta yang memenuhi kriteria penelitian.
Hasil penelitian. Pasien PS yang ikut serta dalam penelitian ini sejumlah 69 subyek, dengan karakteristik usia 4-6 tahun (26%), 6-12 tahun (57%), 12-18 tahun (17%) ; anak laki-laki (56,6%), perempuan (43.4%). Didapatkan tipe PS diplegi (68,1%), PS hemiplegi (2,9%), PS kuadriplegi (29%), dengan sebaran skala GMFCS I (14,5%), II (13%), III (27,5%), IV (17%), V (20,4%). Sebaran skala MACS: I (42%), II (13%), III (5,8%), IV (13%), V (26,2%). Sementara sebaran hasil tes IQ dengan skala WISC: 91-110 (3%), 80-90 (1%), 66-79 (4%), 52-65 (17%), 36-51 (25%), 20-35 (25%), <19 (25%).
Simpulan. Pada pasien PS, makin buruk kemampuan motorik kasar (GMFCS) maka makin buruk pula kemampuan manual (MACS) dan makin rendah pula IQ nya. Makin buruk kemampuan manual (MACS) makin rendah pula IQ nya. Tipe PS kuadriplegi memiliki nilai IQ yang paling rendah dibandingkan tipe PS diplegi/hemiplegi.

Objective.To determine the relationship between GMFCS and MACS with cognitive function in children with Cerebral Palsy. The study was conducted from February 17 to May 17, 2018. Children with Cerebral Palsy,  5-18 years old, were treated  at Pediatric Neurology Cipto Mangunkusumo Hospital/Medical Rehabilitation Cipto Mangunkusumo Hospital / YPAC Jakarta as outpatient, who met the research criteria.
Results. Children with Cerebral Palsy who participated in this study were 69 subjects, with characteristics of 4-6 years (26%), 6-12 years (57%), 12-18 years (17%); boys (56.6%), girls (43.4%). Cerebral Palsy type was obtained: diplegia (68.1%), hemiplegia (2.9%), quadriplegia (29%). Distribution scale of GMFCS: I  (14.5%), II (13%), III (27.5 %), IV (17%), V (20.4%). Distribution scale of MACS: I (42%), II (13%), III (5.8%), IV (13%), V (26.2%), while the distribution scale of IQ test with the WISC method: 91-110 (3%), 80-90 (1%), 66-79 (4%), 52-65 (17%), 36-51 (25%), 20 -35 (25%), <19 (25%).
Conclusions. Children with Cerebral Palsy, the worse gross motor function (GMFCS) then the worse manual ability (MACS) and the worse cognitive function (IQ). The worse manual ability (MACS) the lower the IQ. Quadriplegia type of Cerebral Palsy has the lowest IQ score compared to diplegia/ hemiplegia type of Cerebral Palsy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Widinarsih
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan karena fenomena penggunaan peron oleh pedagang kaki lima (selanjutnya disingkat PKL) mencerminkan terabaikannya hak-hak atas fasilitas kota yang baik dari para pengguna jasa kereta rel listrik (selanjutnya disingkat KRL) Jabotabek kelas ekonomi. Mengapa hal tersebut masih saja dibiarkan terjadi oleh para pengguna jasa tersebut sebagai pihak yang berhak atas penggunaan peron sebagai teritori untuk alctivitas menunggu, naik, dan turun dari KRL Jabotabek kelas ekonomi
Penelitian ini mengkaji permasalahan trsebut dengan menggunakan konsep teritorialitas dan teori keseimbangan/P-0-X Heider melalui metode gabungan antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data adalah skala interaksi antara pengguna jasa KRL .Jabotabek kelas ekonomi dengan PKL dalam hal penggunaan peron stasiun pemberhentian (selanjutnya disingkat SP).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibiarkannya terjadi
penggunaan peron SP sebagai tempat dagang para PKL berkaitan dengan dialaminya keadaan psikologis yang seimbang dalam kognisi kebanyakan pengguna jasa KRL Jabotabek kelas ekonomi yang menjadi subyek penelitian ini.
Keadaan seimbang yang terjadi itu mayoritas berupa kombinasi hubungan P-O-X dengan konfigurasi + - -, Yaitu kombinasi dimana hubungan P-O berupa hubungan sentimen positif hubungan O-X berupa hubungan unit negatif, dan hubungan P-X berupa hubungan sentimen negatif Artinya, kebanyakansubyek penelitian ini kadang-kadang menyukai/membutuhkan PKL di peron tapi menilai sebenarnya
PKL tidak berhak menggunakan peron sebagai tempat berdagang sehingga para subyek tersebut sebenamya keberatan bila keberadaan dan situasi kondisi peron ketika digunakan sebagai tempat berdagang sampai menganggu aktivitasnya menunggu, naik dan turun dari KRL.
Dengan keadaan psikologis yang seimbang tersebut maka kognisi para pengguna jasa KRL berada dalam kognisi yang konsisten, yang tidak menimbulkan tekanan/dorongan untuk mengubah struktur kognisi dalam hubungannya dengan PKL dan peron SP yang digunakan sebagai tempat berdagang PKL. Komponen hubungan unit dan sentimen pada kognisi Pengguna jasa KRL, berhubungan satu sama lain secara harmonis dan tidak ada tekanan untuk berubah.
Namun secara teoritis, kombinasi hubungan P-O-X dengan konfigurasi + - - meski menimbulkan keadaan seimbang bukanlah yang ideal- Kombinasi ideal yang menimbulkan keadaan konsisten dalam kognisi sehingga menghasilkan keadaan psikologis yang lebih menyenangkan adalah kombinasi hubungan P-0-X dengan konfigurasi + + +. Untuk mencapai hal itu maka ada upaya yang bisa dilakukan sebagai saran teoritik. Upaya yang bisa dilakukan antara lain adalah pengaturan dan penataan peron sena pemasangan tanda (prompt) agar peron dapat digunakan sebagaimana mestinya sehingga baik pengguna jasa KRL maupun PKL dapat berhubungan dengan lebih baik, tidak saling mengabaikan hak dan kewajiban."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38228
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwit Ida Chahyani
"ABSTRAK
Latar Belakang: HIV-associated neurocognitive disorder (HAND) adalah komplikasi neurologis dalam perjalanan penyakit HIV. Karena prevalensi HAND masih tinggi dan dampak negatif yang disebabkannya seperti gangguan fungsional, kehilangan pekerjaan, membutuhkan caregiver, maka sangat diperlukan sekali perangkat alat penapisan gangguan kognitif yang praktis, mudah, tidak membutuhkan waktu yang lama serta tersedia disemua fasilitas untuk penapisan HAND. Ini merupakan penelitian pertama di Indonesia untuk menentukan sensitivitas dan spesifisitas International HIV Dementia Scale (IHDS) dan Montreal Cognitive Assesment versi Indonesia (MOCA-INA) sebagai alat penapisan HAND dan untuk mengetahui pola ranah kognitif yan paling sering terganggu. Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan uji diagnostik pada pasien HIV yang berobat di poliklinik pelayanan terpadu HIV RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta September-Desember 2015. Pasien yang memenuhi kriteria penelitian dilakukan pemeriksaan penapisan dengan IHDS dan MOCA-INA dilanjutkan pemeriksaan kognitif lengkap. Hasil: Didapatkan 120 subjek dengan nilai median usia 33 (21-40) tahun, sebagian besar telah mendapatkan ARV 117 orang (97,5%). Proporsi gangguan kognitif berdasarkan IHDS 54 orang (45%), berdasarkan MOCA- INA 69 orang (57,5%). Proporsi HAND berdasarkan pemeriksaan kognitif lengkap 72 orang (60%). Nilai sensitivitas IHDS 45,8% (95% CI 0,348-0,573) dan spesifisitas IHDS 56,3% (95% CI 0,423-0,693). Nilai sensitivitas MOCA-INA 70,8% (95% CI 0,595-0,801) dan spesifisitas MOCA-INA 62,5% (95% CI 0,484 to 0,748). Pola gangguan kognitif yang tersering adalah gangguan memori 71 subjek (98,6%), diikuti fungsi eksekutif 56 subjek (77,8%) dan kelancaran bahasa 31 subjek (43,1%). Kesimpulan: MOCA-INA adalah alat penapisan HAND yang memiliki nilai sensitifitas dan spesifisitas yang lebih baik dibandingkan IHDS. Gangguan ranah kognitif yang tersering adalah memori, fungsi eksekutif dan kelancaran bahasa

ABSTRACT
Background: HIV-associated neurocognitive disorder (HAND) is a disabling complication in HIV disease progression. Due to high prevalence and negative impacts of HAND such as functional disorders, loss of employment, and dependence to caregivers, it is necessary to have some practical tools to screen HAND to prevent disabilities. This was the first study in Indonesia to look into the sensitivity and specificity of IHDS and MOCA-INA as a screening tool for HAND and to determine which cognitive domains are mostly affected. Materials and Method: This was a diagnostic study in integrated HIV outpatient clinics in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta in September to December 2015. Patients were screened for cognitive disorders using IHDS and MOCA-INA as well as complete cognitive assessment. Results: There were 120 subjects with median (range) age of 33 (21-40) years. Most subjects (97.5%) received Antiretroviral Treatment (ART). Prevalence of cognitive disorder based on IHDS and MOCA-INA were 45% and 57.5%, respectively. Prevalence of HAND based on complete cognitive assessment were 60%. The sensitivity and specificity of IHDS were 45.8% (95% CI 0.348-0.573) and 56.3% (95% CI 0.423-0.693). The sensitivity and specificity of MOCA-INA were 70.8% (95% CI 0.595-0.801) and 62.5% (95% CI 0.484 to 0.748). Memory (98.6%) was the most affected domain, followed by executive function (77.8%), and verbal fluency (43.1%). Conclusions: These data suggest that MOCA-INA is a validated screening tool for HAND with higher sensitivity and specificity. The most frequent disorders were memory, executive function, and disturbance in verbal fluency."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Malau, Bintang Leonard P.
"Latar belakang: Pekerjaan dengan pola kerja gilir, khususnya yang irregular, dapat mengganggu irama sirkadian dan kualitas tidur yang kemudian berdampak pada fungsi kognitif. Meskipun penting, penelitian tentang kerentanan domain kognitif terkait pola kerja gilir masih terbatas. Kualitas tidur dan fungsi kognitif menjadi kritis dalam konteks pelayanan kesehatan di rumah sakit, di mana keputusan dan tindakan harus dilakukan dengan cepat dan tepat dalam menunjang keselamatan pasien. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan potong lintang untuk mengetahui hubungan pola kerja gilir dengan gangguan fungsi kognitif. Untuk mengukur kualitas tidur, digunakan Pittsburgh Sleep Quality Index bahasa Indonesia (PSQI-Ina), sementara fungsi kognitif dan domain kognitif diukur menggunakan Oxford Cognitive Screen (OCS) bahasa Indonesia (OCS-Ina), sebuah instrument kognitif untuk pasien stroke, yang sudah tervalidasi. Besar sampel minimal pada penelitian ini dihitung dengan rumus Slovin berjumlah 72 sampel. Korelasi, analisis komponen utama,analisis demografi dan regresi digunakan untuk mengkarakterisasi hubungan antara PSQI-Ina,OCS-Ina dan variabel penelitian lainnya. Hasil: Sebanyak 83 tenaga kesehatan masuk ke dalam kriteria inklusi dan diikutsertakan dalam penelitian. Hasil memperlihatkan sebanyak 16 responden (19,3%) mengalami gangguan fungsi kognitif pada domain Atensi serta 2 responden (2,4%) mengalami gangguan di 2 domain kognitif (Atensi dan Pengelolaan Angka). kesejahteraan.

Background: Irregularities in shift work, especially those marked by unpredictability, can disrupt circadian rhythms and compromise sleep quality, consequently adversely affecting cognitive function. Despite its pivotal significance, there is a shortage of research on the susceptibility of cognitive domains associated with irregular shift work. The connection between sleep quality and cognitive function becomes especially crucial in the healthcare service domain, particularly within the confines of hospitals. In such environments, where decisions and actions require swift and accurate execution, the interplay between sleep quality and cognitive function is critical to ensuring the safety and well-being of patients. Methods: The objective of this research is to conduct an analytical observational study with a cross-sectional design, aiming to examine the correlation between shift work patterns and cognitive function impairment. The study utilizes the Pittsburgh Sleep Quality Index in Bahasa Indonesia (PSQI-Ina) to measure sleep quality. Cognitive function and cognitive domains are assessed using the Indonesian Oxford Cognitive Screen (OCS-Ina), a validated cognitive instrument for stroke patients. The minimum sample size for the research was determined, resulting in a calculated sample size of 72 participants. Correlation analysis, principal component analysis, demographic analysis, and regression analysis are employed to characterize the relationships between PSQI-Ina, OCS-Ina, and other relevant research variables. Results: A total of 83 healthcare workers meeting the inclusion criteria were included in the study. Results indicated that 16 respondents (19.3%) experienced cognitive function impairment in the Attention domain, and 2 respondents (2.4%) experienced impairment in two cognitive domains (Attention and Number). Healthcare workers engaged in secondary employment were found to have a 12.8 times higher risk of experiencing cognitive impairment (OR 12.8; CI 95% 1.7-91; p = 0.011). Similarly, healthcare workers with poor sleep quality (PSQI score >5) faced a 40.3 times higher risk of cognitive impairment (OR 40.3; CI 95% 2.2-708.1; p = 0.011). Likewise, healthcare workers working in irregular shift patterns had a 5.4 times higher risk of experiencing cognitive impairment (OR 5.4; CI 95% 0.1-26.6; p = 0.036). Conclusions: There is a correlation between shift work patterns and cognitive function impairment in the workplace. Hospitals should prioritize ergonomic shift work schedules, emphasizing speed and clockwise rotations, to support the well-being of their healthcare workers."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>